KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, mudah-mudahan senantiasa
mencurahkan rahmat dan hidaya-Nya untuk kita semua. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada baginda Rasulullah SAW beserta segenap keluarga dan para
sahabatnya, Amin
Makalah ini kami buat menurut padangan saya yang telah
mempelajari tentang sejarah perkembangan Ushul Fiqih. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membatu kami.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah
ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta
kritik yang dapat membangun kami.
Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat untuk kita
semua. Amin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR
ISI ii
BAB I PENDAHULUAN iii
A.
Latar Belakang iii
B.
Rumusan Masalah iv
C.
Tujuan Penulisan iv
BAB II PEMBAHASAN 1
A.
Pengertian Fiqih 1
B. Sejarah
Perkembangan Fiqih 1
C. Periodesasi
Fiqih Pada Masa Rasulullah 2
D.
Periodesasi Fiqih Pada Masa
Sahabat 4
E.
Periodesasi Fiqih Pada Masa
Tabi’in 5
F.
Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih 6
G.
Tahap Perkembangan Ushul Fiqih 9
BAB III PENUTUP 10
A.
Kesimpulan 10
DAFTAR PUSTAKA 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana
ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan
tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat.
Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh,
dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah
saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami
hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah
saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Pada
masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada
yang menempuh metode masalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa
sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan
mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan
oleh para ulama ketika itu.( Abu Zahro : 12 ).
Corak
perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa
Al- Aimmat Al- Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang
digunakan juga semakin jelas bentuknya bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh
metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih
dapat dipercaya dari pada hadis ahad (Abu Zahro: 12).
Apa
yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw. sahabat,
tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun
demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang
sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu
tersendiri.
B.
Rumusan Masalah
Sehubungan latar belakang masalah telah kami uraikan di
atas, maka ada beberapa masalah yang akan kami rumuskan. Adapun permasalahan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pengertian
Fiqih ?
2. Bagaimana
Sejarah Perkembangan Fiqih ?
3. Bagaimana
Periodesasi Fiqih Pada Masa Rasulullah ?
4. Bagaimana
Periodesasi Fiqih Pada Masa Sahabat?
5. Bagaimana
Periodesasi Fiqih Pada Masa Tabi’in ?
6. Bagaimana
perkembanagan Ushul Fiqih ?
7. Bagaiman
tahapan perkembangan Ushul Fiqih ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui pengertan Fiqih.
2. Agar Mengetahui periodesasi Fiqih pada
masa Rasulullah
3. Agar periodesasi Fiqih pada masa sahabat
4. Agar mengetahui periodesasi Fiqih pada
masa Tabi’in
5. Agar mengetahui perkembangan Ushul
Fiqih.
6. Agar mengetahui tahapan Ushul Fiqih.
D.
Metode
Penulisan
Metode penulisan yang saya gunakan adalah metode pustaka
yang di ambil dari berbagai sumber referensi yaitu internet dan buku.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih
A.
Pengertian
Fiqih
Dilihat
dari sudut bahasa, fiqih berasal dari kata faqaha yang
berarti “memahami” dan “mengerti”. Sedangkan menurut istilah syar’I, ilmu fiqih
dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis)
yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap
dalil-dalil yang terperinci.
Secara
definitif, fiqih berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah
yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili. Dalam definisi ini
fiqih diibaratkan dengan ilmu karena fiqih itu tidak sama dengan ilmu seperti
disebutkan diatas, fiqih itu bersifat dzanni. Fiqih adalah apa yang dapat
dicapai oleh mujtahid dengan dzannya, sedangkan ilmu tidak bersifat dzanni
seperti fiqih. Namun karena dzanni ini kuat, maka ia mendekati kepada ilmu.
Karenanya ilmu definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqih.
B.
Sejarah
Perkembangan Fiqih ( TARIKH TASYRI’)
Tarikh
tasyri’ atau sejarah fiqih islam, pada hakekatnya, tumbuh dan berkembang dimasa
Nabi sendiri, karena Nabi lah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan
hukum, dan berakhir dengan wafatnya Nabi. Dan yang dimaksud masa kenabian yaitu
masa dimana hidup Nabi Muhammad saw, dan para sahabat yang bermula dari
diturunkannya wahyu sampai berakhit dengan wafatnya Nabi pada tahun 11H. Era
ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan fiqih islam. Suatu masa
turunnya syariat islam dalam pengertian yang sebenarnya.
Turunnya
syariat dalam proses munculnya hukum-hukum syariyah hanya terjadi pada era
kenabian ini Sebab syariat itu turun dari Allah dan itu berakhir degan turunnya
wahyu setelah nabiwafat. Nabi sendiri tidak punya kekuasaan untuk membuat
hukum-hukum syar’iyah karena tugas seorang rosul hanya menyampaikan hukum-hukum
syar’iyah itu kepada umatnya.
Dari
sini kita dapat memahami bahwa kerja para Fuqoha’ dan mujtahidin bukan membuat
hukum tapi mencari dan menyimpulkannya dari sumber-sumber hukum yang benar.
Sumber-sumber hukumi slam yang menjadi rujukan para mujtahidin dalam mencari
hukum-hukum syariyah adalah wahyu, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah.
Sedangkan
yang dimaksud dengan sejarah perkembangan fiqih islam (tasyri’) adalah ilmu
yang membahas tentang keadaan fiqih islam pada masa Rasulullah dan masa-masa
sesudahnya, untuk menentukan masa-masa terjadinya terjadinya hukum itu dan
segala yang merupakan hukum, baik berupa naskh, takhshis dan lain-lain, serta
tentang keadaan fuqoha’ dan mujtahidin beserta hasil karya mereka terhadap
hukum-hukum itu.
C.
Periodesasi
Fiqih Pada Masa Rasulullah
Fase
ini bermula saat Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu berupa
Al-quran ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada hari jumat 17
Ramadhan tahun ketiga belas sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. wahyu
terus turun pada baginda Rasulullah di Makah selama 13 tahun dan terus
berlangsung ketika beliau berada di Madinah.
Terkadang
wahyu turun kepada Nabi dalam bentuk Al-Quran yang merupakan kalam Allah dengan
makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna
sementara lafalnya dari Nabiatau yang kemudian termanifestasi dalam bentuk
hadits. Dengan dua pusaka inilah perundang-undangan islam ditetapkan
danditentukan.Atas dasar ini, fiqh pada masa ini mengalami dua periodesasi.
1.
Periode
Mekah
Periode ini terhitung sejak diangkatnya baginda
Rasulullah sebagai Rasul samapai beliau hijrah ke Madinah. Periode ini
berlangsung selama 13 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam atau Fiqh pada
periode ini lebih terfokuskan pada upaya mempersiapkan masyarakat agar dapat
menerima hukum-hukum agama, membersihkan aqidah dari meyembah berhala kepada
menyembah Allah.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk
memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia atas dua perkara utama:
a)
Mengokohkan
aqidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, dan bukan untuk yang
lain, beriman kepada malaikat, kitab-kitab, Rasul,takdir Allah dan hari akhir.
b)
Membentuk
akhlak manusia agar memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan dari sifat yang
tercela.
2.
Periode
Madinah
Periode ini berlangsung sejak hijrah
Rasulullah dari mekkah hingga beliau wafat. Periode ini berjalan selama
10 tahun.Pada periode ini fiqh lebih menitikberatkan pada aspek
hukum-hukum praktikal dan dakwah islamiyah pada fase ini membahas tentang
akidah dan akhlak. Oleh sebab itu perlu adanya perundang-undangan yang mengatur
tentang kondisi masyarakat dari tiap aspek, satu persatu ia turun sebagai
jawaban terhadap semua permasalahan, kesempatan, dan perkembangan.
Dalam masa inilah umat islam berkembang dengan
pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Sehingga timbullah
keperluasan untuk mengadakan syari’at dan peraturan-peraturan, karena
masyarakat membutuhkannya untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat
satu dengan lainnya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang.
Pada periode Madinah inilah turun ayat-ayat
menerangkan hukum-hukum syar’iyah dari semua persoalan yang dihadapi manusia,
baik ibadat seperti salat, zakat, puasa, haji, dan muamalat seperti aturan
jual-beli, masalah kekeluargaan, kriminalitas hingga persoalan-persoalan ketata
negaraan. Dengan kata lain, periodeMadinah dapat pula disebut periode revolusi
social dan politik. Rekontruksisosial ini ditandai dengan penataan
pranata-pranata kehidupan masyarakat Madinah yang layak dan dilanjutkan dengan
praktek-praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi saw, sehinngga
menampilkan islam sebagai suatu kekuatan politik.
Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti
surat-surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-Anfal, At-Taubah,
An-Nur, Al-Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping megandung
ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah, dll.
Dalam proses perkembangan periode Madinah ini ada
tiga aspek syaria’at yang perlu dijelaskan. Pertama metode Nabis.a.w, kedua
kerangka hukum syari’at. Ketiga turunnya syari’at secara bertahap (periodik).
Adapun aspek pertama yaitu metode Nabis.a.w dalam menerangkan hukum, Nabi
sendiri tidak banyak menerangkan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah,
sebagaimana syarat dan rukunnya dan lain sebagainya.
MisalnyaketikaNabisalatdanparasahabatmelihatsertamenirukannyatanpamenanyakansyaratdanrukunnya.
Kedua, kerangka hukum syariat. Ada hukum yang
disyari’atkan untuk suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti
bolehkah menggauli istri yang sedang udzur (haid). Ada juga hukum yang
disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada
kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, seperti masalah ibadah dan
hal-hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga, turunnya syari’at secara bertahap
(periodik). Dalam tahap periodic ini syari’at terbagi dalam dua hal, yaitu
tahpan dalam menetapkan kesatuan hukum islam, seperti salat disyari’atkan pada
malam isra’ mi’roj (satu tahun sebelum hijrah), adzan pada tahun pertama hijrah
dan seterusnya. Yang kedua, tahapan itu tidak sedikit terjadi pada satu
perbuatan.Misalnya, salat awalnya diwajibkan dua rakaat saja, kemudian setelah
hijrah keMadinah empat rakaat, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim bahwa A’isyah berkata : ”Salat diwajibkan dua rakaat, kemudian Nabi
hijrah maka menjadi empat rakaat”.
D.
Periodesasi Fiqih Pada Masa Sahabat (KHULFAUR RASYIDIN)
Dengan wafatnya Rasulullah saw, maka
berarti wahyu yang diturunkan pun ikut berhenti. Kedudukan beliau diganti oleh
khulafaur Rasydin. Adapun tugas dari seorang khalifah adalah menjaga kesatuan
umat dan pertahanan negara.
Masa mulai dari periode khulafaur
Rasyidin dan sahabat-sahabat yang senior , hingga lahirnya Imam Madzhab yaitu
dari tahun 11-132 H. Ini meliputi periode khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661
M).
Pada masa ini daerah kekuasaan Islam
semakin luas, meliputi beberapa daerah di luar semenanjung Arabia, seperti
Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq. Dan bersamaan dengan itu pula, agama
Islam berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan daerah tersebut.
Di periode sahabat ini, kaum
muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at yang sempurna berupa Al-qur’an
dan Hadits Rasul. Kemudian dilengkapi dengan ijma’ dan qiyas, diperkaya dengan
adat istiadat dan peraturan-peraturan berbagai daerah yang bernaung dibawah
naungan Islam. Dapat kita tegaskan bahwa di zaman khulafaur Rasyidin lengkaplah
dalil-dalil tasyri Islami (dasar-dasar fiqih Islam) yang empat, yaitu:
Al-Kitab, As Sunnah, Al-Qiyas atau ijtihad, atau ra’yu dan Ijma’ yang bersandar
pada Al-Kitab, atau As-Sunnah, atau Qiyas(Djafar, 1992).
Sahabat-sahabat besar dalam periode
ini menafsirkan nash-nash hukum dari Al Qur’an maupun dari Al Hadits, yang
kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-nash itu.
Selain itu para sahabat besar memberi pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah
besar memberi pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah terhadap
kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya yang jelas mengenai hal itu, yang
kemudian menjadi dasar ijtihad(Asshiddieqi, 1999).
E.
Periodesasi Fiqih Pada Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in, tabi’-tabi’in dan
para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam
telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh
orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula
situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang
bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah
itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di
kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak
persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai
daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.Periode ini disebut juga
periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih Islam
mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum Islam
dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits nabi,
fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir al-Qur’an, kumpulan pendapat
imam-imam fiqih, dan penyususnan ushul fiqih.
1. Metode tabi’in dalam mengenal hukum
Pada
periode ini ialah, “Menerima hukum yang dikumpulkan oleh seseorang mujtahid
dan memandang pendapat mereka seolah-olah nash syara’ sendiri.” Jadi taqlid
itu menerima saja pendapat seseorang mujtahid sebagai nash hukum syara’. Dalam
periode taqlid ini, kegiatan para ulama’ Islam banyak mempertahankan ide dan
mazhabnya masing-masing.
Sebelumnya
perlu ditegaskan bahwa setiap mazhab fiqh mempunyai ushul fiqh. Hanya saja,
metode penulisan mereka berbeda. Metode penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;
a) Metode mutakallimin
Metode
penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika (mantiqy), teoretik (furudl
nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah, tanpa mengaitkannya dengan furu’. Tujuan
mereka adalah mendapatkan kaidah yang memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul
yang dihasilkan metode ini memiliki kecenderungan mengatur furu’ (hakimah),
lebih kuat dalam tahqiq al masail dan tamhish al khilafat. Metode ini jauh dari
ta’asshub, karena memberikan istidlal aqly yang sangat besar dalam
perumusan. Hal ini bisa dilihat pada Imam al Haramain yang kadang berseberangan
dengan ulma lain. Dianut antara lain oleh; Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah
dan Syiah.
b) Metode Fuqaha’
Tidak
diperdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaidah ushul yang beliau gunakan dalam
istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau; mengambil ijma’ shahabat, jika
terjadi perbedaan memilih salah satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada,
beliau tidak menilai pendapat tabiin sebagai hujjah. Namun, karena tidak
meninggalkan kaidah tersebut dalam bentuk tertulis, pengikut beliau mengumpulkan
masail/furu’ fiqhiyyah, mengelompokkan furu’ yang memiliki keserupaan dan
menyimpulkan kaidah ushul darinya. Metode ini dianut mazhab Hanafiyyah. Sering
pula dipahami sebagai takhrij al ushul min al furu’. Metode ini adalah
kebalikan dari metode mutakallimin.
F.
Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih
Secara
teoritis, ilmu fiqih lebih dahulu lahir dari ilmu fiqih, karena ushul fiqih
sebagai alat untuk melahirkan fiqih. Akan tetapi, fakta sejarah menunjukan,
ushul fiqih bersamaan lahirnya dengan fiqih. Sedangkan dari segi penyusunan,
ilmu fiqih lebih dahulu lahir dari pada ilmu ushul fiqih. Berikut ini
dijelaskan sejarah dan perkembangan ushul fiqih yang dibagi dalam beberapa
periode.
1.
Periode Sahabat
Fiqih mulai dirumuskan pada periode sahabat, yaitu setelah
wafatnya Rasulullah. Sebab pada masa hidupnya. Semua persoalan hukum yang
timbul diserahkan kepada beliau. Meskipun satu atau dua kasus hukum yang timbul
terkadang disiasati para sahabat beliau dengan ijtihad, tetapi hasil akhir dari
ijtihad tersebut, dari segi tepat atau tidaknya ijtihad tersebut, dari segi
tepat atau tidaknya ijtihad mereka itu, kembali kepada Rasulullah.
Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk
melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqih sebagai
alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqih yang mereka gunakan baru dalam
bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan
sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Contoh cikal bakal ushul fiqih yang terdapat pada
masa Rasulullah dan masa sahabat, antara lain, berkaitan dengan ketentuan
urutan penggunannya sumber dan dalil hukum, sebagai bagian dari ushul fiqih,
misalnya dapat terlihat dari informasi tentang
dialog antara Rasulullah dan Mu’az bin Jabal, ketika Rasulullah mengutus
Mu’az ke Yaman.
Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila
menghadapi persoalan hukum ialah, menelusuri ayat-ayat Al-quran yang berbicara
tentang masalah tersebut. Apabilah tidak di temukan hukumanya dalam Al-quran,
maka mereka mencarinya di dalam sunnah. Apabila di dalam sunnah pun tidak
ditemukan, barulah mereka berijtihad. Tidak jarang ijtihad yang mereka lakukan
adalah dengan cara musyawarah di antara mereka(ijtihad damai) hasil kesepakatan
ijtihad melalui musyawarah ini kemudian
dikenal dengan istilah ijma’ ash-shahabi(kesepakatan
sahabat). Akan tetapi, sebagaimana pola musyawarah, acapkali juga ijtihad
memecahkan persoalan-persoalan hukum itu mereka lakukan secara sendiri-sendiri(ijtihad fardi). Hasil ijtihad ini
kemudian dikenal dengan istilah ijtihad ash-shahabi(ijtihad
sahabat) atau fatwa ash-shahabi(fatwa
sahabat) atau qaul ash-shahabi(pendapat
sahabat).
2.
Periode Tabi’in
Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbulnya
masa tabi’in. Pada masa ini, sejalan dengan perluasan wilayah-wilayah islam,
dimana pemeluk islam semakin heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan adat
istiadat lokal, tetapi juga dari segi bahasa, peradaban, ilmu pengetahuan,
teknologi dan perekonomian, banyak yang bermuculan kasus-kasus hukum baru, yang
sebagiannya belum di kenal sama sekali pada masa Rasulullah dan masa sahabat.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaiman generasi
sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang
sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Terhadap sumber rujukan yang
baru itu, mereka memilih kebebasan memilih metode yang mereka anggap paling
sesuai. Oleh karena itu, sebagai ulama tabi’in ada yang yang menggunakan metode
qiyas, dengan cara berusaha menemukan ‘illah hukum suatu nashsh dn kemudian
menerapkan pada kasus-kasusnya hukum yang tidak ada nashsh-nya tetapi memiliki Allah yang sama. Sementara sebagian
ulama lainya lebih cenderung memilih metode mashlahah,
dengan cara melihat dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang
terdapat dalam prinsip-prinsip syra’.
3.
Periode Imam Mazhab
Setelah berlalunya periode tabi’in, maka perkembangan ushul fiqih disusul oleh periode Imam Mazhab.
Mengingat ada perbedaan sejarah yang signifikat, maka sejarah perkembangan ilmu
ushul fiqih periode Imam Mazhab ini lebih jauh dapat dirinci menjadi tiga
bagian, yaitu : masa sebelumnya dan ketika tampilnya imam asy-syafi’i, serta masa sesudah imam asy-syafi’i.
a)
Masa Sebelum Imam Asy-Syafi’i
Masa
sebelum Imam Asy-syafi’i ditandai dengan munculnya Imam Abu Hanifa bin Nu’man
(w.150 h), pendiri Mazhab Hanafi. Ia tingal dan berkembang di Irak. Dibanding
masa tabi’in, metode ijtihad Imam Abu
Hanifah sudah semakin jelas polanya. Ia sangat dikenal banyak menggunakan qiyas dan isthisan.
Langkah-langkah
ijtihadnya ialah, secara berurutan, merujuk pada Al-quran, sunnah, fatwa sahabat
yang berbeda-beda dalam satu kasus hukum.
Apabila
Imam Abu Hanafiyah banyak menggunakan qiyas
dan istisan dalam berijtihad, maka
sebaliknya Imam Maliki banyak menggunakan mashlahah
muralah, belakangan metode mashlahah
Imam Maliki ini berkembang sangat jauh, sehingga salah seorang ulama yang
bernama Najmuddin Ath-Thufi(657-719) dituduh sesat oleh sebagai ulama lainya,
karena dipandang telah mengembangkan metode ini dengan cara yang sangat
liberal.
b)
Masa Imam Asy-Syafi’i
Masa
kedua dari periode imam mazhab adalah ketika tampilnya Imam Muhamad Idris
Asy-Asyafi’i (150-204). Berbeda dengan masa sbelumnya duman metode ushul fiqih
belum tersusun dalam suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan belum
dibukukan, maka masa ini ditandai dengan lahirnya karya imam asy-syafi’I yang
bernama ar-risalah
Sebagaimana
layaknya proses lahir dan perkembangan suatu disiplin ilmu, Asy-Syafi’i
mewarisi pengetahuan yang mendalam sebagai hasil proses panjang perkembangan
ilmu dari perkembangan ilmu dari para pendahulunya.
c)
Masa Sesudah Imam Asy-Syafi’i
Setelah
berlalunya masa Imam Asy-syafi’i, perkembangan ilmu ushul fiqih semakin menunjukan
tingkat kesempurnannya. Pada masa ini ( masih dalam abad ketiga) lahir beberapa
karya dalam bidang ushul fiqih, antara lain, an-nasikh wa al-mansukh, karya Ahmad bin Hanbal(164-214), pendiri
Mazhab Hanbali, dan ibthalal-qiyas,
karya Dawud Azh-Zhahiri(200-270H), pendiri Mazhab Azh-Zhahiri. Kitab terakhir
ini merupakan antitensis terhadap pemikiran Imam Asy-Syafi’i yang sangat
mengunggulkan qiyas dalam ber ijitahad.
G.
TAHAP PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
Secara
garis besarnya, ushul fiqih dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
1.
Tahap Awal (abad 3H)
Pada
abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian
timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma’mun(w.218H),
Al-Mu’tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa
mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai
dari kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan
semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqih yang pada
giliranya mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul
fiqih.
Seperti
telah dikemukakan, kitab ushul fiqih yang pertama-tama tersusun secara utuh dan
terpisah dari kitab-kitab fiqih ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi’i. kitab ini
dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bernilai tinggi. Ar-Razi berkata
“kedudukan As-Syafi’i dalam ushul fiqih setingkat dengan kedudukan Aristo dalam
ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud”.
Ulama
sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqih dan menjadikanya
pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi
rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi dan cara
mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih yang
merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan
dalil syar’i, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqih sesudah
As-Syafi’i, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi’i karena Asy-Syafi’ilah yang
membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain
kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqih
lainya. Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar
Al-Wahid, ijtihad ar-ra’yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis
kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun
perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad 3 H ini tidak
mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqih yang utuh dan mencakup segala
aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalahlah yang mencakup
permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqoha
pada zaman itu.
Disamping
itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab
fiqih, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim
bahwa Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut.
Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama
ushul fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah
ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan
adanya dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat
yang sama, Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran
itu hanya terdapat dalam satu hadits saja.
2.
Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada
masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abasiyah dalam
bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang
masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh
terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena
masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan
memperbanyak kaum intelektual.
Khusus
dibidang pemikiran fiqih Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri
dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan
ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu
mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan
pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya
aliran-aliran fiqih semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme
dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut
madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun
demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena
masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha
antara lain:
1) Memperjelas ilat-ilat hukum yang di
istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
2) Mentarjihkan pendapat-pendapat yang
berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah.
3) Setiap golongan mentarjihkanya dalam
berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf
Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu
ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya dalam perkembangan fiqih
Islam adalah sebagai berikut:
1) Kegiatan para ulama terbatas terbatas
dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan
kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
2) Menghimpun masalah-masalah furu yang
sekian banyaknya dalam uaraian yang singkat
3) Memperbanyak pengandaian-pengandaian
dalam beberapa masalah permasalahan.
Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang
ushul fiqih. Terhentinya ijtihad dalam fiqih dan adanya usaha-usaha untuk
meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkanya. Justru
memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqih.
Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam
abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqih yang merupakan
hasil karaya ulama-ulama fiqih diantara kitab yan terekenal adalah:
1) Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu
Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
2) Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul,
ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan
Al-Jasshah (305H.)
3) Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh
abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam
perkembangan ushul fiqh pada abad 4 H yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqih
yang membahas ushul fiqih secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang
terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab
tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu
dalam masalah itu.
Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam
kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna,
sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya abu baker ar-razi hal ini
merupakan corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqih
pada awal abad 4 H., juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang
bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu
ushul fiqih.
3.
Tahap Penyempurnaan ( 5-6 H )
kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan
lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembanangan peradaban
dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di
kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan
adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil
itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul
fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk
mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab
Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd.
Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain. Mereka adalah pelopor
keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti
metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak
ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada
zaman itu, generasi Islam pada kemudian hari senantiasa menunjukan minatnya
pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad
5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan ushul fiqih terpesat yang
diantaranya terdapat kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu
ushul fiqih slanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini,
disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya,
juga menunjukan adanya aliran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal
dengan alira fuqoha, dan aliran Mutakalimin.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan :
- Apa yang dikemukakan diatas
menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan
sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian,
corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang
sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu
tersendiri
- Karena timbulnya berbagai
persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam
sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah
kitab ushul fiqih .
- Bahwa kegiatan ulama dalam
penulisan ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga
keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan sosial yang
berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga hijriyah.
ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan
awal abad 6H abad tersbut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul
fiqh Karena banyak ulama yang memusatkan perhatianya pada bidang ushul
fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan rujukan
untuk ushul fiqih selanjutnya.
4. Turunnya
sya’riat dalam arti proses munculnya hukum-hukum syar’iyah hanya terjadi di
masa kenabian. Masa kenabian adalah suatu masa dimana Nabi Muhammad SAW masih
hidup dan para sahabat yang bermula dari turunnya wahyu sampai wafatnya Nabi Muhammad
SAW. Masa ini merupakan masa pertumbuhan dan pembentukan fiqih, suatu masa
turunnya syari’at islam dalam pengertian yang sebenarnya.
5. Dalam
masa kenabian ini kita dapat mengetahui pembagian periode tasyri’ pada periode
makkah dan periode madinah yang keduanya saling melengkapi. Serta mengetahui
sumber-sumber yang digunakan pada waktu itu. Pada masa kenabianpun Nabi
Muhammad SAW tidak melarang adanya ijtihad untuk memutuskan suatu perkara yang
tidak dijelaskan dalam Al Qur’an dan Sunnah.
6. Setelah
itu berlangsunglah perkembangan munculnya fiqh sesuai kejadian dan
ijtihad sahabat, mujtahidin dimasa tersebut. Demikianlah makalah yang
bisa kami susun, kritik dan saran kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i,
Rachmat, ilmu Ushul fiqih. Bandung :
cv pustaka ceria, 2010
Dahlan,Abd.
Rahman, Ushul Fiqih, Jakarta :
Amazah, 2010
zulhusainihero.wordpress.com/2012/10/17/makalah-ushul-fiqh-sejarah-perkembangan-fiqh.