Blog Al Imam

  • Home
  • Kumpulan Makalah
  • 404
Home » Tanpa kategori » Makalah Konstribusi Sosiologi dalam Pendidikan

Makalah Konstribusi Sosiologi dalam Pendidikan





KONTRIBUSI SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN
Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. Asep Mulyana, M.SI.

Disusun Oleh kelompok : 2
Arif Rahman               (1414143069)
Muhamad Pauzi          (1414142059)
Safrudin                      (1414142063)
Siti Rahmawati           (1414143105)

SEMESTER : 3 T.IPS-B
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
Jln. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon-Jawa Barat 45132
Telp : (0231) 481264 Faxs : (0231) 489926
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kontribusi sosiologi pada dunia pendidikan menyajikan semacam ancar-ancar bagi praktisi pendidikan, yaitu mengenai beberapa kontribusi spesifik dari analisis sosiologis terhadap bidang pendidikan. Fokus bahasan ini memang pada suatu perangkat subtantif kontribusi sosiologis yang dari padanya para praktisi seperti guru, penilik, kepala sekolah atau pengawas dapat mengambil manfaatnya secara realistis dan efektif di dalam lingkungan pekerjaannya masing-masing.Untuk menggambarkan kontribusi praktis sosiologi terhadap bidang pendidikan ternyata ada banyak pendekatan yang mungkin lazim dipergunakan. Macam-macam pendekatan dimaksud itu dipakai juga sesuai dengan arahan bahasan ini. Kontribusi-kontribusi spesifik dari sosiologi terhadap bidang pendidikan tertuang dalam tigas sub judul. Ketiganya bertolak dari sorotan sosiologis dalam menelaah persekolahan sebagai suatu sistem sosial fungsional. Pada sub judul pertama, melihat hubungan-hubungan dalam dunia pendidikan sebahgai suatu yang berlangsung dalam konteks latar suatu organisasi formal. Dalam hal ini, para murid, guru, supervisor, kepala sekolah dan pengawas berinteraksi selaku pemegang posisi di dalam suatu sistem sosial yang mempunyai tujuan kelmbagaan dan terorganisir, yaitu untuk mendidik para anak didik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka macam-macam tugas dalam tat organisasi persekolahan harus ditangani, terkoordinasi dan terbadu. Dalam penyelenggaraan pendidikan terdapat sejumlah orang dengan pembagian kerja yang rumit (complicated). Ini memerlukan arus jaringan kerja (network) dari sejumlah peranan yang saling berhubungan dalam lingkungan organisasi persekolahan. Pada sub judul kedua, tinjauannya berangkat dari fakta bahwa tugas pokok persekolahan (transaksi pendidikan) terutama berlangsung pada sistem sosial yang reklatif kecil, yaitu di ruang kelas. Sedangkan pada sub judul ketiga, tinjauaannya bertolak dari realitas dimana sistem persekolahan tidak pernah terlepas dari lingkungan luarnya. Seperti pada semua organisasi, ia dipengaruhi pula oleh kekuatan-kekuatan eksternalnya. Ketiga tinjauan tersebut diajukan sebagai ancar-ancar untuk menunjukkan beberapa kontribusi sosiologi bagi para praktisi di dunia pendidikan.
B.     Rumusan Masalah
Sehubungan latar belakang masalah telah kami uraikan di atas, maka ada beberapa masalah yang akan kami rumuskan. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
                  1.            Mengapa sistem persekolahan sebagai suatu organisasi formal?
                  2.            Bagaimana kegiatan kelas sebagai suatu sistem sosial?
                  3.            Apa saja yang mempengaruhi lingkungan eksternal persekolahan?

C.    Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskrisipsikan :
      1.            Mendeskripsikan sistem persekolahan sebagai suatu sistem organisasi formal
      2.            Mendeskripsikan kegiatan kelas sebagai suatu sistem social
      3.            Mendeskripsikan lingkungan eksternal persekolahan

D.    Metode Penulisan
Metode penulisan yang saya gunakan adalah metode pustaka yang di ambil dari berbagai sumber referensi yaitu buku dan internet.




BAB II
PEMBAHASAN
Kontribusi Sosiologi Dalam Pendidikan
A.    Sistem Persekolahan Sebagai Sistem Organisasi Formal
Sekolah sebagai suatu sistem, menurut sudut tinjauan sosiologi, juga memiliki banyak karakteristik umum sebagaimana pada jenis-jenis organisasi lainnya yang berskala luas. Dua diantara karakteristik tersebut, kiranya relevan dengan maksud bahasan ini.[1]
                  1.            Sistem persekolahan, sebagaimana organisasi-organisasi bisnis dan rumah sakit, jelas mempunyai suatu tujuan organisasi. Tujuan itulah yang menjadi arah dan mengarahkan sistem sosial bersangkutan.
                  2.            Dalam organisasi persekolahan terdapat suatu arus jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling terkait (seperti guru, supervisor, dan administrator) di dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan “model organisasi” dapat dikatakan bahwa tugas persekolahan itu adalah untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada anak didik, dan karena itulah para guru diperkerjakan. Dalam hubungan ini, para supervisor berfungsi membina para guru supaya dapat bertugas secara efektif, dan tugas formal para administrator sekolah adalah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan sistem persekolahan. Para pemegang posisi mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungannya dengan para pemegang posisi lain di dalam sistem interaksi mereka. Sejalan dengan bahasan mengenai aspek struktur organisasi persekolahan tersebut, secara implisit, sepertinya ada dua asumsi yang sebenarnya masih patut dipertanyakan. Pertama, bahwa ada kesamaan pandangan atau pendapat mengenai tujuan organisasi persekolahan. Kedua, bahwa ada dua kesamaan pandangan atau pendapat mengenai hak dan kewajiban masing-masing di dalam tata hubungan antar posisi/fungsi. Sehubungan dengan kedua asumsi tersebut, analisis sosiologis tidak begitu saja meyakininya, bahkan menyarankan untuk ditelaah benar tidaknya. Sebab dalam kenyataan, dapat saja begitu tipisnya kesepakatan para pemegang posisi mengenai tujuan organisasi sekolah, dan juga mengenai batasan perannya masing-masing. Padahal faktor tersebut merupakan elemen pokok untuk dapat berfungsi dengan baik atau tidaknya sistem persekolahan.
Organisasi formal sistem persekolahan, sebenarnya kabur tujuan dan cenderung membingungkan. Hal ini bertolak dari suatu perbandingan dengan tipe-tipe organisasi formal lainnya, misalnya perusahaan yang bergerak di bidang bisnis ekonomi. Pada perusahaan bisnis, selaku organisasi formal, tujuannya sangat jelas dan tidak membingungkan, yaitu memproduksi barang atau jasa guna mendapatkan keuntunagan. Serikat buruh mungkin saja ‘bertengkar’ dengan pemilik perusahaan mengenai soal pembagian keuntungan, tetapi tidak mengenai tujuan organisasi itu sendiri. Situasinya agak berbeda apabila diperbandingkan dengan organisasi formal sitem persekolahan. Kata-kata “untuk mendidik anak-anak” merupakan pernyataan kabur yang kurang berarti, kecuali kalau tujuan pendidikan tersebut lebih dispesifikasikan.[2]
Menspesifikasikan tujuan pendidikan mengundang permasalahan nilai-nilai, seperti tentang tanggung jawab masing-masing antara sekolah dengan rumah tangga, atau tentang makna dari suatu “pendidikan yang baik”. Apakah sekolah itu harus menekankan upayanya pada pengembangan intelektual, sosial, ataukah emosional anak-anak? Apakah sekolah itu mempunyai kewajiban yang berbeda terhadap anak-anak yang normal dan anak-anak yang berkelainan? Apakah latihan mengemudi, pendidikan jasmani, pelajaran ekonomi dan industri rumah tangga bisa dilakukan atau tidak sebagai fungsi sekolah? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya yang berhubungan dengan tujuan organisasi persekolahan. Masing-masing pertanyaan berharga dimaksud dapat menjadi sangat berbeda dan bahkan bertentangan di dalam memandang serta mensikapinya, baik di kalangan orang dalam maupun luar sistem persekolahan
Asumsi kedua yang menyatakan adanya kesamaan pendapat mengenai batasan peranan para pemegang posisi pendidikan, juga tampil sebagai sesuatu yang patut diragukan. Memang buku-buku teks berbicara banyak dan tegas tentang peranan guru dan administrator pendidikan, seolah-olah semua orang menyetujuinya, dan banyak praktisi pendidikan berasumsi demikian. Pada kenyataannya mereka yang bekerja bersama-sama dalam dunia pendidikan, seringkali tidak memiliki pandangan atau pendapat yang sama mengenai hak dan kewajiban yang terkait dengan posisinya masing-masing.[3]
Haruskah para guru diharapkan menghadiri pertemuan pertemuan regular organisasi profesi mereka? Apakah pekerjaan guru juga termasuk melakukan bimbingan dan konseling? Apakah kewajiban guru terhadap anak cerdas atau anak dungu? Apakah tugas guru dalam dalam masalah-masalah kedisiplinan anak? Haruskah guru-guru diharapkan ikut serta pada program-program latihan dalam jabatan? Apakah para guru mempunyai hak untuk mendapatkan pembelaan dari atasannya apabila mendapatkan protes atau pengaduan dari orang tua murid? Dalam hal-hal tadi, dan masih banyak lagi yang lainnya yang berhubungan dengan peranan guru, mungkin sekali ada ketidaksamaan pendapat diantara para guru dengan kepala sekolah dan bahkan antara kalangan para guru sendiri. Dan dalam hal ini diperkirakan akan muncul adanya konflik peranan intern.Yang dimaksud dengan konflik peranan intern, ialah konflik harapan dari pihak lainnya yang dihadapkan pada para pemegang satu posisi tertentu. Para guru, dihadapkan dengan harapan yang saling berbeda dan bertentangan dari kepala sekolahnya, penilik, petugas konseling, administrator pendidikan, orang tua murid dan bahkan dari muridnya sendiri. Para kepala sekolah dihadapkan dengan konflik harapan dari Penilik Kepala, dan juga para stafnya sendiri di dalam penanganan beberapa hal, misalnya tentang supervisi pengajaran di kelas, penindakan kasus-kasus kedisiplinan, dan sebagainya. Para administrator dikonfrontasikan dengan konfik harapan dari para stafnya. Misalnya, beberapa guru mengharapkan kepala sekolahnya supaya membawa setiap masalah sekolah ke dalam rapat dewan guru, sedangkan sebagian lainnya tidak mengharapkan membuka semua permasalahan di forum rapat dewan guru. Sebagai tambahan seringkali para orang tua dan guru mempunyai harapan yang kontradiksi mengenai apa-apa yang mestinya dilakukan kepala sekolah, misalnya di dalam penanganan masalah kedisiplinan siswa, besarnya penerimaan murid baru, pelulusan siswa, dan sebagainya. Dalam hubungan ini, Penilik Kepala termasuk posisi yang kerapkali dihadapkan pada konflik peranan intern. Sumber utama dari lahirnya konflik harapan tersebut, kiranya terletak pada adanya pandangan yang berbeda dari Penilik Kepala, para kepala sekolah juga acapkali harus menghadapi harapan-harapan yang kontradiktif, yaitu dari para guru, Penilik, orang tua murid, dan terlebih sulit lagi apabila datangnya dari Badan Pertimbangan Sekolah.Untuk diingat, memandang sekolah sebagai suatu organisasi formal, dari kacamata sosiologis mengisyaratkan adanya rintangan organisasi yang besar untuk dapat berfungsi secara efektif. Sebagai terlihat dalam bahasan tadi, telah ditandaskan adanya dua faktor penyebab, yaitu : kurangnya kata kesepakatan mengenai tujuan organisasi sekolah itu sendiri, dan kurangnya kesepakatan tentang batasan peranan dari masing-masina pemegang posisi kependidikan.[4]



B.     Kegiatan Kelas Sebagai Suatu Sistem Sosial
Pada dasarnya, proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah interaksi kegiatan yang berlangsung di ruang kelas. Untuk keperluan tersebut pembahasan mengenai kegiatan kelas menempati sub-topik tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut sosiologi beberapa pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis untuk mengamati proses-proses yang terjadi di ruang kelas.[5]
Berdasarkan pandangan mengenai fungsi proses belajar di kelas terdapat kegiatan kelas yang mengandung sistem sosial, yaitu :
1.      Kompetisi/persaingan
Analisis Coleman tentang struktur kompetisi beserta pengaruhnya terhadap prestasi belajar, secara nyata mempunyai implikasi untuk mengisolasikan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi “hasil belajar” suatu kelas.
2.      Sosio metrik (suka/tidak suka)
Dalam hubungan ini, kontribusi empiris utama dari para sosiologi adalah struktur sosiometrik di kelas, dan memilih sumber-sumber tekanan dan ketegangan yang dihadapi guru-guru dikelas. Dalam hubungannya kepala sekolah pemegang kekuasaan di sekolah sudah tentu perlu mengawasi, mengkoordinasi, dan memadukan semua kegiatan yang berlangsung di sekolah, termasuk juga terhadap sajian pelajaran yang diberikan harus sesuai dan persis dengan kurikulum. Guru dituntut untuk bekerja sebagaimana budak dalam kurikulum dan tidak memberikan kebebasan pada guru dalam mengajar. Jika tidak sama dengan kurikulum, maka kepala sekolah bisa memberikan sanksi-sanksi tertentu. Seharusnya para guru memiliki kebebasaan yang sepantasnya mengenai pengembangan proses pembelajaran di kelas. Adanya kekuasaan tersebut merupakan sumber kekecewaan para guru dan itu dapat mengacaukan pengajaran di kelas karena adanya jarak sosial dan hubungan yang kurang erat antar guru dan kepala sekolah.
3.      Konflik (guru dgn murid) norma anak yang menyendiri
Sumber ketegangan lain adanya perbedaan norma antara yang dianut guru-guru dengan norma yang dianut siswa didalam hubungannya dengan perilaku siswa. Adanya kerangka acuan yang berbeda antara guru dan murid memang terjadi pada kebanyakan kelas.
Para guru mengharapkan murid berprestasi sebaik mungkin sesuai dengan potensi yang dimiliki, namun para siswa tidak seberapa tahu dengan apa yang menjadi harapan pengajaran tadi. Dan tidak adanya kebermaknaan dalam proses pembelajaran. Para siswa lebih berorientasi pada nilai-nilai dikalangan mereka sendiri daripada secara semangat mengikuti apa yang diinginkan guru.
Telaah sosiometrik mengungkapkan bahwa ruang kelas, didalamnya terdapat anak-anak idiola dan penyendiri; mengenai para guru hasil penelitian menunjukkkan bahwa kerapkali guru tidak mengetahui hubungan-hubungan antar pribadi dikelas.
Mereka tidak menunjukkan kepekaan yang tinggi mengenai bagaimana sesungguhnya para muridnya berinteraksi diantara satu dengan yang lainnya, dan mereka sering kali membiarkan pribadinya bias dalam menghadapi para siswanya ketimbang menggunakan sumber-sumber potensial yang menyebabkan ketegangan kejiwaan guru pengajar di kelas, salah satunya karena benturan antara struktur otoritas sekolah dengan status profesional guru itu sendiri.
Anak-anak penyendiri dikalangan teman-teman sekelasnya, ditunjukan betapa besar pengaruh kekuatan kelompok teman sekelas terhadap anak-anak penyendiri tersebut. Rintangan untuk menyembuhkan kemenyendirian tersebut bukanlah terletak didalam anak itu sendiri, tetapi malah di dalam konteks kelas itu sendiri. Implikasi penting seharusnya guru dapat dan petugas konseling dapat mensikapi anak penyendiri. Selama ini hanya ditangani dengan bimbingan individual padahal sebenarnya iklim kelempoklah penyembuhan anak penyendiri tersebut. Untuk itu guru harus dapat mengeksplorasikan bagaimana adanya kehidupan kelas sebagai suatu sistem sosial yang baik.
Jadi guru seharusnya berupaya bisa seefektif mungkin dalam mendidik siswanya dan  bisa membendung kekuatan kelompok yang bisa mengacaukan arah pembinaan anak didik serta berupaya mengubah nilai-nilai dan norma yang kurang sehat di kalangan paara siswa itu sendiri.

C.    Lingkungan Eksternal Persekolahan
Kita tahu bahwa sekolah bernaung dalam suatu wilayah eksternal yang dihuni oleh kumpulan manusia bernama masyarakat. Gejala timbal balik baik dari sekolah kepada masyarakat maupun sebaliknya merupakan realitas keseharian yang akan selalu terjadi. Keberadaan sekolah di lingkungan masyarakat kota akan jelas mempengaruhi orientasi pendidikan tersebut dibanding dengan sekolah yang terletak di pedesaan. Baik dari segi kuantitas peserta didik, maupun kompleksitas kegiatan yang terjadwal pada kegiatan-kegiatan akademik di sekolah.
Selain itu aspek kelas sosial juga memberikan pengaruh evaluasi belajar yang dilakukan oleh seorang guru. Hasil sebuah pengamatan ilmiah menegaskan ada hubungan kuat antara status orang tua siswa dengan prestasi akademis. Selain itu mobilitas aspirasi siswa, kecenderungan putus sekolah, partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler, tingkah laku pacaran siswa serta pola persahabatan di kalanngan siswa tampaknya juga dipengaruhi oleh karakter sosial ekonomis orang tua siswa.
Berikut ini beberapa implikasi yang menyebabkan terjadinya kontribusi, yaitu :[6]
                  1.            Adanya perubahan-perubahan demografis di dalam sistem sosial yang lebih besar ( masyarakat ).
Secara material akan mempengaruhi komposisi kesiswaan pada suatu sistem persekolahan , dan karenanya mungkin sekali menuntun adanya modifikasi-modifikasi kurikulum. Derasnya arus urbanisasi dari desa ke kota membawa pengaruh penting terhadap jumlah mereka yang membutuhkan persekolahan sehingga hal ini menyebabkan sekolah-sekolah di desa menjadi sepi murid sedangkan di sisi lain sekolah-sekolah di kota bisa tidak muat menampung arus peminat sekolah.
Hal ini mengungkapkan betapa pentingnya suatu pendekatan tersendiri di dalam perencanaan persekolahan, baik untuk wilayah pedesaan maupun untuk wilayah perkotaan dan hal ini masih jarang di perhatikan.
                  2.            Struktur kelas sosial di masyarakat.
Kebanyakan aspek-aspek dalam penunaian fungsi persekolahan di pengaruhi oleh fenomena kelas sosial.
                  3.            Struktur kekuasaan di masyarakat.
Pengelolaan program pendidikan di sekolah-sekolah membutuhkan topangan dana yang tidak sedikit dan hal tersebut mempengaruhi mutu pendidkan.
                  4.            Penganalisaan mengenai rantai penghubung antara sekolah dengan masyarakat.[7]
Penelitian sosiologis telah menunjukkan pengaruh dari tingkah laku para anggota Badan Pertimbangan Sekolah dan motivasinya untuk menduduki jabatan tersebut terhadap penampilan dan kepuasan kerja para penilik Kepala. Pengaruh faktor-faktor lain, seperti agama, pekerjaan, dan penghasilan terhadap para anggota badan Pertimbangan Sekolah juga ikut diteliti. Begitu pula halnya dengan tekanan dari anggota badan Pertimbangan Sekolah terhadap para administrator pendidikan.


                  5.            Benturan konflik antar peran tenaga kependidikan dengan posisi-posisi lain di masyarakat.
Getzel dan Guba menemukan bahwa banyak harapan-harapan yang terkait dengan posisi guru, pada kenyataannya telah berbenturan dengan harapan posisi lain di luar persekolahan.
 Melalaui analisis sosiologis, para praktisi pendidikan bisa secara realistis peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang berlangsung dalam konteks penyelenggaraan pendidikan. Dengan kekuatan analisis-analisis sosiologis para praktisi pendidikan bisa lebih jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya, dan personal di lingkungan kerjanya masing-masing.[8]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka terdapat beberapa kesimpulan yang dapat di tarik, antara lain:
                  1.            Sekolah sebagai suatu sistem, menurut sudut tinjauan sosiologi, juga memiliki banyak karakteristik umum. Pertama, sistem persekolahan, sebagaimana organisasi-organisasi bisnis dan rumah sakit. Kedua, dalam organisasi persekolahan terdapat suatu arus jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling terkait (seperti guru, supervisor, dan administrator) di dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
                  2.            Analisis sosiologi, secara tandas juga mengungkapkan betapa eratnya kaitan antara tingkah laku dan sikap-sikap seseorang dengan latar belakang kelompok atau aspirasi-aspirasi acuan dimaksud merupakan ‘tempat berlabuh’ yang harus diperhitungkan didalam upaya pembinaan tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya dari hasil telaah tadi, yaitu agar supaya para pengajar bisa efektif didalam mendidik siswa-siswanya.
                  3.            Dengan tinjauan dan analisis sosiologis, para prlktisi pendidikan bisa secara lenih realistis dan peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemukyang ada dan berlangsung dalam kontekspenyelenggaraan pendidikan. Dengan sokongan penglihatan dan konsep-konsep sosilogis para praktisi pendidikan dapat lebih jeli menghitung factor-faktor organisasi, budaya, personal di lingkungan kerjanya masing-masing.


B.     Saran
Terdapat beberapa saran yang disampaikan, antara lain:
1.      Para pendidik harus lebih efektif lagi dalam membendung perilaku negatif siswa denngan pembinaan tingkah laku siswa dengan mengubah nilai-nilai yang kurang baik di kalangan siswa sendiri.
2.      Para praktisi pendidikan harus lebih jeli dalam memperhitungkan faktor organisasi, budaya dan personal di lingkungan kerja masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A.1990. Psikologi Sosial. Edisi revisi. Jakarta: Rieneka Cipta.
http://googleweblight.com/?lite_url=http://biocrp27.blogspot.com/2015/11/makalah-kontribusi-sosiologi-dalam.html?m
http://googleweblight.com/?lite_url=http://srik23.blogspot.com/2013/04/kontribusi-sosiologi-dalam-pendidikan.html?m
http://aminnatul-widyana.blogspot.com/2011/07/beberapa-kontribusi-sosiologi-dalam.html
Www. scribd.com/doc/29902345/Teori-Teori-Sosiologi.



[1] http://googleweblight.com/?lite_url=http://biocrp27.blogspot.com/2015/11/makalah-kontribusi-sosiologi-dalam.html?m ( diakses pada tanggal 10 desember 2015, jam 19:20)
[2] http://googleweblight.com/?lite_url=http://srik23.blogspot.com/2013/04/kontribusi-sosiologi-dalam-pendidikan.html?m ( diakses pada tanggal 10 desember 2015, jam 19:40)
[3] Ibid html.
[4] Ibid html.
[5]Ahmadi, A.1990. Psikologi Sosial. Edisi revisi. Jakarta: Rieneka Cipta. H 66-67
[6] ] http://aminnatul-widyana.blogspot.com/2011/07/beberapa-kontribusi-sosiologi-dalam.html (diakses pada tanggal 10 desember 2015, jam 20:15)
[7] Www. scribd.com/doc/29902345/Teori-Teori-Sosiologi. (diakses pada tanggal 10 desember 2015, jam 20:34)
[8] Ibid html.
 
Makalah Konstribusi Sosiologi dalam Pendidikan , Pada: 02:17



Share to

Facebook Google+ Twitter

Related with Makalah Konstribusi Sosiologi dalam Pendidikan :

Posted by Anonymous at 02:17

0 comments :

Post a Comment

« Next Prev »
  • Beranda

Labels

  • KUMPULAN LAPORAN PPL
  • Kumpulan Makalah
  • kumpulan proposal
  • Kumpulan Proposal Skripsi
Copyright © 2016 Blog Al Imam All Rights Reserved | Sonic SEO Template