KONTRIBUSI SOSIOLOGI
DALAM PENDIDIKAN
Di
Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata
Kuliah : Sosiologi Pendidikan
Dosen
Pengampu : Dr. Asep Mulyana, M.SI.
Disusun
Oleh kelompok : 2
Arif
Rahman (1414143069)
Muhamad
Pauzi (1414142059)
Safrudin (1414142063)
Siti
Rahmawati (1414143105)
SEMESTER
: 3 T.IPS-B
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
Jln.
Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon-Jawa Barat 45132
Telp
: (0231) 481264 Faxs : (0231) 489926
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kontribusi
sosiologi pada dunia pendidikan menyajikan semacam ancar-ancar bagi praktisi
pendidikan, yaitu mengenai beberapa kontribusi spesifik dari analisis
sosiologis terhadap bidang pendidikan. Fokus bahasan ini memang pada suatu
perangkat subtantif kontribusi sosiologis yang dari padanya para praktisi
seperti guru, penilik, kepala sekolah atau pengawas dapat mengambil manfaatnya
secara realistis dan efektif di dalam lingkungan pekerjaannya masing-masing.Untuk
menggambarkan kontribusi praktis sosiologi terhadap bidang pendidikan ternyata
ada banyak pendekatan yang mungkin lazim dipergunakan. Macam-macam pendekatan
dimaksud itu dipakai juga sesuai dengan arahan bahasan ini.
Kontribusi-kontribusi spesifik dari sosiologi terhadap bidang pendidikan
tertuang dalam tigas sub judul. Ketiganya bertolak dari sorotan sosiologis
dalam menelaah persekolahan sebagai suatu sistem sosial fungsional. Pada sub judul pertama, melihat
hubungan-hubungan dalam dunia pendidikan sebahgai suatu yang berlangsung dalam
konteks latar suatu organisasi formal. Dalam hal ini, para murid, guru,
supervisor, kepala sekolah dan pengawas berinteraksi selaku pemegang posisi di
dalam suatu sistem sosial yang mempunyai tujuan kelmbagaan dan terorganisir,
yaitu untuk mendidik para anak didik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka macam-macam
tugas dalam tat organisasi persekolahan harus ditangani, terkoordinasi dan
terbadu. Dalam penyelenggaraan pendidikan terdapat sejumlah orang dengan pembagian
kerja yang rumit (complicated). Ini memerlukan arus jaringan kerja (network)
dari sejumlah peranan yang saling berhubungan dalam lingkungan organisasi
persekolahan. Pada sub judul kedua,
tinjauannya berangkat dari fakta bahwa tugas pokok persekolahan (transaksi
pendidikan) terutama berlangsung pada sistem sosial yang reklatif kecil, yaitu
di ruang kelas. Sedangkan pada sub judul ketiga, tinjauaannya bertolak dari
realitas dimana sistem persekolahan tidak pernah terlepas dari lingkungan
luarnya. Seperti pada semua organisasi, ia dipengaruhi pula oleh
kekuatan-kekuatan eksternalnya. Ketiga tinjauan tersebut diajukan sebagai
ancar-ancar untuk menunjukkan beberapa kontribusi sosiologi bagi para praktisi
di dunia pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
Sehubungan latar belakang masalah telah kami uraikan di
atas, maka ada beberapa masalah yang akan kami rumuskan. Adapun permasalahan
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Mengapa sistem persekolahan sebagai suatu
organisasi formal?
2.
Bagaimana kegiatan kelas sebagai suatu sistem
sosial?
3.
Apa saja yang mempengaruhi lingkungan eksternal
persekolahan?
C.
Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, makalah ini disusun
dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskrisipsikan :
1.
Mendeskripsikan sistem persekolahan sebagai suatu
sistem organisasi formal
2.
Mendeskripsikan kegiatan kelas sebagai suatu
sistem social
3.
Mendeskripsikan lingkungan eksternal persekolahan
D.
Metode Penulisan
Metode penulisan yang saya gunakan adalah metode pustaka
yang di ambil dari berbagai sumber referensi yaitu buku dan internet.
BAB II
PEMBAHASAN
Kontribusi Sosiologi Dalam Pendidikan
A.
Sistem Persekolahan Sebagai Sistem Organisasi
Formal
Sekolah sebagai
suatu sistem, menurut sudut tinjauan sosiologi, juga memiliki banyak
karakteristik umum sebagaimana pada jenis-jenis organisasi lainnya yang
berskala luas. Dua diantara karakteristik tersebut, kiranya relevan dengan
maksud bahasan ini.
1.
Sistem persekolahan, sebagaimana
organisasi-organisasi bisnis dan rumah sakit, jelas mempunyai suatu tujuan
organisasi. Tujuan itulah yang menjadi arah dan mengarahkan sistem sosial
bersangkutan.
2.
Dalam organisasi persekolahan terdapat suatu arus
jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling terkait (seperti guru,
supervisor, dan administrator) di dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan “model
organisasi” dapat dikatakan bahwa tugas persekolahan itu adalah untuk
memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada anak didik, dan karena itulah
para guru diperkerjakan. Dalam hubungan ini, para supervisor berfungsi membina
para guru supaya dapat bertugas secara efektif, dan tugas formal para
administrator sekolah adalah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai
ragam aktivitas dalam lingkungan sistem persekolahan. Para pemegang posisi
mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungannya dengan para pemegang
posisi lain di dalam sistem interaksi mereka. Sejalan dengan bahasan mengenai
aspek struktur organisasi persekolahan tersebut, secara implisit, sepertinya
ada dua asumsi yang sebenarnya masih patut dipertanyakan. Pertama, bahwa ada
kesamaan pandangan atau pendapat mengenai tujuan organisasi persekolahan.
Kedua, bahwa ada dua kesamaan pandangan atau pendapat mengenai hak dan
kewajiban masing-masing di dalam tata hubungan antar posisi/fungsi. Sehubungan
dengan kedua asumsi tersebut, analisis sosiologis tidak begitu saja
meyakininya, bahkan menyarankan untuk ditelaah benar tidaknya. Sebab dalam
kenyataan, dapat saja begitu tipisnya kesepakatan para pemegang posisi mengenai
tujuan organisasi sekolah, dan juga mengenai batasan perannya masing-masing.
Padahal faktor tersebut merupakan elemen pokok untuk dapat berfungsi dengan
baik atau tidaknya sistem persekolahan.
Organisasi formal sistem persekolahan, sebenarnya
kabur tujuan dan cenderung membingungkan. Hal ini bertolak dari suatu
perbandingan dengan tipe-tipe organisasi formal lainnya, misalnya perusahaan
yang bergerak di bidang bisnis ekonomi. Pada perusahaan bisnis, selaku
organisasi formal, tujuannya sangat jelas dan tidak membingungkan, yaitu
memproduksi barang atau jasa guna mendapatkan keuntunagan. Serikat buruh
mungkin saja ‘bertengkar’ dengan pemilik perusahaan mengenai soal pembagian
keuntungan, tetapi tidak mengenai tujuan organisasi itu sendiri. Situasinya
agak berbeda apabila diperbandingkan dengan organisasi formal sitem
persekolahan. Kata-kata “untuk mendidik anak-anak” merupakan pernyataan kabur
yang kurang berarti, kecuali kalau tujuan pendidikan tersebut lebih
dispesifikasikan.
Menspesifikasikan
tujuan pendidikan mengundang permasalahan nilai-nilai, seperti tentang tanggung
jawab masing-masing antara sekolah dengan rumah tangga, atau tentang makna dari
suatu “pendidikan yang baik”. Apakah sekolah itu harus menekankan upayanya pada
pengembangan intelektual, sosial, ataukah emosional anak-anak? Apakah sekolah
itu mempunyai kewajiban yang berbeda terhadap anak-anak yang normal dan
anak-anak yang berkelainan? Apakah latihan mengemudi, pendidikan jasmani,
pelajaran ekonomi dan industri rumah tangga bisa dilakukan atau tidak sebagai
fungsi sekolah? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya yang berhubungan
dengan tujuan organisasi persekolahan. Masing-masing pertanyaan berharga
dimaksud dapat menjadi sangat berbeda dan bahkan bertentangan di dalam
memandang serta mensikapinya, baik di kalangan orang dalam maupun luar sistem
persekolahan
Asumsi kedua yang
menyatakan adanya kesamaan pendapat mengenai batasan peranan para pemegang
posisi pendidikan, juga tampil sebagai sesuatu yang patut diragukan. Memang
buku-buku teks berbicara banyak dan tegas tentang peranan guru dan
administrator pendidikan, seolah-olah semua orang menyetujuinya, dan banyak
praktisi pendidikan berasumsi demikian. Pada kenyataannya mereka yang bekerja
bersama-sama dalam dunia pendidikan, seringkali tidak memiliki pandangan atau
pendapat yang sama mengenai hak dan kewajiban yang terkait dengan posisinya
masing-masing.
Haruskah para guru
diharapkan menghadiri pertemuan pertemuan regular organisasi profesi mereka?
Apakah pekerjaan guru juga termasuk melakukan bimbingan dan konseling? Apakah kewajiban
guru terhadap anak cerdas atau anak dungu? Apakah tugas guru dalam dalam
masalah-masalah kedisiplinan anak? Haruskah guru-guru diharapkan ikut serta
pada program-program latihan dalam jabatan? Apakah para guru mempunyai hak
untuk mendapatkan pembelaan dari atasannya apabila mendapatkan protes atau
pengaduan dari orang tua murid? Dalam hal-hal tadi, dan masih banyak lagi yang
lainnya yang berhubungan dengan peranan guru, mungkin sekali ada ketidaksamaan
pendapat diantara para guru dengan kepala sekolah dan bahkan antara kalangan
para guru sendiri. Dan dalam hal ini diperkirakan akan muncul adanya konflik
peranan intern.Yang dimaksud dengan konflik peranan intern, ialah konflik
harapan dari pihak lainnya yang dihadapkan pada para pemegang satu posisi
tertentu. Para guru, dihadapkan dengan harapan yang saling berbeda dan
bertentangan dari kepala sekolahnya, penilik, petugas konseling, administrator
pendidikan, orang tua murid dan bahkan dari muridnya sendiri. Para kepala
sekolah dihadapkan dengan konflik harapan dari Penilik Kepala, dan juga para
stafnya sendiri di dalam penanganan beberapa hal, misalnya tentang supervisi
pengajaran di kelas, penindakan kasus-kasus kedisiplinan, dan sebagainya. Para
administrator dikonfrontasikan dengan konfik harapan dari para stafnya.
Misalnya, beberapa guru mengharapkan kepala sekolahnya supaya membawa setiap
masalah sekolah ke dalam rapat dewan guru, sedangkan sebagian lainnya tidak
mengharapkan membuka semua permasalahan di forum rapat dewan guru. Sebagai
tambahan seringkali para orang tua dan guru mempunyai harapan yang kontradiksi
mengenai apa-apa yang mestinya dilakukan kepala sekolah, misalnya di dalam
penanganan masalah kedisiplinan siswa, besarnya penerimaan murid baru,
pelulusan siswa, dan sebagainya. Dalam hubungan ini, Penilik Kepala termasuk
posisi yang kerapkali dihadapkan pada konflik peranan intern. Sumber utama dari
lahirnya konflik harapan tersebut, kiranya terletak pada adanya pandangan yang
berbeda dari Penilik Kepala, para kepala sekolah juga acapkali harus menghadapi
harapan-harapan yang kontradiktif, yaitu dari para guru, Penilik, orang tua
murid, dan terlebih sulit lagi apabila datangnya dari Badan Pertimbangan
Sekolah.Untuk diingat, memandang sekolah sebagai suatu organisasi formal, dari
kacamata sosiologis mengisyaratkan adanya rintangan organisasi yang besar untuk
dapat berfungsi secara efektif. Sebagai terlihat dalam bahasan tadi, telah
ditandaskan adanya dua faktor penyebab, yaitu : kurangnya kata kesepakatan
mengenai tujuan organisasi sekolah itu sendiri, dan kurangnya kesepakatan
tentang batasan peranan dari masing-masina pemegang posisi kependidikan.
B.
Kegiatan Kelas Sebagai Suatu Sistem Sosial
Pada dasarnya, proses-proses pendidikan
yang sesungguhnya adalah interaksi kegiatan yang berlangsung di ruang kelas.
Untuk keperluan tersebut pembahasan mengenai kegiatan kelas menempati sub-topik
tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut sosiologi beberapa
pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis untuk mengamati proses-proses
yang terjadi di ruang kelas.
Berdasarkan pandangan mengenai fungsi
proses belajar di kelas terdapat kegiatan kelas yang mengandung sistem sosial,
yaitu :
1.
Kompetisi/persaingan
Analisis Coleman tentang struktur kompetisi beserta
pengaruhnya terhadap prestasi belajar, secara nyata mempunyai implikasi untuk
mengisolasikan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi “hasil belajar” suatu kelas.
2. Sosio metrik (suka/tidak suka)
Dalam
hubungan ini, kontribusi empiris utama dari para sosiologi adalah struktur sosiometrik
di kelas, dan memilih sumber-sumber tekanan dan ketegangan yang dihadapi
guru-guru dikelas. Dalam hubungannya kepala sekolah pemegang kekuasaan di
sekolah sudah tentu perlu mengawasi, mengkoordinasi, dan memadukan semua
kegiatan yang berlangsung di sekolah, termasuk juga terhadap sajian pelajaran
yang diberikan harus sesuai dan persis dengan kurikulum. Guru dituntut untuk
bekerja sebagaimana budak dalam kurikulum dan tidak memberikan kebebasan pada
guru dalam mengajar. Jika tidak sama dengan kurikulum, maka kepala sekolah bisa
memberikan sanksi-sanksi tertentu. Seharusnya para guru memiliki kebebasaan
yang sepantasnya mengenai pengembangan proses pembelajaran di kelas. Adanya
kekuasaan tersebut merupakan sumber kekecewaan para guru dan itu dapat mengacaukan
pengajaran di kelas karena adanya jarak sosial dan hubungan yang kurang erat
antar guru dan kepala sekolah.
3. Konflik (guru dgn murid) norma anak yang menyendiri
Sumber ketegangan lain adanya perbedaan norma antara
yang dianut guru-guru dengan norma yang dianut siswa didalam hubungannya dengan
perilaku siswa. Adanya kerangka acuan yang berbeda antara guru dan murid memang
terjadi pada kebanyakan kelas.
Para guru mengharapkan murid berprestasi sebaik
mungkin sesuai dengan potensi yang dimiliki, namun para siswa tidak seberapa
tahu dengan apa yang menjadi harapan pengajaran tadi. Dan tidak adanya
kebermaknaan dalam proses pembelajaran. Para siswa lebih berorientasi pada
nilai-nilai dikalangan mereka sendiri daripada secara semangat mengikuti apa
yang diinginkan guru.
Telaah sosiometrik mengungkapkan bahwa ruang kelas,
didalamnya terdapat anak-anak idiola dan penyendiri; mengenai para guru hasil
penelitian menunjukkkan bahwa kerapkali guru tidak mengetahui hubungan-hubungan
antar pribadi dikelas.
Mereka tidak menunjukkan kepekaan yang tinggi mengenai
bagaimana sesungguhnya para muridnya berinteraksi diantara satu dengan yang
lainnya, dan mereka sering kali membiarkan pribadinya bias dalam menghadapi
para siswanya ketimbang menggunakan sumber-sumber potensial yang menyebabkan
ketegangan kejiwaan guru pengajar di kelas, salah satunya karena benturan
antara struktur otoritas sekolah dengan status profesional guru itu sendiri.
Anak-anak penyendiri dikalangan teman-teman
sekelasnya, ditunjukan betapa besar pengaruh kekuatan kelompok teman sekelas
terhadap anak-anak penyendiri tersebut. Rintangan untuk menyembuhkan
kemenyendirian tersebut bukanlah terletak didalam anak itu sendiri, tetapi
malah di dalam konteks kelas itu sendiri. Implikasi penting seharusnya guru
dapat dan petugas konseling dapat mensikapi anak penyendiri. Selama ini hanya
ditangani dengan bimbingan individual padahal sebenarnya iklim kelempoklah
penyembuhan anak penyendiri tersebut. Untuk itu guru harus dapat
mengeksplorasikan bagaimana adanya kehidupan kelas sebagai suatu sistem sosial
yang baik.
Jadi guru seharusnya berupaya bisa seefektif mungkin
dalam mendidik siswanya dan bisa membendung kekuatan kelompok yang
bisa mengacaukan arah pembinaan anak didik serta berupaya mengubah nilai-nilai
dan norma yang kurang sehat di kalangan paara siswa itu sendiri.
C.
Lingkungan Eksternal Persekolahan
Kita
tahu bahwa sekolah bernaung dalam suatu wilayah eksternal yang dihuni oleh
kumpulan manusia bernama masyarakat. Gejala timbal balik baik dari sekolah
kepada masyarakat maupun sebaliknya merupakan realitas keseharian yang akan
selalu terjadi. Keberadaan sekolah di lingkungan masyarakat kota akan jelas
mempengaruhi orientasi pendidikan tersebut dibanding dengan sekolah yang
terletak di pedesaan. Baik dari segi kuantitas peserta didik, maupun
kompleksitas kegiatan yang terjadwal pada kegiatan-kegiatan akademik di
sekolah.
Selain
itu aspek kelas sosial juga memberikan pengaruh evaluasi belajar yang dilakukan
oleh seorang guru. Hasil sebuah pengamatan ilmiah menegaskan ada hubungan kuat
antara status orang tua siswa dengan prestasi akademis. Selain itu mobilitas
aspirasi siswa, kecenderungan putus sekolah, partisipasi siswa dalam kegiatan
ekstrakurikuler, tingkah laku pacaran siswa serta pola persahabatan di
kalanngan siswa tampaknya juga dipengaruhi oleh karakter sosial ekonomis orang
tua siswa.
Berikut
ini beberapa implikasi yang menyebabkan terjadinya kontribusi, yaitu :
1.
Adanya perubahan-perubahan demografis di dalam sistem
sosial yang lebih besar ( masyarakat ).
Secara
material akan mempengaruhi komposisi kesiswaan pada suatu sistem persekolahan ,
dan karenanya mungkin sekali menuntun adanya modifikasi-modifikasi
kurikulum. Derasnya arus urbanisasi dari desa ke kota membawa pengaruh
penting terhadap jumlah mereka yang membutuhkan persekolahan sehingga hal ini
menyebabkan sekolah-sekolah di desa menjadi sepi murid sedangkan di sisi lain
sekolah-sekolah di kota bisa tidak muat menampung arus peminat sekolah.
Hal
ini mengungkapkan betapa pentingnya suatu pendekatan tersendiri di dalam
perencanaan persekolahan, baik untuk wilayah pedesaan maupun untuk wilayah
perkotaan dan hal ini masih jarang di perhatikan.
2.
Struktur kelas sosial di masyarakat.
Kebanyakan
aspek-aspek dalam penunaian fungsi persekolahan di pengaruhi oleh fenomena
kelas sosial.
3.
Struktur kekuasaan di masyarakat.
Pengelolaan
program pendidikan di sekolah-sekolah membutuhkan topangan dana yang tidak
sedikit dan hal tersebut mempengaruhi mutu pendidkan.
4.
Penganalisaan mengenai rantai penghubung antara
sekolah dengan masyarakat.
Penelitian
sosiologis telah menunjukkan pengaruh dari tingkah laku para anggota Badan
Pertimbangan Sekolah dan motivasinya untuk menduduki jabatan tersebut terhadap
penampilan dan kepuasan kerja para penilik Kepala. Pengaruh faktor-faktor lain,
seperti agama, pekerjaan, dan penghasilan terhadap para anggota badan
Pertimbangan Sekolah juga ikut diteliti. Begitu pula halnya dengan tekanan dari
anggota badan Pertimbangan Sekolah terhadap para administrator pendidikan.
5.
Benturan konflik antar peran tenaga kependidikan
dengan posisi-posisi lain di masyarakat.
Getzel
dan Guba menemukan bahwa banyak harapan-harapan yang terkait dengan posisi
guru, pada kenyataannya telah berbenturan dengan harapan posisi lain di luar
persekolahan.
Melalaui analisis sosiologis, para praktisi
pendidikan bisa secara realistis peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang
berlangsung dalam konteks penyelenggaraan pendidikan. Dengan kekuatan
analisis-analisis sosiologis para praktisi pendidikan bisa lebih jeli
memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya, dan personal di lingkungan
kerjanya masing-masing.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah dipaparkan, maka terdapat beberapa kesimpulan yang dapat
di tarik, antara lain:
1.
Sekolah sebagai suatu sistem, menurut sudut
tinjauan sosiologi, juga memiliki banyak karakteristik umum. Pertama, sistem
persekolahan, sebagaimana organisasi-organisasi bisnis dan rumah sakit. Kedua,
dalam organisasi persekolahan terdapat suatu arus jaringan kerja dari sejumlah
posisi yang saling terkait (seperti guru, supervisor, dan administrator) di
dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
2.
Analisis sosiologi, secara tandas juga
mengungkapkan betapa eratnya kaitan antara tingkah laku dan sikap-sikap
seseorang dengan latar belakang kelompok atau aspirasi-aspirasi acuan dimaksud
merupakan ‘tempat berlabuh’ yang harus diperhitungkan didalam upaya pembinaan
tingkah laku siswa. Konsekuensi pentingnya dari hasil telaah tadi, yaitu agar
supaya para pengajar bisa efektif didalam mendidik siswa-siswanya.
3.
Dengan tinjauan dan analisis sosiologis, para
prlktisi pendidikan bisa secara lenih realistis dan peka mengkaji
kekuatan-kekuatan majemukyang ada dan berlangsung dalam kontekspenyelenggaraan
pendidikan. Dengan sokongan penglihatan dan konsep-konsep sosilogis para
praktisi pendidikan dapat lebih jeli menghitung factor-faktor organisasi,
budaya, personal di lingkungan kerjanya masing-masing.
B.
Saran
Terdapat beberapa
saran yang disampaikan, antara lain:
1.
Para pendidik harus lebih efektif lagi dalam
membendung perilaku negatif siswa denngan pembinaan tingkah laku siswa dengan
mengubah nilai-nilai yang kurang baik di kalangan siswa sendiri.
2.
Para praktisi pendidikan harus lebih jeli dalam
memperhitungkan faktor organisasi, budaya dan personal di lingkungan kerja
masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A.1990. Psikologi Sosial. Edisi revisi.
Jakarta: Rieneka Cipta. H 66-67