PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Teori interaksionisme simbolik merupakan teori dalam
sosiologi modern. Di dalamnya berintikan pemikiran penting dari berbagai tokoh
sosiologi terutama George Herbert Mead. Teori ini memusatkan perhatian lebih
kepada individu, tentang bagaimana individu berinteraksi dengan individu lain
dengan menggunakan simbol-simbol yang signifikan berupa bahasa.
Interaksionisme simbolik berkembang pesat pada abad
19-20-an di Chicago. Mead merupakan cikal bakal munculnya teori interaksionisme
simbolik dengan pemikirannya “The Teorethical Perspective”. Teori ini berfokus
pada tindakan dan makna dalam masyarakat. Setelah memperoleh suatu makna,
manusia akan bertindak sesuai dengan makna tersebut.
Teori ini dipengaruhi juga oleh Max Weber dengan
teori tindakan sosialnya. Selain itu pemikiran tokoh-tokoh lain seperti Herbert
Blumer, Erving Goffman, Charles Horton Cooley dan William I. Thomas.
Dengan pembahasan mengenai teori interaksionisme
simbolik diharapkan agar kita dapat lebih mengetahui fenomena sosial dengan
pencermatan individu. Sehingga bisa untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial
dalam masyarakat.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apakah pengertian dari
struktural fungsional ?
2. Apakah yang dimaksud dengan
struktural konflik ?
3. Apakah yang dimaksud dengan
teori interaksionisme simbolik ?
4. Apakah yang dimaksud dengan
etnometodologi ?
C. TUJUAN
1. Kita bisa mengetahui
pengertian dari struktural fungsional
2. Kita bisa mengetahui apa
yang dimaksud struktural konflik
3. Kita
dapat mengetahui apa atu teori interaksionisme simbolik
4. Kita bisa mengetahui arti
dari etnometodologi
BAB II
PEMBAHASAN
A. TEORI
STRUKTURAL FUNGSIONAL
a. Pengertian
Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional berkaitan erat dengan
sebuah struktur yang tercipta dalam masyarakat. Struktural – fungsional, yang
berarti struktur dan fungsi. Artinya, manusia memiliki peran dan fungsi masing
– masing dalam tatanan struktur masyarakat. Hal ini tentu telah menjadi
perhatian oleh banyak ilmuwan sosial, dari zaman klasik hingga modern. Teori –
teori klasik fungsionalisme diperkenalkan oleh Comte, Spencer, dan E. Durkheim,
serta fungsionalisme modern yang diteruskan oleh Robert K. Merton dan Anthony
Giddens.
Jika salah satu atau dua individu tidak dapat
menjalankan fungsi dan perannya dengan baik, maka akan sangat menganggu sistem
kehidupan.
b. Struktural
Fungsional Klasik
Di awal – awal kelahiran teori fungsionalisme. August
Comte berpikir agar ilmu – ilmu sosial tetap menjadi ilmiah, dan memandang
biologi sebagai dasar melihat perkembangan manusia, hingga lahirlah ilmu
sosiologi. Dalam kajiannya, teori fungsionalisme mempelajari struktur dalam
masyarakat seperti halnya perkembangan manusia dalam struturasi organisme.
Spencer menyebutkan, “Jika salah satu organ mengalami ‘ketidak beresan’ atau
‘sakit’, maka fungsi dari bagian tubuh yang lain juga akan terganggu.” Hal yang
sama terjadi pada sebuah tatanan kesatuan dalam masyarakat. Jika salah satu
atau dua individu tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik, maka
akan sangat menganggu sistem kehidupan.
Masyarakat adalah sebuah kesatuan yang terdiri dari
beragam individu dengan latar belakang politik, budaya, sosial, dan ekonomi
yang berbeda. Dalam pandangan Robert K. Merton yang diteruskan dari Comte,
Spencer, dan E. Durkheim, masyarakat cenderung mengalami perubahan seiring
dengan perkembangan zaman. Jika perubahan tersebut kearah positif, maka dapat
disebut sebagai masyarakat berfungsi, namun jika terjadi hal sebaliknya, maka
dapat disebut sebagai masyarakat tidak berfungsi (disfungsional). Menurut Comte
dan Spencer, perkembangan masyarakat bermula dari kesederhanaan hingga akhirnya
menuju pada masyarakat positif, dengan pembagian struktur yang juga semakin
kompleks, dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Dalam arti lain,
seperti teori Karl Marx dalam pembagian kelas. Yang menyebutkan bahwa
masyarakat berubah dari masyarakat primitif dengan struktur proletarian
(pemilik tanah dan buruh), masyarakat Industri (pemilik modal dan buruh
industri), lalu masyarakat modern (kapitalis).
Penekanan yang terjadi pada teori
fungsionalis struktural bersumber pada bagaimana dalam perkembangan tersebut
mencakup keragamannya, tercipta sebuah keseimbangan (equilibrium) atau dinamic
equlibrium (keseimbangan berjalan). Notebene, berasal dari fungsi dan
peran masing – masing individu yang ada dalam masyarakat.Parsons menyebutkan,
keseimbangan dapat tercipta dengan konsep adaptation (adaptasi), goals
(tujuan), integration (integrasi), dan latern pattern maintenance (pemeliharaan
pola-pola). Adaptation, yang berarti dilaksanakan oleh masing –
masing individu, terhadap pengaruh baru yang masuk. Integrasi, mencakup
bagaimana fungsi dan peran dalam masyarakat saling terhubung (connected).
Tujuan, jelas merupakan tujuan umum yang ingin dicapai oleh masyarakat tersebut
dibantu oleh norma – norma yang dimiliki, dan sanksi terhadap pelanggaran
norma. Meski terjadi konflik pun, dapat diatasi dengan penyesuaian – penyesuaian
dan institusionalisasi (Nasikun, 1984 : 11). Lattern Pattern Maintenance,
sub – konsep yang terakhir ini merupakan pemeliharaan pola – pola, dimana suatu
masyarakat memiliki peluang untuk menjaga tatanan sistem yang sudah terbentuk.
Sekali lagi, meski terdapat ‘penyakit sosial’ atau pelanggaran norma yang
mungkin terjadi, tidak akan mampu merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Konsep AGIL oleh Parsons diatas digunakan untuk
bertahan (defensed) dalam sebuah struktur fungsionalisme. Tentu, sebuah tatanan
masyarakat akan dipengaruhi oleh subsistem yang ada didalamnya (struktur
fungsionalisme) diantaranya ; subsistem ekonomi, perubahan ekologis (lingkungan
tempat tinggal), politik, kebudayaan, dan sosialisasi (David Easton dan Talcott
Persons). Karena menurut Mallinowski, terdapat empat unsur fungsionalisme
mencakup (1) sistem norma yang memungkinkan kerjasama antar individu dalam
masyarakat, (2) organisasi ekonomi (baik swadaya maupun bentukan pemerintah),
(3) alat – alat pendidikan, (4) organisasi kekuatan (politik), yakni regulasi
(peraturan/kebijakan) yang dibuat oleh pemerintah atau daerah setempat.
Struktural fungsionalisme berjalan melalui individu –
individu (invidu Act) sebagai aktor dengan menjalankan fungsi dan perannya
masing – masing melalui bentuk adaptasi terhadap subsistem struktural
fungsionalisme, yang menghasilkan sebuah tindakan (unit aksi). Dari unit aksi
inilah kemudian terjadi sistem aksi (act system) dimana masyarakat telah
menemukan tujuan dari aksi tersebut. Sehingga terbentuklah sebuah tatanan
masyarakat dengan keunikannya tersendiri. Nantinya, akan mengalami perubahan
yang lebih kompleks.
c. Struktural
Fungsional Modern
Teori struktural fungsional juga mengalami perubahan
seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks. Jika diawal –
awal lahirnya teori ini diprakarsai oleh Comte, Parsons, dan E. Durkehim dengan
menyesuaikan jiwa jaman (Geiisweitch) saat itu, yakni keadaam dimana masyarakat
masih begitu sederhana. Maka dalam perkembangan yang lebih lanjut, teori
struktural fungsional klasik tersebut dinilai ‘kurang’ sesuai dengan
perkembangan masyarakat saat ini yang lebih kompleks. Sehingga munculah teori –
teori baru yang diteruskan oleh Robert K. Merton (1910 – 2003), dan Anthonny
Giddens (1938 – sekarang). Robert K. Merton yang lebih menitikberatkan
kajiannya terhadap perubahan sosial dan Anthonny Giddens dengan strukturisasi
masyarakatnya.
Dalam masyarakat yang lebih kompleks, pembatasan
terhadap teori fungsional dinilai perlu dilakukan, dimana perubahan – perubahan
kerap terjadi. Robert K. Merton mengakui bahwa teori fungsionalisme klasik
telah banyak membantu bagi perkembangan studi kemasyarakatan, namun tidak dapat
menjawab permasalahan sosial secara keseluruhan. Menurut Merton dan Giddens,
tindakan sosial (act social) tidak pernah terlepas dari struktur sosial.
Raclidffe brown menyebutkan, pembagian dalam masyarakat beserta ide mengenai
strata yang membedakan agama, ras, dan suku tersebut dipengaruhi oleh peraturan
– peraturan dan hukum yang sedang berlaku di sekitar lingkungan masyarakat.
Ada keterkaitan antara struktur sosial dengan perilaku
dan adaptasi individu. Lower class (masyarakat bawah) misalnya,
cederung memiliki kesempatan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan
masyarakat kelas atas. Tentu hal ini berakibat pada keresahan, frustasi, dan
kekecewaan terhadap individu – individu tertentu, sehingga dapat menghasilkan
perubahan sosial dengan adaptasi tertentu. Masih menurut Merton, adaptasi dalam
teori struktural fungsional terbagi menjadi 5 jenis yakniconformity (keadaan
tetap pada keadaan sosial yang lama), Inovation (terdapat
perubahan cara untuk menggapai tujuan dalam masyarakat), Ritualism (bentuk
penolakan terhadap pengaruh – pengaruh baru), Retreatism (bentuk
penarikan diri individu dengan cara melakukan penyimpangan sosial), dan Rebellion yang
berarti pemberontak, dan berani mengubah tatanan struktur sosial secara
keseluruhan.
Dalam teori Giddens, perubahan sosial yang terjadi
memerlukan struktur sosial (recurrent social practise) sebagai sarana dan sumber
daya untuk melakukan tindakan sosial. Perubahan sosial yang juga dipengaruhi
oleh subsistem (ekonomi, budaya, politik, dan sosialisasi) dan struktur teori
fungsionalisme (norma, organisasi ekonomi, alat pendidikan, dan politik
kebijakan pemerintah), membutuhkan jarak (space) saat praktiknya dimulai,
notabene tidak semua ritual lama ditinggalkan oleh masyarakat.
B. TEORI
STRUKTURAL KONFLIK
a. Pengertian
Teori Struktural konflik merupakan teori sosial
yang menjelaskan bahwa jika masyarakat itu tidak setara, maka manusia tidak
hanya dihambat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang dipelajari melalui
sosialisasi. Teori ini berpendapat bahwa manusia juga dibatasi oleh kemudahan
yang ia miliki oleh posisinya dalam struktur ketidak setaraan dalam masyarakat
mereka. Ini menekankan pengaruh perilaku dari distribusi kemudahan yang tidak
merata yang dalam masyarakat biasanya. Jika dikaitkan dengan teori
Struktural konflik maka masyarakat cederung melihat posisi yang mana yang
untung dan yang mana yang dirugikan.
Ada beberapa struktur ketidaksetaraan di masyarakat.
Kelompok etnik mungkin tidak setara, muda dan tua mungkin tidak setara,
laki-laki dan perempuan mungkin tidak setara, orang-orang yang memiliki
pekerjaan yang berbeda bisa tidak setara, orang-orang yang berbeda agama bisa
tidak setara, dan seterusnya. Kemudahan yang tidak setara yang melekat pada
kelompok tersebut juga bermacam-macam. Berbagai kelompok bisa memiliki
kekuasaan, wewenang, prestise, kekayaan atau kombinasi unsur-unsur tersebut
dengan kemudahan lainnya.
Berbeda dengan berbagai pusat perhatian teori konflik
berbasis ketidak setaraan, dan bermacam kemudahan yang mereka anggap tersebar
tidak setara, teori-teori tersebut memiliki kesamaan aksioma bahwa asal-usul
dan persistensi struktur ketidak setaraan terletak pada dominasi atas
kelompok-kelompok yang tidak beruntung itu oleh kelompok-kelompok yang
beruntung. Menurut Wes Sharrock disebut teori konflik demikian karena bagi
teori-teori ini, yang melekat pada masyarakat yang tidak setara adalah konflik
kepentingan yang tak terhindari antara “yang berpunya” dan “ yang tidak
berpunya”.
b. Kaitan Dengan Teori
Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat bentuk-bentuk
konsensus pela gandong tidak lain dan tidak bukan adalah
merupakan upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini Islam—untuk memaksakan
pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat
untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa. Selanjutnya, menurut teori
Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya mengelabui
terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan mengangkat
konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.
Marx mengakui
pentingnya ideologi dan hubungan antara komitmen ideologi dan posisi dalam
struktur kelas ekonomi, ia juga menjelaskan secara mendalam mengenai
bentuk-bentuk kesadaran dengan dan dalam hubungannya dengan struktur ekonomi
dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan antara kepercayaan individu dan
nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan bukan suatu hal yang ditentukan
atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi Marx, validitas kepercayaan
seseorang serta nilainya ditentukan atas suatu dasar filosofis. Hal ini
tercermin dalam pembedaan Marx antara “kesadaran palsu” dan “kesadaran
sesungguhnya”. Selanjutnya Marx berpendapat, bahwa orang-orang yang berada pada
posisi marjinal seperti buruh, tidak akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
melalui pekerjaannya atau mereka tidak mampu untuk mengutarakan suatu bentuk
jenis pekerjaan apapun yang bersifat manusiawi. Oleh sebab itu, jika seorang
pekerja terlihat sangat tekun dalam melaksanakan pekerjaannya, dan tidak
mempunyai keinginan untuk memprotes, serta tidak ingin terlibat dalam suatu
perjuangan revolusioner dalam memperbaiki nasibnya, menurut Marx hal ini jelas
merupakan bukti kesadaran palsu. Ini berarti bahwa pekerja seperti
itu terasing atau diasingkan dari dirinya dan kebutuhan-kebutuhan manusiawinya.
Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan pada teori konflik Marx , sangat
jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada satu kelompok, dan secara nyata
terlihat bahwa potensi-potensi tindakan-tindakan pengklaiman golongan
yang satu terhadap golongan yang lain, sangat diharamkan terjadi dan dihambat
serta ditindas oleh pemerintah orde baru sedini mungkin, sehingga terjadi suatu
kesadaran palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang
termarjinalisasi (dalam hal ini pihak Kristen) untuk tidak menentang terjadinya
proses-proses pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini menumpuk
hingga selama 32 tahun, sehingga akhirnya berakhir melalui suatu “perjuangan
revolusioner” berupa kerusuhan untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang
dianggap dominan yaitu pihak Islam. Sesungguhnya, kurangnya perjuangan
revolusioner terbuka tidak perlu harus menunjukkan adanya kesadaran palsu, oleh
karena bisa jadi bahwa kondisi materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu.
Demikian juga, orang-orang dari kelas subordinat pasti tidak bisa diharapkan
untuk puas dengan posisi kelasnya jika mereka mengetahui apa kebutuhan dan
kepentingan mereka yang sesungguhnya sebagai manusia.
C. TEORI
INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu
cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the
self) dan dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking
glass self. Artinya setiap hubungan sosial di mana seseorang itu terlibat
merupakan satu cerminan diri yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri.
Jadi maksudnya kita bisa melihat atau mengoreksi diri kita dengan melalui orang
lain. Esensi dari teori ini adalah simbol dan makna. Makna adalah hasil dari
interaksi sosial. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, ia berusaha
mencari makna yang cocok dengan orang tersebut. Kita juga berusaha
mengintepretasikan maksud seseorang melalui simbolisasi yang dibangun.
Seperti namanya, teori ini berhubungan dengan media
simbol dimana interaksi terjadi. Tingkat kenyataan sosial sosial yang utama
yang menjadi pusat perhatian interaksionisme simbolik adalah pada tingkat
mikro, termasuk kesadaran subyektif dan dinamika interaksi antar pribadi.
Teori interaksionisme simbolik memberikan gambaran
mengenai hakikat kenyataan sosial yang berbeda secara kontras yang terdapat
dalam interaksionisme simbolik. Bagi interaksionisme simbolik, organisasi
sosial tidak menentukan pola-pola interaksi. Organsisasi muncul dari proses
interaksi.
Akar dari teori interaksionisme simbolik yang
merupakan yang terpenting dalam karya Mead adalah pragmatisme dan
behaviorisme. Pragmatisme adalah pemikiran filsafat yang meliputi banyak hal.
Ada beberapa aspek pragmatisme yang mempengaruhi orientasi sosiologis. Namun
diantara empat aspek itu ada tiga yang penting bagi interaksionisme simbolik.
Pertama, adalah memusatkan perhatian pada interaksi antara aktor dan dunia
nyata. Kedua, memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai proses dinamis
dan bukan sebagai struktur statis. Ketiga, arti penting yang dihubungkan kepada
kemampuan aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial. Sementara behaviorisme
berpendapat bahwa manusia harus dipahami berdasarkan apa yang harus dilakukan.
Pemikiran terpenting dalam interaksionisme
simbolik adalah pemikiran George H. Mead. Menurut Mead dari dunia sosial
itulah muncul kesadaran, pikiran, diri, dan seterusnya atau yang terkenal dalam
buku Mead yaitu Mind, Self, and Society. Menurut Mead dalam
tindakan sosial ada empat tahapan yang saling berhubungan. Yaitu impuls,
persepsi, manipulasi, dan konsumiasi. Mead juga mengatakan bahwa dalam tindakan
sosial ada mekanisme dasarnya yaitu sikap isyarat. Sikap isyarat ini bisa
berupa isyarat signifikan dan isyarat nonsignifikan. Isyarat sisgnifikan ini
berupa bahasa yang merupakan fakttor penting dalam pekembangan khusus kehidupan
manusia. Bahasa ini menjadi simbol signifikan yang membedakan manusia dengan
binatang. Binatang bisa membuat isyarat suara tapi isyarat suara itu tak
sisgnifikan bagi binatang lain. Hanya manusia yang bisa membuat simbol
signifikan yang disebut bahasa. Bahasa ini punya fungsi menggerakkan tanggapan
yang sama di pihak individu yang berbicara dan juga di pihak lannya. Isyarat
signifikan ini merupakan isyarat yang jauh lebih efektif dan memadai untuk
saling menyesuaikan diri dalam tindakan sosial menurut Mead daripada isyarat
nonsignifikan. Yang paling penting dari teori Mead ini adalah fungsi lain
simbol signifikan, yakni memungkinkan proses mental,berpikir. Simbol signifikan
ini juga berarti interaksi simbolik. Artinya orang dapat saling berinteraksi tidak
hanya melalui isyarat tapi juga melalui simbol sisgnifikan. Bahkan
interaksi dengan melalui simbol yang signifikan berupa bahasa, kita akan lebih
mudah untuk saling memahami makna yang ingin disampaikan. Dengan begitu
interaksi akan berlangsung jauh lebih efektif daripada hanya menggunakan
isyarat atau simbol yang tak signifikan saja.
Erving Goffman merupakan salah satu tokoh terkenal
dalam teori sosiologi. Karya terpentingnya dalam interaksionisme simbolik
adalah Presentation of Self in Everyday Life. Ia terkenal
dengan konsep dramaturgi atau pandangan tentang kehidupan
sosial sebagai serentetan pertunjukkan drama di atas pentas yang di dalamnya
ada yang disebut frontstage (panggung depan) dan backstage (panggung belakang).
Juga ada bidang ketiga yaitu bidang residual, yang tak termasuk panggung depan
dan belakang. Tujuan Goffman yang utama adalah untuk menunjukkan pentingnya
proses-proses di mana individu berusaha untuk mementaskan suatu definisi
sistuasi tertentu, dengan tekanan khusus yang diberikan kepada usaha untuk
memperoleh dukungan sosial bagi konsep-dirinya, yang di proyeksikan si individu
itu dalam interaksinya dengan orang lain.
Menurut Goffman, diri bukanlah milik aktor tetapi
lebih sebagai hasil interaksi dramatis antara aktor dan audien. Dramaturgi
Goffman memperhatikan proses yang dapat mencegah gangguan atas penampilan diri.
Kunci pemikiran Goffman adalah bahwa jarak peran
adalah fungsi status sosial seseorang. Orang yang berstatus sosial tinggi lebih
sering menunjukkan jarak sosial karena alasan yang berbeda dengan orang yang
berada pada posisi status lebih rendah.
D. ETNOMETODOLOGI
a. Pengertian
dan Konsep Etnometodologi
Neuman (1997) mengartikan etnometodologi sebagai
keseluruhan penemuan, metode, teori, suatu pandangan dunia. Pandangan etnometodologi
berasal dari kehidupan. Etnometodologi berusaha memaparkan
realitas pada tingkatan yang melebihi sosiologi, dan ini menjadikannya berbeda
banyak dari sosiologi dan psikologi. Etnometodologi memiliki
batasan sebagai kajian akal sehat, yakni kajian dari observasi penciptaan yang
digunakan terus-menerus dalam interaksi sosial dengan lingkungan yang
sewajarnya. Secara terminology, etnometodologi diterjemahkan
sebagai sebuah metode pengorganisasian masyarakat dengan melihat beberapa aspek
kebutuhan, diantaranya: pencerahan dan pemberdayaan. Etnometodologi bukanlah
metode yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menunjuk
pada permasalahan apa yang akan diteliti. Etnometodologi adalah
studi tentang bagaimana individu menciptakan dan memahami kehidupan
sehari-hari, metodenya untuk mencapai kehidupan sehari-hari. Etnometodologi didasarkan
pada ide bahwa kegiatan sehari-hari dan interaksi sosial yang sifatnya rutin,
dan umum, mungkin dilakukan melalui berbagai bentuk keahlian, pekerjaan
praktis, dan asumsi-asumsi tertentu. Keahlian, pekerjaan praktis, dan
asumsiasumsi itulah yang disebut dalam etnometodologi.
Tujuan utama etnometodologi adalah
untuk mempelajari bagaimana anggota masyarakat selama berlangsungnya interaksi
sosial, membuat sense of indexical expression.
Istilah indexical tidak bermakna universal namun bergantung
pada konteks (misalnya, ia, dia, mereka). Sifatnya terbatas pada yang diindeks
atau dirujuk Subjek etnometodologi bukanlah anggota-anggota suku-suku
terasing, melainkan orang-orang dalam perbagai macam situasi dalam masyarakat
kita. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang
mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia di tempat mereka
hidup.Pemanfaatan metode ini lebih dilatari oleh pemikiran praktis (practical
reasoning) ketimbang oleh kemanfaatan logika formal (formal logic).
Etnometodologi ditakrifkan
sebagai kajian mengenai pengetahuan, aneka ragam prosedur dan pertimbangan yang
dapat dimengerti oleh anggota masyarakat biasa. Masyarakat seperti ini bisa
mencari jalan dan bisa bertindak dalam keadaan dimana mereka bisa menemukan
dirinya sendiri (Ritzer, 1996).
b. Sejarah
Metode Etnometodologi
Dalam studi etnometodologi, cukup
sederhana cara melihat validitas, karena biasanya disini tidak digunakan
cara-cara konvensional dalam mengukur suatu konsep. Sebagai contohetnometodologi melihat
konsep alienasi lebih mendekati teknik grounded theory, misalnya dengan cara
mengobservasi peraturan-peraturan yang bias diamati dari luar, kemudian
memberinya lebel atau identitas tertentu. Sementara reliabilitas dapat dilihat
dari hasil pembandingannya dengan metode lain yang sejenis. Oleh sebab itu,
disini sangat bergantung pada kekuatan interpretasi peneliti terhadap masalah sosial
yang sedang dihadapinya. Namun karena masalah yang sama dilihat dari segi
metode yang berbeda, maka hasilnya pun relatif tidak akan sama (berbeda pula).
Kesalahan yang bisa dan sering muncul adalah pada kasus-kasus yang bersifat
ambigu (mendua arti), atau kasus yang mempunyai peluang ditafsirkan
berbeda-beda.
Harold Garfinkel dipertengahan tahun 1950-an,
memperkenalkan istilah etnometodologi dalam bidang penelitian
sosial yang merupakan inspirasi atas kreasi dari sosiologi fenomenologi.
Garfinkel disaat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini sedang mendalami
fenomenologi Alfred Schutz pada New School For Social Research.
Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Grafinkel.
Ini terbukti dari asumsi sekaligus pendirian dari etnometodologi itu
sendiri. Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia inter subjektif yang
dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi.
Dalam prakteknya, etnometodologi Grafinkel
menekankan pada kekuatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi.
Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian
pada sebuah toko. Sementara itu, Jack Douglas menggunakanetnometodolgi untuk
menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa sebab
musabab kematian seseorang untuk menentukan suatu kematian sebagai akibat bunuh
diri. Douglas mencatat bahwa untuk menentukan hal itu, koroner harus
menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap orang
tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanya unsur
kesengajaan (Furchan, 1992).
Garfinkel sendiri mendefinisikan etnometodologi sebagai
penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis
lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari
praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir.
c. Fokus
Kajian Etnometodologi
Di dalam etnometodologi, peneliti
yang ‘berasal dari luar’ harus dapat bersatu dan terlibat langsung dalam proses
penelitian bersama-sama dengan ‘para aktor social setempat’. Peneliti harus
bisa melebur di dalam komunitas masyarakat yang diteliti, dan karenannya harus
sanggup berada bersama-sama dengan masyarakat yang diteliti dalam satu bejana
sosial yang kompleks. Hal yang lebih ditekankan dalam etnometodologi adalah
peristiwa terjadi secara wajar di masyarakat. Dalam peristiwa itu berlangsung
pola interaksi yang dapat dibaca dan diinterpretasi secara eksplisit. Pola
interaksi yang dimaksud adalah interaksi orang-perorang (aktor sosial) dan
interaksi antara orang dengan lingkungannya (institusi dan alam). Peneliti dan
para actor sosial akan terlibat didalam interaksi dan diskusi yang intens untuk
merumuskan masalah yang dihadapi.
Realitas sosial dihasilkan ‘dari dalam’ melalui
prosedur interpretif para anggotanya. Kondisi sosial para anggota
bersifat selfgenerating. Sifat ini menunjukkan dua sifat penting
dari arti yang berhasil diungkap oleh peneliti. Pertama, arti sebelumnya yang
bersifat indeks, yaitu arti yang tergantung pada koteks. Dalam arti, objek dan
kejadian memiliki arti yang ambigu atau tidak tentu, tanpa konteks yang jelas.
Hanya melalui penggunaannya yang bergantung pada situasi di dalam percakapan
dan interaksi, abjek dan kejadian menjadi berarti secara konkrit. Kedua,
kondisi-kondisi yang memberikan konteks bagi arti itu sendiri bersifat selfgenerating.
Kegiatan-kegiatan interpretif berlangsung secara simultan di dalam dan di
sekitar setting yang menjadi orientasinya dan yang dideskripsikannya. Jadi,
realitas yang dicapai secara sosial bersifat reflektif.
Dalam metode etnometodologi, data dalam
penelitian sosial adalah berupa tindakan actor sosial yang meskipun tidak
dinyatakan secara eksplisit atau dalam bentuk verbal yang lengkap, akan tetapi
tetap diakui dan dapat dikerjakan (percakapan melalui telepon, gelak tawa,
tepuk tangan, pernyataan interaktif sampai pada formulasi ucapan).