Blog Al Imam

  • Home
  • Kumpulan Makalah
  • 404
Home » Tanpa kategori » makalah peradilan islam masa Rasulullah

makalah peradilan islam masa Rasulullah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Sebagai suri tauladan bagi ummat manusia baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Dalam kehidupan dunia manusia tidak pernah lepas dari masalah-masalah keduniaan baik mengenai syariat maupun mu’amalat.
Beliau adalah pribadi sempurna yang telah memberikan cahaya kepada seluruh umat manusia. Beliau adalah panutan sepanjang zaman, dan ajaran serta pengabdian beliau selalu menjadi prioritas utama bagi umat Islam yang benar-benar talah mengislamkan dirinya, hatinya dan jiwanya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Perkembangan komunitas dan Peradilam Islam ?
2.      Bagaimana Peranan Rosulullah Musyari’, Munafid dan Qadhi’ ?
3.      Bagaimana Pendelegasian Wewenang Dalam Peradilan ?
4.      Bagaimana Proses Peradilan Pada Masa Rosul SAW ?

C.    Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Bagaimana Perkembangan komunitas dan Peradilam Islam
2.      Untuk Mengetahui Bagaimana Peranan Rosulullah Musyari’, Munafid dan Qadhi’
3.      Untuk Mengetahui Bagaimana Pendelegasian Wewenang Dalam Peradilan
4.      Untuk Mengetahui Bagaimana Proses Peradilan Pada Masa Rosul SAW
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Komunitas dan Peradilam Islam
Setelah islam datang dan Allah memerintahkan NabiNya (Muhammad saw.) agar menyampaikan risalah, maka ia memerintahkan juga agar ia menyelesaikan segala sengketa yang timbul dengan firmanNya:” fala wa rabbika la yu’minuuna hatta yuhakkimuu ka fiima syajaro bainahum tsumma la yajiduu fii anfusihim harajan mimma qadhaita wa yusallimu tasliima ” Sejarah kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, kira-kira saat beliau berusia 40 tahun.
Setelah kurang lebih 13 tahun menyampaikan risalahnya di Mekah dengan fokus da’wah mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah secara murni dan meninggalkan berhala-berhala. Kemudian sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW mulai membangun sebuah masyarakat dan negara dengan menegakkan hukum-hukum dan syariat Allah yang nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang sejarah. Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-hukumNya. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat Al-Quran seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS. Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Mulailah rasulullah saw. Melaksanakan perintah tuhannya, kemudian ia berdakwah, dan di Madinah ia menampilkan dirinya untuk menyelesaikan persengketaan, dan memberikan fatwa-fatwa, di samping menyampaikan kepda manusia apa yang di wahyukan Allah kepadanya tentang hukum-hukum dan mengatur pelaksanaan hukum-hukum tersebut, maka ditangan nabi saw. Tergenggam kekuasaan ini semua dan belum dipisahkan, maka di ajukanlah kepdanya berbagai perkara lalu ia putuskan hukumnya, sebagaimana halnya ia memberikan fatwa apabila diajukan permohonan fatwa kepadanya, sedang ia memutuskan hukum terhadap hak-hak manusia atas dasar dhahirnya perkara dengan sumpah apabila tidak ada bukti, dan keputusan hukum Nabi saw. Adalah berdasarkan ijtihad dan bukan dari wahyu. Berbagai macam putusan yang telah Nabi saw. Tetapkan, membuktikan bahwa Nabi saw. Tidak pernah memihak kepada suatu golongan, dan beliau tetap memelihara keadilan dan kejujuran.
B.     Peranan Rosulullah Musyari’, Munafid dan Qadhi’
Setelah rasulullah saw bangkit menyampaikan risalah, beliau pun bertindak sebagai hakim. Dengan demikian dapatlah kita menetapkan, bahwa hakim pertama didalam islam adalah rasulullah sendiri. Hal ini menjadi sangat jelas apabila kita perhatikan bunyi sumpah yang nabi saw.Lakukan antara golongan muhajirin dan penduduk madinah. Nabi bertindak demikian adalah untuk memenuhi tuntutan wahyu.
Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa berikutnya. Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf, bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif, legislatif dan eksekutif sekaligus di kedua tangan seorang Nabi SAW ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau tuntutan pemisahan jabatan dengan alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah (terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai teladan bagi umat.
Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim, untuk saling bertanggung jawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum dalam negeri Madinah. Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh anaknya sendri. Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan persengketaan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut. Otoritas jurisdiksi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas juga ditekankan oleh Al-Quran sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’: 65.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Terkadang urusan peradilan di daerah-daerah diserahakan kepada penguasa yang dikirim ke daerah-daerah itu dan sekali-sekali pernah pula Nabi saw menyuruh seseorang sahabat bertindak sebagai hakim dihadapan beliau sendiri. Beliau juga bertindak selaku mufti memberi fatwa kepada orang-orang yang memerlukannya. Maka pada diri beliau berpadulah tiga kedudukan, yaitu selaku hakim, selaku mubaligh dan selaku musysyarri’.
C.    Pendelegasian Wewenang Dalam Peradilan
Setelah dakwah islam mulai tersebar maka rasulullah saw member izin sebagian sahabatnya (untuk memutuskan hukum yang mereka hadapi) karena jauhnya tempat, dan bahkan diizinkan juga di antara sahabatnya untuk memutuskan perkara ditempat nabi saw berada, dan hal ini dimaksudkan sebagai pendidikan bagi sahabatnya tentang ijtihad, memutuskan perkara dan memimpin bangsa, serta membimbing dan menyiapkan bolehnya mengangkat penguasa-penguasa dan hakim-hakim. Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya pemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhār atau jidār rumah mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru.” Maka `Amru merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?”
Imam tirmidzi meriwayatkan dalam sunannya yang artinya: “bahwa khalifah utsman bin affan pernah berkata kepada Abdullah bin umar: pergilah kemudian putuskanlah perkara di antara manusia. Ia menjawab: hendaknya engkau bebaskan aku hai amirul mukminin! Khalifah berkata: apakah gerangan yang menyebab engkau enggan melaksanakanitu, padahal ayahmu pernah melaksanakannya? Ia menjawab: sesungguhnya ayahku dahulu pernah diserahi tugas memutuskan perkara, tapi kalau ia menemui kesulitan, ia (langsung) bertanya kepada rasulullah saw…”.
Seperti juga diriwayatkan, bahwa rasulullah saw pernah mengutus ali bin abi thalib –padahal ia masih muda belia- ke Yaman untuk di tugaskan memutus perkara di antara mereka, lalu beliau menepuk dada Ali seraya berdoa: “allahumma ahdi Qalbahu wa asdud lisanahu”. Dan beliau memesan kepada Ali: yang artinya; “ apabila duduk di hadapanmu, dua pihak yang berperkara, maka janganlah tergesa-gesa memutuskan hukum, sebelum kamu, mendengarkan pembicaraan kedua belah pihak, karena hal itu lebih patut bagimu dalam mengambil keputusan”.
Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai pelaksana qadlā seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan Nabi menjadi wali Mekah setelah penaklukan (Fathu Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur’an dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abū Mūsa al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabīd, `Adn), serta Al-`Alā’ al-Hadlrāmi ke Bahrain. Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan Madinah –termasuk diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.
Dari uraian di atas, yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat seorang pun yang secara khusus mengemban tugas “profesi” sebagai qādli maupun memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak tanpa batasan tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi kepada sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian dari wilayah `āmmah.Hal itu sebagai tuntutan dari konsekuensi dari semakin meluasnya daerah-daerah kekuasaan Islam.
Teranglah sudah bahwa peradilan islam mempunyai prinsip-prinsip yang asasi dan keistimewaan-keistimewaan yang pokok. Dengan berpegang kepada prinsip-prinsip itu rasul saw. Dan wakil-wakil beliau dimasa beliau masih hidup, memutuskan perkara-perkara sengketa di antara ummat islam. Hanya saja pada masa Rasul saw itu, kekuasaan-kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif masih dipegang oleh satu tangan.
D.    Proses Peradilan Pada Masa Rosulullah SAW
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa” dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوفتدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.”.
Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda:
”Seandainya setiap orang diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum.Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti harus didatangkan oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang dilaporkan”
Ada orang yang mengatakan bahwa proses peradilan di masa Nabi tidak teratur. Perkataan ini kita bantah dengan menandaskan bahwa Islam, adalah agama dan pemerintahan yang mempunyai berbagai aturan, yang diantaranya ialah peradilan ini. Nabi telah menggariskan jalan yang harus ditempuh oleh para hakim dan prinsip-prinsip pokoknya, sebelum turun firman Allah SWT :
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ. (المائدة :)
“Pada hari ini aku telah sempurnakan untukmu agamamu”.
Perincian daripada hokum-hukum yang dikemukakan oleh Al-Qur’an diserahkan kepada Nabi, kemudian kepada ijtihad para mujtahid. Hal ini berlaku dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan muamalah dan susunan pemerintahan. Urusan-urusan muamalah dan organisasi pemerintahan, adalah hal-hal yang dipengaruhi oleh masa.
Di dalam penerapan hokum atas kejadian-kejadian hokum yang selalu tumbuh, syari’at Islam dalam menghadapi kejadian yang terus tumbuh mempunyai dua prinsip dan pedoman pokok :
1)      Mengemukakan penjelasan-penjelasan yang sudah terang dari syari’at sendiri seperti hukuman mencuri dan berzina.
2)      Mengemukakan dasar-dasar pokok yang bersifat menyeluruh, agar segala kejadian-kejadian yang terjadi dapat di masukkan ke dalam dasar-dasar itu seperti : urf dan maslahah mursalah.
Di dalam usaha menerapkan hokum syari’at Islam mempunyai prinsip pokok yang penting  untuk melindungi hak-hak manusia seperti : kesaksian dan memberi tangguh kepada yang berperkara untuk mencari saksi-saksinya.
Dalam bidang pokok hokum yang tidak bersifat sendi peradilan, syari’at Islam menyerahkan kepada mujtahid yang bertindak sebagai hakim, agar hokum-hukum dapat memenuhi keadaan masa dan tempat.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hakim pertama di dalam Islam, ialah Rasulullah sendiri. Di dalam Al-Qur’an, Allah menerangkan bahwa Undang-Undang yang wajib dituruti oleh Rasul dan diterapkan ialah Undang-Undang yang ditetapkan oleh Islam. Rasullah selain bertindak sebagai hakim, sebagai muballigh yang menyampaikan syari’at Tuhan. Beliau juga bertindak selaku mufti memberi fatwa kepada orang-orang yang memerlukannya. Maka pada diri beliau berpadulah tiga kedudukan, yaitu selaku hakim, selaku muballigh, dan selaku musysyarri’.
Rasul memutuskan perkara dengan wahyu yang diturunkan oleh Allah kepadanya. Segala macam perkara pada masa permulaan Islam, diputuskan berdasarkan kepada penetapan Al-Qur’an dan Rasulnya. Sesudah Islam mulai tersebar, RAsulullah mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas.
Dari paparan mengenai sejarah peradilan di zaman Nabi di atas, akhir tulisan ini akan ditutup dengan beberapa poin penting yang merepresentasikan saripati hasil kajian ini yaitu:
a)      Peradilan pada zaman Nabi merupakan fase paling penting dalam sejarah peradilan Islam. Pada saat itu Nabi SAW merupakan merupakan pemegang otoritas jurisdiksi satu-satunya meskipun beliau juga pernah mendelegasikan tugas-tugas jurisdiksi tersebut kepada beberapa orang sahabat secara terbatas. Pada zaman itu lembaga peradilan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemegang kekuasaan pemeritahan secara umum (wilayah `ammah).
b)      Sistem peradilan yang dibawa oleh Nabi SAW, merupakan perkembangan yang jauh lebih maju dan teratur dibanding dengan peradilan di zaman Jahiliyah.
c)       Sumber hukum yang menjadi referensi utama bagi pemegang otoritas jurisdiksi adalah wahyu -baik berupa al-Qur’an maupun Sunnah Nabi SAW- serta ijtihad. Peradilan di zaman Nabi dan yang dilakukan oleh Nabi sendiri merupakan penerjemahan langsung dari ayat-ayat dan sunnah qawliyah Nabi yang diimplementasikan dalam praktik-praktik yang ideal.
d)      Proses peradilan zaman Nabi SAW berlangsung sangat sederhana dan tidak berbelit-belit, namun justru lebih mementingkan substansi dari pada prosesi.
e)      Sistem peradilan saat itu juga memberikan pijakan dan prinsip dasar bagi perkembangan sistem peradilan yang berkembang kemudian dalam peradaban Islam yang mencakup penguatan lembaga-lembaga baru seperti hisbah dan peradilan madzālim.
DAFTAR PUSTAKA

-          Ash-shiddieqy, Muhammad Hasbi, Peradilan Dan Hukum Acara Islam, Pustaka Rizki Putra, semarang,1997
-          Madkur, Muhammad Salam, Peradilan Dalam Islam, Bina Ilmu, Surabaya tahun 1993
-          Murajjab, Muhammad Syahrul, Makalah Sejarah Peradilan islam
-          Ashi-Shiddieqy, Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Yogyakarta : Alma’arif. 1964.
-          Madkur, Muhammad Salam. Peradilan dalam Islam. Surabaya : PT. Bina Ilmu.1982.
-          Muhammad. Sejarah Peradilan di Zaman RAsulullah SAW.


makalah peradilan islam masa Rasulullah , Pada: 07:17



Share to

Facebook Google+ Twitter

Related with makalah peradilan islam masa Rasulullah :

Posted by Anonymous at 07:17

0 comments :

Post a Comment

« Next Prev »
  • Beranda

Labels

  • KUMPULAN LAPORAN PPL
  • Kumpulan Makalah
  • kumpulan proposal
  • Kumpulan Proposal Skripsi
Copyright © 2016 Blog Al Imam All Rights Reserved | Sonic SEO Template