BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah mengutus
Nabi Muhammad saw. Sebagai suri tauladan bagi ummat manusia baik dalam kehidupan
dunia maupun akhirat. Dalam kehidupan dunia manusia tidak pernah lepas dari
masalah-masalah keduniaan baik mengenai syariat maupun mu’amalat.
Beliau adalah
pribadi sempurna yang telah memberikan cahaya kepada seluruh umat manusia.
Beliau adalah panutan sepanjang zaman, dan ajaran serta pengabdian beliau
selalu menjadi prioritas utama bagi umat Islam yang benar-benar talah mengislamkan
dirinya, hatinya dan jiwanya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Perkembangan komunitas dan
Peradilam Islam ?
2.
Bagaimana Peranan Rosulullah Musyari’,
Munafid dan Qadhi’ ?
3.
Bagaimana Pendelegasian Wewenang Dalam
Peradilan ?
4.
Bagaimana Proses Peradilan Pada Masa
Rosul SAW ?
C.
Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Bagaimana Perkembangan
komunitas dan Peradilam Islam
2.
Untuk Mengetahui Bagaimana Peranan
Rosulullah Musyari’, Munafid dan Qadhi’
3.
Untuk Mengetahui Bagaimana
Pendelegasian Wewenang Dalam Peradilan
4.
Untuk Mengetahui Bagaimana Proses
Peradilan Pada Masa Rosul SAW
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Komunitas
dan Peradilam Islam
Setelah islam
datang dan Allah memerintahkan NabiNya (Muhammad saw.) agar menyampaikan
risalah, maka ia memerintahkan juga agar ia menyelesaikan segala sengketa yang
timbul dengan firmanNya:” fala wa rabbika la yu’minuuna hatta yuhakkimuu ka
fiima syajaro bainahum tsumma la yajiduu fii anfusihim harajan mimma qadhaita
wa yusallimu tasliima ” Sejarah kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW
menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, kira-kira saat beliau berusia 40
tahun.
Setelah kurang
lebih 13 tahun menyampaikan risalahnya di Mekah dengan fokus da’wah mengajak
manusia untuk bertauhid kepada Allah secara murni dan meninggalkan
berhala-berhala. Kemudian sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW mulai
membangun sebuah masyarakat dan negara dengan menegakkan hukum-hukum dan
syariat Allah yang nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang
sejarah. Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan
pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan
Allah dan hukum-hukumNya. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen
yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa
ayat-ayat Al-Quran seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS.
Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Mulailah
rasulullah saw. Melaksanakan perintah tuhannya, kemudian ia berdakwah, dan di
Madinah ia menampilkan dirinya untuk menyelesaikan persengketaan, dan
memberikan fatwa-fatwa, di samping menyampaikan kepda manusia apa yang di
wahyukan Allah kepadanya tentang hukum-hukum dan mengatur pelaksanaan
hukum-hukum tersebut, maka ditangan nabi saw. Tergenggam kekuasaan ini semua
dan belum dipisahkan, maka di ajukanlah kepdanya berbagai perkara lalu ia
putuskan hukumnya, sebagaimana halnya ia memberikan fatwa apabila diajukan
permohonan fatwa kepadanya, sedang ia memutuskan hukum terhadap hak-hak manusia
atas dasar dhahirnya perkara dengan sumpah apabila tidak ada bukti, dan keputusan
hukum Nabi saw. Adalah berdasarkan ijtihad dan bukan dari wahyu. Berbagai macam
putusan yang telah Nabi saw. Tetapkan, membuktikan bahwa Nabi saw. Tidak pernah
memihak kepada suatu golongan, dan beliau tetap memelihara keadilan dan
kejujuran.
B.
Peranan
Rosulullah Musyari’, Munafid dan Qadhi’
Setelah
rasulullah saw bangkit menyampaikan risalah, beliau pun bertindak sebagai
hakim. Dengan demikian dapatlah kita menetapkan, bahwa hakim pertama didalam
islam adalah rasulullah sendiri. Hal ini menjadi sangat jelas apabila kita
perhatikan bunyi sumpah yang nabi saw.Lakukan antara golongan muhajirin dan
penduduk madinah. Nabi bertindak demikian adalah untuk memenuhi tuntutan wahyu.
Keberadaan Nabi
SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep
ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu
kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah
tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai
seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW
merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala
perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus
ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari
pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta
menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun
kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan
pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan
atau persengketaan antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting
sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan
sedang dibangun dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara
keseluruhan di masa-masa berikutnya. Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat
Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf, bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif,
legislatif dan eksekutif sekaligus di kedua tangan seorang Nabi SAW ini
tidaklah menimbulkan kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau
tuntutan pemisahan jabatan dengan alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena
jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah (terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai
teladan bagi umat.
Sementara itu,
Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang
disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah memiliki
muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di Madinah
dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota
masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim, untuk saling
bertanggung jawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum dalam negeri
Madinah. Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min
bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu
dilakukan oleh anaknya sendri. Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan
persengketaan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan
Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut. Otoritas
jurisdiksi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas juga
ditekankan oleh Al-Quran sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’: 65.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.
Terkadang
urusan peradilan di daerah-daerah diserahakan kepada penguasa yang dikirim ke
daerah-daerah itu dan sekali-sekali pernah pula Nabi saw menyuruh seseorang
sahabat bertindak sebagai hakim dihadapan beliau sendiri. Beliau juga bertindak
selaku mufti memberi fatwa kepada orang-orang yang memerlukannya. Maka pada
diri beliau berpadulah tiga kedudukan, yaitu selaku hakim, selaku mubaligh dan
selaku musysyarri’.
C.
Pendelegasian
Wewenang Dalam Peradilan
Setelah dakwah
islam mulai tersebar maka rasulullah saw member izin sebagian sahabatnya (untuk
memutuskan hukum yang mereka hadapi) karena jauhnya tempat, dan bahkan
diizinkan juga di antara sahabatnya untuk memutuskan perkara ditempat nabi saw
berada, dan hal ini dimaksudkan sebagai pendidikan bagi sahabatnya tentang
ijtihad, memutuskan perkara dan memimpin bangsa, serta membimbing dan
menyiapkan bolehnya mengangkat penguasa-penguasa dan hakim-hakim. Sebagaimana
disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya pemegang otoritas
jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW
pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus
persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn
al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang
memperebutkan hidhār atau jidār rumah mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah
meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang
dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka.
Nabi bersabda kepada `Amru: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya
wahai `Amru.” Maka `Amru merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan
perkara keduanya sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?”
Imam tirmidzi
meriwayatkan dalam sunannya yang artinya: “bahwa khalifah utsman bin affan
pernah berkata kepada Abdullah bin umar: pergilah kemudian putuskanlah perkara
di antara manusia. Ia menjawab: hendaknya engkau bebaskan aku hai amirul
mukminin! Khalifah berkata: apakah gerangan yang menyebab engkau enggan
melaksanakanitu, padahal ayahmu pernah melaksanakannya? Ia menjawab:
sesungguhnya ayahku dahulu pernah diserahi tugas memutuskan perkara, tapi kalau
ia menemui kesulitan, ia (langsung) bertanya kepada rasulullah saw…”.
Seperti juga
diriwayatkan, bahwa rasulullah saw pernah mengutus ali bin abi thalib –padahal
ia masih muda belia- ke Yaman untuk di tugaskan memutus perkara di antara
mereka, lalu beliau menepuk dada Ali seraya berdoa: “allahumma ahdi Qalbahu wa
asdud lisanahu”. Dan beliau memesan kepada Ali: yang artinya; “ apabila duduk
di hadapanmu, dua pihak yang berperkara, maka janganlah tergesa-gesa memutuskan
hukum, sebelum kamu, mendengarkan pembicaraan kedua belah pihak, karena hal itu
lebih patut bagimu dalam mengambil keputusan”.
Sebagaian
sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil pemerintahan)
beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai pelaksana qadlā seperti
sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan Nabi menjadi wali Mekah setelah
penaklukan (Fathu Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke Al-Janad
(sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur’an dan syariat Islam,
mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abū Mūsa al-‘Ash`ari
diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabīd, `Adn), serta Al-`Alā’
al-Hadlrāmi ke Bahrain. Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari Madinah
untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan Madinah –termasuk diantara
bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa’ad
ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn
Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.
Dari uraian di
atas, yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat seorang
pun yang secara khusus mengemban tugas “profesi” sebagai qādli maupun
memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada sahabat-sahabat
beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak tanpa batasan tempat dan
waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi kepada sahabatnya
tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya untuk melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian dari wilayah
`āmmah.Hal itu sebagai tuntutan dari konsekuensi dari semakin meluasnya
daerah-daerah kekuasaan Islam.
Teranglah sudah
bahwa peradilan islam mempunyai prinsip-prinsip yang asasi dan
keistimewaan-keistimewaan yang pokok. Dengan berpegang kepada prinsip-prinsip
itu rasul saw. Dan wakil-wakil beliau dimasa beliau masih hidup, memutuskan perkara-perkara
sengketa di antara ummat islam. Hanya saja pada masa Rasul saw itu,
kekuasaan-kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif masih dipegang oleh satu
tangan.
D.
Proses Peradilan
Pada Masa Rosulullah SAW
Pada zaman Nabi
SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang
yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk
meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat
tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang
dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa” dengan model tanya-jawab,
dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering
dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun
proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa
ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran
sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan
(qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان
فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوفتدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW
berkata kepadaku: “Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari
mu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau
mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana
seharusnya kamu memutuskan.”.
Dalam konteks
ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah
bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda:
”Seandainya setiap orang diberikan
apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim harta-harta atau
jiwa-jiwa suatu kaum.Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti harus didatangkan
oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang
dilaporkan”
Ada orang yang
mengatakan bahwa proses peradilan di masa Nabi tidak teratur. Perkataan ini
kita bantah dengan menandaskan bahwa Islam, adalah agama dan pemerintahan yang
mempunyai berbagai aturan, yang diantaranya ialah peradilan ini. Nabi telah
menggariskan jalan yang harus ditempuh oleh para hakim dan prinsip-prinsip
pokoknya, sebelum turun firman Allah SWT :
اَلْيَوْمَ
اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ.
(المائدة :)
“Pada hari ini aku telah sempurnakan
untukmu agamamu”.
Perincian
daripada hokum-hukum yang dikemukakan oleh Al-Qur’an diserahkan kepada Nabi,
kemudian kepada ijtihad para mujtahid. Hal ini berlaku dalam urusan-urusan yang
berhubungan dengan muamalah dan susunan pemerintahan. Urusan-urusan muamalah
dan organisasi pemerintahan, adalah hal-hal yang dipengaruhi oleh masa.
Di dalam
penerapan hokum atas kejadian-kejadian hokum yang selalu tumbuh, syari’at Islam
dalam menghadapi kejadian yang terus tumbuh mempunyai dua prinsip dan pedoman
pokok :
1)
Mengemukakan penjelasan-penjelasan yang
sudah terang dari syari’at sendiri seperti hukuman mencuri dan berzina.
2)
Mengemukakan dasar-dasar pokok yang
bersifat menyeluruh, agar segala kejadian-kejadian yang terjadi dapat di
masukkan ke dalam dasar-dasar itu seperti : urf dan maslahah mursalah.
Di dalam usaha
menerapkan hokum syari’at Islam mempunyai prinsip pokok yang penting
untuk melindungi hak-hak manusia seperti : kesaksian dan memberi tangguh kepada
yang berperkara untuk mencari saksi-saksinya.
Dalam bidang
pokok hokum yang tidak bersifat sendi peradilan, syari’at Islam menyerahkan
kepada mujtahid yang bertindak sebagai hakim, agar hokum-hukum dapat memenuhi
keadaan masa dan tempat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hakim pertama
di dalam Islam, ialah Rasulullah sendiri. Di dalam Al-Qur’an, Allah menerangkan
bahwa Undang-Undang yang wajib dituruti oleh Rasul dan diterapkan ialah
Undang-Undang yang ditetapkan oleh Islam. Rasullah selain bertindak sebagai
hakim, sebagai muballigh yang menyampaikan syari’at Tuhan. Beliau
juga bertindak selaku mufti memberi fatwa kepada orang-orang yang
memerlukannya. Maka pada diri beliau berpadulah tiga kedudukan, yaitu selaku hakim,
selaku muballigh, dan selaku musysyarri’.
Rasul
memutuskan perkara dengan wahyu yang diturunkan oleh Allah kepadanya. Segala
macam perkara pada masa permulaan Islam, diputuskan berdasarkan kepada
penetapan Al-Qur’an dan Rasulnya. Sesudah Islam mulai tersebar, RAsulullah
mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah,
sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas.
Dari paparan mengenai sejarah peradilan di zaman Nabi di atas, akhir
tulisan ini akan ditutup dengan beberapa poin penting yang merepresentasikan
saripati hasil kajian ini yaitu:
a)
Peradilan pada zaman Nabi merupakan
fase paling penting dalam sejarah peradilan Islam. Pada saat itu Nabi SAW
merupakan merupakan pemegang otoritas jurisdiksi satu-satunya meskipun beliau
juga pernah mendelegasikan tugas-tugas jurisdiksi tersebut kepada beberapa
orang sahabat secara terbatas. Pada zaman itu lembaga peradilan merupakan
bagian tidak terpisahkan dari pemegang kekuasaan pemeritahan secara umum
(wilayah `ammah).
b)
Sistem peradilan yang dibawa oleh Nabi
SAW, merupakan perkembangan yang jauh lebih maju dan teratur dibanding dengan
peradilan di zaman Jahiliyah.
c)
Sumber hukum yang menjadi referensi utama bagi
pemegang otoritas jurisdiksi adalah wahyu -baik berupa al-Qur’an maupun Sunnah
Nabi SAW- serta ijtihad. Peradilan di zaman Nabi dan yang dilakukan oleh Nabi
sendiri merupakan penerjemahan langsung dari ayat-ayat dan sunnah qawliyah Nabi
yang diimplementasikan dalam praktik-praktik yang ideal.
d)
Proses peradilan zaman Nabi SAW berlangsung
sangat sederhana dan tidak berbelit-belit, namun justru lebih mementingkan
substansi dari pada prosesi.
e)
Sistem peradilan saat itu juga
memberikan pijakan dan prinsip dasar bagi perkembangan sistem peradilan yang
berkembang kemudian dalam peradaban Islam yang mencakup penguatan
lembaga-lembaga baru seperti hisbah dan peradilan madzālim.
DAFTAR PUSTAKA
-
Ash-shiddieqy, Muhammad Hasbi,
Peradilan Dan Hukum Acara Islam, Pustaka Rizki Putra, semarang,1997
-
Madkur, Muhammad Salam, Peradilan Dalam
Islam, Bina Ilmu, Surabaya tahun 1993
-
Murajjab, Muhammad Syahrul, Makalah
Sejarah Peradilan islam
-
Ashi-Shiddieqy, Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam.
Yogyakarta : Alma’arif. 1964.
-
Madkur, Muhammad Salam. Peradilan dalam Islam. Surabaya : PT.
Bina Ilmu.1982.
-
Muhammad. Sejarah Peradilan di Zaman RAsulullah SAW.