BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses
perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui gerbang Jawa
Barat yakni Cirebon. Proses ini menjadi mungkin karena kondisi kekuasaan
politik yang kuat waktu itu di Jawa adalah Jawa Tengah. Tetapi islamisasi
Indonesia melalui pintu barat. Oleh karena itu mempunyai kemungkinan besar bila
masuknya islam dari pintu gerbang Barat. Dalam hal ini mungkin dari pelabuhan
Sunda Kelapa ataupun Banten. Perlu ditambahkan disini bahwa penyebaran Islam
melalui jalur perniagaan, sehingga tidak pernah terjadi agresi militer maupun
agama. Dalam penyebaran ini Islam tidak mengenal adanya organisasi missi
ataupun semacam zending. J.C Van Leur dalam hal ini menjelaskan bahwa setiap
pedagang Islam merangkap sebagai da’i. Itulah sebabnya masuk dan meluasnya
Islam di Indonesia melalui jalur perniagaan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses
Islamisasi?
2.
Siapa pendiri agama Islam
di Banten?
3.
Bagaimana masuk dan
meluasnya agama Islam di Banten?
4.
Bagaimana pembentukan budaya Banten?
5.
Bagaimana sejarah Banten?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui proses
Islamisasi
2.
Untuk mengetahui pendiri
agama Islam di Banten
3.
Untuk mengetahui masuk dan
meluasnya Islam di Banten?
4.
Untuk mengetahui
pembentukan budaya Banten
5.
Untuk mengetahui sejarah
Banten
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses Islamisasi
Dalam
perkembangan sejarah Indonesia, Jawa Barat tidak hanya sekarang saja sebagai
wilayah yang sangat penting, baik dari tinjauan geostrategi dan geoplitik
dewasa ini. Tetapi Jawa barat juga merupakan tempat pertama timbulnya kekuasaan
politik Taruma Negara, membuktikan posisi geografi Jawa Barat mempunyai nilai
tersendiri sejak abad ke-5 Masehi.
Proses
perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui gerbang Jawa
Barat yakni Cirebon. Proses ini menjadi mungkin karena kondisi kekuasaan
politik yang kuat waktu itu di Jawa adalah Jawa Tengah. Tetapi islamisasi
Indonesia melalui pintu barat. Oleh karena itu mempunyai kemungkinan besar bila
masuknya islam dari pintu gerbang Barat. Dalam hal ini mungkin dari pelabuhan
Sunda Kelapa ataupun Banten.
Perlu
ditambahkan disini bahwa penyebaran Islam melalui jalur perniagaan, sehingga
tidak pernah terjadi agresi militer maupun agama. Dalam penyebaran ini Islam
tidak mengenal adanya organisasi missi ataupun semacam zending. J.C Van Leur
dalam hal ini menjelaskan bahwa setiap pedagang Islam merangkap sebagai da’i.
Itulah sebabnya masuk dan meluasnya Islam di Indonesia melalui jalur
perniagaan.
Pertimbangan
lain dari keterangan Tome Pires yang menjelaskan keadaan Jawa Barat pada abad
ke-16. Bahwa pada tahun 1513 penduduk Cirebon dan Cimanuk (Indramayu) sudah
beragam Islam. Yang lebih menarik perhatian kita, Tome Pires menjelaskan
situasi pelabuhan Jawa Barat lainnya: Banten, Pontang, Cikande, Tengerang dan
Sunda Kelapa, sebagai pelabuhan yang telah banyak dikunjungi oleh pedagang
Islam yang berasal dari Malaka, Palembang, Fansur, Tanjungpura, Lawe, Jawa, dan
pelabuhan lainnya.
B.
Pendiri Agama
Islam (Tokoh Utama) di Banten
Tokoh utama para pendiri agama Islam di Banten,
antara lain adalah:
1.
Fatahillah
(mangkat pada tahun 1570)
2.
Hasanuddin
Sultan Banten I (1552 - 1570)
3.
Pangeran Yusuf
Sultan Banten II (1570 -1580)
4.
Maulan Muhammad
Sultan Banten III (1580 – 1596
Ketika kerajaan
yang bercorak islam berdiri, pusat kekuasaan yang semula berada di Banten
Girang dipindahkan ke Surasowan di Banten lama, dekat pantai. Pemindahan pusat
kekuasaan ini dimaksudkan untuk mempermudah hubungan pesisir utara Jawa dengan
Sumatra melalui Selat Sunda dan Samudra Hindia. Penunjukan Surasowan sebagai
ibukota kerajaan Banten dilakukan atas perintah Faletehan (Sunan Gunung Jati)
kepada puteranya, Hasanuddin, yang kemudian menjadi raja Banten pertama.
Fatahillah
mangkat pada tahun 1570, sebagaimana telah dimaklumi di atas, seorang ulama
muda anak Pasai yang turun dari Mekkah, telah datang
ke Demak dan
berkhidmat kepada sultan Trenggono, sehingga diambil menjadi kepala perang
untuk menaklukan Banten, atau Jawa Barat. Ulama muda itu bernama Syarif
Hidayatullah, Sultan Maulana Nuruddin Ibrahim.
Untuk menyebarkan
Islam di jawa Barat, langkah Sunan Gunung Jati berikutnya adalah menduduki
pelabuhan Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas
kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang semula termasuk
Pajajaran.
Dalam pada itu
kemenangan Syarif Hidayatullah menaklukan kota Banten mendapat penghargaan
tertinggi dari Sultan Trenggono, sehingga beliau diberi gelar Fatahillah.
Portugis menyebutnya Faletehan.
kalau Fatahillah sebagai penguasa besar Jawa Barat, meliputi Banten,
Jakarta dan Cirebon, apatah lagi beliau masih mengakui bahwa dia memerintah
masih di bawah naungan Demak, maka yang pantas disebut sultan Banten pertama
adalah ialah Hasanuddin. Sangatlah maju Banten selama pemerintahan
baginda selam 18 tahun lamanya. Pelabuhan Banten ramai didatangi saudagar-
saudagar dari luar negeri. Setelah 18 tahun memerintah, maka mangkatlah
baginda, kebetulan tahun mangkatnya bersamaan dengan mangkat ayahnya Fatahillah,
tidak berapa bulan selisihnya, Yaitu di tahun 1570. Kedukaan yang dua kali
menimpa rakyat Jawa Barat dalam satu tahun itu, menyebabkan bahwa setelah
mangkat Sultan Hasanuddin diberi gelar ”Marhum Sabakingking”, dan makam baginda
dinamai ”Sabakingking” artinya tempat duka cita.
Setelah Sultan
Hasanuddin meninggal, Dan diganti oleh anaknya, Yusuf , sebagai raja Banten
kedua (1570-1580). Ia memperluas wilayah kekuasaan kerajaan Banten sampai jauh
kepedalaman yang semula masih dikuasai oleh kerajaan Sunda Pajajaran, dan
berhasil menduduki ibukotanya, yakni Pakuan. Yusuf memperluas bangunan masjid
Agung dengan membuat serambi dan juga membangun masjid lain di Kasanyutan,
sebelah selatan Banten lama.
Ketika Yusuf
wafat, yang berhak naik tahta menggantikannya adalah puteranya yang bernama
Maulana Muhamad. Setelah Yusuf meninggal dunia tahun 1580 M, ia digantikan oleh
putranya Muhammad, yang masih muda belia. Selama Sultan muhammad masih di bawah
umur , kekuasaan pemerintahan dipegang oleh kali (Arab:qadhi, jaksa agung )
bersama empat pembesar lainnya. Raja Banten yang saleh ini, melanjutkan
serangan terhadap raja Palembang dan gugur dalam usia 25 tahun pada tahun 1596.
Ia meninggalkan seorang anak yang berusia 5 bulan, Sultan mafakhir Mahmud
Abdulkadir.
Sebelum memegang
pemerintahan secara langsung, Sultan berturut-turut berada di bawah 4 orang
wali laki-laki dan seorang wali wanita. Ia baru aktif memegang kekuasaan tahun
1626, dan pada tahun 1638 mendapat gelar Sultan dari Mekkah. Dialah raja Banten
pertama dengan gelar sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan
digantikan oleh cucunya Sultan Abulfath Abdulfath.
Pada masa
sultan Abulfath Abdulfath ini tejadi beberapa kali peperangan antara Banten dan
VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M.[3]
Sebagai kota metropolitan sejak abad ke -14 sampai akhir abad ke -19, Banten
mengalami perkembangan jumlah penduduk yang pesat, menurut statistik yang
dibuat oleh Sultan Abul Mahasin Zaonal Abidin pada tahun 1694, penduduk Banten
berjumlah 31,848 jiwa.
Selama lebih
dari tiga abad, Banten sebagai kerajaan Bahari telah menjadi tempat
persinggahan dan transaksi perdagangan internasional. Bangsa asing yang
berdagang di Banten pada saat itu antara lain Persia, Arab, Keling, Koja, Pegu,
Cina, Melayu dan sebagainya. Barang-barang perdagangan yang beredar dan menjadi
komiditi di kota Banten adalah sutra, beludru, peti berhias, kertas emas, kipas
angin dari Cina, kaca, gading, batu permata dari India, tekstil, dan
sebagainya.
Walaupun Banten
berupa kerajaan Bahari, ternyata juga mengembangkan pertanian. Pertanian telah
dikembangkan sejak Sultan Abdul mufakhir Muhammad Abdul Kadir (1596-1651).
Dengan dibangunnya sistem irigasi oleh sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).
Pada peta
ikhtisar Banten lama dari tahun 1900 terdapat nama tempat yang menunjukkan
adanya sebuah tempat kefakihan pada masa itu. Adanya tempat ini menunjukkan
bahwa pada jaman kesultanan Banten, unsur pendidikan islam dikhususkan dan
mendapat prioritas utama. Dengan demikian, harapan terhadap para alim ulama
begitu tinggi, walau Banten dihancurkan oleh Belanda pada tahun 1813, pada
waktu itu juga lahir seorang ulama kenamaan berasal dari Tanahara Tirtayasa,
Banten, bernama Nawawi al Banteni. Ratusan buku karangannya dicetak didalam dan
luar negeri, antara lain di Mesir dan Beirut. Sampai sekarang semua buku
tersebut masih dipelajari dan dibaca oleh umat islam, khususnya di Indonesia.
Banten,
Kesultanan, sebuah pemerintahan islam di Banten berdiri sejak tahun 1527, pada
mulanya, Banten merupakan daerah kekuasaan kerajaan Hindu Budha pajajaran, pada
tahun 1527 Banten direbut oleh dan diperintah oleh Faletehan dari Demak. Sejak
saat ini mulai berdiri pemerintahan islam di Banten, yang kelak menjadi
kesultanan setelah Demak mengalami kemunduran.
Kesultanan
Banten mulai meluas kekuasaannya dan mencapai kemajuan di bidang perdagangan
sejak pemerintahan Hasanuddin. Ia memerintah Banten setelah kepindahan
faletehan ke Cirebon pada tahun 1552. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana
Yusuf 1579-1580, Pajajaran ditaklukkan.
Sejak sebelum
zaman islam, ketika masih berada di bawah kekuasaan raja-raja sunda (dari
Pajajaran , atau mungkin sebelumnya). Banten sudah menjadi kota yang berarti.
Dalam tulisan Sunda kuno, cerita parahyangan, disebut- sebut nama wahanten
Girang. Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan ujung
barat pantai utara Jawa. Pada tahun 1524/1525 sunan gunung jati dari Cirebon,
meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan islam serta bagi
perdagangan orang-orang islam disana.
Menurut sumber
tradisional , penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan gunung Jati dengan
ramah tamah dan tertarik masuk islam. Ia meratakan jalan bagi kegiatan
pengislaman disana. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu
dengan bantuan tentara jawa yang memang dimintanya. Namun, menurut berita
Barros, penyebaran islam di Jawa barat tidak
melalui jalan damai, sebagaimana disebut oleh sumber tradisional. Beberapa
pengislaman mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh
kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang dengan
tiba-tiba.
C.
Masuk dan
meluasnya agama Islam di Banten
Kalau kita
berbicara tentang masuk dan meluasnya agama Islam di Jawa Barat, tentunya kita
ingat jasa orang tokoh Islam yang disebut Wali sunan Gunung Jati atau Susuhan
Jati atau Syarif Hidayatullah yang dimakamkan di Pasir Jati puncak bukit
Sembung, Cirebon. Kemudian ingatan kita akan berlanjut bahwa Sunan jati itu
identik dengan Fatahillah, Fadhilah Khan, dan Faletehan.
D.
Pembentukan
Budaya Banten
Masyarakat dan
budaya Banten, terutama dngan alam dan budaya islamnya, mungkin hanya dapat
dikenali dengan merunut kembalinya peristiwa sejarah tansformasi pusat
administasi politik dari Banten Girang di pedalaman-yang berada di bawah
subordonasi Pakuan Pajajaran yang hindustik, ke daerah pantai yang dikenal
dengan Bantenlama. Peristiwa transformasi tersebut berlangsung pada tahun 1526
oleh Syarif Hidayatullah dan Maulan Hasanuddin. Sejak itu, embiro dan fondasi
masyarakat dan budaya Banten diletakkan dan ditetapkan dalam format yang
berciri keislaman. Miksic (1986) memperlihatkan fase-fase pertumbuhan
perkembangan budaya Banten dalam panggung sejarah, yang dapat dirunut dalam
fase-fase berikut:
1.
Fase pra-sunda
Islam (1400- 1525). Pada masa itu Banten merupakan daerah bawahan kerajaan
Pakuan Pajajaran yang hindustis, yang berpusat di Banten Girang (kota Serang
sekarang).
2.
Fase awal
penyebaran Islam (1525- 1619), suatu fase dimana Islam disiarkan oleh Sunan
Gunung Jati dari Cirebon dan Maulana
3.
Hasanuddin yang
beraliansi dengan Demak. Pada masa ini terjadi tansformasi keagamaan,
perpindahan pusat pemerintahan dan mulai berkembangnya Banten sebagai pelabuhan
altenatif setelah Malaka. Pendirian kota Banten Sorasowan, dengan
komponen-komponen arsitektur dan monumental berciri islam, telah menyebabkan
pertumbuhan dan ramainya perdagangan. Para pedagang Inggris, Denmark, portugis
dan turki datang serta melakukan tansaksi perdagangan di bandar Banten.
Sebelumnya, Banten telah berhubungan dengan Cina, sehingga etnis teakhir ini
telah membentuk suatu komunitas tersendiri yang memberi sumbangan besar bagi
perkembangan perdagangan di Banten.
4.
Fase
keseimbangan kekuatan, yakni satu fase tanpa adidya dimana seluruh kekuatan
politik dan ekonomi yang ada di Banten memiliki kekuatan yang seimbang (armada
dagang Eropa, Kesultanan Banten, Cirbon, Batavia dan Mataram). Keseimbangan
kekuatan ini dinataranya bisa dilihat dari beberapa peristiwa politik yang
berlangsung saat itu, yang tidak memperlihatkan adanya dominasi satu kekutan politik
tertentu trhadap kekuatan politik lain: yakni penyerangan Banten ke Batavia,
blokade Belanda atas Teluk Banten, tumbuh dan kuatnya kekuasaan sultan Ageng
tirtayasa, dan pulihnya tingkat kemakmuran masyarakat Banten. Lebih dari itu,
pada fase ini lah Banten mencapai ketinggian budaya/ tamaddun islam.
5.
Fase penguasaan
VOC/Belanda, pendirian Benteng Speelwijk yang langsung memperlihatkan wujud
hubungan antara Banten dan VOC, masih berkembangnya ”kota” Surosowan dan
lain-lain.
6.
Fase surut dan
jatuhnyaKesultanan Banten, Hindia Belanda terkena imbas perang Napoleonik/ Rep.
Batavia, internal penguasaan Inggris (1811-1816), pemindahan administrasi
politik ke Serang, Surasowan di hancurkan, didirikannya keraton Kaibon dan
dipecahnya bekas wilayah kesultanan Banten menjadi 3 daerah serata kabupaten
(Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer) di bawah pengawasan Landrrad (setara
residen), pada tahun 1809 pembuatan jalan raya Deanddles.
7.
Fase Mutakhir,
Setelah kesultanan Banten dihapuskan oleh Belanda timbul berbagai pergolakan,
pemberontakan dan perlawanan rakyat dipimpin oleh para ulama/ bangsawan,
bencana alam (meletusnya Krakatau dan wabah penyakit sampar), pendudukan
Jepang, perang kembali.
Di balik semua
kilas balik sejarah ini, hal yang tetap hidup dan terus mengakar pada
masyarakat Banten adalah kultur/kebudayaan islam. Pesanten terus menerus
menghasilkan kader dan para ulama tetap berdakwah. Rakyat mulai mengarahkan
orientasi kepemimpinan dari raja/ sultan kepada para mubaligh/kyai/ ulama.
Dalam situasi seperti ini, yang bermula sejak pertumbuhan islam di Banten,
budaya pesisiran dan budaya pedalaman di daerah selatan Banten (kecuali daerah
Baduy) terus menerus memantapkan keislamannya. Warisan budaya yang
dihasilkannya adalah karya-karya arsitektural yang hanya mungkin diproduksi
dalam satu lingkungan kehidupan budaya yang tinggi. Oleh karena itu, dari segi
budaya Banten dapat disetarakan dengan masyarakat kota seperti Mataram dan
Cirebon.
Label islam
dalam budaya Banten nampaknya cukup kuat bahkan hingga saat ini. Hal itu
terbukti dengan hadirnya para qori & qori’ah, ulama pesantren yang tersebar
di seluruh pelosok Banten. Pusat-pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam di
wilayah Banten, untuk sekedar menyambut beberapa lokasi-terdapat di Tanara,
Tubuy, Muruy, Caringin, Cilegon, Bojonegara, Pontang dan sebagainya. (Sartono
Kartodirdjo, 1984, 1988; Teuku Ibrahim Alfian, 1994;466-480, Hasan Muarif
Ambary,1992).
F. Sejarah Banten
Berdiri
Kerajaan Salakanagara (Negeri Perak)yang beribukota Rajatapura yang terletak di
pesisir barat Pandeglang. Raja pertama Dewawarman I (130 – 168 M) yang bergelar
Aji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan)
Daerah kekuasaannya meliputi :
•
Kerajaan
Agrabinta di Pulau Panaitan
•
Kerajaan
Agnynusa di Pulau Krakatau
•
Dan daerah
ujung selatan Sumatera
165 M Banten (Pulau Panaitan) masuk dalam peta
yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus sebagai bagian dari jalur pelayaran dari
Eropa menuju Cina dengan melalui India, Vietnam, ujung utara dan pesisir barat
Sumatera, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Cina Selatan sampai
ke Daratan Cina. Abad V M Prasasti Munjul yang diperkirakan berasal dari abad
ke V masehi ditemukan di Sungai Cidangiang, Lebak Munjul – Pandeglang. Prasasti
berhurufkan palawa dengan bahasa sanksekerta menyatakan bahwa raja yang
berkuasa di kawasan tersebut adalah Raja Purnawarman dari Kerajaan
Tarumanegara. Dalam prasasti tersebut dituliskan juga bahwa negara pada saat
itu berada dalam kemakmuran dan kejayaannya.
•
Abad XII – XV
Banten menjadi pelabuhan dari Kerajaan Pajajaran.
•
Abad XIV
Ditemukan prasasti di Bogor, yang menyatakan Pakuan Pajajaran didirikan oleh
Sri Sang Ratu Dewata, yang daerah kekuasaannya meliputi seluruh Banten, Kalapa
(Jakarta), Bogor, sampai Cirebon.
•
Abad XVI Awal
abad ke XVI, Banten dibawah pemerintahan Prabu Pucuk Umun (Dalam Babad Cibeber
disebut juga sebagai Ratu Ajar Domas). Pusat pemerintahannya terletak di Banten
Girang, yang dihubungkan dengan pelabuhan Banten melalui Sungai Cibanten, dan
melalui Klapadua sebagai jalur darat.
1513 M Tome
Pires, pelaut Portugis, memberitakan bahwa pelabuhan Banten merupakan pelabuhan
kedua terbesar setelah Kalapa. Telah terjadi hubungan perniagaan dengan
Sumatera dan Maladewa, dan pelabuhan Banten merupakan pengekspor beras, bahan
makanan dan lada.
Pada masa ini,
diberitakan juga sudah banyak dijumpai orang Islam di daerah Cimanuk, dan kota
kota pelabuhan seperti Kalapa dan Banten. 1511-21 M Tanggal 5 Agustus 1511 M, Bangsa Portugis menguasai Malaka dan
disusul dengan takluknya Samudera Pasai pada tahun 1521 M. Selain untuk
kekuasaan dan kekayaan, bangsa Portugis juga dibebani misi untuk menghancurkan
agama Islam. Dengan menguasai Malaka, bangsa Portugis
memonopoli perdagangan rempah rempah di Asia Tenggara, dan memberlakukan
peraturan peraturan yang memberatkan bagi para pedagang terutama yang beragama
Islam. Kondisi ini membuat pedagang pedagang dari Arab, Parsi, Cina, dan bangsa
lain enggan untuk berniaga ke Malaka dan mengalihkannya ke Aceh, Banten,
Cirebon, dan Demak.
Keadaan ini sangat menguntungkan bagi Pelabuhan Banten yang berkembang
semakin pesat dan lama kelamaan menjadi pusat penyebaran agama Islam di bagian
barat pulau Jawa. 1521 M Dengan semakin berkembang pesatnya kekuatan Islam di
barat dan timur, timbul kekhawatiran raja Pajajaran akan semakin terdesaknya
agama Hindu selaku agama resmi kerajaan dan juga lunturnya kekuasaan di di
daerah pantai. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Prabu
Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu
Dewata) melakukan :
•
Pembatasan pedagang
pedagang yang beragama Islam mengunjungi pelabuhan pelabuhan yang berada di
bawah kekuasaan Pajajaran.
•
Menjalin
hubungan persahabatan dan kerjasama dengan bangsa Portugis di Malaka, agar
dapat membantu Pajajaran bila diserang Kerajaan Demak, dengan mengutus putera
mahkota Pajajaran Ratu Sangiang atau Surawisesa ke Malaka.
1522 M 21
Agustus 1522 M, Henrique Leme, utusan Gubernur Malaka, menandatangani
perjanjian dengan raja Pajajaran, Pangeran Surawisesa, pengganti Sri Baduga
Maharaja. Perjanjian tersebut berisi antara lain :
•
Portugis dapat
mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kelapa
•
Raja Pajajaran
akan memberikan lada sebanyak yang diperlukan Portugis sebagai penukaran barang
barang kebutuhan Pajajaran.
•
Portugis
bersedia membantu Pajajaran apabila diserang Demak atau kerajaan lainnya.
•
Sebagai tanda
persahabatan, Pajajaran akan memberikan hadiah 1000 karung lada setiap tahunnya
kepada Portugis.
1525 M Pasukan
gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah, Pangeran Cirebon, Dipati
Cangkuang, dan Dipati Keling, serta pasukan lokal di bawah pimpinan Hassanudin
dapat menguasai Banten.
Untuk menjaga
stabilitas keamanan di Banten, Hassanudin kemudian diangkat menjadi Adipati
Banten dengan pusat pemerintahan di Banten Girang.
1526 M Atas
petunjuk dari Sunan Gunung Jati, ibukota Banten dipindahkan ke dekat pelabuhan
Banten, yang kemudian disebut dengan Surosowan. Berdasarkan beberapa data,
pemindahan ibukota ini dilakukan pada tanggal 1 Muharram 933 H yang bertepatan
dengan tanggal 8 Oktober 1526 M.
1527 M
Terdengar kabar, Portugis dengan armada dan persenjataan lengkap telah
meninggalkan Malaka menuju Sunda Kelapa. Mendengar berita ini, Demak, Banten,
dan Cirebon bergerak untuk menguasai Sunda Kelapa. Sunda Kelapa dapat dikuasai
pada tahun 1527 M, dan Fatahillah diangkat untuk menjadi Adipati Sunda Kelapa.
Sebagai tanda kemenangan, Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta, yang
berarti Kota Kemenangan. Armada Portugis yang datang dari Malaka untuk
melaksanakan perjanjian tahun 1522 M dengan Kerajaan Pajajaran tiba setelah
Sunda Kelapa dikuasai pasukan Islam. Portugis yang dipimpin oleh Francisco de
Sa melakukan perang terbuka di perairan Sunda Kelapa, dan setelah mendapat
perlawanan hebat dari pasukan Islam, Portugis dapat diusir mundur dari Sunda
Kelapa.
Setelah
Jayakarta berhasil diamankan dari serangan Portugis, Hassanudin dan Fatahillah
bekerjasama menangani pembangunan di Banten dan Jayakarta. Hassanudin
bertanggung jawab dalam masalah pengembangan wilayah dan pendidikan
kemasyarakatan, sedangkan Fatahillah bertanggung jawab menangani keamanan dan
pertahanan wilayah. Sehingga pada masa itu Islam menyebar dengan pesat dan
keamanan negara terjamin. Kedua penguasa di Jawa Barat memerintah atas nama
Sultan Demak.
1552 M Kemajuan
perkembangan Banten yang sangat pesat, menjadikan status Banten ditingkatkan
dari Kadipaten menjadi Kerajaan. Hassanudin ditunjuk sebagai raja pertama. Dan
pada tahun yang sama pula, Fatahillah (menantu dari Sunan Gunung Jati) diangkat
menjadi raja di Cirebon, mewakili Sunan Gunung Jati, dikarenakan mangkatnya
raja Cirebon, Pangeran Pasarean (putera Sunan Gunung Jati) di tahun tersebut.
Untuk menjalankan tugas pemerintahan di Jayakarta diangkat Pangeran Bagus
Angke, menantu Sultan Hassanudin.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
perkembangan sejarah Indonesia, Jawa Barat tidak hanya sekarang saja sebagai
wilayah yang sangat penting, baik dari tinjauan geostrategi dan geoplitik
dewasa ini. Tetapi Jawa barat juga merupakan tempat pertama timbulnya kekuasaan
politik Taruma Negara, membuktikan posisi geografi Jawa Barat mempunyai nilai
tersendiri sejak abad ke-5 Masehi.
Tokoh utama para pendiri agama Islam di Banten,
antara lain adalah:
1.
Fatahillah
(mangkat pada tahun 1570)
2.
Hasanuddin
Sultan Banten I (1552 - 1570)
3.
Pangeran Yusuf
Sultan Banten II (1570 -1580)
4.
Maulan Muhammad
Sultan Banten III (1580 – 1596
Kalau kita
berbicara tentang masuk dan meluasnya agama Islam di Jawa Barat, tentunya kita
ingat jasa orang tokoh Islam yang disebut Wali sunan Gunung Jati atau Susuhan
Jati atau Syarif Hidayatullah yang dimakamkan di Pasir Jati puncak bukit
Sembung, Cirebon.
Masyarakat dan
budaya Banten, terutama dngan alam dan budaya islamnya, mungkin hanya dapat
dikenali dengan merunut kembalinya peristiwa sejarah tansformasi pusat
administasi politik dari Banten Girang di pedalaman-yang berada di bawah
subordonasi Pakuan Pajajaran yang hindustik, ke daerah pantai yang dikenal
dengan Bantenlama.
Berdiri
Kerajaan Salakanagara (Negeri Perak)yang beribukota Rajatapura yang terletak di
pesisir barat Pandeglang. Raja pertama Dewawarman I (130 – 168 M) yang bergelar
Aji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan).
DAFTAR PUSTAKA
Graff dan Pigeud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafiti pers Catatan Pertama, Ai-
Ma’arif
Buchari, S. Ibrahim. 1971. Sejarah Masuknya Islam dan Proses
Islamisasi di Indonesia. Djakarta: publicita
Zuhri Saifudin. 1979. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung:
Catatan Pertama, Ai- Ma’arif
Djajadiningrat Hoesein. 1983. Tinjaun Kritis Tentang Sejarah
Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan