BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masyarakat kota
pada umumnya sebagai kesatuan jaringan kehidupan
manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan
strata sosial ekonomi yang heterogen serta coraknya materialistis. Masyarakat
kota terdiri atas penduduk asli daerah tersebut dan pendatang. Masyarakat kota
merupakan suatu masyarakat yang heterogen, baik dalam hal mata pencaharian,
agama, adat, dan kebudayaan. Kota adalah suatu tempat yang penghuninya dapat
memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Ciri kota adalah
adanya pasar sebagai benteng serta mempunyai sistem hukum tersendiri dan
bersifat kosmopolitan.
Struktur penduduk kota dari segi umur menunjukkan bahwa mereka lebih banyak
tergolong dalam umur produktif. Kemungkinan besar adalah bahwa mereka yang
berumur lebih dari 65 tahun atau mereka yang sudah pensiun lebih menyukai
kehidupan dan suasana yang lebih tenang.
Sudah jelas bahwa jenis mata pencaharian penduduk kota adalah di bidang non
agraris seperti pekerjaan-pekerjaan di bidang perdagangan, kepegawaian,
pengangkutan dan di bidang jasa serta lain-lainnya. Dengan demikian struktur
dari segi jenis-jenis mata pencaharian akan mengikuti fungsi dari suatu kota.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, penulis akan merumuskan beberapa rumusan masalah diantaranya
:
1.
Apa pengertian dari Masyarakat Kota
?
2.
Apa saja struktur masyarakat kota ?
3.
Bagaimana karakteristik masyarakat
kota ?
4.
Bagaimana sifat-sifat masyarakat
kota?
5.
Bagaimana sikap dan tingkah laku
masyarakat kota?
6.
Apa saja masalah-masalah perkotaan?
7.
Bagaimana prilaku sosial masyarakat
kota?
C.
Tujuan Penulis
Berdasarkan
rumusan masalah, maka penulis memiliki beberapa tujuan untuk pembaca
diantaranya :
1.
Untuk mengetahui apa pengertian
masyarakat kota.
2.
Untuk mengetahui apa saja struktur
masyarakat kota.
3.
Untuk mengetahui karakteristik dari
masyarakat kota.
4.
Untuk mengetahui sifat-sifat
masyarakat kota.
5.
Untuk mengetahui sikap dan tingkah
laku masyarakat kota.
6.
Untuk mengetahui masalah-masalah
perkotaan.
7.
Untuk mengetahui prilaku sosial
masyarakat kota.
D.
Metode Penulis
Penulis memuat
makalah ini, dengan menggunakan metode pustaka yang di ambil dari beberapa
referensi yang dianalisa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Masyarakat Kota
Masyarakat perkotaan
sering disebut urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan
pada sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan
masyarakat pedesaan. Masyarakat Kota memperlihatkan sifat yang lebih
mementingkat Rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep
Gesellschaft atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukan hal-hal yang
bersifat emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal
yang bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral dalam
perasaannya.[i]
Para ahli memberi
pengertian tentang kota sesuai dengan sudut pandang keilmuannya masing-masing.
Pengertian kota menurut beberapa ahli sebagai berikut.
1.
(Bintarto)
Kota sebagai kesatuan
jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi
dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen serta coraknya
materialistis. Masyarakat kota terdiri atas penduduk asli daerah tersebut dan
pendatang. Masyarakat kota merupakan suatu masyarakat yang heterogen, baik dalam
hal mata pencaharian, agama, adat, dan kebudayaan.
2.
(Max Weber)
Kota adalah suatu
tempat yang penghuninya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di
pasar lokal. Ciri kota adalah adanya pasar sebagai benteng serta mempunyai
sistem hukum tersendiri dan bersifat kosmopolitan.
3.
(Louis Wirth)
Kota adalah permukiman
yang relatif besar, padat, dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen
kedudukan sosialnya.
4.
(Arnold Toynbee)
Kota selain merupakan permukiman juga merupakan suatu kekompleksan yang
khusus dan tiap kota menunjukkan pribadinya masing-masing.
5.
(Grunfeld)
Kota adalah suatu
permukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi daripada kepadatan
penduduk nasional, struktur mata pencaharian nonagraris, dan sistem penggunaan
tanah yang beraneka ragam, serta ditutupi oleh gedung-gedung tinggi yang
lokasinya berdekatan.
6.
(Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987,
pasal 1)
Disebutkan kota adalah
pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan administrasi yang
diatur dalam perundang-undangan, serta permukiman yang telah memperlihatkan
watak dan ciri kehidupan perkotaan.
Dengan demikian, masyarakat kota adalah suatu masyarakat yang heterogen,
baik dalam hal mata pencaharian, agama, adat, dan kebudayaan.
B.
Struktur Masyarakat
Kota
Struktur Masyarakat Kota ini dapat dibagi kedalam beberapa segi
diantaranya:
1. Segi Demografi
Ekspresi demografi dapat ditemui di kota-kota
besar. Kota-kota sebagai pusat perdagangan, pusat pemerintahan dan pusat jasa
lainnya menjadi daya tarik bagi penduduk di luar kota. Jenis kelamin dalam hal
ini mempunyai arti penting, karena semua kehidupan sosial dipengaruhi oleh
proporsi atau perbandingan jenis kelamin. Suatu kenyataan ialah bahwa pada
umumnya kota lebih banyak dihuni oleh wanita daripada pria.Struktur penduduk
kota dari segi umur menunjukkan bahwa mereka lebih banyak tergolong dalam umur
produktif. Kemungkinan besar adalah bahwa mereka yang berumur lebih dari 65
tahun atau mereka yang sudah pensiun lebih menyukai kehidupan dan suasana yang
lebih tenang. Suasana ini terdapat di daerah-daerah pedesaan atau sub urban.
2. Segi Ekonomi
Struktur kota dari segi ini dapat dilihat dari
jenis-jenis mata pencaharian penduduk atau warga kota. Sudah jelas bahwa jenis
mata pencaharian penduduk kota adalah di bidang non agraris seperti
pekerjaan-pekerjaan di bidang perdagangan, kepegawaian, pengangkutan dan di
bidang jasa serta lain-lainnya. Dengan demikian struktur dari segi jenis-jenis
mata pencaharian akan mengikuti fungsi dari suatu kota.
3.
Segi Segregasi
Segregasi dapat dianalogkan dengan pemisahan
yang dapat menimbulkan berbagai kelompok (clusters), sehingga kita sering
mendengar adanya: kompleks perumahan pegawai bank, kompleks perumahan tentara,
kompleks pertokoan, kompleks pecinan dan seterusnya. Segregasi ini ditimbulkan
karena perbedaan suku, perbedaan pekerjaan, perbedaan strata sosial, perbedaan
tingkat pendidikan dan masih beberapa sebab-sebab lainnya, Segregasi menurut
mata pencaharian dapat dilihat pada adanya kompleks perumahan pegawai, buruh,
industriawan, pedagang dan seterusnya, sedangkan menurut perbedaan strata
sosial dapat dilihat adanya kompleks golongan berada. Segregasi ini tidak akan
menimbulkan masalah apabila ada saling pengertian, toleransi antara fihak-fihak
yang bersangkutan.
Segregasi ini dapat disengaja dan dapat pula
tidak di sengaja. Disengaja dalam hubungannya dengan perencanaan kota misalnya
kompleks bank, pasar dan sebagainya. Segregasi yang tidak disengaja terjadi
tanpa perencanaan, tetapi akibat dari masuknya arus penduduk dari luar yang
memanfaatkan ruang kota, baik dengan ijin maupun yang tidak dengan ijin dari
pemerintahan kota. Dalam hal seperti ini dapat terjadi slums. Biasanya slums
ini merupakan daerah yang tidak teratur dan bangunan-bangunan yang ada tidak
memenuhi persyaratan bangunan dan kesehatan.
Adanya segregasi juga dapat disebabkan sewa atau
harga tanah yang tidak sama. Daerah-daerah dengan harga tanah yang tinggi akan
didiami oleh warga kota yang mampu sedangkan daerah dengan tanah yang murah
akan didiami oleh swarga kota yang berpenghasilan sedang atau kecil. Apabila
ada kompleks yang terdiri dari orang-orang yang sesuku bangsa yang mempunyai
kesamaan kultur dan status ekonomi, maka kompleks ini atau clusters semacam ini
disebut dengan istilah ”natural areas”.
.
C.
Karakteristik
Masyarakat Kota
Perkembangan kota
merupakan manifestasi dari pola-pola kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan dan
politik.
Kesemuanya akan tercermin dalam komponen-komponen yang membentuk stuktur kota
tersebut. Secara umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan perkotaan setidaknya
mengandung 5 unsur yang meliputi :
1.
Wisma : unsure ini merupakan bagian ruang kota yang
dipergunakan untuk tempat berlindung terhadap alam sekelilingnya, serta untuk
melangsungkan kegiatan-kegiatan sosial dalam keluarga.
2.
Karya : unsure ini merupakan syarat yang utama bagi
eksistensi suatu kota, karena unsure ini merupakan jaminan bagi kehidupan
bermasyarakat.
3.
Marga : unsure ini merupakan ruang perkotaan yang
berfungsi untuk menyelenggarakan hubungan antara suatu tempat dengan tempat
lainnya didalam kota, serta hubungan antara kota itu dengan kota lain atau
daerah lainnya.
4.
Suka : unsure ini merupakan bagian dari ruang
perkotaan untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan fasilitas hiburan, rekreasi,
pertamanan, kebudayaan dan kesenian
5.
Penyempurna : unsure ini merupakan bagian yang penting
bagi suatu kota, tetapi belum secara tepat tercakup ke dalam keempat unsur
termasuk fasilitas pendidikan dan kesehatan, fasiltias keagamaan, perkuburan
kota dan jaringan utilitas kota.
Ciri-ciri atau karakteristik masyarakat kota dapat kita ketahui
dari beberapa aspek kehidupan kota, baik dari ciri fisik dan sosial.
Ciri Fisik Masyarakat Kota
|
Ciri Sosial Masyarakat Kota
|
1. Sarana perekonomian
seperti pasar atau supermarket.
|
1. Masyarakatnya
heterogen.
|
2. Tempat
parkir yang memadai.
|
2.
Bersifat individualistis dan materialistis.
|
3.
Tempat rekreasi dan olahraga.
|
3. Mata
pencaharian nonagraris.
|
4.
Mempunyai taman kota
|
4.
Corak kehidupannya bersifat gesselschaft (hubungan
kekerabatan mulai pudar).
|
5. Gedung-gedung
pemerintahan.
|
5. Terjadi
kesenjangan sosial antara golongan masyarakat kaya dan masyarakat miskin.
|
6.
Sekolah- sekolah yang berkualitas
|
6.
Norma-norma agama tidak begitu ketat.
|
7.
Mempunyai pusat pemerintahan
|
7. Pandangan
hidup lebih rasional.
|
D.
Sifat-Sifat Masyarakat
Kota
Masyarakat kota adalah
masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari manusia yang bermacam-macam
lapisan/tingkatan hidup, pendidikan, kebudayaan, perekonomian, dan lain-lain.
Mayoritas penduduknya hidup berjenis-jenis usaha yang bersifat non agraris.
Yang dapat dirasakan sistem kehidupan masyarakat kota mempunyai corak-corak
kehidupan tertentu yang jauh berbeda apabila dibandingkan dengan masyarakat
desa.
Sifat-sifat yang tampak menonjol pada masyarakat kota
ialah:
1.
Sikap Kehidupan
Sikap hidupnya cenderung pada individuisme/egoisme. Yaitu masing-masing
anggota masyarakat berusaha sendiri-sendiri tanpa terikat oleh anggota masyarakat
lainnya, hal mana yang menggambarkan corak hubungan yang terbatas, di mana
setiap individu mempunyai otonomi jiwa atau kemerdekaan pribadi sebagaimana
yang disebut oleh Prof. Djojodiguno, S. H. dengan istilahnya masyarakat
Patembayan atau sama dengan yang dimaksud oleh Sosiologi Jerman Ferdinand
Tonnies yang terkenal dengan istilahnya Gesselschaft.
2.
Tingkah Laku
Tingkah lakunya bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal, dan
dinamis. Dari segi budaya masyarakat kota umumnya mempunyai tingkatan budaya
yang lebih tinggi, karena kreativitas dan dinamikanya kehidupan kota lebih
cepat mengadakan reaksi, lebih cepat menerima mode-mode dan kebiasaan-kebiasaan
baru.
3.
Perwatakan-perwatakan
Perwatakannya cenderung pada sifat materialistis. Akibat dari sikap hidup
yang egoism dan pandangan hidup yang radikal dan dinamis, menyebabkan
masyarakat kota lemah dalam segi religi, yang menimbulkan efek-efek negative
yang berbentuk tindakan amoral, indisipliner, kurang memperhatikan
tanggungjawab sosial.
E.
Sikap Hidup Dan Tingkah
Laku Masyarakat Kota
Untuk memberikan gambaran secara tertib dan jelas tentang kehidupan
masyarakat kota sebagaimana yang tercantum dalam pasal-pasal terdahulu/tinjauan
umum, berikut ini akan diuraikan sebagai berikut.
1.
Sikap Hidup Masyarakat Kota
Sikap hidup masyarakat kota pada umumnya mempunyai taraf hidup yang lebih
tinggi daripada masyarakat desa. Hal ini menuntut lebih banyak biaya hidup
sebagai alat pemuas kebutuhan yang tiada terbatas yang mana menyebabkan orang
berlomba-lomba mencari usaha/kesibukan, mencari nafkah demi kelangsungan hidup
pribadi/keluarganya.
Akibatnya, timbullah sikap pembatasan diri di dalam pergaulan masyarakat
dan terpupuklah faham mementingkan diri sendiri yang akhirnya timbullah sikap
individualism/egoisme.
2.
Tingkah Laku
Tingkah lakunya sebagaimana yang telah diuraikan, bahwa untuk mencapai
usaha ke arah pemmenuhan materi dibutuhkan adanya daya upaya yang menuntut akal
pikiran atau rasio yang mantap. Di dalam masyarakat kota, mengingat banyaknya
fasilitas-fasilitas yang tersedia, memungkinkan masyarakat kota meningkatkan
pengetahuan mereka dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang perekonomian.
3.
Pandangan Hidupnya
Pandangan hidupnya menjurus pada materialistis. Nampak jelas dari sikap
hidup maupun tingkah laku masyarakat kota menjurus kepada mementingkan diri
pribadi, yang mana mengakibatkan mereka untuk mengabaikan faktor-faktor sosial
dalam lingkungan masyarakat sekitarnya.
Hal lain yang berpengaruh besar terhadap masyarakat kota di bidang
perekonomiannya dimana income per kapitanya sebagian lebih besar, maka
kemampuan membelinya juga lebih besar, sehingga maksud membeli barang-barang
mewah kemungkinan besar tinggi karena dapat menjangkau harga yang lebih tinggi.
F.
Masalah-Masalah
Perkotaan
Perkotaan merupakan sebuah daerah yang mana mempunyai
banyak masalah yang tidak dapat terselesaikan dan terjadi sangat pesat serta
tidak terkendali. Berbeda jauh dengan pedesaan yang memiliki sedikit masalah.
oleh karena itu mari kita simak beberapa masalah- masalah yang dialami
perkotaan diantaranya sebagai berikut:
1.
Pengangguran, terutama disebabkan oleh derasnya arus
urbanisasi. Sebagian besar mereka yang urbanisasi tidak memiliki keterampilan,
sehingga mereka hanya bekerja sebagai buruh kasar
2.
Degradasi moral dan kejahatan, degradasi moral yang
sering terjadi adalah berkumpul sebelum menikah, pelacuran, narkotika,
seakan-akan mempunyai legalitas tertentu bagi masyarakat kota. Menegur dan
memberi nasihat satu sama lain sudah dianggap mencampuri urusan orang lain,
sehingga sangat jarang terjadi reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran moral
tersebut.
3.
Keadaan ekonomi yang sampai sekarang belum dapat
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia.
4.
Ada beberapa orang yang terus-menerus mengumpulkan
harta bendanya tanpa memikirkan keadaan yang miskin. Lambat laun perbedaan
antara yang miskin dan yang kaya makin lama makin besar, sehingga
pemikiran-pemikiran seperti kaum sosialis berpendapat seperti Karl Marx, bahwa
yang kaya menjadi lebih kaya, dan yang miskin menjadi lebih miskin.
G. Perilaku
Sosial Masyarakat Perkotaan
Salah satu
persoalan kompleks yang terjadi hampir di semua kota besar di dunia adalah
berkembangnya perilaku yang dinilai asocial dan bertentangan dengan norma-norma
kewajaran. Semakin makmur satu negara dan semakin taat hukum masyarakat, maka
perilakunya pun memiliki ketertiban yang sejalan dengan cita-cita pertumbuhan
kota modern. Namun faktanya, kondisi negara amatlah beragam, kota modern
dibangun bukannya semakin tertib, tetapi mengundang kaum urban untuk hijrah secara
besar-besaran menuju kota baru tersebut.
Tidak ada
kota yang tidak mengandung masalah di dunia ini, namun tingkat permasalahan
itulah yang menjadi ukuran “keberhasilan” program pembangunan perkotaan.
Terdapat dua masalah kunci di kota-kota besar yaitu masalah makro perkotaan
dengan sistem pengelolaannya dan masalah detil perkotaan yang menyangkut
perilaku warganya dalam memelihara dan berkegiatan di dalam kota. Justru
permasalahan detil kota inilah hingga akhir abad ke-20, yang menciptakan kota
sebagai bagian permasalahan sosial yang kompleks. Kota-kota di Indonesia tak
luput dari permasalan di atas dengan variasi permasalahan yang jauh lebih
kompleks dibandingkan dengan kota-kota lainnya di dunia, karena di samping
jumlah penduduk yang beragam, juga kepadatan kota yang kian tak terkendali.
Demikian
pula perilaku masyarakat kota menjadi amat beragam karena datangnya kaum urban
dari berbagai daerah pinggiran kota, maupun daerah lain. Berdasarkan pengamatan
penulis terdapat sejumlah perilaku khas (stereotip) yang terjadi di berbagai
kota di Indonesia, diantaranya:
1. Perwajahan kota yang tak tertib
Hampir
diberbagai kota besar dan kecil di Indonesia berhadapan dengan permasalahan
yang sama yaitu terjadinya ‘unjuk visual’ yang membuat kota seperti ‘tong
sampah’ yang segala ada. Bangunan di pinggir jalan selalui dipenuhi oleh
iklan-iklan produk dengan bentuk yang acak, mulai papan took, bilbor, spanduk,
baliho dan tayangan-tayangan visual verbal. Semuanya masing-masing ‘berteriak’.
Dengan wujud dan dimensi yang semakin besar. Bilbor yang tadinya ckup dua kali
dua meter kini mulai terpajang dalam bentuk delapan kali lima meter dengan
tinggi sepuluh meteran. Diletakkan diperempatan jalan strategis, kemudian di
bawahnya masih terbentang spanduk dan bilbor-bilbor kecil. Dalam posisi itu,
lampu lalu lintas dan rambu lalu lintas hilang tertelan oleh ‘hutan visual’
yang tal tertata. Demikian pula para pedagang makanan kakilima, kini memiliki
kecenderungan memanfaatkan spanduk-spanduk bekas dengan unsur rupa tersisa,
kemudian dengan penempatan yang menyita lahan pejalan kaki, maka semakin
riuhlah keadaan.
2. Ruwetnya sistem informasi
Kurangnya
papan informasi dan tanda-tanda penunjuk arah, menyebabkan para wisatawan dan
pendatang baru amat sulit mencari alamat yang dituju, di samping juga informasi
tentang kendaraan, nomer trayek, bahkan posisi pelaku di tengah kota. Unsur
keruwetan visual yang memiliki kesamaan di berbagai kota, menyebabkan para
pengguna jalan kebingungan. Pusat-pusat penerangan wisata, peta kota, hingga
arah jalan tak lagi memiliki makna, karena tidak direncanakan secara sistematis
dan komunikatif. Tersesat di tengah kota, terutama pendatang baru, amatlah
terbiasa karena sistem informasi dan sistem pertandaan kota belumlah jelas
benar.
3. Kemacetan permanen
Tiadanya
disiplin berlalu lintas, bahkan dibeberapa kota padat selalui ditandai oleh
kemacetan permanen yang terjadi pada jam-jam tertentu, atau situasi tertentu.
Kemacetan di satu ruas jalan berdampak kepada kemacetan total sebagian besar
kota. Hal ini menumbuhkan sikap asocial para pemakai jalan, terutama kendaraan
angkutan umum yang mengejar target perolehan setoran. Hal itu juga terjadi
dengan para pejalan kaki yang tak lagi tertib dalam memakai jalan, sehingga di
jalan tak ada lagi hukum yang dapat ditegakkan. Biaya kemacetan tiap hari makin
tinggi, dibandingkan hasil produktif yang seharusnya diperoleh. Demikian pula
halnya dengan pencemaran udara yang diakibatkan asap kendaraan di satu lokasi
telah mencapai batas yang ditolerir.
4. Kota yang kotor
Perilaku kebersihan
kota yang masih rendah, ditandai oleh sebaran sampah, debu, lubang, tidak
tertibnya parker dan lalu lalang manusia di jalan-jalan padat kendaraan. Jumlah
penduduk yang terlampau padat dengan strata dan kegiatan sosial yang beraneka
menciptakan situasi kota menjadi ‘chaos’. Demikian pula pedagang kakilima,
pertokoan sporadic, papan took yang ‘berteriak’, bahu jalan yang tak beraturan,
kabel listrik dan telpon yang semrawut serta sampah yang bertebaran membangun
citra kota menjadi kumuh serta berkesan tak terawat.
5. Pamer ‘kemewahan’
Kebiasaan
‘berteriak’ dengan bahasa visual, melalui coretan, tulisan, hiasan lampu,
keanekaan pagar, keanekaan bentuk rumah dan sebagainya merupakan fenomena baru
mereka yang berlebihan dalam keberjasilan ekonomi. Akibatnya tumbuhlah berbagai
jenis bangunan yang amat tak beraturan dan beraneka dan juga yang disertai oleh
tiadanya penegakan peraturan izin bangunan. Demikian pula, tumbuhnya mal-mal
dan supermarket yang besar tanpa memikirkan besaran jalan dan jumlah kendaraan,
sehingga di samping kemacetan, juga tumbuhnya kecemburuan sosial sebagain
masyarakat.
6. Masyarakat miskin yang tak
terkendali
Akibat
lemahnya sector hukum. Tiadanya dinas sosial dan lembaga pengawasan kota yang
efektif, memunculkan kebiasaan tak tertib pedagang kakilima, asongan, pengemis,
pengamen, penyebarang, peminta sumbangan, hingga preman. Kota seolah menjadi
satu wilayah tak bertuan, penguasaannya tergantung kepada uang dan kekuasaan.
Kondisi itulah yang membangun masyarakat ‘tersisih’ semakin membesar, tidak
saja mereka yang berekonomi lemah, para penganggur, tetapi juga mereka yang
berekonomi kuat dan berkeinginan untuk menertibkan diri.
7. Mentalitas ugal-ugalan
Kegetiran
menghadapi hidup yang tak menentu di berbagai kota di Indonesia, menyebabkan
masyarakat mudah menderita depresi dan frustasi sosial. Perilaku pengemudi,
bis, truk gandengan, angkutan kota dan angkutan tak bermesin yang menjadi raja
jalanan. Bahkan banyak pula remaja yang bermotor, pengemudi becak, pejalan
kaki, mengemdarai mobil mewah dan juga kendaraan tentara menjadi ‘hero’ di
tengah jalan.
8. Pekerjaan tumpang tindih
Kebiasaan
pemerintah daerah untuk menunda perbaikan jalan, gorong-gorong, saluran air,
tumpang tindih pekerjaan PU, perbaikan lampu lalu lintas dan juga keurangnya
pemeliharaan pohon telah menjadi suatu hal yang lumrah. Dalam perencanaan yang
lebih konseptual, pekerjaan yang tumpang tindih itu termasuk juga wewenang
setiap instansi dan jadwal pekerjaan. Fenomena ini telah menjadi wacana
pembangunan hamper di seluruh kota di Indonesia termasuk kebijakan-kebijakan
yang berkaitan dengan desain dan perencanaan pembangunan. Kondisi tersebut
mempengaruhi pula perilaku sosial dalam menjalankan pelaksanaan desain di
lapangan, serta kualitas pekerjaan yang dihasilkan.
9. Warga merasa tak memiliki
Perilaku
warga yang merasa tak memiliki kota, dengan jalan mebuang sampah sembarangan,
merusak fasilitas umum ataupun peduli terhadap kerusakan kota. Kondisi tersebut
terjadi karena banyak warga kota luar daerah dan juga tidak konsistennya
penegakan ketertiban di berbagai tempat oleh aparat pemda sendiri, sehingga
menumbuhkan apatisme sosial dan ketakpedulian sosial. Hal itu memicu setiap
warga menjadi amat sensitive dan amat reaktif terhadap pergesekan sosial.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masyarakat kota
pada umumnya sebagai kesatuan jaringan kehidupan
manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan
strata sosial ekonomi yang heterogen serta coraknya materialistis. Masyarakat
kota terdiri atas penduduk asli daerah tersebut dan pendatang. Masyarakat kota
merupakan suatu masyarakat yang heterogen, baik dalam hal mata pencaharian,
agama, adat, dan kebudayaan.
Struktur masyarakat
kota, dapat dilihat dari beberapa segi seperti demografi, ekonomi, dan
segregasi. Dari struktur tersebut, dapat dikaitkan bahwa masyarakat kota
memiliki struktur yang cukup heterogen dan memiliki kebudayaan yang beragam.
Karakteristik
masyarakat kota pula, memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan masyarakat
desa. Ciri dari masyarakat kota dapat dilihat atas ciri fisik serta ciri sosial
yang dimana dari kedua ciri tersebut dapat kita ketahui bagaimana karakteristik
masyarakat kota.
B.
Saran
Jika terdapat kekurangan dalam makalah penulis mohon kritik dan saran dari
pembaca terutama dari dosen pengampu mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia.
Sebagai penulis makalah, menyarankan kepada pembaca untuk dapat memahami
bagaimana Struktur dan Karakteristik masyarakat kota.