BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat kota pada umumnya sebagai kesatuan jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen serta coraknya materialistis. Masyarakat kota terdiri atas penduduk asli daerah tersebut dan pendatang. Masyarakat kota merupakan suatu masyarakat yang heterogen, baik dalam hal mata pencaharian, agama, adat, dan kebudayaan. Kota adalah suatu tempat yang penghuninya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Ciri kota adalah adanya pasar sebagai benteng serta mempunyai sistem hukum tersendiri dan bersifat kosmopolitan.
Struktur penduduk kota dari segi umur menunjukkan bahwa mereka lebih banyak tergolong dalam umur produktif. Kemungkinan besar adalah bahwa mereka yang berumur lebih dari 65 tahun atau mereka yang sudah pensiun lebih menyukai kehidupan dan suasana yang lebih tenang.
Sudah jelas bahwa jenis mata pencaharian penduduk kota adalah di bidang non agraris seperti pekerjaan-pekerjaan di bidang perdagangan, kepegawaian, pengangkutan dan di bidang jasa serta lain-lainnya. Dengan demikian struktur dari segi jenis-jenis mata pencaharian akan mengikuti fungsi dari suatu kota.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan merumuskan beberapa rumusan masalah diantaranya :
1. Apa pengertian dari Masyarakat Kota ?
2. Apa saja struktur masyarakat kota ?
3. Bagaimana karakteristik masyarakat kota ?
4. Bagaimana sifat-sifat masyarakat kota?
5. Bagaimana sikap dan tingkah laku masyarakat kota?
6. Apa saja masalah-masalah perkotaan?
7. Bagaimana prilaku sosial masyarakat kota?
C. Tujuan Penulis
Berdasarkan rumusan masalah, maka penulis memiliki beberapa tujuan untuk pembaca diantaranya :
1. Untuk mengetahui apa pengertian masyarakat kota.
2. Untuk mengetahui apa saja struktur masyarakat kota.
3. Untuk mengetahui karakteristik dari masyarakat kota.
4. Untuk mengetahui sifat-sifat masyarakat kota.
5. Untuk mengetahui sikap dan tingkah laku masyarakat kota.
6. Untuk mengetahui masalah-masalah perkotaan.
7. Untuk mengetahui prilaku sosial masyarakat kota.
D. Metode Penulis
Penulis memuat makalah ini, dengan menggunakan metode pustaka yang di ambil dari beberapa referensi yang dianalisa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Masyarakat Kota
Masyarakat perkotaan sering disebut urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Masyarakat Kota memperlihatkan sifat yang lebih mementingkat Rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep Gesellschaft atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukan hal-hal yang bersifat emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal yang bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral dalam perasaannya.[i] Para ahli memberi pengertian tentang kota sesuai dengan sudut pandang keilmuannya masing-masing. Pengertian kota menurut beberapa ahli sebagai berikut.
1. (Bintarto)
Kota sebagai kesatuan jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen serta coraknya materialistis. Masyarakat kota terdiri atas penduduk asli daerah tersebut dan pendatang. Masyarakat kota merupakan suatu masyarakat yang heterogen, baik dalam hal mata pencaharian, agama, adat, dan kebudayaan.
2. (Max Weber)
Kota adalah suatu tempat yang penghuninya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Ciri kota adalah adanya pasar sebagai benteng serta mempunyai sistem hukum tersendiri dan bersifat kosmopolitan.
3. (Louis Wirth)
Kota adalah permukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya.
4. (Arnold Toynbee)
Kota selain merupakan permukiman juga merupakan suatu kekompleksan yang khusus dan tiap kota menunjukkan pribadinya masing-masing.
5. (Grunfeld)
Kota adalah suatu permukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi daripada kepadatan penduduk nasional, struktur mata pencaharian nonagraris, dan sistem penggunaan tanah yang beraneka ragam, serta ditutupi oleh gedung-gedung tinggi yang lokasinya berdekatan.
6. (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987, pasal 1)
Disebutkan kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan administrasi yang diatur dalam perundang-undangan, serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan.
Dengan demikian, masyarakat kota adalah suatu masyarakat yang heterogen, baik dalam hal mata pencaharian, agama, adat, dan kebudayaan.
B. Struktur Masyarakat Kota
Struktur Masyarakat Kota ini dapat dibagi kedalam beberapa segi diantaranya:
1. Segi Demografi
Ekspresi demografi dapat ditemui di kota-kota besar. Kota-kota sebagai pusat perdagangan, pusat pemerintahan dan pusat jasa lainnya menjadi daya tarik bagi penduduk di luar kota. Jenis kelamin dalam hal ini mempunyai arti penting, karena semua kehidupan sosial dipengaruhi oleh proporsi atau perbandingan jenis kelamin. Suatu kenyataan ialah bahwa pada umumnya kota lebih banyak dihuni oleh wanita daripada pria.Struktur penduduk kota dari segi umur menunjukkan bahwa mereka lebih banyak tergolong dalam umur produktif. Kemungkinan besar adalah bahwa mereka yang berumur lebih dari 65 tahun atau mereka yang sudah pensiun lebih menyukai kehidupan dan suasana yang lebih tenang. Suasana ini terdapat di daerah-daerah pedesaan atau sub urban. 2. Segi Ekonomi
Struktur kota dari segi ini dapat dilihat dari jenis-jenis mata pencaharian penduduk atau warga kota. Sudah jelas bahwa jenis mata pencaharian penduduk kota adalah di bidang non agraris seperti pekerjaan-pekerjaan di bidang perdagangan, kepegawaian, pengangkutan dan di bidang jasa serta lain-lainnya. Dengan demikian struktur dari segi jenis-jenis mata pencaharian akan mengikuti fungsi dari suatu kota.
3. Segi Segregasi
Segregasi dapat dianalogkan dengan pemisahan yang dapat menimbulkan berbagai kelompok (clusters), sehingga kita sering mendengar adanya: kompleks perumahan pegawai bank, kompleks perumahan tentara, kompleks pertokoan, kompleks pecinan dan seterusnya. Segregasi ini ditimbulkan karena perbedaan suku, perbedaan pekerjaan, perbedaan strata sosial, perbedaan tingkat pendidikan dan masih beberapa sebab-sebab lainnya, Segregasi menurut mata pencaharian dapat dilihat pada adanya kompleks perumahan pegawai, buruh, industriawan, pedagang dan seterusnya, sedangkan menurut perbedaan strata sosial dapat dilihat adanya kompleks golongan berada. Segregasi ini tidak akan menimbulkan masalah apabila ada saling pengertian, toleransi antara fihak-fihak yang bersangkutan.
Segregasi ini dapat disengaja dan dapat pula tidak di sengaja. Disengaja dalam hubungannya dengan perencanaan kota misalnya kompleks bank, pasar dan sebagainya. Segregasi yang tidak disengaja terjadi tanpa perencanaan, tetapi akibat dari masuknya arus penduduk dari luar yang memanfaatkan ruang kota, baik dengan ijin maupun yang tidak dengan ijin dari pemerintahan kota. Dalam hal seperti ini dapat terjadi slums. Biasanya slums ini merupakan daerah yang tidak teratur dan bangunan-bangunan yang ada tidak memenuhi persyaratan bangunan dan kesehatan.
Adanya segregasi juga dapat disebabkan sewa atau harga tanah yang tidak sama. Daerah-daerah dengan harga tanah yang tinggi akan didiami oleh warga kota yang mampu sedangkan daerah dengan tanah yang murah akan didiami oleh swarga kota yang berpenghasilan sedang atau kecil. Apabila ada kompleks yang terdiri dari orang-orang yang sesuku bangsa yang mempunyai kesamaan kultur dan status ekonomi, maka kompleks ini atau clusters semacam ini disebut dengan istilah ”natural areas”.
.
C. Karakteristik Masyarakat Kota
Perkembangan kota merupakan manifestasi dari pola-pola kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik.Kesemuanya akan tercermin dalam komponen-komponen yang membentuk stuktur kota tersebut. Secara umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan perkotaan setidaknya mengandung 5 unsur yang meliputi : 1. Wisma : unsure ini merupakan bagian ruang kota yang dipergunakan untuk tempat berlindung terhadap alam sekelilingnya, serta untuk melangsungkan kegiatan-kegiatan sosial dalam keluarga.
2. Karya : unsure ini merupakan syarat yang utama bagi eksistensi suatu kota, karena unsure ini merupakan jaminan bagi kehidupan bermasyarakat.
3. Marga : unsure ini merupakan ruang perkotaan yang berfungsi untuk menyelenggarakan hubungan antara suatu tempat dengan tempat lainnya didalam kota, serta hubungan antara kota itu dengan kota lain atau daerah lainnya.
4. Suka : unsure ini merupakan bagian dari ruang perkotaan untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan fasilitas hiburan, rekreasi, pertamanan, kebudayaan dan kesenian
5. Penyempurna : unsure ini merupakan bagian yang penting bagi suatu kota, tetapi belum secara tepat tercakup ke dalam keempat unsur termasuk fasilitas pendidikan dan kesehatan, fasiltias keagamaan, perkuburan kota dan jaringan utilitas kota.
Ciri-ciri atau karakteristik masyarakat kota dapat kita ketahui dari beberapa aspek kehidupan kota, baik dari ciri fisik dan sosial.
Ciri Fisik Masyarakat Kota | Ciri Sosial Masyarakat Kota |
1. Sarana perekonomian seperti pasar atau supermarket. | 1. Masyarakatnya heterogen. |
2. Tempat parkir yang memadai. | 2. Bersifat individualistis dan materialistis. |
3. Tempat rekreasi dan olahraga. | 3. Mata pencaharian nonagraris. |
4. Mempunyai taman kota | 4. Corak kehidupannya bersifat gesselschaft (hubungan kekerabatan mulai pudar). |
5. Gedung-gedung pemerintahan. | 5. Terjadi kesenjangan sosial antara golongan masyarakat kaya dan masyarakat miskin. |
6. Sekolah- sekolah yang berkualitas | 6. Norma-norma agama tidak begitu ketat. |
7. Mempunyai pusat pemerintahan | 7. Pandangan hidup lebih rasional. |
D. Sifat-Sifat Masyarakat Kota
Masyarakat kota adalah masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari manusia yang bermacam-macam lapisan/tingkatan hidup, pendidikan, kebudayaan, perekonomian, dan lain-lain. Mayoritas penduduknya hidup berjenis-jenis usaha yang bersifat non agraris.
Yang dapat dirasakan sistem kehidupan masyarakat kota mempunyai corak-corak kehidupan tertentu yang jauh berbeda apabila dibandingkan dengan masyarakat desa.
Sifat-sifat yang tampak menonjol pada masyarakat kota ialah:
1. Sikap Kehidupan
Sikap hidupnya cenderung pada individuisme/egoisme. Yaitu masing-masing anggota masyarakat berusaha sendiri-sendiri tanpa terikat oleh anggota masyarakat lainnya, hal mana yang menggambarkan corak hubungan yang terbatas, di mana setiap individu mempunyai otonomi jiwa atau kemerdekaan pribadi sebagaimana yang disebut oleh Prof. Djojodiguno, S. H. dengan istilahnya masyarakat Patembayan atau sama dengan yang dimaksud oleh Sosiologi Jerman Ferdinand Tonnies yang terkenal dengan istilahnya Gesselschaft.
2. Tingkah Laku
Tingkah lakunya bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal, dan dinamis. Dari segi budaya masyarakat kota umumnya mempunyai tingkatan budaya yang lebih tinggi, karena kreativitas dan dinamikanya kehidupan kota lebih cepat mengadakan reaksi, lebih cepat menerima mode-mode dan kebiasaan-kebiasaan baru.
3. Perwatakan-perwatakan
Perwatakannya cenderung pada sifat materialistis. Akibat dari sikap hidup yang egoism dan pandangan hidup yang radikal dan dinamis, menyebabkan masyarakat kota lemah dalam segi religi, yang menimbulkan efek-efek negative yang berbentuk tindakan amoral, indisipliner, kurang memperhatikan tanggungjawab sosial.
E. Sikap Hidup Dan Tingkah Laku Masyarakat Kota
Untuk memberikan gambaran secara tertib dan jelas tentang kehidupan masyarakat kota sebagaimana yang tercantum dalam pasal-pasal terdahulu/tinjauan umum, berikut ini akan diuraikan sebagai berikut.
1. Sikap Hidup Masyarakat Kota
Sikap hidup masyarakat kota pada umumnya mempunyai taraf hidup yang lebih tinggi daripada masyarakat desa. Hal ini menuntut lebih banyak biaya hidup sebagai alat pemuas kebutuhan yang tiada terbatas yang mana menyebabkan orang berlomba-lomba mencari usaha/kesibukan, mencari nafkah demi kelangsungan hidup pribadi/keluarganya.
Akibatnya, timbullah sikap pembatasan diri di dalam pergaulan masyarakat dan terpupuklah faham mementingkan diri sendiri yang akhirnya timbullah sikap individualism/egoisme.
2. Tingkah Laku
Tingkah lakunya sebagaimana yang telah diuraikan, bahwa untuk mencapai usaha ke arah pemmenuhan materi dibutuhkan adanya daya upaya yang menuntut akal pikiran atau rasio yang mantap. Di dalam masyarakat kota, mengingat banyaknya fasilitas-fasilitas yang tersedia, memungkinkan masyarakat kota meningkatkan pengetahuan mereka dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang perekonomian.
3. Pandangan Hidupnya
Pandangan hidupnya menjurus pada materialistis. Nampak jelas dari sikap hidup maupun tingkah laku masyarakat kota menjurus kepada mementingkan diri pribadi, yang mana mengakibatkan mereka untuk mengabaikan faktor-faktor sosial dalam lingkungan masyarakat sekitarnya.
Hal lain yang berpengaruh besar terhadap masyarakat kota di bidang perekonomiannya dimana income per kapitanya sebagian lebih besar, maka kemampuan membelinya juga lebih besar, sehingga maksud membeli barang-barang mewah kemungkinan besar tinggi karena dapat menjangkau harga yang lebih tinggi.
F. Masalah-Masalah Perkotaan
Perkotaan merupakan sebuah daerah yang mana mempunyai banyak masalah yang tidak dapat terselesaikan dan terjadi sangat pesat serta tidak terkendali. Berbeda jauh dengan pedesaan yang memiliki sedikit masalah. oleh karena itu mari kita simak beberapa masalah- masalah yang dialami perkotaan diantaranya sebagai berikut:
1. Pengangguran, terutama disebabkan oleh derasnya arus urbanisasi. Sebagian besar mereka yang urbanisasi tidak memiliki keterampilan, sehingga mereka hanya bekerja sebagai buruh kasar
2. Degradasi moral dan kejahatan, degradasi moral yang sering terjadi adalah berkumpul sebelum menikah, pelacuran, narkotika, seakan-akan mempunyai legalitas tertentu bagi masyarakat kota. Menegur dan memberi nasihat satu sama lain sudah dianggap mencampuri urusan orang lain, sehingga sangat jarang terjadi reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran moral tersebut.
3. Keadaan ekonomi yang sampai sekarang belum dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia.
4. Ada beberapa orang yang terus-menerus mengumpulkan harta bendanya tanpa memikirkan keadaan yang miskin. Lambat laun perbedaan antara yang miskin dan yang kaya makin lama makin besar, sehingga pemikiran-pemikiran seperti kaum sosialis berpendapat seperti Karl Marx, bahwa yang kaya menjadi lebih kaya, dan yang miskin menjadi lebih miskin.
G. Perilaku Sosial Masyarakat Perkotaan
Salah satu persoalan kompleks yang terjadi hampir di semua kota besar di dunia adalah berkembangnya perilaku yang dinilai asocial dan bertentangan dengan norma-norma kewajaran. Semakin makmur satu negara dan semakin taat hukum masyarakat, maka perilakunya pun memiliki ketertiban yang sejalan dengan cita-cita pertumbuhan kota modern. Namun faktanya, kondisi negara amatlah beragam, kota modern dibangun bukannya semakin tertib, tetapi mengundang kaum urban untuk hijrah secara besar-besaran menuju kota baru tersebut.
Tidak ada kota yang tidak mengandung masalah di dunia ini, namun tingkat permasalahan itulah yang menjadi ukuran “keberhasilan” program pembangunan perkotaan. Terdapat dua masalah kunci di kota-kota besar yaitu masalah makro perkotaan dengan sistem pengelolaannya dan masalah detil perkotaan yang menyangkut perilaku warganya dalam memelihara dan berkegiatan di dalam kota. Justru permasalahan detil kota inilah hingga akhir abad ke-20, yang menciptakan kota sebagai bagian permasalahan sosial yang kompleks. Kota-kota di Indonesia tak luput dari permasalan di atas dengan variasi permasalahan yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan kota-kota lainnya di dunia, karena di samping jumlah penduduk yang beragam, juga kepadatan kota yang kian tak terkendali.
Demikian pula perilaku masyarakat kota menjadi amat beragam karena datangnya kaum urban dari berbagai daerah pinggiran kota, maupun daerah lain. Berdasarkan pengamatan penulis terdapat sejumlah perilaku khas (stereotip) yang terjadi di berbagai kota di Indonesia, diantaranya:
1. Perwajahan kota yang tak tertib
Hampir diberbagai kota besar dan kecil di Indonesia berhadapan dengan permasalahan yang sama yaitu terjadinya ‘unjuk visual’ yang membuat kota seperti ‘tong sampah’ yang segala ada. Bangunan di pinggir jalan selalui dipenuhi oleh iklan-iklan produk dengan bentuk yang acak, mulai papan took, bilbor, spanduk, baliho dan tayangan-tayangan visual verbal. Semuanya masing-masing ‘berteriak’. Dengan wujud dan dimensi yang semakin besar. Bilbor yang tadinya ckup dua kali dua meter kini mulai terpajang dalam bentuk delapan kali lima meter dengan tinggi sepuluh meteran. Diletakkan diperempatan jalan strategis, kemudian di bawahnya masih terbentang spanduk dan bilbor-bilbor kecil. Dalam posisi itu, lampu lalu lintas dan rambu lalu lintas hilang tertelan oleh ‘hutan visual’ yang tal tertata. Demikian pula para pedagang makanan kakilima, kini memiliki kecenderungan memanfaatkan spanduk-spanduk bekas dengan unsur rupa tersisa, kemudian dengan penempatan yang menyita lahan pejalan kaki, maka semakin riuhlah keadaan.
2. Ruwetnya sistem informasi
Kurangnya papan informasi dan tanda-tanda penunjuk arah, menyebabkan para wisatawan dan pendatang baru amat sulit mencari alamat yang dituju, di samping juga informasi tentang kendaraan, nomer trayek, bahkan posisi pelaku di tengah kota. Unsur keruwetan visual yang memiliki kesamaan di berbagai kota, menyebabkan para pengguna jalan kebingungan. Pusat-pusat penerangan wisata, peta kota, hingga arah jalan tak lagi memiliki makna, karena tidak direncanakan secara sistematis dan komunikatif. Tersesat di tengah kota, terutama pendatang baru, amatlah terbiasa karena sistem informasi dan sistem pertandaan kota belumlah jelas benar.
3. Kemacetan permanen
Tiadanya disiplin berlalu lintas, bahkan dibeberapa kota padat selalui ditandai oleh kemacetan permanen yang terjadi pada jam-jam tertentu, atau situasi tertentu. Kemacetan di satu ruas jalan berdampak kepada kemacetan total sebagian besar kota. Hal ini menumbuhkan sikap asocial para pemakai jalan, terutama kendaraan angkutan umum yang mengejar target perolehan setoran. Hal itu juga terjadi dengan para pejalan kaki yang tak lagi tertib dalam memakai jalan, sehingga di jalan tak ada lagi hukum yang dapat ditegakkan. Biaya kemacetan tiap hari makin tinggi, dibandingkan hasil produktif yang seharusnya diperoleh. Demikian pula halnya dengan pencemaran udara yang diakibatkan asap kendaraan di satu lokasi telah mencapai batas yang ditolerir.
4. Kota yang kotor
Perilaku kebersihan kota yang masih rendah, ditandai oleh sebaran sampah, debu, lubang, tidak tertibnya parker dan lalu lalang manusia di jalan-jalan padat kendaraan. Jumlah penduduk yang terlampau padat dengan strata dan kegiatan sosial yang beraneka menciptakan situasi kota menjadi ‘chaos’. Demikian pula pedagang kakilima, pertokoan sporadic, papan took yang ‘berteriak’, bahu jalan yang tak beraturan, kabel listrik dan telpon yang semrawut serta sampah yang bertebaran membangun citra kota menjadi kumuh serta berkesan tak terawat.
5. Pamer ‘kemewahan’
Kebiasaan ‘berteriak’ dengan bahasa visual, melalui coretan, tulisan, hiasan lampu, keanekaan pagar, keanekaan bentuk rumah dan sebagainya merupakan fenomena baru mereka yang berlebihan dalam keberjasilan ekonomi. Akibatnya tumbuhlah berbagai jenis bangunan yang amat tak beraturan dan beraneka dan juga yang disertai oleh tiadanya penegakan peraturan izin bangunan. Demikian pula, tumbuhnya mal-mal dan supermarket yang besar tanpa memikirkan besaran jalan dan jumlah kendaraan, sehingga di samping kemacetan, juga tumbuhnya kecemburuan sosial sebagain masyarakat.
6. Masyarakat miskin yang tak terkendali
Akibat lemahnya sector hukum. Tiadanya dinas sosial dan lembaga pengawasan kota yang efektif, memunculkan kebiasaan tak tertib pedagang kakilima, asongan, pengemis, pengamen, penyebarang, peminta sumbangan, hingga preman. Kota seolah menjadi satu wilayah tak bertuan, penguasaannya tergantung kepada uang dan kekuasaan. Kondisi itulah yang membangun masyarakat ‘tersisih’ semakin membesar, tidak saja mereka yang berekonomi lemah, para penganggur, tetapi juga mereka yang berekonomi kuat dan berkeinginan untuk menertibkan diri.
7. Mentalitas ugal-ugalan
Kegetiran menghadapi hidup yang tak menentu di berbagai kota di Indonesia, menyebabkan masyarakat mudah menderita depresi dan frustasi sosial. Perilaku pengemudi, bis, truk gandengan, angkutan kota dan angkutan tak bermesin yang menjadi raja jalanan. Bahkan banyak pula remaja yang bermotor, pengemudi becak, pejalan kaki, mengemdarai mobil mewah dan juga kendaraan tentara menjadi ‘hero’ di tengah jalan.
8. Pekerjaan tumpang tindih
Kebiasaan pemerintah daerah untuk menunda perbaikan jalan, gorong-gorong, saluran air, tumpang tindih pekerjaan PU, perbaikan lampu lalu lintas dan juga keurangnya pemeliharaan pohon telah menjadi suatu hal yang lumrah. Dalam perencanaan yang lebih konseptual, pekerjaan yang tumpang tindih itu termasuk juga wewenang setiap instansi dan jadwal pekerjaan. Fenomena ini telah menjadi wacana pembangunan hamper di seluruh kota di Indonesia termasuk kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan desain dan perencanaan pembangunan. Kondisi tersebut mempengaruhi pula perilaku sosial dalam menjalankan pelaksanaan desain di lapangan, serta kualitas pekerjaan yang dihasilkan.
9. Warga merasa tak memiliki
Perilaku warga yang merasa tak memiliki kota, dengan jalan mebuang sampah sembarangan, merusak fasilitas umum ataupun peduli terhadap kerusakan kota. Kondisi tersebut terjadi karena banyak warga kota luar daerah dan juga tidak konsistennya penegakan ketertiban di berbagai tempat oleh aparat pemda sendiri, sehingga menumbuhkan apatisme sosial dan ketakpedulian sosial. Hal itu memicu setiap warga menjadi amat sensitive dan amat reaktif terhadap pergesekan sosial.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat kota pada umumnya sebagai kesatuan jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen serta coraknya materialistis. Masyarakat kota terdiri atas penduduk asli daerah tersebut dan pendatang. Masyarakat kota merupakan suatu masyarakat yang heterogen, baik dalam hal mata pencaharian, agama, adat, dan kebudayaan.
Struktur masyarakat kota, dapat dilihat dari beberapa segi seperti demografi, ekonomi, dan segregasi. Dari struktur tersebut, dapat dikaitkan bahwa masyarakat kota memiliki struktur yang cukup heterogen dan memiliki kebudayaan yang beragam.
Karakteristik masyarakat kota pula, memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan masyarakat desa. Ciri dari masyarakat kota dapat dilihat atas ciri fisik serta ciri sosial yang dimana dari kedua ciri tersebut dapat kita ketahui bagaimana karakteristik masyarakat kota.
B. Saran
Jika terdapat kekurangan dalam makalah penulis mohon kritik dan saran dari pembaca terutama dari dosen pengampu mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia. Sebagai penulis makalah, menyarankan kepada pembaca untuk dapat memahami bagaimana Struktur dan Karakteristik masyarakat kota.