BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebagai calon Guru SD hendaknya menguasai materi IPS sebagai program
pendidikan. Untuk membantu menguasai materi tersebut maka dalam Konsep
Pendidikan IPS. Dan Setiap pengajar seyogyanya mengetahui dan menghayati sepenuhnya
mengapa ia mengajar sesuatu mata pelajaran tertentu. Begitu juga dengan
pengajar IPS, untuk menghindari dari “pertukangan” maka membelajarkan peserta
didik seharusnya dilakukan secara berwawasan. Secara sederhana IPS ada yang
mengartikan sebagai studi tentang manusia yang dipelajari oleh anak didik di
tingkat sekolah dasar dan menengah.IPS dapat diartikan “penelaahan atau kajian
tentang masyarakat”.masyarakat”.Dalam mengkaji masyarakat, guru dapat melakukan
kajian dari berbagai perspektif sosial, seperti kajian melalui pengajaran
sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik-pemerintahan, dan
aspek psikologi sosial yang disederhanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Dalam pembelajaran IPS, pendidikan karakter yang diterapkan secar sistematis
dan berkelanjutan, akan menjadikan seorang anak menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong
masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala
macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan
karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan
untuk membangkitkan danmenguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang
Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan
menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan
yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan
disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa
mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah
kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa
rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa Indonesia,
sanggup?
BAB II
IPS DAN PENDIDIKAN KARAKTER BAGI
SISWA MI
A. Pengertian IPS
IPS
merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri,
sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin
ilmu-ilmu sosial (social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89).
Social Scence Education Council (SSEC) dan National Council for Social Studies
(NCSS), menyebut IPS sebagai “Social Science Education” dan “Social Studies”.
Dengan kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat terpadu dari
sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum,
sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya.
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah.
Istilah tersebut meliputi : Ilmu Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social
Studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
1.
Ilmu Sosial (Social Science)
Achmad
Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah
sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial
yang bertarap akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi,
makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut
Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual
yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada
manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia
bentuk.
Nursid
Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku
kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota
masyarakat.
2.
Studi Sosial (Social Studies).
Berbeda
dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau
disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala
dan masalah social. Dalam kerangka kerja pengkajian Studi Sosial menggunakan
bidang-bidang keilmuan yang termasuk bidang-bidang Ilmu Sosial.
Tentang
Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut :
Studi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan
bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar, dan dapat berfungsi
selanjutnya sebagai pengantar bagi lanjutan kepada disiplin-disiplin Ilmu
Sosial. Studi Sosial bersifat interdisipliner, dengan menetapkan pilihan judul
atau masalah-masalah tertentu berdasarkan sesuatu rangka referensi, dan
meninjaunya dari beberapa sudut sambil mencari logika dari hubungan-hubungan
yang ada satu dengan lainnya. Sesuatu acara ditinjau dari beberapa sudut sekomprehensif
mungkin.
Kerangka
kerja Studi Sosial tidak menekankan pada bidang teoretis, namun lebih kepada
bidang-bidang praktis dalam mempelajari gejala dan masalah-masalah sosial yang
terdapat di lingkungan masyarakat. Studi Sosial tidak terlalu akademis-teoretis,
namun merupakan satu pengetahuan praktis dan dapat diajarkan pada tingkat
persekolahan, yaitu mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan
Tinggi.
Pendekatan
yang digunakan Studi Sosial sangat berbeda dengan pendekatan yang biasa
digunakan dalam Ilmu Sosial. Pendekatan Studi Sosial bersifat interdisipliner
atau bersifat multidisipliner dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan.
Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam Ilmu Sosial (Social Sciences)
bersifat disipliner dari bidang ilmunya masing-masing. Demikian pula pada
tingkat dan taraf yang lebih rendah pendekatan Studi Sosial lebih bersifat
multidimensional, yaitu meninjau satu gejala atau masalah sosial dari berbagai
dimensi atau aspek kehidupan.
Studi Sosial
sebagai bahan pembelajaran karena sifatnya lebih mendasar dapat disajikan
kepada tingkat yang lebih rendah, sesuai dengan yang dikemukakan oleh John
jaromelik (1977:3-4) sebagai berikut:
Social
studies has as its particular mission the task of helping young people develop
comptencies that enable them to deal with, and to some extent manage, the
physical and social forces of the world in which they live. Such competencies
make to possible for pupils to shape their lives in harmony with those forces.
Social studies education should also provide young people with a feeling of
hope in the future and comfidence in their ability to solve social problems.
3.
Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui
bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat.Nama asli IPS
di Amerika Serikat adalah “Social Studies”. Istilah tersebut pertama kali
dipergunakan sebagai nama sebuah komite yaitu “Committee of Social Studies”
yang didirikan pada tahun 1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah
sebagai wadah himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu
Sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat
sama.
Definisi IPS menurut National Council for Social
Studies (NCSS), mendifisikan IPS sebagai berikut: social studies is the
integrated study of the science and humanities to promote civic competence.
Whitin the school program, socisl studies provides coordinated, systematic
study drawing upon such disciplines as anthropology, economics, geography,
history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and
sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and
natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people
develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good
as citizen of a culturally diverse, democratic society in an interdependent
world.
Marilah kita cermati kembali apa yang sudah kita
pelajari di atas. Setelah kita pelajari ternyata kehidupan itu banyak aspeknya,
meliputi aspek-aspek:
1.
hubungan sosial: semua hal yang
berhubungan dengan interaksi manusia tentang proses, faktor-faktor,
perkembangan, dan permasalahannya dipelajari dalam ilmu sosiologi.
2.
ekonomi: berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan manusia, perkembangan, dan permasalahannya dipelajari dalam
ilmu ekonomi.
3.
psikologi: dibahas dalam ilmu
psikologi
4.
budaya: dipelajari dalam ilmu
antropologi
5.
sejarah: berhubungan dengan waktu
dan perkembangan kehidupan manusia dipelajari dalam ilmu sejarah.
6.
geografi: hubungan ruang dan tempat
yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia dipelajari dalam ilmu
geografi.
7.
politik: berhubungan dengan norma,
nilai, dan kepemimpinan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dipelajari dalam
ilmu politik
B. Strategi Penyampaian Pembelajaran IPS
Strategi
penyampaian pengajaran IPS, sebagaian besar adalah didasarkan pada suatu
tradisi, yaitu materi disusun dalam urutan: anak (diri sendiri), keluarga,
masyarakat/tetangga, kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum seperti
ini disebut “The Wedining Horizon or Expanding Enviroment Curriculum”
(Mukminan, 1996:5).
Sebutan Masa Sekolah Dasar, merupakan periode
keserasian bersekolah, artinya anak sudah matang untuk besekolah. Adapun kriteria
keserasian bersekolah adalah sebagai berikut.
a.
Anak harus dapat bekerjasama dalam
kelompok dengan teman-teman sebaya, tidak boleh tergantung pada ibu, ayah atau
anggota keluarga lain yang dikenalnya.
b.
Anak memiliki kemampuan
sineik-analitik, artinya dapat mengenal bagian-bagian dari keseluruhannya, dan
dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut.
c.
Secara jasmaniah anak sudah mencapai
bentuk anak sekolah.
Menurut
Preston (dalam Oemar Hamalik. 1992 : 42-44), anak mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
1.
Anak merespon (menaruh perhatian)
terhadap bermacam-macam aspek dari dunia sekitarnya.Anak secara spontan menaruh
perhatian terhadap kejadian-kejadian-peristiwa, benda-benda yang ada
disekitarnya. Mereka memiliki minat yang laus dan tersebar di sekitar
lingkungnnya.
2.
Anak adalah seorang penyelidik, anak
memiliki dorongan untuk menyelidiki dan menemukan sendiri hal-hal yang ingin
mereka ketahui.
3.
Anak ingin berbuat, ciri khas anak
adalah selalu ingin berbuat sesuatu, mereka ingin aktif, belajar, dan berbuat
4.
Anak mempunyai minat yang kuat
terhadap hal-hal yang kecil atau terperinci yang seringkali kurang
penting/bermakna
5.
Anak kaya akan imaginasi, dorongan
ini dapat dikembangkan dalam pengalaman-pengalaman seni yang dilaksanakan dalam
pembelajaran IPS sehingga dapat memahami orang-orang di sekitarnya. Misalnya
pula dapat dikembangkan dengan merumuskan hipotesis dan memecahkan masalah.
Berkaitan
dengan atmosfir di sekolah, ada sejumlah karakteristik yang dapat
diidentifikasi pada siswa SD berdasarkan kelas-kelas yang terdapat di SD.
1.
Karakteristik pada Masa Kelas Rendah SD (Kelas 1,2, dan 3)
a)
Ada hubungan kuat antara keadaan
jasmani dan prestasi sekolah
b)
Suka memuji diri sendiri
c)
Apabila tidak dapat menyelesaikan
sesuatu, hal itu dianggapnya tidak penting
d)
Suka membandingkan dirinya dengan
anak lain dalam hal yang menguntungkan dirinya
e)
Suka meremehkan orang lain
2.
Karakteristik pada Masa Kelas Tinggi SD (Kelas 4,5, dan 6).
a)
Perhatianya tertuju pada kehidupan
praktis sehari-hari
b)
Ingin tahu, ingin belajar, dan
realistis
c)
Timbul minat pada
pelajaran-pelajaran khusus
d)
Anak memandang nilai sebagai ukuran
yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah.
Menurut Jean Piagiet, usia siswa SD (7-12 tahun) ada
pada stadium operasional konkrit. Oleh karena itu guru harus mampu merancang
pembelajaran yang dapat membangkitkan siswa, misalnya penggalan waktu belajar
tidak terlalu panjang, peristiwa belajar harus bervariasi, dan yang tidak kalah
pentingnya sajian harus dibuat menarik bagi siswa.
C. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan makin lama makin berkembang dengan pesat
mengikuti peradaban dunia yang kian maju khususnya pendidikan yang ada di
Indonesia, adapun pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
1.
Pengertian pendidikan berkarakter
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:623)
menjelaskan bahwa karakter adalah sifat atau ciri kejiwaan, akhlak, atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak.
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah
individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap
akibat dari keputusan yang ia buat.
Pendidikan karakter adalah gerakan nasional
menciptakan sekolah yang membina etika, bertanggung jawab dan merawat
orang-orang muda dengan pemodelan dan mengajarkan karakter baik melalui
penekanan pada universal, nilai-nilai yang kita semua
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap
individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang
mampu membuat suatu keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat
dari keputusan yang dibuatnya.
Pendidikan karakter adalah
pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan
(cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona,
tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Berdasarkan pengertian
pendidikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan berkarakter merupakan
suatu usaha yang direncanakan secara bersama yang bertujuan menciptakan
generasi penerus yang memilki dasar-dasar pribadi yang baik baik dalam
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action)
Lahirnya pendidikan karakter
merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang
sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf
Prancis Auguste Comte. Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan
keterampilan. Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan
menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter
itu akan membentuk motivasi, dan pada saat yang sama dibentuk dengan metode dan
proses yang bermartabat. Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan
secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Oleh karenanya, orang
mendefinisikan karakter sebagai “siapa anda dalam kegelapan”. Karakter yang
baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai
etika, meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral.
Menurut Lickona, karakter berkaitan
dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling),
dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini
dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang
kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Bagan
di bawah ini merupakan bagan keterkaitan Ketiga kerangka pikir ini.
2.
Pengertian karakter menurut beberapa
pendapat
1)
Pendidikan Karakter Menurut Lickona
Secara
sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang
dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui
pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter
yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa pengertian
pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang
sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang
inti.
2)
Pendidikan Karakter Menurut Suyanto
Suyanto
(2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
3)
Pendidikan Karakter Menurut Kertajaya
Karakter
adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas
tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu
tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak,
bersikap, berucap, dan merespon sesuatu (Kertajaya, 2010).
4)
Pendidikan Karakter Menurut Kamus
Psikologi
Menurut
kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis
atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan
sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982: p.29).
D. Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter
Pembentukan karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai (values
education) melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan.
Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter yaitu , Religius, Jujur,
Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin
Tahu, Semangat Kebangsaan,CintaTanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/
komunikatif,Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial,
Tanggung jawab.
Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan
pendidikan dapat tercapai. Di antara metode pembelajaran yang sesuai adalah
metode keteladanan, metode pembiasaan, dan metode pujian dan hukuman.
Pendidikan karakter, mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja, tapi di
rumah dan di lingkungan sosial. Bahkan sekarang ini peserta pendidikan karakter
bukan lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia dewasa. Di masa kini
kita akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai belahan
negara di dunia. Bahkan kita yang masih akan berkarya di tahun tersebut akan
merasakan perasaan yang sama. Tuntutan kualitas sumber daya manusia pada tahun
2021 tentunya membutuhkan good character. Karakter adalah kunci
keberhasilan individu. Dari sebuah penelitian di Amerika, 90 persen kasus
pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak
jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat penelitian
lain yang mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat
ditentukanoleh Emotional Quotient (EQ).
Dari sudut pandang psikologis, terjadi penurunan kualitas “usia psikologis”
pada anak yang berusia 21 tahun pada tahun 2001, dengan anak yang berumur 21
pada tahun 2013. Maksud usia psikologis adalah usia kedewasaan, usia kelayakan
dan kepantasan yang berbanding lurus dengan usia biologis. Jika anak sekarang
usia 21 tahun seakan mereka seperti berumur 12 atau 11 tahun.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan
karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan
untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang
Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan
menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan
yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan
disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa
mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah
kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa
rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa Indonesia,
sanggup?
Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a person in mind and not in
morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek
kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada
masyarakat)
E. Integrasi
pendidikan nilai ke dalam pembelajaran SD/MI
Integrasi pendidikan nilai ke dalam
pembelajaran SD/MI melalui penanaman dan pembinaan pendidikan karakter, watak
dan kepribadian tidak diartikan sempit hanya sebagai domain pendidikan agama
atau pendidikan kewarganegaraan melainkan terintegrasi dan terinternalisasi ke
dalam seluruh mata pelajaran seperti IPS, IPA, bahasa, matematika, seni dan
budaya dan pendidikan jasmani dan kesehatan. Orientasi pendidikan nilai melalui
sebaran mata pelajaran tersebut ialah berupaya menggali, menemukan, memahami,
mengaplikasikan dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dari sebaran mata
pelajaran tersebut untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, pembelajaran di SD/MI akan jauh lebih bermakna (meaningfull)
baik bagi pendidik maupun anak didik sebagai dua pelaku utama pendidikan.
Nursid
Sumaatmadja (2005) mengemukakan bahwa nilai-nilai yang dapat
dikembangkan dalam IPS meliputi: nilai edukatif, nilai praktis, nilai teoritis,
nilai filsafat dan nilai ketuhanan. Lebih rinci, dijelaskan sebagai berikut:
- Nilai edukatif, melalui pendidikan IPS,
perasaan, kesadaran, penghayatan, sikap, kepeduliaan, dan tanggung jawab
sosial peserta didik ditingkatkan. Kepeduliaan dan tanggungjawab sosial,
secara nyata dikembangkan dalam pendidikan IPS untuk mengubah perilaku
peserta didik bekerja sama, gotong royong dan membantu pihak-pihak yang
membutuhkan
- Nilai praktis, dalam hal ini tentunya harus
disesuaikan dengan tingkat umur dan kegiatan peserta didik sehari-hari.
Pengetahuan IPS yang praktis tersebut bermanfaat dalam mengikuti berita,
mendengakan radio, membaca majalah, menghadapi permasalahan kehidupan
sehari-hari
- Nilai teoritis, peserta
didik dibina dan dikembangkan kemampuan nalarnya kearah dorongan
mengetahui kenyataan (sense of reality), dan dorongan menggali
sendiri dil apangan (sense or discovery). Kemamuan menyelidiki,
meneliti dengan mengajukan berbagai pernyataan (sense of inquiry).
- Nilai filsafat, peserta
didik dikembangkan kesadaran dan penghayatan terhadap keberadaanya di
tengah-tengah masyarakat, bahkan ditengah-tengah alam raya ini. Dari
kesadaran keberadaan tadi, mereka disadarkan pula tentang peranannya
masing-masing terhasap masyarakat, bahkan terhadap lingkungan secara
keseluruhan
- Nilai ketuhanan, menjadi
landasan kita mendekatkan diri dan meningkatkan IMTAK kepada-Nya.Kekaguman
kita selaku manusia kepada segala ciptaan-Nya, baik berupa fenomena
fisik-alamiah maupun fenomena kehidupan.
Dalam pembelajaran IPS, pendidikan
karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, akan menjadikan
seorang anak menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal
penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan
lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk
tantangan untuk berhasil secara akademis
masuk kedalam dunia sekolah Dasar
atau para ahli menyebut sebagai usia emas (golden age), karena usia ini
terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa
sudah terjadi ketika anak berusia 4 – 7 tahun. Peningkatan 30% berikutnya
terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir
dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari
lingkungan sekolah maupun lingkungan keluarga.
1)
Peranan Sekolahdalam
Pembentukan Karakter Anak
Sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak siswa yang unggul dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan
kepribadian. Dan hal ini relevan dan kontekstual bukan hanya di negara-negara
yang tengah mengalami krisis watak seperti Indonesia, tetapi juga bagi
negara-negara maju sekalipun (cf. Fraenkel 1977: Kirschenbaum & Simon
1974).
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge”
belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel (1977: 1-2), sekolah tidaklah semata-mata
tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran.
Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran
yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut,
Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem
sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise),
karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak bisa
dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui
penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Secara umum, kajian-kajian tentang nilai
biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral,
budi pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap
apa yang dipandang manusia sebagai “keindahan”, yang mereka senangi. Sedangkan
etika mengacu kepada hal-hal tentang justifikasi terhadap tingkah laku yang
pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang
bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan
standar-standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana
yang baik dan mana yang buruk.
Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap
keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan
karakter. Dari perspektif Islam, menurut Quraish Shihab (1996: 321), situasi
kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara
pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka
terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini
dan di sini pula.
2)
Peranan
Keluarga dalam Pembentukan Karakter Anak
Ungkapan indah Phillips dalam The Great Learning (2000:11): “If there is
righteousness in the heart, there will be beauty in the character; if there is
beauty in the character, there will be harmony in the home; if there is harmony
in the home, there will be order in the nation; if there is order in the
nation, there will be in the world”.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi seperti
dikemukakan di atas, pendidikan karakter merupakan langkah penting dan
strategis dalam membangun kembali jati diri bangsa dan menggalang pembentukan
masyarakat Indonesia baru. Pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak;
rumah tangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas
(masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris terputus antara
ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter
tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada
kesinambungan dan harmonisasi.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan
watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali.
Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali menjadi “school of
love”, sekolah untuk kasih sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam,
keluarga sebagai “school of love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa
rahmah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasihsayang.
Setiap mata pelajaran pada
prinsipnya memiliki bahan ajar (instructional materials) berdimensi
pengetahuan, keterampilan dan sikap/nilai. Depdiknas (2006) mengartikan bahan
ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai
standar kompetensi yang telah ditentukan. Mata pelajaran apapun termasuk yang
ada di SD/MI sarat dengan kandungan dimensi penanaman dan pembinaan sikap/nilai
yang melekat dalam setiap aktivitas pembelajaran. Jadi, dalam hal ini
pendidikan nilai atau budi pekerti tidak lagi terspesialisasi pada mata
pelajaran tertentu yang seringkali pada prakteknya terjebak pada tradisi
hafalan atau sekedar “tahu”. Sebagai contoh, dalam pembelajaran IPS SD/MI,
dimensi nilai yang terkandung mengajarkan anak didik untuk mengembangkan sikap
toleran, empati, bertanggungjawab dalam menggunakan hak dan kewajiban.
Nursid
Sumaatmadja (2005) mengemukakan bahwa nilai-nilai yang dapat
dikembangkan dalam IPS meliputi: nilai edukatif, nilai praktis, nilai teoritis,
nilai filsafat dan nilai ketuhanan. Lebih rinci, dijelaskan sebagai berikut:
1.
Nilai edukatif, melalui
pendidikan IPS, perasaan, kesadaran, penghayatan, sikap, kepeduliaan, dan
tanggung jawab sosial peserta didik ditingkatkan. Kepeduliaan dan tanggungjawab
sosial, secara nyata dikembangkan dalam pendidikan IPS untuk mengubah perilaku
peserta didik bekerja sama, gotong royong dan membantu pihak-pihak yang
membutuhkan
- Nilai
praktis, dalam hal ini tentunya harus disesuaikan dengan
tingkat umur dan kegiatan peserta didik sehari-hari. Pengetahuan IPS yang
praktis tersebut bermanfaat dalam mengikuti berita, mendengakan radio,
membaca majalah, menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari
- Nilai
teoritis, peserta didik dibina dan dikembangkan kemampuan
nalarnya kearah dorongan mengetahui kenyataan (sense of reality),
dan dorongan menggali sendiri dil apangan (sense or discovery).
Kemamuan menyelidiki, meneliti dengan mengajukan berbagai pernyataan (sense
of inquiry).
- Nilai
filsafat, peserta didik dikembangkan kesadaran dan
penghayatan terhadap keberadaanya di tengah-tengah masyarakat, bahkan
ditengah-tengah alam raya ini. Dari kesadaran keberadaan tadi, mereka
disadarkan pula tentang peranannya masing-masing terhasap masyarakat,
bahkan terhadap lingkungan secara keseluruhan
- Nilai
ketuhanan, menjadi landasan kita mendekatkan diri dan
meningkatkan IMTAK kepada-Nya.Kekaguman kita selaku manusia kepada segala
ciptaan-Nya, baik berupa fenomena fisik-alamiah maupun fenomena kehidupan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
IPS merupakan bidang studi baru, karena dikenal sejak diberlakukan kurikulum
1975. Dikatakan baru karena cara pandangnya bersifat terpadu, artinya bahwa IPS
merupakan perpaduan dari sejumlah mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi,
sosiologi, antropologi. Adapun perpaduan ini disebabkan mata pelajaran-mata
pelajaran tersebut mempunyai kajian yang sama yaitu manusia
Pendidikan IPS penting diberikan kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah, karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu mengenal masyarakat
dan lingkungannya. Untuk mengenal masyarakat siswa dapat beljar melalui media
cetak, media elektronika, maupun secara langsung melalui pengalaman hidupnya
ditengah-tengah msyarakat. Dengan pengajaran IPS, diharapkan siswa dapat
memiliki sikap peka dan tanggap untuk bertindak secara rasional dan
bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam
kehidupannya.
Pendidikan
karakter adalah gerakan nasional menciptakan sekolah yang membina etika,
bertanggung jawab dan merawat orang-orang muda dengan pemodelan dan mengajarkan
karakter baik melalui penekanan pada universal, nilai-nilai yang kita semua
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi
pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek
ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Integrasi
pendidikan nilai ke dalam pembelajaran SD/MI melalui penanaman dan pembinaan
pendidikan karakter, watak dan kepribadian tidak diartikan sempit hanya sebagai
domain pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan melainkan terintegrasi
dan terinternalisasi ke dalam seluruh mata pelajaran seperti IPS, IPA, bahasa,
matematika, seni dan budaya dan pendidikan jasmani dan kesehatan. Orientasi
pendidikan nilai melalui sebaran mata pelajaran tersebut ialah berupaya menggali,
menemukan, memahami, mengaplikasikan dan menghayati nilai-nilai yang terkandung
dari sebaran mata pelajaran tersebut untuk dimanfaatkan dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran di SD/MI akan jauh lebih bermakna (meaningfull)
baik bagi pendidik maupun anak didik sebagai dua pelaku utama pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Buchori Alma, dan Harlasgunawan.
(1987). Hakikat Dasar Studi Sosial.
Bandung: Sinar Baru.
·
Cheppy, (tanpa tahun). Strategi Ilmu Pengetahuan Sosial.
Surabaya: Penerbit Karya Anda.
·
N. Daldjoeni. (1981). Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Sosial (Buku
Pengantar Bagi Mahasiswa dan Guru). Bandung: Penerbit Alumni.
·
Nu’man Somantri, (Editor Edi
Supriadi dan Rohmat Mulyana). (2001). Menggagas
Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PPS, FPIPS dan PR Remaja Rosdakarya.
·
Nursid Sumaatmadja. (1984). Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan
·
Tirtarahardja, Umar. 2008. Pengantar Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta
·
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi
Keempat. PT Gramedia Pustaka Utama
·
Artikel dikirim oleh Sutiyono,
S.Pd.SD, Kepala SD 3 Karangmalang Gebog Kudus Jawa Tengah. Rabu, 24
Juli 2013
Alma Buchori,
dan Harlasgunawan. (1987). Hakikat Dasar
Studi Sosial. Bandung: Sinar Baru. Hal. 4
N.
Daldjoeni. (1981). Dasar-dasar Ilmu
Pengetahuan Sosial (Buku Pengantar Bagi Mahasiswa dan Guru). Bandung:
Penerbit Alumni. Hal. 27
Cheppy,
(tanpa tahun). Strategi Ilmu Pengetahuan
Sosial. Surabaya: Penerbit Karya Anda. Hal. 12
Artikel dikirim oleh Sutiyono,
S.Pd.SD, Kepala SD 3 Karangmalang Gebog Kudus Jawa Tengah. Rabu, 24 Juli 2013
Tirtarahardja, Umar. 2008. Pengantar
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal.20
Artikel dikirim oleh Sutiyono,
S.Pd.SD, Kepala SD 3 Karangmalang Gebog Kudus Jawa Tengah. Rabu, 24 Juli 2013