Blog Al Imam

  • Home
  • Kumpulan Makalah
  • 404
Home » Tanpa kategori » Makalah IPS dan Pendidikan karakter bagi siswa MI

Makalah IPS dan Pendidikan karakter bagi siswa MI





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai calon Guru SD hendaknya menguasai materi IPS sebagai program pendidikan. Untuk membantu menguasai materi tersebut maka dalam Konsep Pendidikan IPS. Dan Setiap pengajar seyogyanya mengetahui dan menghayati sepenuhnya mengapa ia mengajar sesuatu mata pelajaran tertentu. Begitu juga dengan pengajar IPS, untuk menghindari dari “pertukangan” maka membelajarkan peserta didik seharusnya dilakukan secara berwawasan. Secara sederhana IPS ada yang mengartikan sebagai studi tentang manusia yang dipelajari oleh anak didik di tingkat sekolah dasar dan menengah.IPS dapat diartikan “penelaahan atau kajian tentang masyarakat”.masyarakat”.Dalam mengkaji masyarakat, guru dapat melakukan kajian dari berbagai perspektif sosial, seperti kajian melalui pengajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik-pemerintahan, dan aspek psikologi sosial yang disederhanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Dalam pembelajaran IPS, pendidikan karakter yang diterapkan secar sistematis dan berkelanjutan, akan menjadikan seorang anak  menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan danmenguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa Indonesia, sanggup?

 
BAB II
IPS DAN PENDIDIKAN KARAKTER BAGI SISWA MI

A.  Pengertian IPS
IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89). Social Scence Education Council (SSEC) dan National Council for Social Studies (NCSS), menyebut IPS sebagai “Social Science Education” dan “Social Studies”. Dengan kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum, sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya.[1]
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah. Istilah tersebut meliputi : Ilmu Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social Studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).[2]
1.      Ilmu Sosial (Social Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.

2.      Studi Sosial (Social Studies).
Berbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Dalam kerangka kerja pengkajian Studi Sosial menggunakan bidang-bidang keilmuan yang termasuk bidang-bidang Ilmu Sosial.
Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut : Studi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar, dan dapat berfungsi selanjutnya sebagai pengantar bagi lanjutan kepada disiplin-disiplin Ilmu Sosial. Studi Sosial bersifat interdisipliner, dengan menetapkan pilihan judul atau masalah-masalah tertentu berdasarkan sesuatu rangka referensi, dan meninjaunya dari beberapa sudut sambil mencari logika dari hubungan-hubungan yang ada satu dengan lainnya. Sesuatu acara ditinjau dari beberapa sudut sekomprehensif mungkin.
Kerangka kerja Studi Sosial tidak menekankan pada bidang teoretis, namun lebih kepada bidang-bidang praktis dalam mempelajari gejala dan masalah-masalah sosial yang terdapat di lingkungan masyarakat. Studi Sosial tidak terlalu akademis-teoretis, namun merupakan satu pengetahuan praktis dan dapat diajarkan pada tingkat persekolahan, yaitu mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi.
Pendekatan yang digunakan Studi Sosial sangat berbeda dengan pendekatan yang biasa digunakan dalam Ilmu Sosial. Pendekatan Studi Sosial bersifat interdisipliner atau bersifat multidisipliner dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam Ilmu Sosial (Social Sciences) bersifat disipliner dari bidang ilmunya masing-masing. Demikian pula pada tingkat dan taraf yang lebih rendah pendekatan Studi Sosial lebih bersifat multidimensional, yaitu meninjau satu gejala atau masalah sosial dari berbagai dimensi atau aspek kehidupan.
Studi Sosial sebagai bahan pembelajaran karena sifatnya lebih mendasar dapat disajikan kepada tingkat yang lebih rendah, sesuai dengan yang dikemukakan oleh John jaromelik (1977:3-4) sebagai berikut:
Social studies has as its particular mission the task of helping young people develop comptencies that enable them to deal with, and to some extent manage, the physical and social forces of the world in which they live. Such competencies make to possible for pupils to shape their lives in harmony with those forces. Social studies education should also provide young people with a feeling of hope in the future and comfidence in their ability to solve social problems.
3.      Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat.Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah “Social Studies”. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama sebuah komite yaitu “Committee of Social Studies” yang didirikan pada tahun 1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama.
Definisi IPS menurut National Council for Social Studies (NCSS), mendifisikan IPS sebagai berikut: social studies is the integrated study of the science and humanities to promote civic competence. Whitin the school program, socisl studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizen of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.[3]
Marilah kita cermati kembali apa yang sudah kita pelajari di atas. Setelah kita pelajari ternyata kehidupan itu banyak aspeknya, meliputi aspek-aspek:
1.      hubungan sosial: semua hal yang berhubungan dengan interaksi manusia tentang proses, faktor-faktor, perkembangan, dan permasalahannya dipelajari dalam ilmu sosiologi.
2.      ekonomi: berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia, perkembangan, dan permasalahannya dipelajari dalam ilmu ekonomi.
3.      psikologi: dibahas dalam ilmu psikologi
4.      budaya: dipelajari dalam ilmu antropologi
5.      sejarah: berhubungan dengan waktu dan perkembangan kehidupan manusia dipelajari dalam ilmu sejarah.
6.      geografi: hubungan ruang dan tempat yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia dipelajari dalam ilmu geografi.
7.      politik: berhubungan dengan norma, nilai, dan kepemimpinan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dipelajari dalam ilmu politik

B.   Strategi Penyampaian Pembelajaran IPS
Strategi penyampaian pengajaran IPS, sebagaian besar adalah didasarkan pada suatu tradisi, yaitu materi disusun dalam urutan: anak (diri sendiri), keluarga, masyarakat/tetangga, kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum seperti ini disebut “The Wedining Horizon or Expanding Enviroment Curriculum” (Mukminan, 1996:5).[4]
Sebutan Masa Sekolah Dasar, merupakan periode keserasian bersekolah, artinya anak sudah matang untuk besekolah. Adapun kriteria keserasian bersekolah adalah sebagai berikut.
a.       Anak harus dapat bekerjasama dalam kelompok dengan teman-teman sebaya, tidak boleh tergantung pada ibu, ayah atau anggota keluarga lain yang dikenalnya.
b.      Anak memiliki kemampuan sineik-analitik, artinya dapat mengenal bagian-bagian dari keseluruhannya, dan dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut.
c.       Secara jasmaniah anak sudah mencapai bentuk anak sekolah.
Menurut Preston (dalam Oemar Hamalik. 1992 : 42-44), anak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :[5]
1.      Anak merespon (menaruh perhatian) terhadap bermacam-macam aspek dari dunia sekitarnya.Anak secara spontan menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian-peristiwa, benda-benda yang ada disekitarnya. Mereka memiliki minat yang laus dan tersebar di sekitar lingkungnnya.
2.      Anak adalah seorang penyelidik, anak memiliki dorongan untuk menyelidiki dan menemukan sendiri hal-hal yang ingin mereka ketahui.
3.      Anak ingin berbuat, ciri khas anak adalah selalu ingin berbuat sesuatu, mereka ingin aktif, belajar, dan berbuat
4.      Anak mempunyai minat yang kuat terhadap hal-hal yang kecil atau terperinci yang seringkali kurang penting/bermakna
5.      Anak kaya akan imaginasi, dorongan ini dapat dikembangkan dalam pengalaman-pengalaman seni yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPS sehingga dapat memahami orang-orang di sekitarnya. Misalnya pula dapat dikembangkan dengan merumuskan hipotesis dan memecahkan masalah.
Berkaitan dengan atmosfir di sekolah, ada sejumlah karakteristik yang dapat diidentifikasi pada siswa SD berdasarkan kelas-kelas yang terdapat di SD.[6]
1. Karakteristik pada Masa Kelas Rendah SD (Kelas 1,2, dan 3)
a)      Ada hubungan kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah
b)      Suka memuji diri sendiri
c)      Apabila tidak dapat menyelesaikan sesuatu, hal itu dianggapnya tidak penting
d)     Suka membandingkan dirinya dengan anak lain dalam hal yang menguntungkan dirinya
e)      Suka meremehkan orang lain
2. Karakteristik pada Masa Kelas Tinggi SD (Kelas 4,5, dan 6).
a)      Perhatianya tertuju pada kehidupan praktis sehari-hari
b)      Ingin tahu, ingin belajar, dan realistis
c)      Timbul minat pada pelajaran-pelajaran khusus
d)     Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah.
Menurut Jean Piagiet, usia siswa SD (7-12 tahun) ada pada stadium operasional konkrit. Oleh karena itu guru harus mampu merancang pembelajaran yang dapat membangkitkan siswa, misalnya penggalan waktu belajar tidak terlalu panjang, peristiwa belajar harus bervariasi, dan yang tidak kalah pentingnya sajian harus dibuat menarik bagi siswa.[7]
                                    
C.  Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan makin lama makin berkembang dengan pesat mengikuti peradaban dunia yang kian maju khususnya pendidikan yang ada di Indonesia, adapun pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.[8]

1.    Pengertian pendidikan berkarakter
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:623) menjelaskan bahwa karakter adalah sifat atau ciri kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak.[9]
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pendidikan karakter adalah gerakan nasional menciptakan sekolah yang membina etika, bertanggung jawab dan merawat orang-orang muda dengan pemodelan dan mengajarkan karakter baik melalui penekanan pada universal, nilai-nilai yang kita semua
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat suatu keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuatnya.[10]
       Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
       Berdasarkan pengertian pendidikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan berkarakter merupakan suatu usaha yang direncanakan secara bersama yang bertujuan menciptakan generasi penerus yang memilki dasar-dasar pribadi yang baik baik dalam pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action)
Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte. Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter itu akan membentuk motivasi, dan pada saat yang sama dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Oleh karenanya, orang mendefinisikan karakter sebagai “siapa anda dalam kegelapan”. Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral.
Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Bagan di bawah ini merupakan bagan keterkaitan Ketiga kerangka pikir ini.
2.    Pengertian karakter menurut beberapa pendapat
1)      Pendidikan Karakter Menurut Lickona
Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.
2)        Pendidikan Karakter Menurut Suyanto
Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
3)        Pendidikan Karakter Menurut Kertajaya
Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu (Kertajaya, 2010).
4)      Pendidikan Karakter Menurut Kamus Psikologi
Menurut kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982: p.29).

D. Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter
Pembentukan karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai (values education) melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan. Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter yaitu , Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan,CintaTanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/ komunikatif,Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, Tanggung jawab.[11]
Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Di antara metode pembelajaran yang sesuai adalah metode keteladanan, metode pembiasaan, dan metode pujian dan hukuman.
Pendidikan karakter, mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja, tapi di rumah dan di lingkungan sosial. Bahkan sekarang ini peserta pendidikan karakter bukan lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia dewasa. Di masa kini kita akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai belahan negara di dunia. Bahkan kita yang masih akan berkarya di tahun tersebut akan merasakan perasaan yang sama. Tuntutan kualitas sumber daya manusia pada tahun 2021 tentunya membutuhkan good character. Karakter adalah kunci keberhasilan individu. Dari sebuah penelitian di Amerika, 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukanoleh Emotional Quotient (EQ).
Dari sudut pandang psikologis, terjadi penurunan kualitas “usia psikologis” pada anak yang berusia 21 tahun pada tahun 2001, dengan anak yang berumur 21 pada tahun 2013. Maksud usia psikologis adalah usia kedewasaan, usia kelayakan dan kepantasan yang berbanding lurus dengan usia biologis. Jika anak sekarang usia 21 tahun seakan mereka seperti berumur 12 atau 11 tahun.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa Indonesia, sanggup?
Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat)
E. Integrasi pendidikan nilai ke dalam pembelajaran SD/MI
Integrasi pendidikan nilai ke dalam pembelajaran SD/MI melalui penanaman dan pembinaan pendidikan karakter, watak dan kepribadian tidak diartikan sempit hanya sebagai domain pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan melainkan terintegrasi dan terinternalisasi ke dalam seluruh mata pelajaran seperti IPS, IPA, bahasa, matematika, seni dan budaya dan pendidikan jasmani dan kesehatan. Orientasi pendidikan nilai melalui sebaran mata pelajaran tersebut ialah berupaya menggali, menemukan, memahami, mengaplikasikan dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dari sebaran mata pelajaran tersebut untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran di SD/MI akan jauh lebih bermakna (meaningfull) baik bagi pendidik maupun anak didik sebagai dua pelaku utama pendidikan.[12]
Nursid Sumaatmadja (2005) mengemukakan bahwa nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam IPS meliputi: nilai edukatif, nilai praktis, nilai teoritis, nilai filsafat dan nilai ketuhanan. Lebih rinci, dijelaskan sebagai berikut:[13]
  1. Nilai edukatif, melalui pendidikan IPS, perasaan, kesadaran, penghayatan, sikap, kepeduliaan, dan tanggung jawab sosial peserta didik ditingkatkan. Kepeduliaan dan tanggungjawab sosial, secara nyata dikembangkan dalam pendidikan IPS untuk mengubah perilaku peserta didik bekerja sama, gotong royong dan membantu pihak-pihak yang membutuhkan
  2. Nilai praktis, dalam hal ini tentunya harus disesuaikan dengan tingkat umur dan kegiatan peserta didik sehari-hari. Pengetahuan IPS yang praktis tersebut bermanfaat dalam mengikuti berita, mendengakan radio, membaca majalah, menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari
  3. Nilai teoritis, peserta didik dibina dan dikembangkan kemampuan nalarnya kearah dorongan mengetahui kenyataan (sense of reality), dan dorongan menggali sendiri dil apangan (sense or discovery). Kemamuan menyelidiki, meneliti dengan mengajukan berbagai pernyataan (sense of inquiry).
  4. Nilai filsafat, peserta didik dikembangkan kesadaran dan penghayatan terhadap keberadaanya di tengah-tengah masyarakat, bahkan ditengah-tengah alam raya ini. Dari kesadaran keberadaan tadi, mereka disadarkan pula tentang peranannya masing-masing terhasap masyarakat, bahkan terhadap lingkungan secara keseluruhan
  5. Nilai ketuhanan, menjadi landasan kita mendekatkan diri dan meningkatkan IMTAK kepada-Nya.Kekaguman kita selaku manusia kepada segala ciptaan-Nya, baik berupa fenomena fisik-alamiah maupun fenomena kehidupan.
Dalam pembelajaran IPS, pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, akan menjadikan seorang anak  menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis
masuk kedalam dunia sekolah Dasar atau para ahli menyebut sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 – 7 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari lingkungan sekolah maupun lingkungan keluarga.
1)   Peranan Sekolahdalam Pembentukan Karakter Anak
Sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak siswa yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian. Dan hal ini relevan dan kontekstual bukan hanya di negara-negara yang tengah mengalami krisis watak seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara maju sekalipun (cf. Fraenkel 1977: Kirschenbaum & Simon 1974).
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel (1977: 1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia sebagai “keindahan”, yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan standar-standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektif Islam, menurut Quraish Shihab (1996: 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.
2)      Peranan Keluarga dalam Pembentukan Karakter Anak
Ungkapan indah Phillips dalam The Great Learning (2000:11): “If there is righteousness in the heart, there will be beauty in the character; if there is beauty in the character, there will be harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if there is order in the nation, there will be in the world”.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi seperti dikemukakan di atas, pendidikan karakter merupakan langkah penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri bangsa dan menggalang pembentukan masyarakat Indonesia baru. Pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumah tangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam, keluarga sebagai “school of love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa rahmah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasihsayang.
Setiap mata pelajaran pada prinsipnya memiliki bahan ajar (instructional materials) berdimensi pengetahuan, keterampilan dan sikap/nilai. Depdiknas (2006) mengartikan bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Mata pelajaran apapun termasuk yang ada di SD/MI sarat dengan kandungan dimensi penanaman dan pembinaan sikap/nilai yang melekat dalam setiap aktivitas pembelajaran. Jadi, dalam hal ini pendidikan nilai atau budi pekerti tidak lagi terspesialisasi pada mata pelajaran tertentu yang seringkali pada prakteknya terjebak pada tradisi hafalan atau sekedar “tahu”. Sebagai contoh, dalam pembelajaran IPS SD/MI, dimensi nilai yang terkandung mengajarkan anak didik untuk mengembangkan sikap toleran, empati, bertanggungjawab dalam menggunakan hak dan kewajiban.
Nursid Sumaatmadja (2005) mengemukakan bahwa nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam IPS meliputi: nilai edukatif, nilai praktis, nilai teoritis, nilai filsafat dan nilai ketuhanan. Lebih rinci, dijelaskan sebagai berikut:[14]
1.      Nilai edukatif, melalui pendidikan IPS, perasaan, kesadaran, penghayatan, sikap, kepeduliaan, dan tanggung jawab sosial peserta didik ditingkatkan. Kepeduliaan dan tanggungjawab sosial, secara nyata dikembangkan dalam pendidikan IPS untuk mengubah perilaku peserta didik bekerja sama, gotong royong dan membantu pihak-pihak yang membutuhkan
  1. Nilai praktis, dalam hal ini tentunya harus disesuaikan dengan tingkat umur dan kegiatan peserta didik sehari-hari. Pengetahuan IPS yang praktis tersebut bermanfaat dalam mengikuti berita, mendengakan radio, membaca majalah, menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari
  2. Nilai teoritis, peserta didik dibina dan dikembangkan kemampuan nalarnya kearah dorongan mengetahui kenyataan (sense of reality), dan dorongan menggali sendiri dil apangan (sense or discovery). Kemamuan menyelidiki, meneliti dengan mengajukan berbagai pernyataan (sense of inquiry).
  3. Nilai filsafat, peserta didik dikembangkan kesadaran dan penghayatan terhadap keberadaanya di tengah-tengah masyarakat, bahkan ditengah-tengah alam raya ini. Dari kesadaran keberadaan tadi, mereka disadarkan pula tentang peranannya masing-masing terhasap masyarakat, bahkan terhadap lingkungan secara keseluruhan
  4. Nilai ketuhanan, menjadi landasan kita mendekatkan diri dan meningkatkan IMTAK kepada-Nya.Kekaguman kita selaku manusia kepada segala ciptaan-Nya, baik berupa fenomena fisik-alamiah maupun fenomena kehidupan.
 
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
IPS merupakan bidang studi baru, karena dikenal sejak diberlakukan kurikulum 1975. Dikatakan baru karena cara pandangnya bersifat terpadu, artinya bahwa IPS merupakan perpaduan dari sejumlah mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi. Adapun perpaduan ini disebabkan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut mempunyai kajian yang sama yaitu manusia
Pendidikan IPS penting diberikan kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu mengenal masyarakat dan lingkungannya. Untuk mengenal masyarakat siswa dapat beljar melalui media cetak, media elektronika, maupun secara langsung melalui pengalaman hidupnya ditengah-tengah msyarakat. Dengan pengajaran IPS, diharapkan siswa dapat memiliki sikap peka dan tanggap untuk bertindak secara rasional dan bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupannya.
Pendidikan karakter adalah gerakan nasional menciptakan sekolah yang membina etika, bertanggung jawab dan merawat orang-orang muda dengan pemodelan dan mengajarkan karakter baik melalui penekanan pada universal, nilai-nilai yang kita semua
     Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Integrasi pendidikan nilai ke dalam pembelajaran SD/MI melalui penanaman dan pembinaan pendidikan karakter, watak dan kepribadian tidak diartikan sempit hanya sebagai domain pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan melainkan terintegrasi dan terinternalisasi ke dalam seluruh mata pelajaran seperti IPS, IPA, bahasa, matematika, seni dan budaya dan pendidikan jasmani dan kesehatan. Orientasi pendidikan nilai melalui sebaran mata pelajaran tersebut ialah berupaya menggali, menemukan, memahami, mengaplikasikan dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dari sebaran mata pelajaran tersebut untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran di SD/MI akan jauh lebih bermakna (meaningfull) baik bagi pendidik maupun anak didik sebagai dua pelaku utama pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

·         Buchori Alma, dan Harlasgunawan. (1987). Hakikat Dasar Studi Sosial. Bandung: Sinar Baru.
·         Cheppy, (tanpa tahun). Strategi Ilmu Pengetahuan Sosial. Surabaya: Penerbit Karya Anda.
·         N. Daldjoeni. (1981). Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Sosial (Buku Pengantar Bagi Mahasiswa dan Guru). Bandung: Penerbit Alumni.
·         Nu’man Somantri, (Editor Edi Supriadi dan Rohmat Mulyana). (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PPS, FPIPS dan PR Remaja Rosdakarya.
·         Nursid Sumaatmadja. (1984). Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan 
·         Tirtarahardja, Umar. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
·         Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. PT Gramedia Pustaka Utama
·         Artikel dikirim oleh Sutiyono, S.Pd.SD, Kepala SD 3 Karangmalang Gebog Kudus Jawa Tengah. Rabu, 24 Juli 2013


[1]Alma Buchori, dan Harlasgunawan. (1987). Hakikat Dasar Studi Sosial. Bandung: Sinar Baru. Hal. 4

[2]N. Daldjoeni. (1981). Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Sosial (Buku Pengantar Bagi Mahasiswa dan Guru). Bandung: Penerbit Alumni. Hal. 27

[3]Nursid Sumaatmadja. (1984). Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan. Hal. 25


[4]Cheppy, (tanpa tahun). Strategi Ilmu Pengetahuan Sosial. Surabaya: Penerbit Karya Anda. Hal. 12

[5] Ibid. Hal. 16
[6] Ibid. Hal.19
[7]Nu’man Somantri, (Editor Edi Supriadi dan Rohmat Mulyana). (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PPS, FPIPS dan PR Remaja Rosdakarya. Hal. 48
[8]Artikel dikirim oleh Sutiyono, S.Pd.SD, Kepala SD 3 Karangmalang Gebog Kudus Jawa Tengah. Rabu, 24 Juli 2013
                                                                       
[9]Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. PT Gramedia Pustaka Utama.Hal. 43
[10]Tirtarahardja, Umar. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal.20
[11]Tirtarahardja, Umar. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka.Hal. 15
[12]Artikel dikirim oleh Sutiyono, S.Pd.SD, Kepala SD 3 Karangmalang Gebog Kudus Jawa Tengah. Rabu, 24 Juli 2013
               
[13]Nu’man Somantri, (Editor Edi Supriadi dan Rohmat Mulyana). (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PPS, FPIPS dan PR Remaja Rosdakarya. Hal.29
[14]Nu’man Somantri, (Editor Edi Supriadi dan Rohmat Mulyana). (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PPS, FPIPS dan PR Remaja Rosdakarya. Hal.29
Makalah IPS dan Pendidikan karakter bagi siswa MI , Pada: 02:35



Share to

Facebook Google+ Twitter

Related with Makalah IPS dan Pendidikan karakter bagi siswa MI :

Posted by Anonymous at 02:35

0 comments :

Post a Comment

« Next Prev »
  • Beranda

Labels

  • KUMPULAN LAPORAN PPL
  • Kumpulan Makalah
  • kumpulan proposal
  • Kumpulan Proposal Skripsi
Copyright © 2016 Blog Al Imam All Rights Reserved | Sonic SEO Template