Blog Al Imam

  • Home
  • Kumpulan Makalah
  • 404
Home » Tanpa kategori »





BAB I

FIKIH DAN SYARIAH



1.       Pengertian Syariah

Secara generic (etimologi) syariah berarti tempat menuju aliran air, atau jalan yang mesti dilalui atau aliran sungai. Beberapa ayat al-Quran seperti as-Syura’ : 13 menyebutkan lafal syariah yang bermakna ad-din (agama) dalam makna totalitasnya yang mnunjukkan pengertian bahwa syariah Islam adalah jalan yang lurus, yang akan mengantarkan manusia pada keselamatan dan kesuksesannya di duania dan di akhirat. Hubungan makna generic syariah sebagai jalan menuju aliran sungai dan syariah islamadalah, jika air sungai yang bersih dan bening akan memuaskan dahaga dan kesehatan serta menumbuhkembangkan tubuh orang yang meminum dan menggunakannya, maka syariah Islam juga akan member kepuasan batin atas upaya manusia dalam mencari kebenaran, dan akan menyelamatkan hidupnya di dunia dan di akhirat. Belakangan kata syariah berarti sebagaimana yang didefinisikan ulama pada umumnya, yakni :

“Semua firman Allah yang berhubungan dengan aktifitas manusia (baik berbuat atau tidak berbuat, baik aktif maupun pasif) baik yang berupa perintah atau larangan, atau pilihan berbuat atau tidak berbuat”.

Pada definisi ini syariah dibedakan dari istilah akidah (firman-firman tentang kepercayaan/keyakinan) dan dibedaka pula dari istilah akhlak (firman berkaitan dengan konsep cara pandang terhadap segala seuatu yang disebut baik dan jahat, pantas dan tidak pantas. Sebagai tambahan, yang perlu ditegaskan adalah bahwa makna “firman Allah” sebagaimana tertera di atas mencakup pengertian hadis Nabi Muhammad yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Sebab pada hakikatnya apa yang disampaikan oleh nabi Muhammad berada di bawah bimbingan wahyu Allah.

2.       Pengertian Fiqh dan ushul Fiqh

Ushul fiqh merupakan kata majemuk yang berasal dari lafal ushul dan fiqh, masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:

a.       Ushul

Ushul merupakan bentuk jamak dari lafal ashl yang secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi landasan bagi yang lain. Dakam pengertian terminology, makna ushul adalah:

1)      Ketentuan dasar

2)      Hukum yang dipedomani

3)      Yang dominan

4)      Unsur qiyas yang pertama menjadi rujukan untuk mendapatkan hukum baru yang belum ada ketentuan hukumnya

5)      Dalil (dasar)

Dari sekian pengertian, pengertian ushul yang kelima dianggap lebih sesuai dengan pengertian ushul fiqh. Dengan kata lain ushul fiqh berarti dasar atau dalil untuk menetapkan hukum fiqh yang dapat berupa al-Qur’an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan sebagainya.

b.      Fiqh

Secara etimologi fiqh berarti mengerti atau paham (lihat al-Isra: 44). Dengan demikian ketika seseorang berkata  فقهت   (saya paham) berarti ia mengerti tujuan perkataan seseorang. Namun menurut sebagian ulama paham dan mengerti sebagaimna dimaksud di atas bukan sekedar paham terhadap hal-hal yang mudah dipahami dan dimengerti, melainkan paham yang mendalam. Oleh karena itu orang yang mengerti bahwa api itu panas dan harimau itu buas belum dapat disebut seorang faqih (orang yang paham). Seorang faqih memiliki seperangkat pengetahuan dan keahlian dalam memahami masalah-masalah fiqh yang rumit.

c.       Fiqh sebagai Disiplin Ilmu

Secara istilah (terminology) fiqh menurut Ibnu Qudamah dapat berarti:

العلمم بالاحكام الشرعيةة العملية الفرعية عن ادلتها التفصيلية بالاستدلال

“Pengetahuan tentang hukum syara yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang bersifat parsial, yang berasal dari dalil-dalil yang spesifik melalui penelitian trhadap dalil”

Terminology lain diungkapkan oleh Ibnu as-Subki, yakni:

العلم بالقواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام الشرعية الفرعية من ادلتها التفصيلية

“Pengetahuan tentang hukum syara yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara yang spesifik.”

Dari definisi kedua dapat diketahui bahwa:

1)      Fiqh adalah seperangkat ketentuan hukum-hukum syara yang berasal dari Allah melaui wahyu yang disampaian kepada rasul-Nya. Dengan demikian hukum akal (logika), hukum kebiasaan (al-adat), hukum kausalitas dan hukum-hukum lain yang berasal dari pemikiran manusia tidak termasuk dalam pengertian pembahasan fiqh.

2)      Fiqh berkaitan dengan perbuatan manusia. Jadi masalah keimanan dan keyakinan (akidah) dan juga akhlak tidak masuk dalam pembahsan ilmu fiqh.

3)      Hukum-hukum fiqh itu didapat dari hasil-hasil pemikiran melalui usaha penelitian sungguh-sungguh yang dilakukan oleh mujtahid untuk menggali dan memahami nash-nash syara, sehingga  mujtahid tersebut dapat mengetahui bahwa suatu perbuatan tertentu sesuai dengan yang ditentukan oleh Allah. Dengan demikian tingkat kepastian hukum fiqh tidak bersifat mutlak (mutlak, qath’i) namun bersifat relative (zhanni), sebab dalam upaya penetapan hukum tersebut terdapat keterlibatan manusia yang mempunyai keterbatasan akal.

4)      Hukum yang pasti benar adalah hukum yang secara jelas dan langsung berasal dari Allah. Dengan demikian ketentuan hukum tentang wajibnya shalat lima waktu, puasa ramadhan, zakat, haji atau keharaman membunuh tanpa alasan yang sah, makan babi, berzina, mencuri dan meminum khamr tidak termasuk dalam kategori fiqh karena hal trsebut bersifat pasti(qath’i) dan tidak memerlukan ijtihad dalam menentukan hukum perbuatan-perbuatan tersebut.

d.      Ushul Fiqh sebagai Disiplin Ilmu

Definisi ushul fiqh menurut Ibnu Qudamah adalah:

العلم بالقواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام الشرعية الفرعية من ادلتها التفصيلية

“Pengetahuan tentang hukum syara yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara yang spesifik.

Smentara Ali Hasibullah mengemukakan definisi ushul fiqh dengan:

القواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية

“Sekumpulan kaidah yang digunakan untuk menarik kesimpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia, dari dalil-dalil yang spesifik”

Sedang alBaidhawi mendefinisikan:

معرفة دلائل الفقه اجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفد

“Pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara umum dan cara menyimpulkan hukum dari dalil-dalil tersebut, serta tentang hal ihal mujtahid.



Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa ushul fiqh terdiri dari beberapa unsure berikut:

1)      Ushul fiqh merupakan suatu disiplin ilmu

2)      Ushul fiqh merupakan sekumpulan dalil dan kaidah atau rumusan yang bersifat umum yang tidak menunjuk secara langsung pada hukum-hukum syara yang terperinci.

Kaidah-kaidah yang dimaksud trdiri dari 2 macam:

a)      Kaidah-kaidah syar’iyyah dan dalil-dalil, contoh:

ان الحد لا يتعلق الا بفاحشة

“Hukuman Had hanya berkaitan dengan perbuatan keji”

الاصل فى الامر للوجوب ما لم يدل دليل على خلافه

“Pada dasarnya suatu perintah menunjuk pengertian wajib, selama tidak terdapat dalil lain yang menunjuk pengertian yang berbeda.

b)      Kaidah yang bersifat kebahasaan. Urgensi kaidah kebahasaan adalah mengingat al-Qur’an dan al-hadis sebagai sumber utama hukum Islam menggunakan bahasa Arab,  oleh sebab itu diperlukan pemahaman terhadap kaidah-kaidah bahasa arab untuk menarik kesimpulan hukum syara. Contoh:

اللفظ العام يتناول جميع افراده قطعا ما لم يحصص

“lafal yang bersifat umum menunjuk semua pengertian parsialnya secara pasti, selama tidak dibatasi (ditakhsis) maknanya.

اللفظ  المشترك لا يراد به عندد الاستعمال الا معنا واحدا

“Dalam menggunakan suatu lafal yang mengadung lebih dari satu makna, pengertian yang dimaksudkannya hanya menunjuk satu makna tertentu saja”

3)      Kaidah-kaidah yang terdapat dalam ushul fiqh berfungsi untuk menarik dan melahirkan hukum syara.

4)      Hukum-hukum fiqh yang dihasilkan itu bersifat amaliyah, bukan akidah maupun akhlak. Namun demikian di dalam fiqh dan ushul fiqh terdapat juga hukum-hukum yang tidak secara langsung berkaitan dengan perbuatan manusia missal; tentang status seseorang yang menimbulkan efek hukum seperti sebagai hamba, janda, anak-anak, orang gila, terpaksa dll yang semua itu bukan termasuk perbuatan manusia tetapi juga masuk dalam pembahasan fiqh/ushul fiqh.

5)      Hukum-hukum fiqh yang disimpulkan dari nash merupakan hasil ijtihad (tidak secara langsung ditegaskan oleh nash)

6)      Tingkat kekuatan hukum tersebut bersifat zhanni (relative) bukan Qath’I (mutlak) karena hasil ijtihad (ada unsure manusia).

3.       Qawaid Fiqhiyyah

Qawa’id Fiqhiyyah terdiri dari 2 kata, yakni Qawaid dan Fiqhiyyah. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qa’idah, dalam bahasa Indonesia berarti kaidah atau rumusan asas-asas yang menjadi hukum; aturan yang tentu; patokan; dalil. Secara etimologi qawaid berarti dasar, asas atau fondasi dalam pengertian abstrak maupun konkrit. Secara terminologis, menurut at-Thahanawi, qawaid menunjuk pengertian yang kurang lebih sama dengan pengertian dasar, qanun (undang-undang), dhabit (catatan penting) dan maqashid (tujuan), yang secara umum menurut at-Taftazani kata kaidah menunjuk pada:



امر كلى منتبق على جميع جزئياته عند تعرف احكامها منه



“Ketentuan yang bersifat umum yang sesuai terhadap semua bagian-bagiannya yang bersifat parsial, ketika hendak mengetahui ketentuan hukum yang bersifat parsial tersebut daripadanya”. Sedang menurut Abu al-Baqa’ al-Kafawi al-Hanafi:



قضية كلية من حيث استمالها بالقوة على احكام جزئيات موضوعها



“Qadhiyyah kulliyah (preposisi yang bersifat umum) yang secara potensial mencakup semua ketentuan hukum yang bersifat juz’I yang berada dalam ruang lingkupnya”.Sementara al- jurjani mendefinisikan:



قضية كلية منتبقة على جميع  جزئياتها



Qadhiyyah kulliyah (preposisi yang bersifat umum) yang dapat diterapkan kepada semua juz’iyyah (parsial)nya”. Sedang menurut at-Taftazani:



حكم كلي ينتبق على جزئياته ليتعرف ااحكامها منهه

“Hukum yang bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan kepada semua juz’iyyahnya yang dari kaidah tersebut dapat diketahui hukum-hukumnya”. Sedang fiqh mempunyai pengertian sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Bila kedua kata ini digabungkan menjadi qawaid fiqhiyyah, maka ia menunjuk pengertian suatu cabang ilmu keislaman dengan definisi sebagai berikut:

Menurut Tajudin As-Subki:



الامر كلي الذى ينتبق على جزئياته كثيرة نفهم احكامها منها



“ketentuan yang bersifat umum yang dapat diterapkan kepada juz’iyyah yang banyak yang dengan ketentuan tersebut diketahui hukumnya”.

اصول فقهية كلية فى نصوص موجزة دسستورية ت        

Qawaid fiqhiyyah adalah dasar-dasar fiqh yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk udang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut”. Selanjutnya dua definisi menurut Ali Ahmad an-Nadawi:



حكم شرعي فى قضية اغلبية يتعرف منها احكام ما دخل تحتها



“Hukum syra dalam bentuk Qadhiyyah (preposisi) yang bersifat domiinan yang dengan qadhiyyah tersebut dapat diketahui ketentuan hukum mengenai peristiwa-peristiwa hukum yang berada di dalam ruang lingkupnya”.

Definisi yang kedua yaitu:



اصول فقهية كلي يتضمن احكاما تشرعية عامة من ابواب متعددة  فى القضايا التي تدخل تحت موضوعه



“Dasar-dasar fiqh yang bersifat umum yang mengandung hukum-hukum syara yang umu dalam berbagai bidang dalam bentuk qadhiyyah-qadhiyyah yang termasuk dalam ruang lingkupnya”

Dari kedua istilah yang dikemukakan oleh Ali Ahmad an-Nadawi dapat disimpulkan bahwa:

a.       Keduanya menggunakan istilah syar’I, hal ini untuk membedakannya dari kaidah lain (seperti qawaid an-Nahwiyyah, qawaid al ushuliyyah, qawaid al qanuniyyah dll)

b.      Penggunaan kata aghlabiyyah dalam kedua definisi di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kaidah ini hanya mencakup ketentuan-ketentuan hkum yang bersifat pada umumnya (mayoritas) dan tidak mencakup keseluruhanya. Dapat ditegaskan bahwa kenyataanya memang tidak ada satupun kaidah keilmuan islam yang tidak mengandung pengecualian. Perbedaannya hanya terletak pada sedikit atau banyaknya pengecualian suatu kaidah disiplin ilmu disbanding dengan kaidah yang berlaku pada disiplin ilmu lainnya tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa imu qawaid fiqhiyyah pada hakikatnya adalah sekumpulan kaidah-kaidah fiqh yang berbentuk rumusan-rumusan yang bersifat umum yang didalamnya terkandung ketentuan-ketentuan hukum fiqh dalam berbagai bidang yang temasuk dalam ruang lingkupnya.

4.       Hukum Islam

Menurut KBBI Hukum Islam ialah peraturan-peraturan dan ketentun-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan kitab al-Qur’an; Hukum syara’. Definisi ini berbeda dengan pemahaman para akademisi di Indonesia, sebab hukum Islam tidak dibatasi yang berkaitan dengan perbuatan manusia pada umumnya, dimana ia tidak mencakup masalah akidah dan akhlak. Di samping itu, sumber hukum Islam bukan hanya al-Quran, namun juga as-Sunnah dan melalui berbagai metode penemuan hukum yang dikenal dalam ushul fiqh. Untuk memudahkan, penegertian hukum Islam sebenarnya tidak jauh dari fiqh Islam, yakni seperangkat aturan yang berisi hukum-hukum syara’ yang bersifat terperinci, yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yang dipahami dan digali dari sumber-sumber (al-Quran dan alHadis) dan dalil-dalil syara’ lainnya (ijtihad).

Dari penjelasan mengenai syariah, ushul fiqh, fiqh, kaidah fiqhiyyah dan hukum Islam di atas maka dapat ditemukan persamaan dan perbedaanya, antara lain:

a.       Fiqh dan hukum Islam menunjuk pada pengertian yang sama, yakni ketentuan-ketentuan hukum Islam itu sendiri.

b.      Pada satu sisi, syariah fiqh dan hukum Islam memiliki persamaan yaitu, sama-sama membahas hukum Islam yang bersifat amaliyyah (perbuatan manusia), tapi terdapat perbedaan yaitu: syariah menunjuk pnegertian redaksi atau teks-teks firman Allah dan hadis Nabi yang berbicara tentang hukum Islam, Fiqh dan hukum Islam adalah materi hukum Islam yang dipahami dan digali dari redaksi/teks firman Allah dan Hadis Nabi tersebut (maksudnya, Syariah adalah sumber hukum Islam, sedang fiqh dan hukum Islam merupakan produk syariah).

c.       Kaidah fiqh merupakan kaidah yang berisi sekumpulan materi ketentuan fiqh/ hukum-hukum Islam yang sejenis, karena ada persamaan illat di antara ketentuan fiqh/hukum Islam tersebut.

d.      Adapun Ushul fiqh, ia hanyalah alat atau metodologi untuk menggali fiqh/hukum Islam dari syariah yang berupa firman Allah dan hadis Nabi. Bila ilmu ushul fiqh dihubungkan dengan syaraiah, ilmu fiqh/hukum Islam dan kaidah fiqh, maka secara sederhana dapat dijelaskan, jika diibaratkan dalam suatu proses produksi, maka syaraiah adalah bahan bakunya, sedang ushul fiqh adalah mesim produksinya, sementara fiqh/ hukum Islam adalah barang hasil produksi tersebut. Adapun kaidah fiqh adalah kumpulan atau paket-paket kemasan dari hasil produksi. Dalam hal ini hukum Islam yang dikelompokkan menurut jenis dan kesamaannya.



BAB II



SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH DAN USHUL FIQIH MASA AWAL: MASA RASULULLAH SAW DAN MASA SAHABAT



1.    Sejerah Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Nabi dan Ciri-cirinya

a.    Sejarah Perkembangan Fiqih Pada Masa Rosulullah dan Ciri-cirinya.

Tarikh Tasyrik Islam, atau sejarah fiqh Islam, pada hakikatnya, tumbuh dan berkembang di masa Nabi sendiri, karena Nabilah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafatnya Nabi.Para Fuqaha, ahli-ahli fiqh, hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah, kaidah-kaidah yang umum meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah juz-iyah, kejadian-kejadian yang detail dengan mengistinbatkan, mengambil hukum dari nash-nash syara’, atau ruhnya, di kala tidak terdapat nash-nashnya yang jelas. Pada Masa Rasulullah adalah masa fiqh Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan. Sumber asasi yang ada pada masa ini ialah Al-quran (wahyu Ilahi yang diturunkan untuk menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia). Tentang sunnah Rasul adalah berdasarlkan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada beliau. Demikian juga segala tindak-tanduk Nabi SAW. Selalu dibimbing oleh wahyu Ilahi, dan semua hukum dan keputusan hukum didasarkan kepada wahyu juga. Masa  ini walaupun berusia tidak panjang, namun masa inilah yang meninggalkan bekasan-bekasan dan kesan-kesan serta pengaruh yang penting bagi perkembangan hukum islam dan masa yang kulli yang bersifat keseluruhan dan dasar-dasar yang umum yang universal untuk dasar penetapan hukum bagi masalah dan peristiwa yang tidak ada nashnya. Masa Nabi SAW ini terbagi kepada dua periode yang masing-masing mempunyai corak tersendiri. Yaitu periode Makkah dan Periode Madinah.

1)   Periode Makkah

Periode pertama ialah periode Makkah, yakni selama Nabi SAW menetapkan dan berkedudukan di Makkah, yang lamanya 12 tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi hingga beliau berhijrah keMadinah. Dalam masa ini umat islam masih sedikit dan masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan yang kuat. Nabi telah mencurahkan Tauhid kedalam jiwa masing-masing individu dalam masyarakat arab serta memalingkan mereka dari memperhamba diri kepada berhala, disamping beliau menjaga diri dari aneka rupa gangguan bangsanya. Dan masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong Nabi SAW. Untuk mengadakan hukum atau undang-undang. Karena itu tidak ada di dalam surat Makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Ya sin dan Al Furqon. Kebanyakan ayat-ayat makkiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai aqidah kepercayaan, akhlak dan sejarah.

2)      Periode Madinah

Periode kedua ialah periode Madinah, Yakni masa Nabi SAW telah berhijrah ke Madinah, dan Nabi menetapkan di Madinah selama 10 tahun sampai wafatnya. Dalam masa inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Mulailah Nabi SAW membentuk suatu masyarakat Islam yang berkedaulatan. Karena itu timbulah keperluan untuk mengadakan syari’at dan peraturan peraturan, karena masyarakat membutuhkannya, untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya dan perhubungan mereka dengan umat yang lainnya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang. Dalam hubungan inilah disyari’atkan hukum-hukum perkawinan, thalaq, wasiat, jual beli, sewa, hutang-piutang, dan sermua transaksi. Demikian juga yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan dalam masyarakat, dengan adanya hukum kriminil dan lain sebagainya individu dan sebagai masyarakat dalam hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas, antara seantero manusia di dunia. Karena itulah surat-surat Madinah, seperti Surat Al-Baqoroh, Ali Imran, An Nisa’, Al Maidah, Al Anfal, At Taubah, An Nur, Al Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah dan lain-lain. Kekuasaan tasyri’iyah (legislatif) pada masa itu dipegang Nabi sendiri, walaupun dalam hal yang mendesak pernah juga beberapa sahabat berijtihad mencari hukum, seperti Ali Ibn Abi Thalib dikala melawat ke Yaman, Mu’adz Ibn Jabal ketika menjadi Hakim di Yaman dan Amr Ibn Ash dan lain-lain.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dalam Periode Makkah hampir tidak didapatkan indikasi yang berarti, karena masa ini merupakan masa pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan adalah ayat-ayat aqidah. Berbeda dengan masa Madinah di mana ayat-ayat tentang hukum dan pranata sosila mendominasi, sehingga indikasi penetapan hukum terlihat lebih jelas. Selanjutnya suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat Al-quran yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah difahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada al-quran itu dapat disebut fiqih.

Fiqih adalah hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad. Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut Fiqh atau lebih tepat disebut “Fiqh Sunah”. Kemungkinan Nabi melakukan ijtihad dalam menghasilkan Sunnahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman dalam Q.S Al Najm ayat 3-4 yang artinya “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” Ada ulama yang memahami ayat, ini secara umum, bahwa semua yang diucapkan Nabi dalam usahanya memberi penjelasan atas ayat hukum atau bukan adalah atas dasar wahyu. Sedangkan ulama lain memahaminya bahwa yang dimaksud ayat itu adalah ayat-ayat al-quran yang diterima Nabi dan disampaikannya kepada umatnya, itulah yang disebut wahyu. Tetapi tidak semua yang muncul dari lisan Nabi disebut wahyu.

Perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat tersebut kemudian berkembang pada kebolehan atau kemungkinan Nabi berijtihad. Ulama kalam Asy’ariyah, mayoritas ulama mu’tazilah, Abu Ali al Jubbani dan anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak boleh berijtihad dalam hukum syara’. Alasan mereka adalah Firaman Allah Surat Al-Najm ayat 3-4 yang artinya, “ Dan tiadalah yang diucapkannnya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”.  Ayat ini menjadi dalil utama bahwa semua yang muncul dari lisan nabi adalah dari wahyu dan tidak ada yang di luar wahyu. Ijtihad tidak berasal dari wahyu, karenanya tidak ada ucapan Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.

Nabi SAW berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara menyakinkan melalui wahyu. Sedangkan hasil ijtihad hanyalah bersifat zhanni. Bila mampu untuk sampai kepada yang meyakinkan (qath’i), maka tidak boleh menempuh yang tidak menyakinkan (zhanni). Disamping itu, ijtihad hanya boleh dilakukan bila tidak ada nash, sedangkan selama Nabi masih hidup, tidak mungkin nash itu sudah berhenti. Sering terjadi nabi tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan sahabatnya tentang kasus. Dalam keadaan demikian, nabi menyuruh menunggu sampai turunnya wahyu yang akan menjawabnya. Seandainya Nabi dapat memberikan jawaban yang hasil ijtihadnya, tentu nabi tidak perlu berlama-lama menunggu turun wahyu untuk menjawabnya.

Selanjutnya pendapat dari ulama lain menyatakan bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masa peperangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Bila diperhatikan dari beberapa pendapat tersebut beserta argumennya masing-masing, cenderung pada pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul dari lisan nabi itu dibimbing wahyu. Dalam kenyataan memang beliau pernah berijtihad untuk memahami dan menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagian sunnah nabi adalah berdasarkan ijtihad.

Adapun menurut Philips dalam bukunya Evolusi Fiqh yang dikutip oleh Ali Sodiqin, menyatakan bahwa sumber hukum pada masa Rasul hanya wahyu, baik Al-Qur’an maupun sunnah. rasul juga melakukan ujtihad ketika muncul persoalan dan wahyu belum turun, Hasil ijtihad Rasul inilah yang kemudian disebut dengan sunnah atau hadis. Namun, hasil ijtihad Rasul pada periodenya tidak dianggap sebagai sumber hukum yang independen karena faliditasnya tergantung kepada wahyu, apakah dikonfirmasi atau dikoreksi. Contoh aturan dari Rasul yang dikoreksi oleh wahyu adalah masalah perceraian dengan cara zihar. Rasul menetapkan zihar yang dilakukan oleh Aus bin As-Shamit kepada istrinya, Khalwah binti Tsa’labahsebagai bentuk perceraian. Qur’an dengan turunnya surah Al-Mujadalah (58) ayat 1-3 yang menetapkan bahwa zihar adalah tidak sah sebagai bentuk perceraian.



b.   Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa Rasulullah dan Ciri-cirinya.

Pertumbuhan Ushul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak Zaman Rasulullah SAW, sampai pada masa tersusunnya Ushul Fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, sumber hukum Islam hanya ada sua , yaitu Al-Qur;an dan Assunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melaiu sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadist dan sunah. Ilmu Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukan lebih dulu dari ilmu Ushul Fiqh. Karena dengan timbulnya ilmu fiqh, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut.dan metode ini tak lain adalah ilmu Ushul Fiqh.

Ushul Fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari Fiqh adalah Ushul Fiqh, berarti Ushul Fiqh itu asas atau dalil Fiqh yang diambil dari Al Qur’an dan Sunnah. Ushul Fiqh ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.



 اَمَّا عِلْمُ اُصُولِ الفقه فَلَم يَنشَاء الأ في القَرنِ الثاني الهِجرِى, لانه ف القرن الجهرى الاولِ لم تَدَع حَا جَةً اليه فاالرسولُ كان يفتى ويقضى بما يوحى به اليه ربُّهُ من القرن بما يَلهِمُ به من السُّنَنِ



“Mengenai ilmu Ushul Fiqh, ilmu tersebut lahir sejak abad ke 2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang tidak diperlukan lantaran keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah yang di ilhamkan kepada beliau”.

Sumber hukum pada masa Rasulullah SAW, hanyalah Al-Qur;an dan As Sunnah ( Al-Hadist). Pada masa itu di temui sunnah-sunnahnya yang memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad. Misalnya beliau melakukan Qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar Bin Khatab RA, sebagai berikut:



 صَنَعتُ اليوم يا رسول الله امرًا عَظِيمًا قبّلت وانا صاءمٌ , فقال له رسول الله صلي الله عليه وسلم ارايت لو تمضمضتَ بماءٍ

 وانت صاءم , فقلت لا بأس بذا لك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فصم



“Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar, saya mencium istri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu bekumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa ? Lalu saya menjawab : tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Maka tetaplah kamu berpuasa.”

Pada hadist diatas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium istrinya dengan mengqiyaskan kepada “tidak batal puasa seseorang karena berkumur-kumur”. Cara Rasulullah dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu Ushul Fiqh. Karenanya para ulama Ushul Fiqh menyatakan bahwa Ushul Fiqh ada bersamaan dengan hadirnya Fiqh, yaitu sejak zaman Rasulullah. Penetapan hukum pada masa Rasulullah SAW dapat secara langsung mengambil dari AL-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan hukum dengan melalui Sunnahnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga. Disamping itu beliau juga berijtihad dalam menetapkan hukum-hukum tertentu, akan tetapi ijtihadnya dilakukan secara naluri, artinya dilakukan tanpa memerlukan usul dan kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman dalam mengistimbatkan hukum. Pada masa Rasulullah SAW, Ushul Fiqh seperti yang kita kenal sekarang ini belum diperlukan, sebab RAsulullah SAW dan para sahabat, ketika itu dapat memahami secara langsung hukum-hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.

Rasulullah SAW adalah seorang manusia juga, sebagaimana manusia lain pada umumnya, maka hasil ijtihadnya pun bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda :



 انما أنا بشرٌ فما حدثكم عن اللهِ فهو حقٌّ , وما قلت فيه من قبل نفسى فانما أنا بشرٌ أُخطىءوأصيبُ



“saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar, dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah dan bisa benar.

Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah , Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar. Sebagai contoh hasil  beliau tentang tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka (para tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bi Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur’an yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar, yakni:





 ماكان لنبىّ ان يكون له أسرى حتى يثخن فى الأرض , تريدون عرض الدنيا , والله يريد الأخرة , رالله عزيز حكيم.



“tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat ( untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

         Jika terhadap hasil Ijtihad Rasulullah SAW tersebut tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan sudah barang tentu termasuk kedalam kandungan pengertian As Sunnah( Al-Hadist). Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari sejarah perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Rasul adalah bahwa Pada Masa itu Rasulullah berijtihad hukum-hukum yang merupakan keputusan-kepetusan dalam masalah-masalah yang dihadapkan kepada Rasul atau merupakan suatu fatwa atau jawaban terhadap suatu pertanyaan. Khittah atau jalan yang diikuti Rasul dalam menetapkan hukum ialah menanti wahyu. Apabila wahyu tidak datang, Nabi pun berpendapat bahwa Allah menyerahkan tasyri’ dalam masalah yang dihadapinya itu kepada Nabi sendiri, maka Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruhusy syari’ah. kemaslahatan dan permusyawaratan.            

2.    Sejerah Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya

a.    Sejerah Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya

Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW sampai akhir abad pertama hijrah. Pada masa sahabat dunia Islam sudah meluas hingga meliputi: Syria, Yordania, Mesir, Iraq dan Persia, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum ditandai dengan penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya. Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf datang dari Umar bin Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh Umar kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada akhirnya Abu Bakar menerima ide yang baik dari Umar ini. Maka beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini disimpan pada Abu Bakar, seterusnya masa Umar dan kemudian setelah Umar meninggal disimpan pada Hafshah binti Umar. Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf yang ada pada Hafshah kemudian menugaskan lagi kepada Zaid bin Tsabit untuk memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah slam yaitu ke Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah dan Damaskus. Mushaf itulah yang sampai kepada kita sekarang.

Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan. Nabi selalu minta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadist. Dengan demikian tidak akan bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu Al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat. Bahkan banyak sahabat yang hafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun Hadist pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab, akibat tidak tertulisnya dan tidak terkumpulnya Hadist dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka ulama-ulama dapa periode selanjutnya harus meneliti keadaan perawi Hadist dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadist serta muncul Ilmu Musthalah Hadist. Akibat lain adalah timbulnya perbedaan pendapat karena berbeda dalam menanggapi satu Hadist tertentu.

Pada masa sahabat, Islam telah menyebar luas misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya kasus Usyuur (bea cukai barang-barang impor), kasus mualaf dan lain-lain pada zaman Umar bin Khatab. Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad jama’i. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin Khatab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu : ”Musyawarah yang bersifat khusus dan musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas memusyawarahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun musyawarah yang bersifat umu dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting. Walaupun demikian tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad para sahabat dalam masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan kemaslahatan umum. Mereka menanyakan masalahnya kepada salah seorang sahabat Nabi dan diberikan jawabannya. Dalam masalah-masalah ijtihadnya termasuk dalam hal-hal yang belum ada nash-nya para sahabat berijtihad. Jadi, pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber hukum yaitu Al-Qur’an, Alsunnah dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardhi dalam hal-hal yang bersifat pribadi.

Ciri khas yang menonjol dalam perkembangan fiqih periode sahabat ini adalah sebagai berikut:

1.    Bersifat realistis, karena ketetapan fiqihnya didasarkan pada problem-problem aktual yang terjadi. Tidak ada ketetapan fiqih yang bersifat hipotesis atau rekaan semata, sehingga bentuk fiqih masa ini disebut dengan fiqh al-waqi’I (fiqih realistik).

2.    Bersifat terbuka, karena tidak menetapkan prosedur-prosedur tertentu yang harus diikuti dalam menetapkan aturan hukum. Para sahabat juga tidak membuat catatan atas ketetapan hukum yang mereka hasilkan. Di samping itu mereka menghargai kebebasan pendapat tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah Rasul.

3.    Mengedepankan musyawarah (ijmak) daripada menggunakan pendapat pribadi dalam penetapan hukum. Hal ini dipraktekkan  oleh para Khulafaur Rasyidin, sehingga memperkecil ruang ikhtilaf maupun perpecahan di kalangan umat Islam. Meskipun demikian para sahabat tetap menghormati pendapat pribadi di antara mereka.

4.    Bersifat kreatif, dalam arti melakukan modifikasi terhadap aturan hukum sebelumnya. Alasan modifikasi ini adalah tiadanya illat bagi keberadaan hukum tersebut dan atau adanya perubahan kondisi sosial. Contoh dalam kasus ini adalah ijtihad Umar Ibn Khattab, yang melarang pendistribusian zakat bagi muallaf adalah untuk mendapatkan dukungan, namun pada masa Umar dukungan muaalaf tersebut tidak dibutuhkan lagi mengingat eksestensi umat Islam sudah kuat. Contoh kedua terkait dengan penetapan talak tiga. Pada masa Rasulullah, pernyataan tiga kali talak dalam satu kesempatan dianggap sebagai satu kali pernyataan talaq. Khalifah Umar sebaliknya menetapkan bahwa talaq tiga kali tersebut dianggap jatuh talaq tiga.

5.    Khalifah Centris, yaitu keputusan akhir yang melibatkan ijmak dan ijtihad berada di tangan khalifah. Namun keputusan khalifah sebelumnya tidak mengikat bagi khalifah sesudahnya. Khalifah pengganti dapat mengubah aturan hukum dari khalifah sebelumnya. Contohnya misalnya Khalifah Ali mengubah hukuman bagi peminum khamr. Khalifah Abu Bakar dan Umar mengubah hukuman bagi peminum Khamr dengan 40 kali cambuk, sedangkan khalifah Ali menambah hukuman tersebut menjadi 80 kali cambuk.



BAB III

SUMBER HUKUM ISLAM



  1.  Al Qur’an

Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.

Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:
Tauhid, yaitu kepercayaan ke-esaann Allah SWT dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya
Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid
Janji dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari.

Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiaran syariat Allah SWT maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang mengingkari kebenaran Alquran agar dapat dijadikan pembelajaran.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:

  1. Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
  2. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
  3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.

Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:

  1. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT,misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
  2.  Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:

  • Hukum munakahat (pernikahan).
  • Hukum faraid (waris).
  • Hukum jinayat (pidana).
  • Hukum hudud (hukuman).
  • Hukum jual-beli dan perjanjian.
  • Hukum tata Negara/kepemerintahan
  • Hukum makanan dan penyembelihan.
  • Hukum aqdiyah (pengadilan).
  • Hukum jihad (peperangan).
  • Hukum dauliyah (antarbangsa).

2. Hadist

Kedudukan Hadist sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat. Menurut bahasa Hadist artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Hadist seperti ini sejalan dengan makna hadis Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya. Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Hadis, Al-Sunnah, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Hadist memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran :

  1. Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;
  2. Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
  3. Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula
  4. Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang
  5. Menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi.

B. Sumber Ajaran Islam Sekunder

Ijtihad

Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist.

Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli Ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.


 1. Qiyas yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama.
Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.

2. Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
3. Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia.
Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.

4. Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.

5. Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.

6. Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.

a. Abu Hanifah (Imam Hanafi)

Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت), lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (bahasa Arab: بو حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Hanafi. Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.

b. Imam Malik


Mālik ibn Anas bin Malik bin ‘Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: مالك بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Malik. Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar malik berkata :”aku dilahirkan pada 93 H”. dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam’ani dan ibn farhun)[3].
Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.

Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain. Pujian Ulama untu Imam Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi’i berkata : “Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi’in. “.

Yahya bin Ma’in berkata :”Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits”
Ayyub bin Suwaid berkata :”Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya”.
Ahmad bin Hanbal berkata:” Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid’ah”
Seseorang bertanya kepada as-Syafi’i :” apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?” as-Syafi’i menjawab :”aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?[3] “
Kitab Al-Muwaththa

Al-Muwaththa bererti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih kerana Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Dia sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafi pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik.”
inilah karangan para ulama muaqoddimin
[sunting]Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh

Imam malik jatuh sakit pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu ia wafat. sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H.
sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi’:” imam malik wafat pada usia 87 tahun” ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi’

c. Imam Syafi’i

Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil Imam Syafi’i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 – Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Tulisan di bawah terpaksa juga dihapus.

Bagaimana mungkin Imam Syafi’ie yang lahir tahun 150 H dan wafat tahun 203 H disebut menolak paham Asy’ariyyah yang memperkenalkan ajaran Sifat 20 sementara Imam Abu Hasan Al Asy’ari sendiri baru lahir tahun 260 H atau 57 tahun setelah Imam Syafi’ie meninggal?

Imam Syafi’ie adalah Imam Fiqih. Beda dengan Imam Asy’ari yang merupakan Imam masalah Tauhid. Kalau seperti itu, maka Imam Syafi’ie juga jauh dari paham Trinitas Tauhid yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir tahun 1115 Hijriyah:

Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.

Sumber: Majalah As-Salaam

Imam Hambali

Sebetulnya ingin mengambil referensi dari Wikipedia di bawah. Namun ada yang aneh yang menyatakan Murid Imam Hambali adalah Imam Syafi’i. Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya. Padahal berbagai literatur yang ada menyebut bahwa guru Imam Syafi’i yang lahir tahun 150 H adalah Imam Malik (lahir tahun 93 H). Sementara Imam Hambali yang lahir tahun 164 H (14 tahun lebih muda dari Imam Syafi’i) adalah murid dari Imam Syafi’i. Hubungan Guru dengan Murid tak akan pernah berubah meski seorang guru bertanya beberapa hal kepada muridnya. Aneh kan jika Imam Hambali berkata: “Imam Syafi’i itu dulu Guruku. Namun setelah aku lebih pintar, sekarang Imam Syafi’i jadi muridku” Insya Allah tidak begitu. Meski Imam Hambali adalah seorang Imam yang cerdas, namun pernyataan bahwa murid Imam Hambali adalah Imam Syafi’i menunjukkan adanya perubahan seenaknya oleh kaum Salafi Wahabi dalam rangka memuja Imam Hambali yang mereka jadi panutan secara berlebihan/ghulluw.

d. Imam Hambali

Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.

Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.

Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.

Masa Menuntut Ilmu

Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.

Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.

Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”

Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.

Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.

Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”

Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.

Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.

Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya

Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.

Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.

Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”

Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.

Keteguhan di Masa Penuh Cobaan

Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.

Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain.

Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.

Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.

Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.

Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.

Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.

Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.

Sakit dan Wafatnya

Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.

Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.

Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.

Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.

Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.

 


BAB IV


TASYRI JAMAN NABI DAN SAHABAT DAN TABI’IN

A.    Kondisi Tasyri’ Pada Masa Sahabat

Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat jibril baik waktu beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah itu.

Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak mungkin diganti, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti nabi Muhammad sebagai kepala Negara dan pemimpin umat islam ini disebut Khalifah, suatu kata yang dipinjam dari Al-Qur’an (Surat 2:30). Di dalam Al-Qur’an selain surat Al-baqarah ayat 30 itu terdapat perkataan khalifah yang tersebar dalam sebelas ayat. Ide yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa manusia harus mempunyai tujuan hidup menata dunia ini. dan sebagai khalifah (wakil) Tuhan dibumi ini, manusia harus menerjemahkan segala sifat-sifat Tuhan kedalam kenyataan hidup  dan kwhidupan dan wajib mengatur bumi ini sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan-Nya. Manusia wajib melakukan tugas unutk mencapai tujuan hidupnya menurut pola yang telah ditentukan oleh Tuhan dalam ajaran-ajaran-Nya.

Pengangkatan seorang khalifah dapat terjadi dengan persetujuan masyarakat sebagaimana yang terjadi dalam kasus Abu Bakar, atau dengan penunjukan khalifah sebelumnya seperti kasus Umar. Jika diperlukan pemilihan, dapat dibentuk suatu badan khusus menyelenggarakan pemilihan itu. Sesudah dipilih, khalifah harus berjanji bahwa ia akan memenuhi kewajiban yang dipercayakan kepadanya. Ia harus melaksanakan janjinya dengan setia, sebab tanggung jawab dan kewajibannya sebagai kepala Negara, jauh lebih berat  dari hak-hak istimewa yang ada padanya. Ia mendapat janji setia (bai’at) dari rakyat atau wakil-wakilnya yang memenuhi syarat.

Demikianlah untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat dan kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan sahabat Nabi sendiri. Sahabat nabi adalah orang hidup semasa dengan nabi, menjadi teman atau kawan nabi Muhammad dalam menyebarkanluaskan ajaran islam. Para sahabat Nabi ini silih berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Periode kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia, tetapi periode Sahabat meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci di dalam Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Para sahabat menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara penetapan hukum di pengadilan, dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima oleh Rasulullah saw, dan terbukalah pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash secara jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai berkembang pesat meluas sampai ke-Timur dan ke-Barat, sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk menginterpretasikan nash-nash hukum baik dalam Al-Quran maupun Al-hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum jelas itu. Selain dari pada itu para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan dalam nash mengenai hal itu, yang kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan untuk berijtihad. Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’ yaitu menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita, maka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab mereka dalam kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka menyaksikan dan mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud suatu hadits melebihi pengetahuan ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan Para sahabat bergabung dalam kelompok yang biasa diajak bermusyawarah oleh Rasululloh saw. Karena itulah maka munculah kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal. Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali mengenai beberapa peristiwa yang pada zaman Nabi belum ada.

B.     Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya

Para sahabat  memainkan pesan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak cukup melaksanakan dan melestarikan syari’at yang dibawa Nabi Saw, tetapi juga membentangkan sayap dakwah Islam hingga kemancanegara. Ini untuk kali pertama syari’at Islam khususnya fiqih berhadapan dengan berbagai persoalan baru. Misalnya masalah seputar moral, etika, kultur, dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang sangat majemuk.
Fase ini adalah adalah fase yang paling dominan, dalam mempengaruhi perkembangan syari’at. Wilayah-wilayah yang dibuka dan dibebaskan saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi situasi dan kondisi yang menghadang para fuqaha’ dari kalangan sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali untuk memberikan suatu fatwa.

Para Sahabat dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al Qur’an dan Sunnah, menyikapi terhadap persoalan-persoalan yang datang dengan langsung merujuk kepada al-qur’an dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam al-Qur’an dan hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka tidak menemukan dalam dua sumber pokok syari’at Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al Qur’an untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru.

Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan masing¬-masing. Dari sini muncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non Muslim. Para fuqaha’ untuk yang kesekian kalinnya berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini. Termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini.

Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum:

1.      Begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum yang secara lahiriyah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun penjelasan dari sunah Nabi.

2.      Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah di atur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.

3.      Dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.

C.    Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Sahabat

Sumber Tasyri’ pada masa ini adalah Al Qur’an, As-sunnah dan ljtihad (termasuk didalamnya ijma’ dan qiyas). Sebab pada hakekatnya keduanya dihasilkan dari jerih payah mujtahiddin. Al qur’an pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada Utsman bin Afan, setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun sumber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’ an.  Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan. Sehingga kebenaran riwayatnya dapat dijamin. Abu Bakar Misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasulullah. Demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya.

Kemudian sumber hukum yang ketiga, adalah ijtihad. Para shahabat dalam berijtihad tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Berkenaan dengan ini Ibnu Qoyyim pernah berkata bila seseorang sahabat mengemukakan pendapat atau mengemukakan suatu hukum atau memberikan fatwa, tentu ia telah mempunyai pengetahuan, baik yang dimiliki oleh para sahabat maupun pengetahuan yang kita miliki. Adapun pengetahuan yang hanya dimiliki oleh sahabat, mungkin didengar langsung dari Nabi melalui sahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya diketahui oleh masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para sahabat tidak semua dapat meriwayatkan semua hadits¬hadits yang didergar dari Khulafa’ ar Rasyidin dan sahabat-sahabat lainnya.

Walaupun Abu bakar Assiddiq selalu mendampingi Nabi, hingga nabi tidak pernah lepas dari pantauan Abu Bakar dan ia digolongkan sebagai orang yang mengetahui tentang Rasulullah SAW, tetapi hadits-hadits yang ia riwayatkan tidak lebih dari seratus hadits. Anggapan orang bahwa seorang sahabat selalu meriwayatkan suatu Hadits atau menyatakan suatu kejadian yang ia ketahui, adalah anggapan yang keliru, bahwa orang tersebut tidak mengetahui sikap dan tingkah laku para sahabat. Sebab mereka sangat takut untuk meriwayatkan suatu hadits, lantaran khawatir akan menambah atau mengurangi hadits tersebut. Karena itu mereka sedikit sekali meriwayatkan dan hanya menceritakan apa yang mereka dengar dari Rasulullah, atau sabda beliau.

D.    Metode dalam Mengenal Hukum

Para Sahabat dalam menghadap suatu masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari nashnya dari Al Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta pendapat mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka menetapkan pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’.

Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih terpusat kepada al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun demikian, sumber hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.

Pada umumnya dalam memutuskan hukum, sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat lain, takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya keputusan diambil dari hasil consensus, yang lazim disebut ijma’. Melihat luasnya kekuasaan Islam, tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan.

Pada awal masa sahabat ini , yaitu pada masa khalifah Abu Bakar dan masa khalifah Umar, para sahabat dengan cara bersama-bersama menetapkan hukum terhadap sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para sahabat dengan cara bersama-sama ini di sebut sebagai ijma’ sahabat.

Khalifah Umar pun berbuat demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dalam al-qur’an dan as-sunnah, maka beliau memperhatikan apakah telah ada keputusan-keputusan terhadap masal itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak maka beliau memanggil pemuka-pemuka kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum tersebut, maka beliau memberikan keputusan dengan hukum yang telah di sepakati tersebut.

Jadi, dalam menghadapi permasalahan yang terjadi, berkembanglah pemikiran para sahabat. Adapun metode yang digunakan pada masa sahabat dapat melalui beberapa cara diantaranya :

a.       Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalamm alquran hanya larangan memakan harta anak yatim. Ketentuan jelas dalam alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.

b.      Dengan cara memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.



E.     Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat Dalam Penetapan Hukum

Menurut Para ahli, timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat disebabkan adanya beberapa faktor, setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar yang menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.

1)      Perbedaan dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadits.

Perbedaan seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash dan perbedaan persepsi dikalangan sahabat seperti persoalan quru’, Adanya aya-ayat ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya (dzanni). Dalam Surat Al baqarah : 228 memiliki dua pengertian. Menurut Zaid bin Tsabit, quru’ berarti suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh.

2)      Munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati tiga tahapan, caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru kemudian mencari dalil-dalil yang rnenguatkan salah satu dari nash (at-Tarjih), dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.

3)      Sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa berdasarkan pengetahuan dari sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai hadits shahih. Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan hadits. Beberapa hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh Sebagian fuqaha’ ditolak oleh fuqaha’ lain sebab berbagai alasan. Selektifnya penerimaan periwayatan hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan hadits dilain pihak, terutama dikalangan ulama’ Madinah .

4)      Perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat.

Dari perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan fiqh Islam.

5)      Hal ini adalah yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode Sahabat dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi syariat periode ini.

6)      Perbedaan mereka dalam menerima hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada yang menerima hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka. Bagi yang dekat dengan Rasulullah, praktis mereka banyak menerima hadits, demikian sebaliknya.

Jadi dengan adanya faktor tersebut, maka munculah beberapa fatwa diantara mereka, yang masing-masing mempunyai dalih dan argumentasi yang berbeda. Akan tetapi, fatwa-fatwa pada waktu itu hanya terbatas pada persoalan-¬persoalan tertentu yang mendesak saja. Perbedaan pendapat belum begitu meluas, sebab problem hukum yang muncul saat itu masih relatif sedikit ketimbang sesudahnya. Disamping konsensus mereka (ijma’) yang masih sangat dimungkinkan. Diantara sahabat besar yang sangat menghindari ijtihad/ra’yu adalah Ibnu Abbas Zubair, dan Abdulah bin Umar, Dan yang terkenal besar Ijtihad adalah Umar Bin Khattab dan Abdullah bin Masud.

Diantara para sahabat yang memegang peran penting dalam hukum pada masa ini adalah: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Dzaid bin Tsabit, Ubay Bin Ka’ab Abdulah bin Umar, Aisyah, isteri nabi. Mereka semua tinggal di Madinah, termasuk beberapa sahabat yang lain.

F.     Contoh-contoh penerapan hukum (Ijtihad) Para Sahabat

Para sahabat dalam mencari istimbat hukum pasti merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits. Akan tetapi permasalahan terjadi ketika dalam dua sumber hukum ,tersebut tidak ada rujukan, sehingga para sahabat harus menggunakan penalarannya, untuk memecahkan masalah yang sedang terjadi. Berikut ini beberapa contoh penerapan hukum pada masa sahabat:

a.       Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat

Allah SWT. Dalam Al-Qur’an mewajibkan zakat. Nabi dalam Sunnah-Nya menyebutkan bahwa zakat itu di ambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin. Nabi disuruh Allah unutk mengambil harta zakat dari umatnya (At-taubah:103). Cara yang dilakukan Nabi adalah cara yang bijaksana sesuai dengan pesan Allah unutk berdakwah dengan cara bijaksana (An-nahl:125). Atas kesadaran umat waktu itu, kewajiban zakat dapat terlaksana dengan baik.

Pada masa Abu Bakar menjadi khalifah, beliau melihat bahwa pemungutan zakat secara lemah lembut seperti yang dilakukan Nabi tidak efektif lagi karena adanya kecenderungan pembangkangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat. Karena itu Abu Bakar mengambil sikap yang keras, bahkan menetapkan unutk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar kewajiban zakat. Dasar pemikiran Abu Bakar ialah bahwa menempuh sikap lemah lembut sebagaimana dilakukan oleh Nabi, kewajiban membayar zakat tidak dapat ditegakkan.

b.      Larangan meminum khamar

Allah melarang meminum khamar bagi orang islam secara tegas (Al-maidah:90) karena perbuatan tersebut merupakan dosa besar, maka Nabi melalui ijtihadnya menetapkan sanki minum khamar, yaitu dera sebanyak 40 kali. Pelaksanaan sanksi yang ditetpkan Nabi itu dapat menjerakan orang. Dengan demikian tujuan larangan tercapai.

Pada masa Umar bin Khatab menjadi khalifah, kebiasaan minum khamar waktu jahiliyah kmbuh lagi dikalangan orang islam dan sanksi dera 40 kali sudah kurang efektif sebagai alt penjera. Umar memikirkan cara unutk mebuat orang jera minum khamar yang merupakan tujuan dari hukum. Dalam hal ini Umar menetapkan sanksi minum khamar menjadi 80 kali dera, sehingga ornag menjadi bertambah takut meminum khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapan Umar berbeda dengan yang ditetapkan Nabi sebelumnya, unutk mencapai tujuan larangan, yaitu menjerakan berbuat kejahatan.

c.       Penetapan azan shalat jum’at dua kali

Pada masa Nabi, azan memberi tahu masuk waktu Jum’at dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib naik mimbar. Perbedaan Antar Mazhab? Di antara tonggak penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab raksasa di tengah ratusan mazhab kecil lainnya. Keempat mazhab itu adalah Al-Hanabilah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui eksistensi dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad ini. Keempatnya masih utuh tegak berdiri dan dijalankan serta dikembangkan oleh mayoritas muslimin di muka bumi. Masing-masing punya basis kekuatan syariah serta masih mampu melahirkan para ulama besar di masa sekarang ini.



BAB V

TENTANG MAZHAB-MAZHAB

1. MazhabAl-Hanifiyah.

Didirikan oleh An-Nu’man bin Tsabit atau lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa, Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut tabiin , sebagian ahli sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’in. Mazhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antaralatar belakangnya adalah. Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihah suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i. Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits. Di kemudian hari, metodologi yang beliau perkenalkan memang sangat berguna buat umat Islam sedunia. Apalagi mengingat Islam mengalami perluasan yang sangat jauh ke seluruh penjuru dunia. Memasuki wilayah yang jauh dari pusat sumber syariah Islam. Metodologi mazhab ini menjadi sangat menentukan dalam dunia fiqih di berbagai negeri.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi .Berkembang sejak awal di kota Madinah dalam urusan fiqh. Mazhab ini ditegakkan di atas doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar; Al-Quran, As-Sunnah , Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah , perkataan sahabat, istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana. Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah. Sebab mazhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.

3. Mazhab As-Syafi’iyah

Didirikan oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i . Beliau dilahirkan di Gaza Palestina tahun 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya . Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru . Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ‘ilm di akhir bulan Rajab 204 H. Salah satu karangannya adalah “Ar-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra’yi dan fiqh ahli hadits. Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil Istihsan sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah ,”

Kitab “Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi’i. Sementara kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”

4. Mazhab Al-Hanabilah

Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani . Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh besar di sana hingga meninggal pada bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, Syam. Beliau berguru kepada Imam Syafi’i ketika datang ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid mutlak mustaqil. Gurunya sangat banyak hingga mencapai ratusan. Ia menguasai sebuah hadis dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Bukhari. Imam Ahmad adalah seorang pakar hadis dan fiqh. Imam Syafi’i berkata ketika melakukan perjalanan ke Mesir,”Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu Hanbal ,”

Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, saddudzarai’. Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadis. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau munkar. Di antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal anak terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal . Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadis. Murid yang adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad , Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran , Abu Bakr Al-Khallal , Abul Qasim yang terakhir ini memiliki banyak karangan tentang fiqh madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.

BAB VI

KAIDAH FIKIH ASASIYAH

I. Kaidah Asasi Pertama

اَلْأُمُوْرُ بِمَقاَصِدِهاَ

Segala perkataan terantung pada niat

Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai pelaksanaannya.

قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ أَوالْقَصْدُالْمُقَارِنُ لِلْفِعْلِ

Di dalan sholat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud didalam hati dan wajib niat disertai takbirat al-ihram.

Di kalangan mahzab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada dalam hati

, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati.  Jadi apabila meyakini/beritikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup, dan ajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.

Dapat disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :

  • Untuk membedakan antar ibadah dan adat kebiasaan.
  • Untuk membedakan kualitas perbuatan baik kebaikan maupun kejahatan.
  • Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.

Secara lebih mendalam lagi para fuqaha merinci masalah niat ini baik dalam ibadah mahdoh seperti thoharoh, wudhu, tayamum, mandi junub, sholat qhasar, sholat jama, sholat wajib, sholat sunnat, zakat, haji, saum atau pun didalah ibadah ghair mahdoh seperti pernikahan, thalaq, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa-menyewa, hutang piutang dan akad-akad lainnya.

  1. II. Kaidah Asasi Kedua

الَيقِيْنُ لاَيُزَالُ بِاالشَّك

Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan

Di dalam kaidah-kaidah fiqih banyak di bicarakan tentang hal yang berhubungan dengan keyakinan dan kerguan misalnya orang yang sudah yakin suci dari hadast  kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalm keadaan suci. Hanya saja untuk kehati-hatian yang lebih utama adalah memperbaharui wudhunya.

Dari kaidah asasi tersebut kemuduan muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya. Misalnya:

أ‌.            الَيقِيْنُ لاَيُزَالُ بِالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ

Apa yang yakin bisa hilang karna adanya bukti lain yang meyakinkan pula

Contohnya kita yakin sudah berwudhu tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.

ب‌.            أَنَّ ماَ ثَبَتَ بِيَقِنٍ لاَيُرْتَفَعُ إِلاَّبِيَقِيْنٍ

Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi.

Contohnya thowaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu dengan tujuh putaran kemudian dalam keadaan thowaf seseorang ragu apakah yang dilakukannya puteran ke enam atau kelima. Maka yang menyakinkan adalah jumlah kelima, karna putaran yang kelima adalah yang menyakinkan.

ت‌.            اَلأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِمَّةِ

Hukum asal adalah bebasnya seorang dari tanggung jawab

Contohnya anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai adanya waktu balig. Makan dan minum asalnya di bolehkan sampai adanya dalil yang melarang makan-makanan dam minum-minuman yang di haramkan.

ث‌.            الأَصْلُ بَقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَا كَانَ مَالَمْ يَكُنْ مَا يُغَيِّرُهُ

Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal yang mengubahnya.

Contohnya manusia bebas lagi dari tanggung jawab karna adanya kematian. Kewajiban suami istri hilang lagi karna ada talaq.

ج‌.            الأَصْلُ فِي الصِفَاتِ العَارِضَةِ العَدَمُ

Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adah tidak ada

Contohnya apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib baarah yang dijual belikan, maka yang dianggap adalah perkataan sipenjual. Karena pada asalnya cacat itu tidak ada.

ح‌.            الأَصْلُ فِي كُلِّ حاَدِثٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ

Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya.

Contohnya seorang wanita yang sedang mengandung ada yang memukul perutnya kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu meninggal. Maka meninggalnya si bayi tidak disandarkan kepada pemukulan yang terjadi kepada waktu yang telah lama tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat kepada kematiaannya.

خ‌.            الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِباَحَةُحَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَحْرِيْمِ

hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Contohnya apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya maka hukumnya boleh dimakan.

د‌.            الأَصْلُ فِي الكَلاَمِ الحَقِيْقَةُ

Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti sebenarnya.

Contohnya apabila seseorang berkata : “saya mau mewakakan harta saya kepada anak kiyai Ahmad maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu.

ذ‌.            لَا عِبْرَةَ بِالظَنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَا ءُهُ

Tidak dianggap(diakui) persangkaan yang jelas salahnya

Contohnya apabila seorag debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor membayar lagi hutang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor maka waikil debitor  berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya karena pembayaranya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas salahnya yaitu menyangka bahwa utang belum dibayar oleh debitor.

  1. III. Kaidah Asasi Ketiga

المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ

Kesulitan mendatangkan kemudahan

Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukhalaf, maka syariah meringankannya. Sehingga mukhalaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.

Dari kaidah tersebut dimunculkan kaidah-kaidah lain seperti:

أ‌.            إِّذَا ضَاقَ الأَ مْرُ إِتَّسَعَ

Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas.

Contohnya boleh berbuka puasa pada bulan ramadhan karna sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.

ب‌.            إِذَاتَعَذّ رَ الأَصْلُ يُصاَ رُ إِلَى البَدَلِ

Apabila yang asli suka dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya.

Contohnya tayamum sebagai pengganti wudhu.

ت‌.            مَالاَيُمْكِنْ التَحْرُزْ مِنْهُ مَعْفُو عَنْهُ

Apa yang tidak mungkin menjaganya atau menghindarkannya maka hal itu dimaafkan

Contohnya pada waktu sedang saum kita berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa. Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan, misalnya orang yang berpergian dengan tujuan melakukan maksiat. misalnya, membunuh maka orang semacam ini tidak boleh meggunakan keringanan di dalam hukum islam.

ث‌. إِذَاتَعَذّ رَتْ الحَقِيْقَةُ يُصَارُ إلَى المَجَازِ

Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya.

Contohnya seseorang berkata saya wakafkan tanah saya ini kepada anak kiyai Ahmad. Padahal semua tahu bahwa anak kiayi tersebut sudah lama meninggal, maka yang ada hanyalah cucunya. maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya bukan kata sesungguhnya sebab tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah meninggal.

ج‌. إِذَاتَعَذّ رَ إِعْمَالُ الكَلاَمِ يُهْمَلُ

Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan maka perkataan tersebut ditinggalkan.

Contohnya apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka, Perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.

ح‌.            يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَءِ

Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya

Contohnya orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewaannya dalam arti melanjutkan sewaannya maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.

خ‌.            يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَءِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ

Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya

Contohnya seseorang yang baru masuk islam minum-minuman keras karena kebiasaanya sebelum masuk islam dan tidak tahu bahwa minum-minuman tersebut dilarang. Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidak tahuannya. Selanjutnya setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram maka dia harus menghentikan perbuatan tersebut

د‌. يُغْتَفَرُ فِي التَوَابِعِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا

Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada hal yang lainnya.

Contohnya penjual boleh menjualkembali karung bekas tempat beras karana karunag mengikuti kepada beras yang dijual.

  1. IV. Kaidah Asasi Keempat

الضَرَرُيُزَالُ

Kemadharatan harus dihilangkan

Contohnya larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemadharatan bagi rakyat.

Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah di atas diantaranya:

أ‌.            الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَخْظُورَاتِ

kemadharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang

Contohnya boleh mengkap dan menghukum pelaku pornografi dan pornoaksi untuk menyelamatkan keturunan.

ب‌. الضَرُوْرَاتُ تُقَدِّرُبِقَدَرِهَا

Keadaan darurat, ukurannya ditentukan kadar kedaruratannya.

Contohnya seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang diobatinya sekedar yang diperlukan untuk pengobatan, itu pun apabila tidak ada dokter wanita.

ت‌.            الضَرَرُيُزَالُ بِقَدَرِ الإِمْكَانِ

Kemadharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.

Contohnya usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak kelaparan.

ث‌.            الضَرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَرَرِ

Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan lagi.

Contohnya orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan.

ج‌.            يُحْتَمَلُ الضَرَرُ الخَاصِ لِأَجْلِ الضَرَرِ العَامِ

Kemadharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum.

Contohnya boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan umum, misalnya mempailitkan suatu perusahaan demi menyelamatkan para nasabah.

ح‌.            الضَرَرُ الأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَرَرِ الأَخَفُّ

Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan.

Contohnya apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis dan ilmu yang berdasarkan agama kecuali di gaji, maka boleh menggajinya.

خ‌.            الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَرُورَةِعَامَةً كَانَ أَوْ خَاصَةً

Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus

Contohnya dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi, demi untuk kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum berwujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada.

د‌.            كُلُّ رُخْصَةٍ أَبِيْحَتْ للضَرُورَةِوَالحَاجَةِ لَمْ تُسْتَبَحْ قَبْلَ وُجُودِهَا

Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.

Contohnya memakan makanan yang haram, baru dilaksanakan setelah terjadinya kondisi darurat. Misalnya tidak ada makanan lain yang halal.

ذ‌.            كُلُّ تَصَرُّ فٍ جَرَّ فَسَادًا أَودَفْعَ صَلاَحًامَنهِي عَنْهُ

Setiap tindakan yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang.

Contohnya menghambur-hamburkan harta atau boros tanpa ada manfaatnya.

  1. V. Kaidah Asasi Kelima

العَادَةمُحَكَّمَةُ

Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum

Contohnya sebelum Nabi Muhammad di utus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia arab maupun di bagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan tersebut di bangun atas dasar nilai-nilai yang di anggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.

Diantara cabang dari kaidah ini adalah:

أ‌.            إِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا

Apa yang di perbuat orang banyak adalah alasan/argumen yang wajib diamalkan.

Contohnya menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menajhitkan adalah tukang jahit.

ب‌.            إِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ إذَااضْطَرَدَتْ أوْغَلَبَتْ

Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum.

Contohnya apabila seseorang berlangganan majalah, maka majalah itu diantar ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah, maka ia bisa komplain dan menuntut kepada agen majalah tersebut.

ت‌.            العِبْرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّائِعِ لاَللِنَا دِرِ

Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang terkenal oleh manusia bukan dengan jarang terjadi.

Contohnya para ulama berbeda pendapat tentang waktu  hamil terpanjang tidak akan melebihi satu tahun.

ث‌.            المَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالمشْرُوْطِ شَرْطًا

Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang di syaratkan suatu syarat.

Contohnya apabila orang bergotong- royong membangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan orang-orang yang bergotong royong itu tidak di bayar.

ج‌.            المَعْرُوْفُ بَيْنَ التُّجَارِ كَالمشْرُوْطِ بَيْنَهُم

Sesuatu yang tidak dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka.

ح‌.            التَعْيِينُ بِالمَعْرُوْفُ كَا التَعْيِينِ بِالنَّص

Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash

Contohnya apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut. Maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk kecuali dengan izin orang yang menyewakan.

خ‌.            المُمْتَنَعُ عَادَةًكَا المُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً

Sesuatu yang tidak berlaku berdasarka adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan.

Contohnya seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain adalah miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan darimana asal harta tersebut.

د‌.            الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلالَةِ العَادَةِ

Arti hakiki di tinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat.

Contohnya yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan penerimaan barang oleh si pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi apabila si pembeli sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli itu telah terjadi. Dan penjual tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.

ذ‌.            الإِذَنُ العُرْفِى كَالإِذْنِ اللَفْطِى



BAB VII

AL AHKAM (HUKUM)

A.   Pengertian Al - Ahkam Dalam Ushul Fiqih

Al-ahkam (الأحكم) maknanya dilihat dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata hukmun (حكمٌ) yang artinya keputusan / ketetapan. Sedangkan menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu
   ما اْقتضاهُ خِطابُ االشرع المُتعلِّق بِأَفْعال المُكَلَّفِين من طلبٍ أوتخيير أووضع
"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan" 1
Dalam hal ini yang dimaksud dengan  خِطاب االشرع  (seruan syariat) adalah Al Quran dan As Sunnah.
            Dari pengertian diatas terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-Ahkam
1.      Tuntunan   طَلَبٍ.
Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan sesuatu (perintah) atau pun tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik itu berupa keharusan (wajib) ataupun hanya keutamaan
2.      Pilihan تخيِيْر .
Sesuatu hal yang dalam melakukan ataupun meninggalkannya tidak ada suatu ketentuan syara’ yang mengatur maka akan menjadi suatu kebebasan untuk memilih melakukan ataupun tidak atau sering disebut mubah
3.      Peletakan وضع  
 Wadh’i adalah suatu hal yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda, atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan. Seperti suatu ibadah dapat dikatakan “sah” atau “batal”
            Menambahkan sedikit dari pemaparan di atas, al-ahkam dalam bahasan ilmu ushul fiqih adalah hukum-hukum yang hanya terkait dengan amalan manusia yang bersifat dhohir. Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau sabda Rasulullah SAW. Apabila disebut syara’ maka yang dikehendaki adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlak.2 Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum yang bersifat bathiniyah seperti hukum aqidah dan akhlaq.

B.     Pembagian Al-Ahkam
Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua macam.
1.      Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)
2.      Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadh’iyah)
  I.            Al-Ahkam at-Taklifiyyah
 Al-Ahkam at-Taklifiyyah dibagi menjadi lima yaitu Wajib, Mandub (Sunnah), Harom, Makruh, dan Mubah.
1.                  Wajib. Makna wajib dilihat dari segi bahasa adalah  "yang jatuh dan harus" dan makna wajib menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
  ما أمربِهِ الشارعُ على وجهِ الإِ لزام  
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk keharusan" 3.

 Hukum wajib dibagi menjadi beberapa macam dilihat dari berbagai aspek yaitu:
1)      Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 2 macam, yaitu
a) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan berakhirnya waktu sudah ditentukan.
b) Wajib muwassa’, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.
c) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.
d) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar sumpah.
2)      Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut.
a) Wajib ‘Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf. Seperti : shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.
b) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu).
Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.
3)      Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.
Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
b) Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan kadarnya.
Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.
4)      Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis perbuatannya.
Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.
b) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan.
Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin
2.      Mandub. Makna mandub dilihat dari segi bahasa adalah  "yang diseru" dan makna mandub menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
 ماأمربِهِ الشرع لا على وجه الإلزام
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan”4
Mandub secara mayoritas kita kenal dengan istilah sunnah, selain sunnah terdapat beberapa istilah lain dalam ushul fiqih yaitu nafilah, tathawwu’, mustahab, dan ihsan.
            Mandub (sunnah) di bagi menjadi dua yaitu,
1. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat dianjurkan (sangat penting)
2. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang dianjurkan).

3.      Haram. Makna haram dilihat dari segi bahasa adalah  "yang dilarang" dan makna haram menurut istilah dalam ushul fiqih adalah, 
ما نهى عنهُ الشا رع على وجه الإلزام بِالتَّرك
"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan".
4.      Makruh. Makna makruh dilihat dari segi bahasa adalah  "yang dimurkai" dan makna makruh menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
ما نهى عنهُ الشارع  لا على وجه الإلزام بِالتَّرك
"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan".
5.      Mubah. Makna mubah dilihat dari segi bahasa adalah  "yang diumumkan dan dizinkan denganya" dan makna mubah menurut istilah dalam ushul fiqih adalah, 
ما لا يتعلَّق به أمرٌ, ولا نهيٌ لِذاتهِ 
"sesuatu yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secara asalnya"5.
    II.            Al-Ahkam al-Wadh’iyyah
1)      Sebab. Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
2)      Syarat. yaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya hukum bergantung kepadanya
3)      Azimah, yaitu hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu. Misalnya, puasa wajib pada bulan Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari semalam dan lain sebagainya.
4)      Rukhsoh, yaitu peraturan tambahan yang ditetapkan Allah SWT sebagai keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan mukallaf sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok.
Pembagian Rukhsah Rukhsah terbagi menjadi 4 macam.
a)       Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini dilakukan karena dalam keadaan darurat. Contoh : “memakan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, dalam Keadaan terpaksa memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas.
b)       Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur yang bersifat dibolehkan secara syar’i.
c)      Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak memenuhi syarat tetapi sudah biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli salam (jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu terjadi aqad jual beli / sistem pesanan).
d)      Tidak berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat ¼ dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di masjid.
5)      Mani’ (Penghalang) Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.
Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris. Akan tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi. Hal ini karena berlainan agama menjadi mani’ atau penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan harta peninggalan.
6)      Sah
 ما ترتّبت اثارُ فعْلهِ عليه عبادةً عقدًا
"apa-apa yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu ibadah ataupun akad."

7)      Fasid
مالا ترتّبت اثارُ فعْلهِ عليه عبادةً عقدًا
"apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik itu ibadah atau akad."

C.   Unsur-Unsur Hukum Islam
1. Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (مَحْكُوم بِهِ \ مَحْكُوم فِيْه ِ)
a. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum fihi
المَحْكُومُ فِيْهِ : هُوَ الفِعْلُ الُمكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ اللهِ
“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara’).”5 Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:
1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.

b. Syarat-syarat Mahkum bihi
Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut.
a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT.
c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.

2. Mahkum ‘Alaih
a. Pengertian Mafkum ‘Alaih (مَحْكُوْم عَلَيْهِ)
Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, Allah SWT memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua, menjauhi zina, larangan minum-minuman keras. Perintah-perintah tersebut ditujukan kepada orang mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang yang terganggu pikirannya atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua hukum baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak manusia tidak dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.

b. Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf).
Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf) adalah :
1)      Mukallaf adalah orang yang mampu memahami dalil taklif baik itu berupa nash Al-Qur’an atau As-Sunnah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
2)      Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar dan pantas untuk menerima perintah tersebut.

3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT dengan sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain sudah baligh juga dalam keadaan sehat akalnya.
Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
A.    Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak menerima kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia tidak bisa menunaikan kewajiban. Ada kalanya mukallaf tidak sanggup mengerjakan hukum-hukum yang sudah dibebankan kepadanya. Keadaan yang menghalanginya menunaikan hak dan kewajiban yang sudah ditetapkannya ini disebut ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). Para ulama ushul fiqih menggolongkan ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). ini menjadi dua kelompok.
Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh mahkum alaih. Ia hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya, gila, kurang akal (idiot), lupa, tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang terkena penghalang samawi seperti ini dihukumi sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan hak dan kewajiban.
Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan sebagainya. Penghalang kasby dapat dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.
B.     Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah SWT tetapi belum mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.
C.    Sempurna apabila sudah menerima hak dan layak baginya melakukan kewajiban, yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal sehat (mukallaf).


3. Hakim.
Al-Hakim ialah pihak yang menjatuhkan hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa hakikat hukum syar'i itu ialah khithab Allah yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani' bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada perselisihan di antara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah.



BAB VIII

AZIMAH DAN RUKHSHAH

A.PENGERTIAN AZIMAH DAN RUKHSAH

Para ahli ushul fiqh mendefinisikan ‘azimah dengan :

مَا شُرَ عَ مِنَ اْﻷَ حْكَمِ  الْكُلِّيَّةِ إِبْتِدَاءً

Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.

Kata-kata “ditetapkan pertama kali” mengandung arti bahwa pada mulanya pembuat hukum bermaksud menetapkan hukum taklifi kepada hamba. Hukum ini tidak didahului oleh hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu dinasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan demikian hukum ‘azimah ini brelaku sebagai hukum pemula dan sebagai pengantar kepada kemaslahatan yang bersifat umum.

Kata-kata “hukum-hukum kuliyah (umum)” di sini mengenadung arti berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ditentukan untuk sebagian mukallaf atau semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi. Begitu pula kewajiban zakat,  puasa, haji, dan kewajiban lainnya.

Dengan demikian hukum azimah adalah hukum yang telah disyariatkan oleh Allah kepada seluruh hamba-Nyasejak semula. Artinya belum ada disyariatkannya seluruh mukalaf wajib mengikutinya, seperti sembahyang lima. Sembahyang lima waktu diwajibkan atas segenap orang disegenap ketika dan keadaan, asal saja orang itu masih dipandang cukup kuat untuk mengerjakannya. Hukum wajib semabhayng lima itu, hukum ‘azimah namanya.

Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh tentang rukhshah ialah :

اَلْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلافِ الدَّلِيْلِ لِعًُذْرٍ

“Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur”

Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum. Kata-kata tsabit (berlaku tetap) mengandung arti bahwa rukhshah itu harus brdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum yang meyalahi dali yang ditetapkan sebelumnya.

Kata-kata “meyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah, sesuatu yang memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan minum. Kebolehan makan dan minum memang sudah dari dulunya dan tidak menyalahi hukum yang sudah ada.

Kata-kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan dalam definisi ini agar mencakup rukhshah untuk melakukan prebuatan yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib, seperti berbuka puasa bagi musafir, atau yang menyalahi dalil yang menghendaki hukum nadb (sunat) seperti meninggalkan shalat jum’at karena hujan dan lainnya. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum ‘azimah yang uum berlaku selama ada uzur yang berat dan kadar perlu saja. Lagi pula hukum ini datangnya kemudian, sesudah ‘azimah. Umpamanya, hukum makan bangkai di kala tak ada makanan-makanan yang lain. Hukum ini datang kemudian, sesudah hukum ‘azimah yakni tak boleh makan bangkai. Dan seperti dibolehkan berqashar dalam safar, datangnya sesudah ditetapkan bahwa sembahyang dhuhur, ashar dan isya’ itu empat rakaat. Makan bangkai di kala lapar, tak ada makanan yang lain, semabhyang dashar di dalam safar, dinamai : hukum rukhshah. Asy Syathibi menetapkan menetapkan bahwa : hukum menjalankan rukhshah itu, boleh. Kita tidak dimestikan menjalankan rukhshah, tidak wajib menjalankannya. Demikianlah hal menjalankan hukum rukhshah, bila diingat, bahwa hukum rukhshah, hukum yang hanya dibolehkan. Dan banyak dalil yang menegaskan demikian. Diantaranya firman Allah Swt :

 “.maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. ...”(QS. Al Baqarah : 173). Akan tetapi diantara hukum rukhshah ada yang dituntut kita kerjakan, yaitu : bila rukhshah itu untuk melawan sesuatu kesuakaran yang tak dapat dipikul oleh manusia. Kita diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan. Tetapi, jika kita bersafar diharuskan kita berbuka, karena berbuka itu hukum yang dirukhshahkan. Akan tetapi, bil aberpuasa dalam safar itu, mengakibatkan kesukaran kita dituntut menjalan rukhshah, tak boleh lagikita menjalankan ‘azimahnya.

Bersabda Nabi Saw:

لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِى السَّفَرِ (رزاه احمد)

“Tidak dipandang kebjaikan berpuasa di dalam safar”. (HR. Ahmad).

Dengan membandingkan pengertian ‘azimah dan rukhshah secara sederhana dapat dikatakan bahwa ‘azimah adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan secar aumum dan mutlak, baik perintah itu perintah wajib atau sunat,bak larangan itu untuk haram atau makruh, sedangkan rukhshah adalah keringanan dan kelapangan yang diberikan kepada orang mukallaf dalam melakukan perintah dan menjauhi larangan.



B.     MACAM – MACAM RUKHSHAH

a.       Rukhshah dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi kepada dua, yaitu rukhshah memperbuat dan rukhshah meninggalkan.

1)      Rukhshah memperbuat ialah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan, dalam bentuk ini asal perbuatan adalah terlarang dan haram hukumnya. Inilah hukum ‘azimahnya. Dalam keadaan darurat atau hajat, perbuatan yang terlarang menjadi boleh hukunya. Umpamanya boleh melakukan perbuatan haram karena darurat seperti memakan daging babi dalam keadaan terpaksa. Contoh melakukan perbuatan haram karena hajat umpamanya melihat aurat bagi calon suami yang sedang meminang calon istri dalam batas yang tertentu. Pada dasarnya hukum melihat aurat itu adalah haram berdasarkan ayat Alqur’an surat Al-Nur ayat 30. Untuk kekalnya jodoh, kedua belah pihak sepatutnya saling mengenal. Untuk maksud itu diperkenankan keduanya saling melihat. Demikian pula dokter laki-laki melihat atau memegang pasiennya yang perempuan saat pemeriksaan (diagnosa) kesehatan.

2)      Rukhshah meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘azimahnya adalah wajib atau nadb (sunnat). Dalam bentuk asalnya, hukunya adalah wajib atau sunnat. Tetapi dalam keadaan tertentu si mukallaf tidak dapat melakukannya dengan arti bila dilakukannya akan membahayakan terhadap dirinya. Dalam hal ini dibolehkan dia meninggalkannya.

Umpamanya kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan firman Allah dalam surat al Baqarah (2): 184:

Dalam bentuk lain umpamanya keharusan shalat empat rakaat dapat dilakukan dua rakaat dalam keadaan tertentu, yaitu dalam perjalanan, berdasarkan firman Allah dalam al Nisa’ (4): 101:

Termasuk pula ke dalam ruskhshah ditinjau dari segi hukum asalnya shalatmu.

3)      Ruskhshah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum Islam yang dinilai terlalu berat dilakukan umat Nabi Muhammad, sebagaimana dipahami dari firman Allah surat al Baqarah (2): 286:

Umpamanya membayar zakat yang kadarnya ¼ dari harta; bunuh diri sebagai cara untuk tobat; memotong pakaian yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya; dan keharusan sembahyang dalam mesjid yang berlaku dalam syari’at Nabi Musa. Bila diperhatikan keringanan hukum dalam hal ini dibandingkan dengan yang berlaku sebelumnya, lebih tepat disebut nasakh; meskipun demikian dalam artian luas dapat pula disebut ruskhshah.

4)      Ruskhshah dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk akad yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Adanya ruskhshah ini disebabkan oleh kebutuhan umum. Umpamanya jual beli ‘ariyah yaitu menukar kurma basah dengan kurma kering dalam ukuran yang berbeda padahal keduanya satu jenis. Hal ini menyalahi ketentuan umum dalam tukar menukar barang yang sejenis dalam ukuran yang berbeda. Contoh lain adalah jual beli saham. Hal ini menyalahi ketentuan umum yang melarang menjual sesuatu yang tidak ada di tangan. Kedua bentuk mu’amalah ini diruskhshahkan karena kalau tidak akan menyulitkan dalam kehidupan umat.

b.      Rukhshah ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan. Dalam hal ini keringanan ada 7 bentuk:

1)      Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at, haji, ‘umrah dan jihad dalam keadaan udzur.

2)      Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban; seperti meng-qashar shalat empat raka’at menjadi dua raka’at bagi orang yang berada dalam perjalanan.

3)      Keringanan dala bentuk mengganti kewajiban; seperti mengganti wudlu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air; mengganti kewajiban berdiri dalam sholat dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat dalam keadaan tidak mampu; kewajiban mengganti puasa wajib dengan memberi makan fakir miskin bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa.

4)      Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti pelaksanaan shalat zhuhur dalam waktu ashar pada jama’ ta’khir karena dalam perjalanan. Menangguhkan pelaksanaan puasa Ramadhan ke waktu sesudahnya dalam bentuk qadha karena sakit atau dalam perjalanan.

5)      Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban; seperti membayar zakat fitrah semenjak awal Ramadhan, padahal waktu wajibnya adalah pada akhir Ramadhan. Mendahulukan mengerjakan shalat ashar pada waktu zhuhur dalam jama’ taqdim di perjalanan.

6)      Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban; seperti cara-cara pelaksanaan shalat dalam perang yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut shalat khauf.

7)      Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena udzur, seperti dijelaskan diatas.



C.    HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH

Pada dasarnya ruskhshah itu adalah pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh”, baik dalam mengerjakan sesuatu yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang disuruh. Namun dalam hal menggunakan hukum ruskhshah bagi orang yang telah memenuhi syarat untuk itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan ruskhshah itu tergantung kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya ruskhshah itu. Dengan demikian menggunakan hukum ruskhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi yang tidak mendapatkan makanan yang halal, sedangkan ia khawatir seandainya tidak menggunakan ruskhshah akan mencelakakan dirinya. Hukum ruskhshah ada pula yang sunat seperti berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan.

Di samping membagi hukum rukhshah itu kepada wajib, sunah dan mubah dengan menyangggah argumentasi al-Syathibi, Jumhur Ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu adalah sebagaimana argumen dan jawaban yang dipergunakan serta disampaikan oleh al-Syathibi, yaitu:

1.    Kata rukhshah, berarti memudahkan atau meringankan. Arti ini tidak bertentangan dengan wajib atau nadh selama perintah yang membawa kepada arti wajib atau nadh itu lebih mudah dan lebih ringan.

2.    Rukhshah dan ‘azimah adalah bentuk pembagian lain dari hukum syara’ ditinjau dari segi hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku atau tidak. Bila hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku, maka disebut ‘azimah; bila menyalahi dalil yang berlaku, maka disebut rukhshah.



BAB IX

MAHKUMFIH

A.Pengertian Mahkum fih

Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan. Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:

Contoh:

1.Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43

و اقيمو االصلاة) البقرة (

Artinya:”Dirikanlah Sholat”

Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan sholat.

2.Firman Alloh dalam surat al an’am:151

ولاتقتلواالنفس االتي حر م االله الا باالحق) الانعا م (

Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”

Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.

3.Firman Alloh dalam surat Al-maidah:5-6

اذاقمتم الى الصلاة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى المرا فق الما ئد ه 5-6

Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku siku”

Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat.

Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.

B.Syarat –syarat mahkum fih

a.         Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak tidak terkena tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia tau persis. Contoh:Dalam Al qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global,Maka Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh sabagaimana sabdanya”sholatlah sebagaimana aku sholat”begitu pula perintah perintah syara’ yang lain seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.

b.         .Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui  bahwa tuntutan itu dari Alloh SWT.Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah  Alloh semata.berarti tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang jelas.hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan syara’.

c.         Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,berkait dengan hal ini terdapat dengan beberapa syatat yaitu:

1.         tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.

2.         tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain.

3.         tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.

4.         tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam masalah sholat.

C .Al masyaqqoh

Perlu diketahui bahwa salah satu syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam melaksanakannya pasti ada ada suatu kesulitan. untuk itu akan kami jelaskan yang dimaksud adalah masyaqqoh (halangan)  serta pembagiannya. Masyaqqoh itu ada dua macam yaitu:

1. Masyaqqoh mu’tadah

Yaitu kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya kesulitan seperti ini tidak bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif,karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan.contohnya:Diwajibkannya adanya sholat ini buakan bermaksud agar badan capek atau bagaimana,akan tetapi untuk melatih dirinya diantaranya bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar.



2          Masyaqqoh goiru mu’tadah

Yaitu suatu kesulitan/kesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila di paksakan.Alloh tidak tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan.seperti puasa yang terus menerus sehingga mewajibkan selalu bangun malam untuk sahur.

ير يد الله بكم اليسر و لا ير يد بكم العسر البقره

Artinya:Alloh menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu(al baqoroh 185)

D.Macam macam mahkum bih

Dilihat dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi menjadi empat macam:

1.         Semata mata hak Alloh,yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan.dalam hak ini seseorang tidak di benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini.hak ini semata mata hak Alloh.dalam hal ini ada delapan macam:

a.         ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima

b.         ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti:zakat fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat fitrah

c.         bantuan/santunan yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan dari bumi

d.         biaya/santunan yang mengandung makna hukuman,seperti: khoroj (pajak bumi) yang di anggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.

e.         hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana sperti hukuman orang yang berbuat zina

f.          hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris,karena membunuh pemilik harta tersebut.

g.         hukuman yang mengandung makna ibadah seperti:kafarat orang yang melakukan senggama disiang hari pada bulan ramadhan

h          hak hak yang harus di bayarkan,seperti: kewajiban mengeluarkan seperlima harta tependam dan harta rampasan.

2.         Hak hamba yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta seseorang yang di rusak.

3.         Kompromi antara hak Alloh dengan hak hamba,tetapi  hak alloh didalamnya lebih dominan,seperti hukuman untuk tindak pidana.

4.         Kompromi antara hak Alloh dan hak hamba,tetapi hak hamba lebih dominan,seperti masalah qishos.

BAB X

MAHKUM ‘ALAIH

A.Pengertian mahkum alaih

Menurut ushuliyyin yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitob Alloh SWT yaitu yang di sebut mukallaf.dalam arti bahasa yaitu yang di bebani hukum,sedangkan dalam istilah ushul fiqih mukallaf sering di sebut subjek hukum.

B.Dasar Taklif

Orang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif. Maka orang yang belum  berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif dari syari’(Allod dan Rosulnya) sebagai sabda nabi:

ر فع القلم عن ثلا ث عن النا ئم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون حتى يفق(رواه البخا رى والتر مذى والنسا ئى وابن ما جه والدارقطنى عن عا ئثه وابى طا لب)

Artinya:Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila sampai sembuh.(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)

C.Syarat syarat taklif

Syarat taklif ada 2 yaitu:

1.         orang itu telah mampu memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.Kemampuan untuk memahami taklif ini melalui akal manusia,akan tetapi akan adalah sesuatu yang abstrak dan sulit di ukur ,indikasi yang kongkrit dalam menentukan seseorang berakal atau belun.indikasi ini kongkrit itu adalah balighnya seseorang yaitu dengan di tandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali atau sempurnanya umur lima belas tahun.

2.         Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah.maka seseorang yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya seseorang tidak dikenakan tuntutan syara’.begitu pula orang gila,karena kecakapan bertindak hukumnya hilang.

C.Pengertian Ahliyyah

Secara harfiyyah ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan.Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’

Pembagian ahliyyah

1. Ahliyyah ada’

Yaitu kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya,baik yang bersifat positif maupun negatif.ukuran untuk menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah ada’adalah aqil baligh dan cerdas

2. Ahliyyah Al-wajib

Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak hak yang menjadi haknya,tetapi belum mampu untuk di bebani seluruh kewajiban,

Para usuliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian

      1. Ahliyyah al wujub an-naqishoh.

Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya(janin)janin inilah sudah dianggap mempunyai ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna.

      1. Ahliyyah al wujub al kamilah,

Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila

-Halangan ahliyyah

Dalam pembahasan awal bahwa seseorang dalam bertindak hukum di lihat dari segi akal,tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum.seseorang kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal berikut:

  1. Awaridh samawiyyah yaitu halangan yang datangnya dari Alloh bukan di sebabkan oleh manusia seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa

Al awaridh al muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti mabuk,terpaksa,bersalah,dibawah pengampunan dan bodoh.

BAB XII

IJTIHAD

  1. Pengertian Ijtihad

    Menurut bahasa, kata ijtihaadun berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk masdar dari kata ijtahada-yajtahidu yang artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Berdasarkan pengertian bahasa ini, maka tidak tepat jika kata ijtihad digunakan untuk ungkapan “ orang itu berijtihad dalam mengangkat tongkat “. Sebab mengangkat tongkat adalah perbuatan mudah dan ringan.
    Secara terminology sebagaimana aimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra, ijtihad yaitu:[1]
    ﺒَﺬْﻞُﺍﻠْﻔَﻘِﻴْﮫِﻮُﺴْﻌَﺔًﻔِﻰﺍﺴْﺗِﻨْﺑﺎَﻂِﺍْﻷَﺤْﻜَﺎﻡِﺍﻠْﻌَﻤَﻟِﻴَﺔِﻤِﻦْﺃَََﺪِﻠََﺘِﮭَﺎﺍﻟّﺘَﻔْﺼِﻴِْﻟﻴَﺔَِ

Artinya: “Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqih dalam menetapkan       (istimbat) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci.”

Menurut definisi sebagian ulama ushul fiqih sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra bahwa ijtihad adalah “ mencurahkan segala kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin itu adakalanya dalam istimbat (penetapan) hukum syariat adakalanya dalam penerapan hukum”.

Berdasarkan definisi kedua yang dikemukakan oleh sebagian ulama di atas maka ijtihad itu terbagi menjadi dua:

  1. Ijtihad  yang dilakukan secara khusus oleh para ulama yang mengkhususkan diri untuk menetapkan hukum dari dalilnya.
  2. Ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad semacam ini akan selalu ada setiap masa. Tugas utama mujtahid bentuk kedua ini adalah menerapkan hukum termasuk hasil ijtihad para ulama terdahulu yang disebut tahqiq al-manath. 


  1. Dasar ijtihad

    Posisi ijtihad memiliki dasar yang kuat dalam ajaran hukum islam. Dalam al-qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukan perintah untuk berijtihad, baik diungkapkan secara isyarat maupun secara jelas. Diantaranya pada surat an-Nisa ayat 105:
    ﺇِﻨَﺎﺃَﻨْﺯَﻠْﻨَﺎﺇِﻠَﻴْﻚَﺍْﻟﻜِﺘٰﺐَﺑِﺎﻟْﺤَﻕِّﻠِﺘَﺤْﻜُﻡَﺑَﻴْﻦَﺍﻟﻧّﺎَﺲِﺑِﻤَﺎﺃَﺮَﻚَﺍﷲۚﻮَﻻَﺗَﻜُﻦْﻠِﺎْﺨَﺎﺊِﻨِﻴْﻦَﺨَﺼِِﻴْﻤًﺎ۞

Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.

Ayat di atas menurut Wahbah Zuhaili mengandung legalitas ijtihad melalui metode qiyas.

Dalam hadits Nabi mengenai penghargaan terhadap hasil ijtihad antara lain:

ﺇِﺬَﺍﺤَﻜَﻢَﺍﻠْﺤَﺎﻜِﻢُﻔَﺎﺟْﺘَﮭَﺪَﻔَﺄَﺼَﺎﺐَﻠَﮫُﺃَﺟْﺮَﺍﻦِﻮَﺇﺫَﺍﺤَﻜَﻡَﻔَﺎﺟْﺘَﮭَﺪَﺜُﻢَﺃَﺨْﻂَﺄَﻔَﻠَﮫُﺃَﺟْﺮٌ(ﺮﻮﺍﮦﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻲ)

Artinya:” Apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ia berijtihad lalu hasil ijtihadnya dinlai benar maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ijtihadnya dinilai salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari).

Ijtihad menurut hadis adalah usaha yang sangat di muliakan meskipun salah tetap diberikan pahala atas usaha kerasnya itu. Imam syafi’I menegaskan dalam kitab risalahnya  bahwa kesalahannya itu dengan catatan tidak dilakukan dengan cara sengaja.

Di zaman Nabi orang tidak butuh ijtihad. Karena permasalahan baru yang belum ada hukumnya dapat ditanyakan langsung kepada Nabi dan Nabi langsung menjawabnya berdasarkan petunjuk wahyu yang terjamin kebenarannya. Setelah Nabi wafat barulah ijtihad diperlakukan oleh ulama mujtahid untuk menjawab hukum permasalahan baru yang timbul dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-qur’an. Permasalahan yang timbul saat ini sangat kompleks dan jawabannya tidak terdapat dalam al-qur’an maupun hadis. Jika tidak ada usaha yang sungguh-sungguh dari orang yang pantas berijtihad, maka akan terjadi kekosongan hukum. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan hukum. Oleh karena itu, ijtihad untuk sekarang ini merupakan hal yang dharury  (mendesak) untuk dilakukan, karena begitu banyak permasalahan baru yang sifatnya kompleks dan rumit yang memerlukan jawaban dari hukum islam.

  1. Syarat-syarat Mujtahid

Para ulama telah merumuskan persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan redaksi yang berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini akan dikemukakan syarat-syarat mujtahid yang dirumuskan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:

  1. Mengetahui makna ayat ahkam yang terdapat dalam al-qur’an baik secara bahasa maupun secara istilah syara. Menurut Al-Ghazali, Al-Razi Ibnu Arabi jumlah ayat-ayat ahkam yang perlu dikuasai sekitar lima ratus ayat. Maksud uangkapan “secara bahasa” diatas artinya mengetahui makna-makna mufrad dari suatu lafadz dan maknanya dalam susunan kalimat. Adapun makna syara’ adalah mengetahui berbagai segi penunjukan lafadz terhadap hukum seperti mantuq, mafhum mukhalafah, mafhum muwafaqah, lafadz umum. Dan khas.
  2. Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah. Tidak perlu dihafal sebagaimana juga al-qur’an. Menurut Ibnu Arabi (w.534 H) hadis ahkam berjumlah 3000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hambal 1200 hadis. Tetapi Wahbah Zuhaili tidak sependapat, menurutnya yang terpenting mujtahid mengerti seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat dalam kitab-kitab besar seperti Sahih Bukhari, sahih Muslim, dan lain-lain.
  3. Mengetahui al-qur’an dan hadis yang telah di nasakh  dan mengetahui ayat dan hadis yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari nas (al-qur’an dan hadis) yang sudah tidak berlaku lagi.
  4. Mengetahi sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma, sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma.
  5. Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang meliputi rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nas, maslahah manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan. Pentingnya mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.
  6. Menguasai bahasa arab tentang nahwu, saraf, maani,bayan, dan uslub-nya karena al-qur’an dan hadis itu berbahasa arab. Oleh karena itu tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari keduanya tanpa mengetahui bahasa keduanya. Diantaranya mengetahui lafadz umum dan khusus, hakikat dan majaz, mutlaq dan muqayyad, dan sebagainya. Semua ini tidak disyaratkan untuk dihafal tetapi cukup memiliki kemampuan untuk memahami secara benar uangkapan-ungkapan dalam bahasa arab dan kebiasaan rang arab menggunakannya.
  7. Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad berupa dalil-dali secara terperinci yang menunjukan hukum melalui cara tertentu ini dan semuanya itu ada dalam ilmu ushul fiqh. Tentang urgensi ushul fiqh dalam ijtihad dijelaskan oleh al-Razi dalam kitabnya al-mahsul: “Ilmu yang paling penting untuk dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu  ushul fiqh.”
  8. Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum, karena pemahaman nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada maqasid syariah. Penunjukan suatu lafadz kepada maknanya mengandung beberapa kemungkinan. Pengetahuan tentang maqasid member keterangan untuk memilih mana yang layak untuk difatwakan. Dan yang terpenting lagi pengetahuan tentang maqasid adalah prinsip hukum dalam al-qur’an dan  sunah dapat dikembangkan seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.[2]

  1. Tingkatan Mujtahid

Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Mujtahid memiliki tingkatan sebagai berikut:

  1. Mujtahid fi al-asy’ari, disebut juga mujtahid mustaqil. ialah orang yang membangun suatu madzhab seperti imam mujtahid yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’I, dan Ahmad bin Hambal.
  2. Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab sendiri tetapi mengikuti salah satu seorang imam mazhab. Mujtahid fi al-mazhab terkadang menyalahi ijtihad imamnya pada beberapa masalah. Ia berijtihad sendiri tentang masalah itu. Yang termasuk kedalam Mujtahid fi al-mazhab ini seperti” Abu Yusuf dalam mazhab Hanafi dan al-Muzanyi dalam mazhab Syafi’i.
  3. Mujtahid fi al-masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum seperti al-Thahawi dalam mazhab Hanafi dan al-Ghazaly dalam mazhab Syafi’I serta al-Khiraqy dalam mazhab Hambali.
  4. Mujtahid muqoyyad, yaitu mujtahid yang mengikat diri dengan ulama salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja mereka mengetahui dasar dan memahami dalalahnya dan inilah yang disebut dengan takhrij. Mereka mempunyai kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih utama dari pendapat yang berbeda-beda dalam mazhab di samping dapat membedakan riwayat yang kuat dengan yang lemah.

  1. Lapangan Ijtihad
    Ijtihad berlaku pada ayat atau hadis, dengan catatan bahwa nas tersebut masih bersifat zhan dan qat’i . atau pada permasalahan yang hukumnya belum ada dalam nas. Jadi, ijtihad tidak berlaku pada permasalahan yang hukumnya sudah pasti (qat’i) seperti mengeluarkan hukum wajib shalat, puasa, zakat, dan haji. Karena untuk melakukannya tidak perlu usaha yang berat.
    Tidak boleh melakukan ijtihad pada masalah sudah ada nas nya secara qat’I (jelas dan tegas) serta tidak mengandung ta’wil didalamnya seperti ayat tentang keesaan Tuhan, ayat-ayat tentang hukum ibadah (shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya), ayat-ayat tentang hudud (hukuman bagi pencuri,pelaku zina, hukuman membunuh, hukum qisas dan sebagainya) dan ayat yang berbicara tentang muamalat seperti hukum perdagangan, riba, menggauli istri, dan etika kepada rang tua. Ayat-ayat diatas ini bukanlah termasuk lapangan ijtihad karena nasnya sudah qat’I, yang menjadi lapangan ijtihad adalah ayat-ayat atau hadis yang masih mengandung dugaan (zhan) atau belum jelas. Seperti tentang membasuh kepada dalam wudhu, music dan nyanyian, hukum bersentuhan kulit antara ghairu mahram yang berwudhu, masalah keberadaan wali dalam pernikahan, hukum membaca qunut dalam shalat subuh. Dan pada permasalahan yang sama sekali hukumnya tidak ada dalam nas seperti hukum KB, bayi tabung, operasi pelastik, alat kontrasepsi, bedah mayat dan menggugurkan kandungan. Semua itu adalah masalah yang hukumnya belum tegas (zhan), maka diperlukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya.[3]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua macam:

  1. Pada sesuatu yang ada nasnya tetapi nasnya masih zhan.
  2. Pada sesuatu yang hukumnya tidak ada sama sekali dalam nas.
    Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ijtihad.

  • Hasil ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad orang lain dalam perkara yang sama. Sebagaimana hasil ijtihad seseorang juga tidak boleh menyalahi hasil ijtihad orang lain. Dengan alasan, karena ijtihad kedua tidaklah lebih kuat dari ijtihad yang pertama.
  • Tidaklah ijtihad diantara ulama berhak diikuti dari ulama yang lainnya.
  • Membatalkan satu ijtihad dengan ijtihad yang lain dapat mengakibatkan tidak tegasnya suatu hukum dan ini merupakan kesulitan dan kesempitan. Contoh, Abu Bakar pernah pernah memutuskan suatu masalah tetapi Umar mempunyai pendapat lain tentang masalah itu sehingga Umar menghukuminya berbeda. Sikap Umar itu tidak membatalkan ijtihad Abu Bakar.

  1. Metode Ijtihad
                      Untuk melakukan ijtihad, menurut Azhar Basyir ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu adalah :

  1. Qiyas, dengan cara menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang sudah ada dikarenakan adanya persamaan sebab. Contoh mencium istri saat berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa karena disamakan dengan berkumur-kumur.
  2. Maslahah mursalah, yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nasnya dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan asas menarik manfaat dan menghindari mudharat, contoh mencatat pernikahan.
  3. Istihsan, ialah memandang sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syariat dan meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh, boleh menjual harta wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai tujuan syariat yaitu membuat sesuatu itu tidak mubazir.
  4. Istishab, ialah melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada sampai ketentuan dalil yang mengubahnya. Contoh, segala makanan dan minuman tidak ada dalil keharamannya maka hukumnya mubah.
  5. Urf, ialah kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat. Ada dua macam urf. Pertama urf sahih, yaitu urf yang diterima masyarakat secara luas, di benarkan oleh akal yang sehat, membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip nas. Contohnya acara tahlilan, bagian harta gono gini untuk istri yang ditinggal suaminya. Kedua urf fasid, yaitu kebiasaan jelek yang merupakan lawan urf sahih, contohnya kebiasaan meninggalkan shalat bagi seseorang yang sedang menjadi pengantin, mabuk-mabukan dalam resepsi pernikahan dan sebagainya.

  1. Hukum Berijtihad
                     Jika seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad  sebagaimana tersebut diatas maka keberadaan seorang mujtahid dalam kegiatan memberikan ijtihadnya bisa wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula haram.

  1. Wajib ain, yaitu bagi orang yang sudah mencukupi syarat ijtihad dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Ijtihadnya wajib di amalkan dan ia tidak boleh bertaqlid kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi mujtahid yang ditanya tentang hukum suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki jawaban hukum segera sedangkan tidak ditemukan mujtahid yang lain.
  2. Wajib kifayah, jika ada mujtahid lain selain dirinya yang akan menjelaskan hukumnya.
  3. Sunah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal.pertama, terhadap permasalahan yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang di lakukan oleh imam Abu Hanifah yang terkenal fiqh iftiradhi (fiqh pengandaian). Kedua,ijtihad pada masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain.
  4. Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama, berijtihad terhadap pada permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadis ijtihad yang menyalahi ijma. Ijtihad boleh pada masalah selain itu. Kedua, berijtihad bagi seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tetang agama Allah tanpa ilmu hukumnya haram.[4]

  1. Macam-macam Ijtihad
                 Dari segi metodenya, sebagaimana yang dirumuskan oleh ad-Duailibi, ijtihad dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.

  • Al-Ijtihad al-bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ terdapat dalam nashsh al-qur’an dan sunnah.
  • Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menenetukan hukum-hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada dalam nashsh al-qur’an maupun hadisnya, dengan cara meng-qiyas-kannya kepada hukum-hukum syara’ yang ada nashsh-nya.
  • Al-Ijtihad al-ishtislahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menentukan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashsh nya, baik dari al-qur’an maupun sunnah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-istishlah (kemaslahatan).

Adapun dari segi jumlah orang yang melakukan ijtihad (mujtahid), ijtihad dapat di bagi jadi dua, yaitu sebagai berikut.

  • Ijtihad fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang untuk menemukan hukum syara’ dari suatu peristiwa hukum yang belum diketahui ketentuan hukumnya. Di masa lalu, ijtihad model ini yang paling banyak dilakukan, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mazhab yang empat.
  • Ijtihad Jama’I, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh mujtahid untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, dimana ijtihad ini menghasilkan kesepakatan bersama. Ijtihad model inilah yang disebut dengan ijma’ al-ulama’.

                   Di masa lalu, ijtihad model kedua diatas dilakukan hanya oleh ulama yang menguasai disiplin ilmu fiqh saja. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan zaman dan peliknya persoalan-persoalan hukum yang dihadapi, dimana peristiwa hukum tidak lagi  di tinjau dari satu disiplin ilmu saja, melainkan berkaitan dengan banyak disiplin ilmu, aga’nya untuk dewasa ini, al-ijtihad al-jama’I tidak lagi memadai jika hanya dilakukan oleh ulama fiqh saja, tetapi harus melibatkan para pakar dari disiplin ilmu lain. Sebagai contoh, untuk menentukan hukum syara’ berkaitan dengan rekayasa genetika, seperti cloning, aborsi karena alasan tertentu dan problem-problem dalam ilmu kedokteran lainnya. Memerlukan penjelasan yang mendalam bukan saja dari pakar ilmu kedokteran, tetapi juga dari para pakar disiplin ilmu biologi, ilmu social, dan lain-lain. Demikian juga untuk menentukan hukum transaksi yang dilakukan secara cyber, seperti melalui internet, dan masalah-masalah lain yang memerlukan keterlibatan para pakar dalam berbagai ilmu di luar disiplin ilmu fiqh.

Metedologi Ijtihad Empat Madzhab

1. IMAM HANAFI

a) Biografi Imam Hanafi (80 – 150 H / 699-767 M)

Imam Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah Al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan dikufah pada Tahun 80 H, artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan (Manna al-Qaththan, 1989:202). Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.

Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah kepada allah, yaitu berasal dari bahasa arab Haniif yang artinya condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta. Sikap politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiaya dan ditindas oleh Dinasti Umayyah. Ketika Zaid berontak terhadap Hisyam dan terbunuh, termasuk putranya Yahya ibn Zaid, Abu Hanifah sangat berduka. “Perjuangan Zaid sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar,” katanya.

Ketika Yazid ibn Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti Umayyah) menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta menjadi hakim dipengadilan atau bendaharawan negara, tetapi ia menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas pertolongan juru cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia tinggal disana selama enam tahun (130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaaan Abbasiah dengan rasa gembira. Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga melakukan kekerasaan terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang dilakukan oleh Al - Manshur terhadap Al - Nasf, Al - Zakiah pada tahun 145 Hijriah. Abu hanifah tampil mengkritik Abbasiah. Ia mengkritik para Hakim dan Mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al - Manshur untuk menjadi hakim di pengadilan, Abu Hanifah menolaknya.. akhirnya ia dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H, akibat penderitaannya dalam tahanan.

b) Metode dan Cara Ijtihat Abu Hanifah

Metode ijtihad yang digunakan oleh imam hanafi adalah :

- Metode Dialektika

Dengan menggunakan analogi terhdap suatu permasalahan, metode yang digunakan oleh hanafi independen dalam artian lebih menjurus kepada pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.

- Metode Istihsan

Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum dalam sat nas desebabkan adanya nas lain yang menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan maqsid al-syari’ah.
Thaha Jabir Fayadl al Ulwani membagi cara ijtihad Abu Hanifah menjadi dua yaitu: Cara Ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat diringkas sebagai berikut: “Aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatnya, apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada Sunnah Rasulullah SAW dan Atsar yang Shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang Tsiqah. Apabila tidak mendapatkan dalam Al Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada Qaul Sahabat, (apabila sahabat Ikhtikaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan Ibn al-Musayyab serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”(Thaha Jabir Fayadl Al Ulwani,1987:91)  Sedangkan cara berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah: 

Bahwa Dilalah lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti lafadz Khash;Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat Khusus bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (Rajih) adanya penolakan terhadap Mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat, bahwa apabila perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya, mendahulukan Qiyas Jali atas Khabar Ahad yang dipertentangkan menggunakan Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan. Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari ungkapannya yaitu “ sungguh, saya berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati disana. Jika tidak saya mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan atsar shahihah yang tersiar di kalangan ulama tsiqah. Jika tidak aku dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain. Bila kasus tersebut pernah diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad”.

2. Imam Malik

a) Biografi Imam Malik (93-179 H)

Nama lengkap pendiri mazhab maliki adalah Malik bin Annas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H = 721M di Madinah pada perkembangan selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau wafat pada tahun 179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah, walaupun pada zaman yang sama, tetapi tempatnya yang berbeda. Pada waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak mnghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah, disamping itu dia juga menuntu ilmu nahwu, syair dan juga menghafal Al-Quran, beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama’ yang dikenal sangat cerdas diantara par ulam’ lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi gurunya tersebut, karena kecerdasan dan kealimanya. Imam Malik belajar kepada ulama’-ulama’ Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibnu Umar, Imam Malik diakui oleh ulama di madinah sebagai Ahli hadist, bliau menghafal hadist sebanyak 100.000 ribu hadist. Imam Malik adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal, baik fiqh, al-quran dan hadist, Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu Al-Hadist, maka hal tersebut mempengaruhi pemikiran Imam Malik. Imam Malik membangun madzhabnya di atas dua puluh dalil, sebagaimana di kutip dari perkataan para Ulama Madzhab Maliki. dua puluh dalil tersebut yaitu:

1. Nash Al-Qur’an

2. Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir Al-Qur’an

3. Dalil Al-Qur’an, yakni mafhum mukhalafahnya

4. Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum muwafaqahnya

5. Tambih Al-Qur’an, yakni memperhatikan illat (sebab) suatu ayat, seperti firman Allah, “Karena sesungguhnya semua itu kotor (najis).” (Al-An’am:145)
Lima dalil ini adalah yang bersumber dari Al-Qur’an. Sedangkan yang berasal dari sunnah, juga sama seperti lima yang dari Al-Qur’an. Dengan demikian jumlahnya menjadi sepuluh. Adapun yang selanjutnya:

Ijma’,qiyas,Amal/perbuatan penduduk Madinah, Perkataan Sahabat, Istihsan,Saddu Dzari’ah,Memperhatikan perbedaan Istishab, Mashlahah Mursalah, Syar’u man qablana (syariat sebelum kita). Dalam pelaksanaannya tidak berurutan seperti yang disebutkan di atas. Qadhi Iyadh berkata: Setelah menjelaskan susunan ijtihad sesuai dengan yang dikehendaki, akal dan disaksikan syara’ , mendahulukan Kitabullah pada dalilnya dengan jelas daripada mendahulukan nash-nashnya, kemudian dzahir mafhumnya. Demikian juga sunnah menurut susunan mutawatir, masyhur dan ahad, lalu susunan nash-nashnya, dzahir-dzahirnya, dan mafhum-mafhumnya. Kemudian Ijma’ ketika tidak ada dalam Al-Qur’an dam sunnah mutawatir. Ketika tidak ada semua yang pokok ini maka menggunakan Qiyas dan mengistimbatkan darinya. Qadhi Iyad berkata setelah menjelaskan hal itu dan berhujjah dengannya: Bila Anda perhatikan pertama kali sikap para imam dan sumber pengambilan mereka dalam fiqih dan ijtihadnya dalam syara’, niscaya Anda dapati Malik menempuh cara ini dalam Ushulnya, susunannya, mendahului Al-Qur’an dari pada Atsar, mendahulukan Atsar dari pada Qiyas dan I’tibar. Meninggalkan Qiyas terhadap sesuatu yang orang-orang arif terpercaya tidak melakukannya dengan apa yang mereka lakukan atau mendapati sesuatu dari mayoritas penduduk Madinah yang telah melakukan yang lainnya dan menyelisihinya, kemudian beliau menempuh cara Salaf dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dia mengutamakan ittiba dan tidak menyukai bid’ah.
Dapat di pahami bahwa Imam Malik secara umum mengikuti cara orang-orang Hijaz dengan menetapkan Atsar selagi memungkinkan dan tidak menyukai perluasan masalah dan memaparkannya sebelum terjadi.

b) Metode Ijtihad Imam Malik

Hal-hal yang membuat metodenya istimewa, yang memberi pengaruh dalam perluasan lapangan perselisihan/perbedaan di antara dia dan yang lainnya, yaitu:

1) Amal/perbuatan Penduduk Madinah, adalah sebagai hujjah bagi Malik dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar Ahad.

2) Mashlahah Mursalah Istishlah yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan maksud syara’ yang keadaan maksudnya dapat diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan dengan maslahat lain. Maka ketika seperti ini Malik mendahulukan beramal dengannya. 

3) Perkataan Sahabat

4) As-Sunnah

5) Beliau berpendapat menggunakan istihsan dalam berbagai masalah, seperti jaminan pekerjaan, menolong pemilik dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan Qisas harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah; hanya saja Malik tidak meluaskan dalam pendapatnya tidak seprti madzhab Hanafi.

3. Mazhab Imam Syafi’i

a) Biografi Imam Syafi’i (150-204 H)

Mazhab ini dibangun oleh imam Abu A’dullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, beliau lahir di gazah pada tahun 150 H dan wafat di mesir pada tahun 204 H pada saat imam berumur 52 tahun. Setelah ayahnya meninggal pada saat Imam Safi’i berumur hampir 2 tahun maka ibunya membawa Imam Syafi’i ke gazah karena dikhawatirkan kalau dia tinggal di gazah maka nasabnya dengan kaum Quraisy akan hilang sehingga Imam Syafi’i tidak dapat memperoleh pendidikan yang semestinya, pada saat itu keturunan quraisy sangat di junjung tinggi, dan orang-orang Quraisy adalah keturunan atau masih memilki hubungan dengan Rasul Saw, sehingga segala kebutuhan pasti dibantu oleh kaum Quraisy, dilatar belakangi hal tersebut maka Imam Syafi’i pindah ke mekkah. Imam Syafi’i dikenal sangat pintar dalam segi keilmuan agama, hafalannya yang tajam dan kuat, sehingga pada umur 7 tahun beliau sudah menghafal Al-Quran, dan pada waktu menuntu ilmu Imam Syafi’i juga dapat mengulangi apa yang telah disampaikan oleh gurunya, setiap kali gurunya menjelaskan beberapa materi imam syafi’i selalu mencatatnya dan menghafalnya.

Jika kita telusuri sejarah perjuangan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i untuk mencari ilmu pengetahuan, maka itu semua tidak luput dari keserisusan dan semangat beliau untuk menjadi yang lebih baik. Kepribadian imam syafi’I yang suka merantau dari suatu daerah ke daerah yang lain hanya untuk mencari ilmu, itu dapat dicermati dalam syairnya :

Merantaulah ! pasti kamu akan mendapat ganti atas apa yang engkau tinggalkan Maka tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah, sehingga dengan berbekal keberanian Imam Syafi’i melakukan rihlahnya ke berbagai daerah, rihlah dilakukan beliau antara lain ke Madinah, Mekkah, Iraq, Yaman.Pada saat Imam Syafi’i berumur 20 tahun, beliau pergi ke Mekah Al-Mukarramah untuk menuntut ilmu fiqh kepada seorang ulama’ besar yaitu Syekh Muslim bin Khalid yaitu imam masjidil haram. Setelah menggali ilmu fiqh dari Muslim bin Khalid, Imam Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke Madina dengan tujuan menuntut ilmu kepada ulama’ terkemuka yaitu Imam Malik ( tekstual normatif) dengan kitab fiqihnya yang terkenal Al-Muwattaq. Imam Syafi’i dapat menghafal dengan waktu yang singkat semua kitab Al-Muwattaq Imam Malik. Karena merasa belum puas dengan keilmuannya, Setelah memguasai kitab Al-Muwattak. Syafi;I melanjutkan rihlahnya ke Iraq berguru kepada imam terkemuka disana yaitu Imam Abu Hanifah (rasionalistis),  Imam Syafi’i mencoba mengkolaborasikan pendapat, pola fikir dan fiqh kedua Imam tersebut, antara Ahlul Al-Hadist (tesa) dan Ahlul Ar-Ra’yu (antitesa). Jadi dapat dikatakan bahwa Imam Syafi’i adalah sintesa dari dua Imam tersebut. Setelah berguru kepada Abu Hanifah, Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke yaman untuk berguru disana, karena keterbatasan dana Imam Syaf’i’i mencari kerja di yaman, dengan bantuan temannya beliau diangkat menjadi hakim di Yaman, tetapi itu hanya sebentar saja, lalu beliau kembali ke mekkah.

b) Metode Ijtihad Imam Syafi’i

Dalam berijtihad Imam Syafi’i menggunakan pemikiran-pemikiran yang jeli dan teliti, kita lihat model ijtihadnya sebagai berikut :





1. Metode induktif (Istiqra’i)

Metode ini lebih menekankan kepada penelitian fakta lapangan, cara ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan waktu terpanjang dan terpendek bagi wanita yang lagi haid, dalam menentukan waktu tersebut Imam Syafi’i melakukan penelitian kepada beberapa wanita yang ada di mesir, hasil penelitian tersebut dihasilkan data yang beragam, ada yang satu hari satu malam, ada yang sepuluh hari dan lima belas hari. Dari data tersebut Imam Syafi’i menyimpulkan bahwa paling cepat masa haid adalah satu hari dan paling lama adalah lima belas hari.

2. Metode dialektika (Jadali)

Terkait dengan hukum menikahi anak dari hasil perzinahan,Dalam menetapkan hokum ini syafi’I meruju’ kepada firman allah yaitu surat An-Nisa’ ayat 23, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anak (perempuanmu)” Imam Syafi’i memberi devinisi bahwa yang diharamkan adalah anak dari istri yang telah kamu kawini dengan halal bukan dengan perbuatan haram, jadi kamu boleh menikahi anak istrimu dari hasil perbuatan zina antara kamu dan istrimu, dikarenakan dia bukan anak istrimu yang syah, dan dia tidak memiliki nasab dengan kumu(suami), tetapi kebolehan yang diberikan oleh Imam Syafi’i adalah kebolehan dalam arti Makruh. Jawaban yang diberikan oleh Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa Syafi’i berusaha memberikan suatu eksistenti kekuatan daya nalar terhadap penggalian hukum.
4. Mazhab Imam Hambali

a) Biografi Imam Ahmad ibn Hambal

Beliau bernama Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani al-Marwazi. Ia lahir di Baghdad pada Tahun 164 H, dibesarkan dan wafat disana pada Tahun 231 H. Ahmad ibn Hambal dilahirkan ketika kekalifahan dipegang oleh Musa Al-Mahdi dari kalangan Abbasiyah. Musa al-Mahdi meninggal dan digantikan oleh Harun Ar-Rasyid (170-194H), Harun Ar-Rasyid digantikan oleh Al-Amin (194-198 H), Al-Amin digantikan oleh al-Makmun ( 198-218 H). Al-Makmun adalah khalifah yang menjadikan Mu’tazilah sebagai Madzhab Negara. Karena Imam Ahmad Ibn Hambal ini tidak memiliki pemikiran yang sejalan dengan Mu’tazilah, sehingga beliau mendapatkan penyiksaan bahkan dipenjarakan. Hal itu diketahui ketika Imam Ahmad diajukan pertanyaan tentang apakah Firman Tuhan (Al-Qur’an) adalah makhluk. Akan tetapi beliau tidak sependapat dengan menjawab bahwa Al-Qur’an bersifat Qadim dan bukan Makhluk. Karena menurut Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah baru, dan tidak bersifat qadim.Keberanian mempertahankan keyakinan ini disamping membawa resiko juga membawa keuntungan , yaitu membuatnya mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Karena itu kendati banyak Ulama’ yang menjalani hukuman mati , Al-Mu’Tashim dan Al-Watsiq tidak berani menjatuhkan hukuman mati terhadap Imam Ahmad karena takut menimbulkan kekacauan. Akhirnya Al-Mutawakkil kahlifah berikutnya menghapuskan pemaksaan paham Mu’tazilah.


b) Metode Ijtihad Imam Ahmad ibn Hambal

Metode yang di kembangkan oleh ahmad bin hambal adalah Metode Dialektika hal ini dpat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang seatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham. Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat : “Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”. Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda : “Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah “. Selanjutnya, tokoh yang membaharui dan melengkapi pemikiran Madzhab Hambali, terutama di bidang Mu’amalah adalah Syeikh al-Islam Taqiyudin Ibn Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibn Al-Qayim al-Jauziyyah (Wafat 751 H) murid ibn Taimiyyah. Tadinya pengikut Madzhab Mahbali tidak begitu banyak, setelah dikembangkan oleh dua tokoh tersebut maka madzhab Hambalimenjadi semarak terlebih setelah dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H). dan kini menjadi Madzhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.

  1. Taqlid

         Taqlid berasal dari bahasa arab yang berarti “mengulangi, meniru, dan mengikuti”. Para ulama ushul memberikan definisi taqlid dengan “ mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. “ sedangkan orang yang bertaqlid disebut mukallid. Dari definisi diatas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:

  • Menerima atau mengikuti perkataan seseorang.

  • Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan Hadis tersbut.

         Muhammad Rasyid Radha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang dianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum islam tanpa memperthatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut.

Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini.

  • Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an  dan Hadis. Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah, antara lain dalam surat Al-Ahzab [33]:64 yang artinya:
    “ sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong. Di hari itu muka mereka di bolak-balik dalam api neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan kepada Rasul.” Dan mereka berkata:” ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami.”
  • Mengikuti orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya dan menggandrungi daerahnya itu melebihi kecintaannya kepada  dirinya sendiri. Hal seperti  ini disinggung oleh Allah dalam surat Al-Baqarah[2]:165-166 yang artinya:                                                                 
    “ Diantara manusia ada yang mempunyai banyak ikatan selain Allah dan mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat mencintai Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zhalim itu ketika mereka melihat azab (di hari akhirat) bahwa sesungguhnya kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, maka Allah sangat pedih siksanya. (yaitu) ketika orang-orang yang mereka ikuti berlepas diri dari mereka ketika melihat azab tersebut dan memutuskan segala hubungan.
  • Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah dalam surat Al-Taubah [9]: 31 artinya:
    Mereka menjadikan para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan menuhankan Al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang satu, tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci dia dari segala apa yang mereka sekutukan.
    Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian mengikuti pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul berkenaan dengan suatu perbuatan. Namun, seorang yang bertaqlid tersebut harus terus belajar mendalami hukum islam. Bila pada suatu saat orang yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang di taqlidinya selama ini bertentangan dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat yang di taqlidinya tadi.[5]

Syarat orang yang bertaklid:

          Yang dibolehkan bertaklid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syari’ah ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan boleh mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri hukum syari’ah. Maka ia harus berijtihad sendiri bila kesempatan dan waktunya masih cukup serta waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan hal-hal lain (tentang ibadah), maka menurut sebagian ulama boleh ia mengikuti pendapat orang pandai lainnya.

Syarat syarat Masalah yang Ditaklidi

          Hukum terbagi kepada dua macam yaitu: Hukum akal dan Hukum Syara’. Dalam masalah hukum akal, tidak dibolekan taklid kepada orang lain, seperti mengetehui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sifatnya. Hal ini karena jalan untuk menetapkan hukum-hukum tersebut adalah akal, sedang setiap orang memiliki akal. Karena itu tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.

Allah mencela dengan keras taklid soal-soal tersebut dengan firman Nya: yang Artinya: “Apabila dikatakan kepada mereka : “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: “(tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapat dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk “. (Al-Baqoroh: 170)

          Taklid dalam masalah hukum syara’ dibedakan pada dua bagian, yaitu:

           a.       Diketahui dengan pasti dari agama Islam, seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat dan Haji. Juga tentang haramnya zina, minuman keras, dan lain-lain. Dalam hal diatas, tidak boleh taklid, karena semua orang dapat mengetahuinya.

                b.      Yang diketahui dengan jalan penyelidikan dan mencari dalil seperti soal-soal ibadah tertentu, dalam soal semacam ini dibolehkan taklid.

Pendapat empat imam madzhab dan Ulama lainnya tentang taqlid:

  • Imam Abu Hanifah berkata: Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan Hadits Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.
  • Imam Malik berkata: saya hanya manusia biasa yang kadang salah dan kadang benar, selidikilah dahulu pendapat saya kalau sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits maka ambillah dan yang menyalahi hendaklah ditinggalkan.
  • Imam Syafi’i berkata: Perumpaman orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang mencari kayu di waktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mematuk sedang dia tidak tahu.
  • Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Jangan mengikuti (taklid) kepada saya atau Malik atau Tsauri atau Auza’i tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.
  • Ibnu Ma’sud berkata: kamu jangan mentaklidi orang kalau dia Iman maka kamu beriman kalau ia kafir maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal hal yang buruk.



[1] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, (Damaskus:Daar al-fikr, tt.), hlm.379.
[2] Wahbah Zuhaili, ushul fiqh al-Islami,(Damaskus:Daar  al-Fikr,1986),cet.ke-1,hlm.1044-1049.
 

BAB I
FIKIH DAN SYARIAH

1.       Pengertian Syariah
Secara generic (etimologi) syariah berarti tempat menuju aliran air, atau jalan yang mesti dilalui atau aliran sungai. Beberapa ayat al-Quran seperti as-Syura’ : 13 menyebutkan lafal syariah yang bermakna ad-din (agama) dalam makna totalitasnya yang mnunjukkan pengertian bahwa syariah Islam adalah jalan yang lurus, yang akan mengantarkan manusia pada keselamatan dan kesuksesannya di duania dan di akhirat. Hubungan makna generic syariah sebagai jalan menuju aliran sungai dan syariah islamadalah, jika air sungai yang bersih dan bening akan memuaskan dahaga dan kesehatan serta menumbuhkembangkan tubuh orang yang meminum dan menggunakannya, maka syariah Islam juga akan member kepuasan batin atas upaya manusia dalam mencari kebenaran, dan akan menyelamatkan hidupnya di dunia dan di akhirat. Belakangan kata syariah berarti sebagaimana yang didefinisikan ulama pada umumnya, yakni :
“Semua firman Allah yang berhubungan dengan aktifitas manusia (baik berbuat atau tidak berbuat, baik aktif maupun pasif) baik yang berupa perintah atau larangan, atau pilihan berbuat atau tidak berbuat”.
Pada definisi ini syariah dibedakan dari istilah akidah (firman-firman tentang kepercayaan/keyakinan) dan dibedaka pula dari istilah akhlak (firman berkaitan dengan konsep cara pandang terhadap segala seuatu yang disebut baik dan jahat, pantas dan tidak pantas. Sebagai tambahan, yang perlu ditegaskan adalah bahwa makna “firman Allah” sebagaimana tertera di atas mencakup pengertian hadis Nabi Muhammad yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Sebab pada hakikatnya apa yang disampaikan oleh nabi Muhammad berada di bawah bimbingan wahyu Allah.
2.       Pengertian Fiqh dan ushul Fiqh
Ushul fiqh merupakan kata majemuk yang berasal dari lafal ushul dan fiqh, masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:
a.       Ushul
Ushul merupakan bentuk jamak dari lafal ashl yang secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi landasan bagi yang lain. Dakam pengertian terminology, makna ushul adalah:
1)      Ketentuan dasar
2)      Hukum yang dipedomani
3)      Yang dominan
4)      Unsur qiyas yang pertama menjadi rujukan untuk mendapatkan hukum baru yang belum ada ketentuan hukumnya
5)      Dalil (dasar)
Dari sekian pengertian, pengertian ushul yang kelima dianggap lebih sesuai dengan pengertian ushul fiqh. Dengan kata lain ushul fiqh berarti dasar atau dalil untuk menetapkan hukum fiqh yang dapat berupa al-Qur’an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan sebagainya.
b.      Fiqh
Secara etimologi fiqh berarti mengerti atau paham (lihat al-Isra: 44). Dengan demikian ketika seseorang berkata  فقهت   (saya paham) berarti ia mengerti tujuan perkataan seseorang. Namun menurut sebagian ulama paham dan mengerti sebagaimna dimaksud di atas bukan sekedar paham terhadap hal-hal yang mudah dipahami dan dimengerti, melainkan paham yang mendalam. Oleh karena itu orang yang mengerti bahwa api itu panas dan harimau itu buas belum dapat disebut seorang faqih (orang yang paham). Seorang faqih memiliki seperangkat pengetahuan dan keahlian dalam memahami masalah-masalah fiqh yang rumit.
c.       Fiqh sebagai Disiplin Ilmu
Secara istilah (terminology) fiqh menurut Ibnu Qudamah dapat berarti:
العلمم بالاحكام الشرعيةة العملية الفرعية عن ادلتها التفصيلية بالاستدلال
“Pengetahuan tentang hukum syara yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang bersifat parsial, yang berasal dari dalil-dalil yang spesifik melalui penelitian trhadap dalil”
Terminology lain diungkapkan oleh Ibnu as-Subki, yakni:
العلم بالقواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام الشرعية الفرعية من ادلتها التفصيلية
“Pengetahuan tentang hukum syara yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara yang spesifik.”
Dari definisi kedua dapat diketahui bahwa:
1)      Fiqh adalah seperangkat ketentuan hukum-hukum syara yang berasal dari Allah melaui wahyu yang disampaian kepada rasul-Nya. Dengan demikian hukum akal (logika), hukum kebiasaan (al-adat), hukum kausalitas dan hukum-hukum lain yang berasal dari pemikiran manusia tidak termasuk dalam pengertian pembahasan fiqh.
2)      Fiqh berkaitan dengan perbuatan manusia. Jadi masalah keimanan dan keyakinan (akidah) dan juga akhlak tidak masuk dalam pembahsan ilmu fiqh.
3)      Hukum-hukum fiqh itu didapat dari hasil-hasil pemikiran melalui usaha penelitian sungguh-sungguh yang dilakukan oleh mujtahid untuk menggali dan memahami nash-nash syara, sehingga  mujtahid tersebut dapat mengetahui bahwa suatu perbuatan tertentu sesuai dengan yang ditentukan oleh Allah. Dengan demikian tingkat kepastian hukum fiqh tidak bersifat mutlak (mutlak, qath’i) namun bersifat relative (zhanni), sebab dalam upaya penetapan hukum tersebut terdapat keterlibatan manusia yang mempunyai keterbatasan akal.
4)      Hukum yang pasti benar adalah hukum yang secara jelas dan langsung berasal dari Allah. Dengan demikian ketentuan hukum tentang wajibnya shalat lima waktu, puasa ramadhan, zakat, haji atau keharaman membunuh tanpa alasan yang sah, makan babi, berzina, mencuri dan meminum khamr tidak termasuk dalam kategori fiqh karena hal trsebut bersifat pasti(qath’i) dan tidak memerlukan ijtihad dalam menentukan hukum perbuatan-perbuatan tersebut.
d.      Ushul Fiqh sebagai Disiplin Ilmu
Definisi ushul fiqh menurut Ibnu Qudamah adalah:
العلم بالقواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام الشرعية الفرعية من ادلتها التفصيلية
“Pengetahuan tentang hukum syara yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara yang spesifik.
Smentara Ali Hasibullah mengemukakan definisi ushul fiqh dengan:
القواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية
“Sekumpulan kaidah yang digunakan untuk menarik kesimpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia, dari dalil-dalil yang spesifik”
Sedang alBaidhawi mendefinisikan:
معرفة دلائل الفقه اجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفد
“Pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara umum dan cara menyimpulkan hukum dari dalil-dalil tersebut, serta tentang hal ihal mujtahid.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa ushul fiqh terdiri dari beberapa unsure berikut:
1)      Ushul fiqh merupakan suatu disiplin ilmu
2)      Ushul fiqh merupakan sekumpulan dalil dan kaidah atau rumusan yang bersifat umum yang tidak menunjuk secara langsung pada hukum-hukum syara yang terperinci.
Kaidah-kaidah yang dimaksud trdiri dari 2 macam:
a)      Kaidah-kaidah syar’iyyah dan dalil-dalil, contoh:
ان الحد لا يتعلق الا بفاحشة
“Hukuman Had hanya berkaitan dengan perbuatan keji”
الاصل فى الامر للوجوب ما لم يدل دليل على خلافه
“Pada dasarnya suatu perintah menunjuk pengertian wajib, selama tidak terdapat dalil lain yang menunjuk pengertian yang berbeda.
b)      Kaidah yang bersifat kebahasaan. Urgensi kaidah kebahasaan adalah mengingat al-Qur’an dan al-hadis sebagai sumber utama hukum Islam menggunakan bahasa Arab,  oleh sebab itu diperlukan pemahaman terhadap kaidah-kaidah bahasa arab untuk menarik kesimpulan hukum syara. Contoh:
اللفظ العام يتناول جميع افراده قطعا ما لم يحصص
“lafal yang bersifat umum menunjuk semua pengertian parsialnya secara pasti, selama tidak dibatasi (ditakhsis) maknanya.
اللفظ  المشترك لا يراد به عندد الاستعمال الا معنا واحدا
“Dalam menggunakan suatu lafal yang mengadung lebih dari satu makna, pengertian yang dimaksudkannya hanya menunjuk satu makna tertentu saja”
3)      Kaidah-kaidah yang terdapat dalam ushul fiqh berfungsi untuk menarik dan melahirkan hukum syara.
4)      Hukum-hukum fiqh yang dihasilkan itu bersifat amaliyah, bukan akidah maupun akhlak. Namun demikian di dalam fiqh dan ushul fiqh terdapat juga hukum-hukum yang tidak secara langsung berkaitan dengan perbuatan manusia missal; tentang status seseorang yang menimbulkan efek hukum seperti sebagai hamba, janda, anak-anak, orang gila, terpaksa dll yang semua itu bukan termasuk perbuatan manusia tetapi juga masuk dalam pembahasan fiqh/ushul fiqh.
5)      Hukum-hukum fiqh yang disimpulkan dari nash merupakan hasil ijtihad (tidak secara langsung ditegaskan oleh nash)
6)      Tingkat kekuatan hukum tersebut bersifat zhanni (relative) bukan Qath’I (mutlak) karena hasil ijtihad (ada unsure manusia).
3.       Qawaid Fiqhiyyah
Qawa’id Fiqhiyyah terdiri dari 2 kata, yakni Qawaid dan Fiqhiyyah. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qa’idah, dalam bahasa Indonesia berarti kaidah atau rumusan asas-asas yang menjadi hukum; aturan yang tentu; patokan; dalil. Secara etimologi qawaid berarti dasar, asas atau fondasi dalam pengertian abstrak maupun konkrit. Secara terminologis, menurut at-Thahanawi, qawaid menunjuk pengertian yang kurang lebih sama dengan pengertian dasar, qanun (undang-undang), dhabit (catatan penting) dan maqashid (tujuan), yang secara umum menurut at-Taftazani kata kaidah menunjuk pada:

امر كلى منتبق على جميع جزئياته عند تعرف احكامها منه

“Ketentuan yang bersifat umum yang sesuai terhadap semua bagian-bagiannya yang bersifat parsial, ketika hendak mengetahui ketentuan hukum yang bersifat parsial tersebut daripadanya”. Sedang menurut Abu al-Baqa’ al-Kafawi al-Hanafi:

قضية كلية من حيث استمالها بالقوة على احكام جزئيات موضوعها

“Qadhiyyah kulliyah (preposisi yang bersifat umum) yang secara potensial mencakup semua ketentuan hukum yang bersifat juz’I yang berada dalam ruang lingkupnya”.Sementara al- jurjani mendefinisikan:

قضية كلية منتبقة على جميع  جزئياتها

Qadhiyyah kulliyah (preposisi yang bersifat umum) yang dapat diterapkan kepada semua juz’iyyah (parsial)nya”. Sedang menurut at-Taftazani:

حكم كلي ينتبق على جزئياته ليتعرف ااحكامها منهه
“Hukum yang bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan kepada semua juz’iyyahnya yang dari kaidah tersebut dapat diketahui hukum-hukumnya”. Sedang fiqh mempunyai pengertian sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Bila kedua kata ini digabungkan menjadi qawaid fiqhiyyah, maka ia menunjuk pengertian suatu cabang ilmu keislaman dengan definisi sebagai berikut:
Menurut Tajudin As-Subki:

الامر كلي الذى ينتبق على جزئياته كثيرة نفهم احكامها منها

“ketentuan yang bersifat umum yang dapat diterapkan kepada juz’iyyah yang banyak yang dengan ketentuan tersebut diketahui hukumnya”.
اصول فقهية كلية فى نصوص موجزة دسستورية ت        
Qawaid fiqhiyyah adalah dasar-dasar fiqh yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk udang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut”. Selanjutnya dua definisi menurut Ali Ahmad an-Nadawi:

حكم شرعي فى قضية اغلبية يتعرف منها احكام ما دخل تحتها

“Hukum syra dalam bentuk Qadhiyyah (preposisi) yang bersifat domiinan yang dengan qadhiyyah tersebut dapat diketahui ketentuan hukum mengenai peristiwa-peristiwa hukum yang berada di dalam ruang lingkupnya”.
Definisi yang kedua yaitu:

اصول فقهية كلي يتضمن احكاما تشرعية عامة من ابواب متعددة  فى القضايا التي تدخل تحت موضوعه

“Dasar-dasar fiqh yang bersifat umum yang mengandung hukum-hukum syara yang umu dalam berbagai bidang dalam bentuk qadhiyyah-qadhiyyah yang termasuk dalam ruang lingkupnya”
Dari kedua istilah yang dikemukakan oleh Ali Ahmad an-Nadawi dapat disimpulkan bahwa:
a.       Keduanya menggunakan istilah syar’I, hal ini untuk membedakannya dari kaidah lain (seperti qawaid an-Nahwiyyah, qawaid al ushuliyyah, qawaid al qanuniyyah dll)
b.      Penggunaan kata aghlabiyyah dalam kedua definisi di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kaidah ini hanya mencakup ketentuan-ketentuan hkum yang bersifat pada umumnya (mayoritas) dan tidak mencakup keseluruhanya. Dapat ditegaskan bahwa kenyataanya memang tidak ada satupun kaidah keilmuan islam yang tidak mengandung pengecualian. Perbedaannya hanya terletak pada sedikit atau banyaknya pengecualian suatu kaidah disiplin ilmu disbanding dengan kaidah yang berlaku pada disiplin ilmu lainnya tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa imu qawaid fiqhiyyah pada hakikatnya adalah sekumpulan kaidah-kaidah fiqh yang berbentuk rumusan-rumusan yang bersifat umum yang didalamnya terkandung ketentuan-ketentuan hukum fiqh dalam berbagai bidang yang temasuk dalam ruang lingkupnya.
4.       Hukum Islam
Menurut KBBI Hukum Islam ialah peraturan-peraturan dan ketentun-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan kitab al-Qur’an; Hukum syara’. Definisi ini berbeda dengan pemahaman para akademisi di Indonesia, sebab hukum Islam tidak dibatasi yang berkaitan dengan perbuatan manusia pada umumnya, dimana ia tidak mencakup masalah akidah dan akhlak. Di samping itu, sumber hukum Islam bukan hanya al-Quran, namun juga as-Sunnah dan melalui berbagai metode penemuan hukum yang dikenal dalam ushul fiqh. Untuk memudahkan, penegertian hukum Islam sebenarnya tidak jauh dari fiqh Islam, yakni seperangkat aturan yang berisi hukum-hukum syara’ yang bersifat terperinci, yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yang dipahami dan digali dari sumber-sumber (al-Quran dan alHadis) dan dalil-dalil syara’ lainnya (ijtihad).
Dari penjelasan mengenai syariah, ushul fiqh, fiqh, kaidah fiqhiyyah dan hukum Islam di atas maka dapat ditemukan persamaan dan perbedaanya, antara lain:
a.       Fiqh dan hukum Islam menunjuk pada pengertian yang sama, yakni ketentuan-ketentuan hukum Islam itu sendiri.
b.      Pada satu sisi, syariah fiqh dan hukum Islam memiliki persamaan yaitu, sama-sama membahas hukum Islam yang bersifat amaliyyah (perbuatan manusia), tapi terdapat perbedaan yaitu: syariah menunjuk pnegertian redaksi atau teks-teks firman Allah dan hadis Nabi yang berbicara tentang hukum Islam, Fiqh dan hukum Islam adalah materi hukum Islam yang dipahami dan digali dari redaksi/teks firman Allah dan Hadis Nabi tersebut (maksudnya, Syariah adalah sumber hukum Islam, sedang fiqh dan hukum Islam merupakan produk syariah).
c.       Kaidah fiqh merupakan kaidah yang berisi sekumpulan materi ketentuan fiqh/ hukum-hukum Islam yang sejenis, karena ada persamaan illat di antara ketentuan fiqh/hukum Islam tersebut.
d.      Adapun Ushul fiqh, ia hanyalah alat atau metodologi untuk menggali fiqh/hukum Islam dari syariah yang berupa firman Allah dan hadis Nabi. Bila ilmu ushul fiqh dihubungkan dengan syaraiah, ilmu fiqh/hukum Islam dan kaidah fiqh, maka secara sederhana dapat dijelaskan, jika diibaratkan dalam suatu proses produksi, maka syaraiah adalah bahan bakunya, sedang ushul fiqh adalah mesim produksinya, sementara fiqh/ hukum Islam adalah barang hasil produksi tersebut. Adapun kaidah fiqh adalah kumpulan atau paket-paket kemasan dari hasil produksi. Dalam hal ini hukum Islam yang dikelompokkan menurut jenis dan kesamaannya.

BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH DAN USHUL FIQIH MASA AWAL: MASA RASULULLAH SAW DAN MASA SAHABAT

1.    Sejerah Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Nabi dan Ciri-cirinya
a.    Sejarah Perkembangan Fiqih Pada Masa Rosulullah dan Ciri-cirinya.
Tarikh Tasyrik Islam, atau sejarah fiqh Islam, pada hakikatnya, tumbuh dan berkembang di masa Nabi sendiri, karena Nabilah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafatnya Nabi.Para Fuqaha, ahli-ahli fiqh, hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah, kaidah-kaidah yang umum meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah juz-iyah, kejadian-kejadian yang detail dengan mengistinbatkan, mengambil hukum dari nash-nash syara’, atau ruhnya, di kala tidak terdapat nash-nashnya yang jelas. Pada Masa Rasulullah adalah masa fiqh Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan. Sumber asasi yang ada pada masa ini ialah Al-quran (wahyu Ilahi yang diturunkan untuk menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia). Tentang sunnah Rasul adalah berdasarlkan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada beliau. Demikian juga segala tindak-tanduk Nabi SAW. Selalu dibimbing oleh wahyu Ilahi, dan semua hukum dan keputusan hukum didasarkan kepada wahyu juga. Masa  ini walaupun berusia tidak panjang, namun masa inilah yang meninggalkan bekasan-bekasan dan kesan-kesan serta pengaruh yang penting bagi perkembangan hukum islam dan masa yang kulli yang bersifat keseluruhan dan dasar-dasar yang umum yang universal untuk dasar penetapan hukum bagi masalah dan peristiwa yang tidak ada nashnya. Masa Nabi SAW ini terbagi kepada dua periode yang masing-masing mempunyai corak tersendiri. Yaitu periode Makkah dan Periode Madinah.
1)   Periode Makkah
Periode pertama ialah periode Makkah, yakni selama Nabi SAW menetapkan dan berkedudukan di Makkah, yang lamanya 12 tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi hingga beliau berhijrah keMadinah. Dalam masa ini umat islam masih sedikit dan masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan yang kuat. Nabi telah mencurahkan Tauhid kedalam jiwa masing-masing individu dalam masyarakat arab serta memalingkan mereka dari memperhamba diri kepada berhala, disamping beliau menjaga diri dari aneka rupa gangguan bangsanya. Dan masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong Nabi SAW. Untuk mengadakan hukum atau undang-undang. Karena itu tidak ada di dalam surat Makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Ya sin dan Al Furqon. Kebanyakan ayat-ayat makkiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai aqidah kepercayaan, akhlak dan sejarah.
2)      Periode Madinah
Periode kedua ialah periode Madinah, Yakni masa Nabi SAW telah berhijrah ke Madinah, dan Nabi menetapkan di Madinah selama 10 tahun sampai wafatnya. Dalam masa inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Mulailah Nabi SAW membentuk suatu masyarakat Islam yang berkedaulatan. Karena itu timbulah keperluan untuk mengadakan syari’at dan peraturan peraturan, karena masyarakat membutuhkannya, untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya dan perhubungan mereka dengan umat yang lainnya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang. Dalam hubungan inilah disyari’atkan hukum-hukum perkawinan, thalaq, wasiat, jual beli, sewa, hutang-piutang, dan sermua transaksi. Demikian juga yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan dalam masyarakat, dengan adanya hukum kriminil dan lain sebagainya individu dan sebagai masyarakat dalam hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas, antara seantero manusia di dunia. Karena itulah surat-surat Madinah, seperti Surat Al-Baqoroh, Ali Imran, An Nisa’, Al Maidah, Al Anfal, At Taubah, An Nur, Al Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah dan lain-lain. Kekuasaan tasyri’iyah (legislatif) pada masa itu dipegang Nabi sendiri, walaupun dalam hal yang mendesak pernah juga beberapa sahabat berijtihad mencari hukum, seperti Ali Ibn Abi Thalib dikala melawat ke Yaman, Mu’adz Ibn Jabal ketika menjadi Hakim di Yaman dan Amr Ibn Ash dan lain-lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dalam Periode Makkah hampir tidak didapatkan indikasi yang berarti, karena masa ini merupakan masa pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan adalah ayat-ayat aqidah. Berbeda dengan masa Madinah di mana ayat-ayat tentang hukum dan pranata sosila mendominasi, sehingga indikasi penetapan hukum terlihat lebih jelas. Selanjutnya suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat Al-quran yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah difahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada al-quran itu dapat disebut fiqih.
Fiqih adalah hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad. Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut Fiqh atau lebih tepat disebut “Fiqh Sunah”. Kemungkinan Nabi melakukan ijtihad dalam menghasilkan Sunnahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman dalam Q.S Al Najm ayat 3-4 yang artinya “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” Ada ulama yang memahami ayat, ini secara umum, bahwa semua yang diucapkan Nabi dalam usahanya memberi penjelasan atas ayat hukum atau bukan adalah atas dasar wahyu. Sedangkan ulama lain memahaminya bahwa yang dimaksud ayat itu adalah ayat-ayat al-quran yang diterima Nabi dan disampaikannya kepada umatnya, itulah yang disebut wahyu. Tetapi tidak semua yang muncul dari lisan Nabi disebut wahyu.
Perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat tersebut kemudian berkembang pada kebolehan atau kemungkinan Nabi berijtihad. Ulama kalam Asy’ariyah, mayoritas ulama mu’tazilah, Abu Ali al Jubbani dan anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak boleh berijtihad dalam hukum syara’. Alasan mereka adalah Firaman Allah Surat Al-Najm ayat 3-4 yang artinya, “ Dan tiadalah yang diucapkannnya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”.  Ayat ini menjadi dalil utama bahwa semua yang muncul dari lisan nabi adalah dari wahyu dan tidak ada yang di luar wahyu. Ijtihad tidak berasal dari wahyu, karenanya tidak ada ucapan Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.
Nabi SAW berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara menyakinkan melalui wahyu. Sedangkan hasil ijtihad hanyalah bersifat zhanni. Bila mampu untuk sampai kepada yang meyakinkan (qath’i), maka tidak boleh menempuh yang tidak menyakinkan (zhanni). Disamping itu, ijtihad hanya boleh dilakukan bila tidak ada nash, sedangkan selama Nabi masih hidup, tidak mungkin nash itu sudah berhenti. Sering terjadi nabi tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan sahabatnya tentang kasus. Dalam keadaan demikian, nabi menyuruh menunggu sampai turunnya wahyu yang akan menjawabnya. Seandainya Nabi dapat memberikan jawaban yang hasil ijtihadnya, tentu nabi tidak perlu berlama-lama menunggu turun wahyu untuk menjawabnya.
Selanjutnya pendapat dari ulama lain menyatakan bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masa peperangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Bila diperhatikan dari beberapa pendapat tersebut beserta argumennya masing-masing, cenderung pada pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul dari lisan nabi itu dibimbing wahyu. Dalam kenyataan memang beliau pernah berijtihad untuk memahami dan menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagian sunnah nabi adalah berdasarkan ijtihad.
Adapun menurut Philips dalam bukunya Evolusi Fiqh yang dikutip oleh Ali Sodiqin, menyatakan bahwa sumber hukum pada masa Rasul hanya wahyu, baik Al-Qur’an maupun sunnah. rasul juga melakukan ujtihad ketika muncul persoalan dan wahyu belum turun, Hasil ijtihad Rasul inilah yang kemudian disebut dengan sunnah atau hadis. Namun, hasil ijtihad Rasul pada periodenya tidak dianggap sebagai sumber hukum yang independen karena faliditasnya tergantung kepada wahyu, apakah dikonfirmasi atau dikoreksi. Contoh aturan dari Rasul yang dikoreksi oleh wahyu adalah masalah perceraian dengan cara zihar. Rasul menetapkan zihar yang dilakukan oleh Aus bin As-Shamit kepada istrinya, Khalwah binti Tsa’labahsebagai bentuk perceraian. Qur’an dengan turunnya surah Al-Mujadalah (58) ayat 1-3 yang menetapkan bahwa zihar adalah tidak sah sebagai bentuk perceraian.

b.   Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa Rasulullah dan Ciri-cirinya.
Pertumbuhan Ushul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak Zaman Rasulullah SAW, sampai pada masa tersusunnya Ushul Fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, sumber hukum Islam hanya ada sua , yaitu Al-Qur;an dan Assunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melaiu sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadist dan sunah. Ilmu Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukan lebih dulu dari ilmu Ushul Fiqh. Karena dengan timbulnya ilmu fiqh, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut.dan metode ini tak lain adalah ilmu Ushul Fiqh.
Ushul Fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari Fiqh adalah Ushul Fiqh, berarti Ushul Fiqh itu asas atau dalil Fiqh yang diambil dari Al Qur’an dan Sunnah. Ushul Fiqh ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.

 اَمَّا عِلْمُ اُصُولِ الفقه فَلَم يَنشَاء الأ في القَرنِ الثاني الهِجرِى, لانه ف القرن الجهرى الاولِ لم تَدَع حَا جَةً اليه فاالرسولُ كان يفتى ويقضى بما يوحى به اليه ربُّهُ من القرن بما يَلهِمُ به من السُّنَنِ

“Mengenai ilmu Ushul Fiqh, ilmu tersebut lahir sejak abad ke 2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang tidak diperlukan lantaran keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah yang di ilhamkan kepada beliau”.
Sumber hukum pada masa Rasulullah SAW, hanyalah Al-Qur;an dan As Sunnah ( Al-Hadist). Pada masa itu di temui sunnah-sunnahnya yang memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad. Misalnya beliau melakukan Qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar Bin Khatab RA, sebagai berikut:

 صَنَعتُ اليوم يا رسول الله امرًا عَظِيمًا قبّلت وانا صاءمٌ , فقال له رسول الله صلي الله عليه وسلم ارايت لو تمضمضتَ بماءٍ
 وانت صاءم , فقلت لا بأس بذا لك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فصم

“Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar, saya mencium istri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu bekumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa ? Lalu saya menjawab : tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Maka tetaplah kamu berpuasa.”
Pada hadist diatas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium istrinya dengan mengqiyaskan kepada “tidak batal puasa seseorang karena berkumur-kumur”. Cara Rasulullah dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu Ushul Fiqh. Karenanya para ulama Ushul Fiqh menyatakan bahwa Ushul Fiqh ada bersamaan dengan hadirnya Fiqh, yaitu sejak zaman Rasulullah. Penetapan hukum pada masa Rasulullah SAW dapat secara langsung mengambil dari AL-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan hukum dengan melalui Sunnahnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga. Disamping itu beliau juga berijtihad dalam menetapkan hukum-hukum tertentu, akan tetapi ijtihadnya dilakukan secara naluri, artinya dilakukan tanpa memerlukan usul dan kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman dalam mengistimbatkan hukum. Pada masa Rasulullah SAW, Ushul Fiqh seperti yang kita kenal sekarang ini belum diperlukan, sebab RAsulullah SAW dan para sahabat, ketika itu dapat memahami secara langsung hukum-hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Rasulullah SAW adalah seorang manusia juga, sebagaimana manusia lain pada umumnya, maka hasil ijtihadnya pun bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda :

 انما أنا بشرٌ فما حدثكم عن اللهِ فهو حقٌّ , وما قلت فيه من قبل نفسى فانما أنا بشرٌ أُخطىءوأصيبُ

“saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar, dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah dan bisa benar.
Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah , Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar. Sebagai contoh hasil  beliau tentang tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka (para tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bi Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur’an yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar, yakni:


 ماكان لنبىّ ان يكون له أسرى حتى يثخن فى الأرض , تريدون عرض الدنيا , والله يريد الأخرة , رالله عزيز حكيم.

“tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat ( untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
         Jika terhadap hasil Ijtihad Rasulullah SAW tersebut tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan sudah barang tentu termasuk kedalam kandungan pengertian As Sunnah( Al-Hadist). Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari sejarah perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Rasul adalah bahwa Pada Masa itu Rasulullah berijtihad hukum-hukum yang merupakan keputusan-kepetusan dalam masalah-masalah yang dihadapkan kepada Rasul atau merupakan suatu fatwa atau jawaban terhadap suatu pertanyaan. Khittah atau jalan yang diikuti Rasul dalam menetapkan hukum ialah menanti wahyu. Apabila wahyu tidak datang, Nabi pun berpendapat bahwa Allah menyerahkan tasyri’ dalam masalah yang dihadapinya itu kepada Nabi sendiri, maka Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruhusy syari’ah. kemaslahatan dan permusyawaratan.            
2.    Sejerah Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya
a.    Sejerah Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya
Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW sampai akhir abad pertama hijrah. Pada masa sahabat dunia Islam sudah meluas hingga meliputi: Syria, Yordania, Mesir, Iraq dan Persia, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum ditandai dengan penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya. Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf datang dari Umar bin Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh Umar kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada akhirnya Abu Bakar menerima ide yang baik dari Umar ini. Maka beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini disimpan pada Abu Bakar, seterusnya masa Umar dan kemudian setelah Umar meninggal disimpan pada Hafshah binti Umar. Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf yang ada pada Hafshah kemudian menugaskan lagi kepada Zaid bin Tsabit untuk memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah slam yaitu ke Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah dan Damaskus. Mushaf itulah yang sampai kepada kita sekarang.
Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan. Nabi selalu minta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadist. Dengan demikian tidak akan bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu Al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat. Bahkan banyak sahabat yang hafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun Hadist pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab, akibat tidak tertulisnya dan tidak terkumpulnya Hadist dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka ulama-ulama dapa periode selanjutnya harus meneliti keadaan perawi Hadist dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadist serta muncul Ilmu Musthalah Hadist. Akibat lain adalah timbulnya perbedaan pendapat karena berbeda dalam menanggapi satu Hadist tertentu.
Pada masa sahabat, Islam telah menyebar luas misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya kasus Usyuur (bea cukai barang-barang impor), kasus mualaf dan lain-lain pada zaman Umar bin Khatab. Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad jama’i. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin Khatab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu : ”Musyawarah yang bersifat khusus dan musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas memusyawarahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun musyawarah yang bersifat umu dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting. Walaupun demikian tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad para sahabat dalam masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan kemaslahatan umum. Mereka menanyakan masalahnya kepada salah seorang sahabat Nabi dan diberikan jawabannya. Dalam masalah-masalah ijtihadnya termasuk dalam hal-hal yang belum ada nash-nya para sahabat berijtihad. Jadi, pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber hukum yaitu Al-Qur’an, Alsunnah dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardhi dalam hal-hal yang bersifat pribadi.
Ciri khas yang menonjol dalam perkembangan fiqih periode sahabat ini adalah sebagai berikut:
1.    Bersifat realistis, karena ketetapan fiqihnya didasarkan pada problem-problem aktual yang terjadi. Tidak ada ketetapan fiqih yang bersifat hipotesis atau rekaan semata, sehingga bentuk fiqih masa ini disebut dengan fiqh al-waqi’I (fiqih realistik).
2.    Bersifat terbuka, karena tidak menetapkan prosedur-prosedur tertentu yang harus diikuti dalam menetapkan aturan hukum. Para sahabat juga tidak membuat catatan atas ketetapan hukum yang mereka hasilkan. Di samping itu mereka menghargai kebebasan pendapat tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
3.    Mengedepankan musyawarah (ijmak) daripada menggunakan pendapat pribadi dalam penetapan hukum. Hal ini dipraktekkan  oleh para Khulafaur Rasyidin, sehingga memperkecil ruang ikhtilaf maupun perpecahan di kalangan umat Islam. Meskipun demikian para sahabat tetap menghormati pendapat pribadi di antara mereka.
4.    Bersifat kreatif, dalam arti melakukan modifikasi terhadap aturan hukum sebelumnya. Alasan modifikasi ini adalah tiadanya illat bagi keberadaan hukum tersebut dan atau adanya perubahan kondisi sosial. Contoh dalam kasus ini adalah ijtihad Umar Ibn Khattab, yang melarang pendistribusian zakat bagi muallaf adalah untuk mendapatkan dukungan, namun pada masa Umar dukungan muaalaf tersebut tidak dibutuhkan lagi mengingat eksestensi umat Islam sudah kuat. Contoh kedua terkait dengan penetapan talak tiga. Pada masa Rasulullah, pernyataan tiga kali talak dalam satu kesempatan dianggap sebagai satu kali pernyataan talaq. Khalifah Umar sebaliknya menetapkan bahwa talaq tiga kali tersebut dianggap jatuh talaq tiga.
5.    Khalifah Centris, yaitu keputusan akhir yang melibatkan ijmak dan ijtihad berada di tangan khalifah. Namun keputusan khalifah sebelumnya tidak mengikat bagi khalifah sesudahnya. Khalifah pengganti dapat mengubah aturan hukum dari khalifah sebelumnya. Contohnya misalnya Khalifah Ali mengubah hukuman bagi peminum khamr. Khalifah Abu Bakar dan Umar mengubah hukuman bagi peminum Khamr dengan 40 kali cambuk, sedangkan khalifah Ali menambah hukuman tersebut menjadi 80 kali cambuk.

BAB III
SUMBER HUKUM ISLAM

  1.  Al Qur’an
Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:
Tauhid, yaitu kepercayaan ke-esaann Allah SWT dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya
Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid
Janji dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari.
Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiaran syariat Allah SWT maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang mengingkari kebenaran Alquran agar dapat dijadikan pembelajaran.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
  1. Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
  2. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
  3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
  1. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT,misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
  2.  Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
  • Hukum munakahat (pernikahan).
  • Hukum faraid (waris).
  • Hukum jinayat (pidana).
  • Hukum hudud (hukuman).
  • Hukum jual-beli dan perjanjian.
  • Hukum tata Negara/kepemerintahan
  • Hukum makanan dan penyembelihan.
  • Hukum aqdiyah (pengadilan).
  • Hukum jihad (peperangan).
  • Hukum dauliyah (antarbangsa).
2. Hadist
Kedudukan Hadist sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat. Menurut bahasa Hadist artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Hadist seperti ini sejalan dengan makna hadis Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya. Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Hadis, Al-Sunnah, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Hadist memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran :
  1. Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;
  2. Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
  3. Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula
  4. Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang
  5. Menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi.
B. Sumber Ajaran Islam Sekunder
Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist.
Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli Ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

 1. Qiyas yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama.
Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
2. Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
3. Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia.
Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
4. Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
5. Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
6. Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
a. Abu Hanifah (Imam Hanafi)
Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت), lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (bahasa Arab: بو حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Hanafi. Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.

b. Imam Malik

Mālik ibn Anas bin Malik bin ‘Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: مالك بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Malik. Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar malik berkata :”aku dilahirkan pada 93 H”. dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam’ani dan ibn farhun)[3].
Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain. Pujian Ulama untu Imam Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi’i berkata : “Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi’in. “.
Yahya bin Ma’in berkata :”Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits”
Ayyub bin Suwaid berkata :”Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya”.
Ahmad bin Hanbal berkata:” Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid’ah”
Seseorang bertanya kepada as-Syafi’i :” apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?” as-Syafi’i menjawab :”aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?[3] “
Kitab Al-Muwaththa
Al-Muwaththa bererti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih kerana Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Dia sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafi pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik.”
inilah karangan para ulama muaqoddimin
[sunting]Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh
Imam malik jatuh sakit pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu ia wafat. sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H.
sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi’:” imam malik wafat pada usia 87 tahun” ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi’
c. Imam Syafi’i
Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil Imam Syafi’i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 – Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Tulisan di bawah terpaksa juga dihapus.
Bagaimana mungkin Imam Syafi’ie yang lahir tahun 150 H dan wafat tahun 203 H disebut menolak paham Asy’ariyyah yang memperkenalkan ajaran Sifat 20 sementara Imam Abu Hasan Al Asy’ari sendiri baru lahir tahun 260 H atau 57 tahun setelah Imam Syafi’ie meninggal?
Imam Syafi’ie adalah Imam Fiqih. Beda dengan Imam Asy’ari yang merupakan Imam masalah Tauhid. Kalau seperti itu, maka Imam Syafi’ie juga jauh dari paham Trinitas Tauhid yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir tahun 1115 Hijriyah:
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.
Sumber: Majalah As-Salaam
Imam Hambali
Sebetulnya ingin mengambil referensi dari Wikipedia di bawah. Namun ada yang aneh yang menyatakan Murid Imam Hambali adalah Imam Syafi’i. Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya. Padahal berbagai literatur yang ada menyebut bahwa guru Imam Syafi’i yang lahir tahun 150 H adalah Imam Malik (lahir tahun 93 H). Sementara Imam Hambali yang lahir tahun 164 H (14 tahun lebih muda dari Imam Syafi’i) adalah murid dari Imam Syafi’i. Hubungan Guru dengan Murid tak akan pernah berubah meski seorang guru bertanya beberapa hal kepada muridnya. Aneh kan jika Imam Hambali berkata: “Imam Syafi’i itu dulu Guruku. Namun setelah aku lebih pintar, sekarang Imam Syafi’i jadi muridku” Insya Allah tidak begitu. Meski Imam Hambali adalah seorang Imam yang cerdas, namun pernyataan bahwa murid Imam Hambali adalah Imam Syafi’i menunjukkan adanya perubahan seenaknya oleh kaum Salafi Wahabi dalam rangka memuja Imam Hambali yang mereka jadi panutan secara berlebihan/ghulluw.
d. Imam Hambali
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.

 

BAB IV

TASYRI JAMAN NABI DAN SAHABAT DAN TABI’IN
A.    Kondisi Tasyri’ Pada Masa Sahabat
Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat jibril baik waktu beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah itu.
Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak mungkin diganti, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti nabi Muhammad sebagai kepala Negara dan pemimpin umat islam ini disebut Khalifah, suatu kata yang dipinjam dari Al-Qur’an (Surat 2:30). Di dalam Al-Qur’an selain surat Al-baqarah ayat 30 itu terdapat perkataan khalifah yang tersebar dalam sebelas ayat. Ide yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa manusia harus mempunyai tujuan hidup menata dunia ini. dan sebagai khalifah (wakil) Tuhan dibumi ini, manusia harus menerjemahkan segala sifat-sifat Tuhan kedalam kenyataan hidup  dan kwhidupan dan wajib mengatur bumi ini sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan-Nya. Manusia wajib melakukan tugas unutk mencapai tujuan hidupnya menurut pola yang telah ditentukan oleh Tuhan dalam ajaran-ajaran-Nya.
Pengangkatan seorang khalifah dapat terjadi dengan persetujuan masyarakat sebagaimana yang terjadi dalam kasus Abu Bakar, atau dengan penunjukan khalifah sebelumnya seperti kasus Umar. Jika diperlukan pemilihan, dapat dibentuk suatu badan khusus menyelenggarakan pemilihan itu. Sesudah dipilih, khalifah harus berjanji bahwa ia akan memenuhi kewajiban yang dipercayakan kepadanya. Ia harus melaksanakan janjinya dengan setia, sebab tanggung jawab dan kewajibannya sebagai kepala Negara, jauh lebih berat  dari hak-hak istimewa yang ada padanya. Ia mendapat janji setia (bai’at) dari rakyat atau wakil-wakilnya yang memenuhi syarat.
Demikianlah untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat dan kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan sahabat Nabi sendiri. Sahabat nabi adalah orang hidup semasa dengan nabi, menjadi teman atau kawan nabi Muhammad dalam menyebarkanluaskan ajaran islam. Para sahabat Nabi ini silih berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Periode kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia, tetapi periode Sahabat meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci di dalam Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Para sahabat menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara penetapan hukum di pengadilan, dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima oleh Rasulullah saw, dan terbukalah pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash secara jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai berkembang pesat meluas sampai ke-Timur dan ke-Barat, sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk menginterpretasikan nash-nash hukum baik dalam Al-Quran maupun Al-hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum jelas itu. Selain dari pada itu para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan dalam nash mengenai hal itu, yang kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan untuk berijtihad. Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’ yaitu menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita, maka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab mereka dalam kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka menyaksikan dan mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud suatu hadits melebihi pengetahuan ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan Para sahabat bergabung dalam kelompok yang biasa diajak bermusyawarah oleh Rasululloh saw. Karena itulah maka munculah kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal. Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali mengenai beberapa peristiwa yang pada zaman Nabi belum ada.
B.     Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya
Para sahabat  memainkan pesan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak cukup melaksanakan dan melestarikan syari’at yang dibawa Nabi Saw, tetapi juga membentangkan sayap dakwah Islam hingga kemancanegara. Ini untuk kali pertama syari’at Islam khususnya fiqih berhadapan dengan berbagai persoalan baru. Misalnya masalah seputar moral, etika, kultur, dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang sangat majemuk.
Fase ini adalah adalah fase yang paling dominan, dalam mempengaruhi perkembangan syari’at. Wilayah-wilayah yang dibuka dan dibebaskan saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi situasi dan kondisi yang menghadang para fuqaha’ dari kalangan sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali untuk memberikan suatu fatwa.
Para Sahabat dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al Qur’an dan Sunnah, menyikapi terhadap persoalan-persoalan yang datang dengan langsung merujuk kepada al-qur’an dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam al-Qur’an dan hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka tidak menemukan dalam dua sumber pokok syari’at Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al Qur’an untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan masing¬-masing. Dari sini muncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non Muslim. Para fuqaha’ untuk yang kesekian kalinnya berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini. Termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini.
Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum:
1.      Begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum yang secara lahiriyah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun penjelasan dari sunah Nabi.
2.      Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah di atur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
3.      Dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.
C.    Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Sahabat
Sumber Tasyri’ pada masa ini adalah Al Qur’an, As-sunnah dan ljtihad (termasuk didalamnya ijma’ dan qiyas). Sebab pada hakekatnya keduanya dihasilkan dari jerih payah mujtahiddin. Al qur’an pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada Utsman bin Afan, setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun sumber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’ an.  Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan. Sehingga kebenaran riwayatnya dapat dijamin. Abu Bakar Misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasulullah. Demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya.
Kemudian sumber hukum yang ketiga, adalah ijtihad. Para shahabat dalam berijtihad tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Berkenaan dengan ini Ibnu Qoyyim pernah berkata bila seseorang sahabat mengemukakan pendapat atau mengemukakan suatu hukum atau memberikan fatwa, tentu ia telah mempunyai pengetahuan, baik yang dimiliki oleh para sahabat maupun pengetahuan yang kita miliki. Adapun pengetahuan yang hanya dimiliki oleh sahabat, mungkin didengar langsung dari Nabi melalui sahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya diketahui oleh masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para sahabat tidak semua dapat meriwayatkan semua hadits¬hadits yang didergar dari Khulafa’ ar Rasyidin dan sahabat-sahabat lainnya.
Walaupun Abu bakar Assiddiq selalu mendampingi Nabi, hingga nabi tidak pernah lepas dari pantauan Abu Bakar dan ia digolongkan sebagai orang yang mengetahui tentang Rasulullah SAW, tetapi hadits-hadits yang ia riwayatkan tidak lebih dari seratus hadits. Anggapan orang bahwa seorang sahabat selalu meriwayatkan suatu Hadits atau menyatakan suatu kejadian yang ia ketahui, adalah anggapan yang keliru, bahwa orang tersebut tidak mengetahui sikap dan tingkah laku para sahabat. Sebab mereka sangat takut untuk meriwayatkan suatu hadits, lantaran khawatir akan menambah atau mengurangi hadits tersebut. Karena itu mereka sedikit sekali meriwayatkan dan hanya menceritakan apa yang mereka dengar dari Rasulullah, atau sabda beliau.
D.    Metode dalam Mengenal Hukum
Para Sahabat dalam menghadap suatu masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari nashnya dari Al Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta pendapat mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka menetapkan pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’.
Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih terpusat kepada al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun demikian, sumber hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Pada umumnya dalam memutuskan hukum, sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat lain, takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya keputusan diambil dari hasil consensus, yang lazim disebut ijma’. Melihat luasnya kekuasaan Islam, tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan.
Pada awal masa sahabat ini , yaitu pada masa khalifah Abu Bakar dan masa khalifah Umar, para sahabat dengan cara bersama-bersama menetapkan hukum terhadap sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para sahabat dengan cara bersama-sama ini di sebut sebagai ijma’ sahabat.
Khalifah Umar pun berbuat demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dalam al-qur’an dan as-sunnah, maka beliau memperhatikan apakah telah ada keputusan-keputusan terhadap masal itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak maka beliau memanggil pemuka-pemuka kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum tersebut, maka beliau memberikan keputusan dengan hukum yang telah di sepakati tersebut.
Jadi, dalam menghadapi permasalahan yang terjadi, berkembanglah pemikiran para sahabat. Adapun metode yang digunakan pada masa sahabat dapat melalui beberapa cara diantaranya :
a.       Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Umpamanya bagaimana hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas dalamm alquran hanya larangan memakan harta anak yatim. Ketentuan jelas dalam alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
b.      Dengan cara memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.

E.     Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat Dalam Penetapan Hukum
Menurut Para ahli, timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat disebabkan adanya beberapa faktor, setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar yang menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.
1)      Perbedaan dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadits.
Perbedaan seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash dan perbedaan persepsi dikalangan sahabat seperti persoalan quru’, Adanya aya-ayat ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya (dzanni). Dalam Surat Al baqarah : 228 memiliki dua pengertian. Menurut Zaid bin Tsabit, quru’ berarti suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh.
2)      Munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati tiga tahapan, caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru kemudian mencari dalil-dalil yang rnenguatkan salah satu dari nash (at-Tarjih), dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.
3)      Sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa berdasarkan pengetahuan dari sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai hadits shahih. Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan hadits. Beberapa hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh Sebagian fuqaha’ ditolak oleh fuqaha’ lain sebab berbagai alasan. Selektifnya penerimaan periwayatan hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan hadits dilain pihak, terutama dikalangan ulama’ Madinah .
4)      Perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat.
Dari perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan fiqh Islam.
5)      Hal ini adalah yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode Sahabat dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi syariat periode ini.
6)      Perbedaan mereka dalam menerima hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada yang menerima hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka. Bagi yang dekat dengan Rasulullah, praktis mereka banyak menerima hadits, demikian sebaliknya.
Jadi dengan adanya faktor tersebut, maka munculah beberapa fatwa diantara mereka, yang masing-masing mempunyai dalih dan argumentasi yang berbeda. Akan tetapi, fatwa-fatwa pada waktu itu hanya terbatas pada persoalan-¬persoalan tertentu yang mendesak saja. Perbedaan pendapat belum begitu meluas, sebab problem hukum yang muncul saat itu masih relatif sedikit ketimbang sesudahnya. Disamping konsensus mereka (ijma’) yang masih sangat dimungkinkan. Diantara sahabat besar yang sangat menghindari ijtihad/ra’yu adalah Ibnu Abbas Zubair, dan Abdulah bin Umar, Dan yang terkenal besar Ijtihad adalah Umar Bin Khattab dan Abdullah bin Masud.
Diantara para sahabat yang memegang peran penting dalam hukum pada masa ini adalah: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Dzaid bin Tsabit, Ubay Bin Ka’ab Abdulah bin Umar, Aisyah, isteri nabi. Mereka semua tinggal di Madinah, termasuk beberapa sahabat yang lain.
F.     Contoh-contoh penerapan hukum (Ijtihad) Para Sahabat
Para sahabat dalam mencari istimbat hukum pasti merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits. Akan tetapi permasalahan terjadi ketika dalam dua sumber hukum ,tersebut tidak ada rujukan, sehingga para sahabat harus menggunakan penalarannya, untuk memecahkan masalah yang sedang terjadi. Berikut ini beberapa contoh penerapan hukum pada masa sahabat:
a.       Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat
Allah SWT. Dalam Al-Qur’an mewajibkan zakat. Nabi dalam Sunnah-Nya menyebutkan bahwa zakat itu di ambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin. Nabi disuruh Allah unutk mengambil harta zakat dari umatnya (At-taubah:103). Cara yang dilakukan Nabi adalah cara yang bijaksana sesuai dengan pesan Allah unutk berdakwah dengan cara bijaksana (An-nahl:125). Atas kesadaran umat waktu itu, kewajiban zakat dapat terlaksana dengan baik.
Pada masa Abu Bakar menjadi khalifah, beliau melihat bahwa pemungutan zakat secara lemah lembut seperti yang dilakukan Nabi tidak efektif lagi karena adanya kecenderungan pembangkangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat. Karena itu Abu Bakar mengambil sikap yang keras, bahkan menetapkan unutk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar kewajiban zakat. Dasar pemikiran Abu Bakar ialah bahwa menempuh sikap lemah lembut sebagaimana dilakukan oleh Nabi, kewajiban membayar zakat tidak dapat ditegakkan.
b.      Larangan meminum khamar
Allah melarang meminum khamar bagi orang islam secara tegas (Al-maidah:90) karena perbuatan tersebut merupakan dosa besar, maka Nabi melalui ijtihadnya menetapkan sanki minum khamar, yaitu dera sebanyak 40 kali. Pelaksanaan sanksi yang ditetpkan Nabi itu dapat menjerakan orang. Dengan demikian tujuan larangan tercapai.
Pada masa Umar bin Khatab menjadi khalifah, kebiasaan minum khamar waktu jahiliyah kmbuh lagi dikalangan orang islam dan sanksi dera 40 kali sudah kurang efektif sebagai alt penjera. Umar memikirkan cara unutk mebuat orang jera minum khamar yang merupakan tujuan dari hukum. Dalam hal ini Umar menetapkan sanksi minum khamar menjadi 80 kali dera, sehingga ornag menjadi bertambah takut meminum khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapan Umar berbeda dengan yang ditetapkan Nabi sebelumnya, unutk mencapai tujuan larangan, yaitu menjerakan berbuat kejahatan.
c.       Penetapan azan shalat jum’at dua kali
Pada masa Nabi, azan memberi tahu masuk waktu Jum’at dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib naik mimbar. Perbedaan Antar Mazhab? Di antara tonggak penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab raksasa di tengah ratusan mazhab kecil lainnya. Keempat mazhab itu adalah Al-Hanabilah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui eksistensi dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad ini. Keempatnya masih utuh tegak berdiri dan dijalankan serta dikembangkan oleh mayoritas muslimin di muka bumi. Masing-masing punya basis kekuatan syariah serta masih mampu melahirkan para ulama besar di masa sekarang ini.

BAB V
TENTANG MAZHAB-MAZHAB
1. MazhabAl-Hanifiyah.
Didirikan oleh An-Nu’man bin Tsabit atau lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa, Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut tabiin , sebagian ahli sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’in. Mazhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antaralatar belakangnya adalah. Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihah suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i. Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits. Di kemudian hari, metodologi yang beliau perkenalkan memang sangat berguna buat umat Islam sedunia. Apalagi mengingat Islam mengalami perluasan yang sangat jauh ke seluruh penjuru dunia. Memasuki wilayah yang jauh dari pusat sumber syariah Islam. Metodologi mazhab ini menjadi sangat menentukan dalam dunia fiqih di berbagai negeri.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi .Berkembang sejak awal di kota Madinah dalam urusan fiqh. Mazhab ini ditegakkan di atas doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar; Al-Quran, As-Sunnah , Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah , perkataan sahabat, istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana. Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid di Kufah, mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah. Sebab mazhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.
3. Mazhab As-Syafi’iyah
Didirikan oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i . Beliau dilahirkan di Gaza Palestina tahun 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya . Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru . Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ‘ilm di akhir bulan Rajab 204 H. Salah satu karangannya adalah “Ar-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra’yi dan fiqh ahli hadits. Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil Istihsan sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah ,”
Kitab “Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi’i. Sementara kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
4. Mazhab Al-Hanabilah
Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani . Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh besar di sana hingga meninggal pada bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, Syam. Beliau berguru kepada Imam Syafi’i ketika datang ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid mutlak mustaqil. Gurunya sangat banyak hingga mencapai ratusan. Ia menguasai sebuah hadis dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Bukhari. Imam Ahmad adalah seorang pakar hadis dan fiqh. Imam Syafi’i berkata ketika melakukan perjalanan ke Mesir,”Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu Hanbal ,”
Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, saddudzarai’. Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadis. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau munkar. Di antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal anak terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal . Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadis. Murid yang adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad , Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran , Abu Bakr Al-Khallal , Abul Qasim yang terakhir ini memiliki banyak karangan tentang fiqh madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
BAB VI
KAIDAH FIKIH ASASIYAH
I. Kaidah Asasi Pertama
اَلْأُمُوْرُ بِمَقاَصِدِهاَ
Segala perkataan terantung pada niat
Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai pelaksanaannya.
قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ أَوالْقَصْدُالْمُقَارِنُ لِلْفِعْلِ
Di dalan sholat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud didalam hati dan wajib niat disertai takbirat al-ihram.
Di kalangan mahzab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada dalam hati
, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati.  Jadi apabila meyakini/beritikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup, dan ajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :
  • Untuk membedakan antar ibadah dan adat kebiasaan.
  • Untuk membedakan kualitas perbuatan baik kebaikan maupun kejahatan.
  • Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.
Secara lebih mendalam lagi para fuqaha merinci masalah niat ini baik dalam ibadah mahdoh seperti thoharoh, wudhu, tayamum, mandi junub, sholat qhasar, sholat jama, sholat wajib, sholat sunnat, zakat, haji, saum atau pun didalah ibadah ghair mahdoh seperti pernikahan, thalaq, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa-menyewa, hutang piutang dan akad-akad lainnya.
  1. II. Kaidah Asasi Kedua
الَيقِيْنُ لاَيُزَالُ بِاالشَّك
Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan
Di dalam kaidah-kaidah fiqih banyak di bicarakan tentang hal yang berhubungan dengan keyakinan dan kerguan misalnya orang yang sudah yakin suci dari hadast  kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalm keadaan suci. Hanya saja untuk kehati-hatian yang lebih utama adalah memperbaharui wudhunya.
Dari kaidah asasi tersebut kemuduan muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya. Misalnya:
أ‌.            الَيقِيْنُ لاَيُزَالُ بِالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ
Apa yang yakin bisa hilang karna adanya bukti lain yang meyakinkan pula
Contohnya kita yakin sudah berwudhu tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.
ب‌.            أَنَّ ماَ ثَبَتَ بِيَقِنٍ لاَيُرْتَفَعُ إِلاَّبِيَقِيْنٍ
Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi.
Contohnya thowaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu dengan tujuh putaran kemudian dalam keadaan thowaf seseorang ragu apakah yang dilakukannya puteran ke enam atau kelima. Maka yang menyakinkan adalah jumlah kelima, karna putaran yang kelima adalah yang menyakinkan.
ت‌.            اَلأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِمَّةِ
Hukum asal adalah bebasnya seorang dari tanggung jawab
Contohnya anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai adanya waktu balig. Makan dan minum asalnya di bolehkan sampai adanya dalil yang melarang makan-makanan dam minum-minuman yang di haramkan.
ث‌.            الأَصْلُ بَقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَا كَانَ مَالَمْ يَكُنْ مَا يُغَيِّرُهُ
Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal yang mengubahnya.
Contohnya manusia bebas lagi dari tanggung jawab karna adanya kematian. Kewajiban suami istri hilang lagi karna ada talaq.
ج‌.            الأَصْلُ فِي الصِفَاتِ العَارِضَةِ العَدَمُ
Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adah tidak ada
Contohnya apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib baarah yang dijual belikan, maka yang dianggap adalah perkataan sipenjual. Karena pada asalnya cacat itu tidak ada.
ح‌.            الأَصْلُ فِي كُلِّ حاَدِثٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya.
Contohnya seorang wanita yang sedang mengandung ada yang memukul perutnya kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu meninggal. Maka meninggalnya si bayi tidak disandarkan kepada pemukulan yang terjadi kepada waktu yang telah lama tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat kepada kematiaannya.
خ‌.            الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِباَحَةُحَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَحْرِيْمِ
hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Contohnya apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya maka hukumnya boleh dimakan.
د‌.            الأَصْلُ فِي الكَلاَمِ الحَقِيْقَةُ
Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti sebenarnya.
Contohnya apabila seseorang berkata : “saya mau mewakakan harta saya kepada anak kiyai Ahmad maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu.
ذ‌.            لَا عِبْرَةَ بِالظَنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَا ءُهُ
Tidak dianggap(diakui) persangkaan yang jelas salahnya
Contohnya apabila seorag debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor membayar lagi hutang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor maka waikil debitor  berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya karena pembayaranya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas salahnya yaitu menyangka bahwa utang belum dibayar oleh debitor.
  1. III. Kaidah Asasi Ketiga
المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
Kesulitan mendatangkan kemudahan
Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukhalaf, maka syariah meringankannya. Sehingga mukhalaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Dari kaidah tersebut dimunculkan kaidah-kaidah lain seperti:
أ‌.            إِّذَا ضَاقَ الأَ مْرُ إِتَّسَعَ
Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas.
Contohnya boleh berbuka puasa pada bulan ramadhan karna sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.
ب‌.            إِذَاتَعَذّ رَ الأَصْلُ يُصاَ رُ إِلَى البَدَلِ
Apabila yang asli suka dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya.
Contohnya tayamum sebagai pengganti wudhu.
ت‌.            مَالاَيُمْكِنْ التَحْرُزْ مِنْهُ مَعْفُو عَنْهُ
Apa yang tidak mungkin menjaganya atau menghindarkannya maka hal itu dimaafkan
Contohnya pada waktu sedang saum kita berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa. Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan, misalnya orang yang berpergian dengan tujuan melakukan maksiat. misalnya, membunuh maka orang semacam ini tidak boleh meggunakan keringanan di dalam hukum islam.
ث‌. إِذَاتَعَذّ رَتْ الحَقِيْقَةُ يُصَارُ إلَى المَجَازِ
Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya.
Contohnya seseorang berkata saya wakafkan tanah saya ini kepada anak kiyai Ahmad. Padahal semua tahu bahwa anak kiayi tersebut sudah lama meninggal, maka yang ada hanyalah cucunya. maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya bukan kata sesungguhnya sebab tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah meninggal.
ج‌. إِذَاتَعَذّ رَ إِعْمَالُ الكَلاَمِ يُهْمَلُ
Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan maka perkataan tersebut ditinggalkan.
Contohnya apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka, Perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
ح‌.            يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَءِ
Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya
Contohnya orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewaannya dalam arti melanjutkan sewaannya maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.
خ‌.            يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَءِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ
Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya
Contohnya seseorang yang baru masuk islam minum-minuman keras karena kebiasaanya sebelum masuk islam dan tidak tahu bahwa minum-minuman tersebut dilarang. Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidak tahuannya. Selanjutnya setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram maka dia harus menghentikan perbuatan tersebut
د‌. يُغْتَفَرُ فِي التَوَابِعِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا
Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada hal yang lainnya.
Contohnya penjual boleh menjualkembali karung bekas tempat beras karana karunag mengikuti kepada beras yang dijual.
  1. IV. Kaidah Asasi Keempat
الضَرَرُيُزَالُ
Kemadharatan harus dihilangkan
Contohnya larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemadharatan bagi rakyat.
Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah di atas diantaranya:
أ‌.            الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَخْظُورَاتِ
kemadharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang
Contohnya boleh mengkap dan menghukum pelaku pornografi dan pornoaksi untuk menyelamatkan keturunan.
ب‌. الضَرُوْرَاتُ تُقَدِّرُبِقَدَرِهَا
Keadaan darurat, ukurannya ditentukan kadar kedaruratannya.
Contohnya seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang diobatinya sekedar yang diperlukan untuk pengobatan, itu pun apabila tidak ada dokter wanita.
ت‌.            الضَرَرُيُزَالُ بِقَدَرِ الإِمْكَانِ
Kemadharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.
Contohnya usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak kelaparan.
ث‌.            الضَرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَرَرِ
Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan lagi.
Contohnya orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan.
ج‌.            يُحْتَمَلُ الضَرَرُ الخَاصِ لِأَجْلِ الضَرَرِ العَامِ
Kemadharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum.
Contohnya boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan umum, misalnya mempailitkan suatu perusahaan demi menyelamatkan para nasabah.
ح‌.            الضَرَرُ الأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَرَرِ الأَخَفُّ
Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan.
Contohnya apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis dan ilmu yang berdasarkan agama kecuali di gaji, maka boleh menggajinya.
خ‌.            الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَرُورَةِعَامَةً كَانَ أَوْ خَاصَةً
Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus
Contohnya dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi, demi untuk kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum berwujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada.
د‌.            كُلُّ رُخْصَةٍ أَبِيْحَتْ للضَرُورَةِوَالحَاجَةِ لَمْ تُسْتَبَحْ قَبْلَ وُجُودِهَا
Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.
Contohnya memakan makanan yang haram, baru dilaksanakan setelah terjadinya kondisi darurat. Misalnya tidak ada makanan lain yang halal.
ذ‌.            كُلُّ تَصَرُّ فٍ جَرَّ فَسَادًا أَودَفْعَ صَلاَحًامَنهِي عَنْهُ
Setiap tindakan yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang.
Contohnya menghambur-hamburkan harta atau boros tanpa ada manfaatnya.
  1. V. Kaidah Asasi Kelima
العَادَةمُحَكَّمَةُ
Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum
Contohnya sebelum Nabi Muhammad di utus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia arab maupun di bagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan tersebut di bangun atas dasar nilai-nilai yang di anggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
Diantara cabang dari kaidah ini adalah:
أ‌.            إِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
Apa yang di perbuat orang banyak adalah alasan/argumen yang wajib diamalkan.
Contohnya menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menajhitkan adalah tukang jahit.
ب‌.            إِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ إذَااضْطَرَدَتْ أوْغَلَبَتْ
Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum.
Contohnya apabila seseorang berlangganan majalah, maka majalah itu diantar ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah, maka ia bisa komplain dan menuntut kepada agen majalah tersebut.
ت‌.            العِبْرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّائِعِ لاَللِنَا دِرِ
Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang terkenal oleh manusia bukan dengan jarang terjadi.
Contohnya para ulama berbeda pendapat tentang waktu  hamil terpanjang tidak akan melebihi satu tahun.
ث‌.            المَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالمشْرُوْطِ شَرْطًا
Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang di syaratkan suatu syarat.
Contohnya apabila orang bergotong- royong membangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan orang-orang yang bergotong royong itu tidak di bayar.
ج‌.            المَعْرُوْفُ بَيْنَ التُّجَارِ كَالمشْرُوْطِ بَيْنَهُم
Sesuatu yang tidak dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka.
ح‌.            التَعْيِينُ بِالمَعْرُوْفُ كَا التَعْيِينِ بِالنَّص
Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash
Contohnya apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut. Maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk kecuali dengan izin orang yang menyewakan.
خ‌.            المُمْتَنَعُ عَادَةًكَا المُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
Sesuatu yang tidak berlaku berdasarka adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan.
Contohnya seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain adalah miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan darimana asal harta tersebut.
د‌.            الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلالَةِ العَادَةِ
Arti hakiki di tinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat.
Contohnya yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan penerimaan barang oleh si pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi apabila si pembeli sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli itu telah terjadi. Dan penjual tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.
ذ‌.            الإِذَنُ العُرْفِى كَالإِذْنِ اللَفْطِى

BAB VII
AL AHKAM (HUKUM)
A.   Pengertian Al - Ahkam Dalam Ushul Fiqih

Al-ahkam (الأحكم) maknanya dilihat dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata hukmun (حكمٌ) yang artinya keputusan / ketetapan. Sedangkan menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu
   ما اْقتضاهُ خِطابُ االشرع المُتعلِّق بِأَفْعال المُكَلَّفِين من طلبٍ أوتخيير أووضع
"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan" 1
Dalam hal ini yang dimaksud dengan  خِطاب االشرع  (seruan syariat) adalah Al Quran dan As Sunnah.
            Dari pengertian diatas terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-Ahkam
1.      Tuntunan   طَلَبٍ.
Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan sesuatu (perintah) atau pun tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik itu berupa keharusan (wajib) ataupun hanya keutamaan
2.      Pilihan تخيِيْر .
Sesuatu hal yang dalam melakukan ataupun meninggalkannya tidak ada suatu ketentuan syara’ yang mengatur maka akan menjadi suatu kebebasan untuk memilih melakukan ataupun tidak atau sering disebut mubah
3.      Peletakan وضع  
 Wadh’i adalah suatu hal yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda, atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan. Seperti suatu ibadah dapat dikatakan “sah” atau “batal”
            Menambahkan sedikit dari pemaparan di atas, al-ahkam dalam bahasan ilmu ushul fiqih adalah hukum-hukum yang hanya terkait dengan amalan manusia yang bersifat dhohir. Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau sabda Rasulullah SAW. Apabila disebut syara’ maka yang dikehendaki adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlak.2 Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum yang bersifat bathiniyah seperti hukum aqidah dan akhlaq.

B.     Pembagian Al-Ahkam
Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua macam.
1.      Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)
2.      Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadh’iyah)
  I.            Al-Ahkam at-Taklifiyyah
 Al-Ahkam at-Taklifiyyah dibagi menjadi lima yaitu Wajib, Mandub (Sunnah), Harom, Makruh, dan Mubah.
1.                  Wajib. Makna wajib dilihat dari segi bahasa adalah  "yang jatuh dan harus" dan makna wajib menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
  ما أمربِهِ الشارعُ على وجهِ الإِ لزام  
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk keharusan" 3.

 Hukum wajib dibagi menjadi beberapa macam dilihat dari berbagai aspek yaitu:
1)      Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 2 macam, yaitu
a) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan berakhirnya waktu sudah ditentukan.
b) Wajib muwassa’, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.
c) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.
d) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar sumpah.
2)      Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut.
a) Wajib ‘Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf. Seperti : shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.
b) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu).
Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.
3)      Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.
Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
b) Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan kadarnya.
Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.
4)      Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis perbuatannya.
Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.
b) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan.
Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin
2.      Mandub. Makna mandub dilihat dari segi bahasa adalah  "yang diseru" dan makna mandub menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
 ماأمربِهِ الشرع لا على وجه الإلزام
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan”4
Mandub secara mayoritas kita kenal dengan istilah sunnah, selain sunnah terdapat beberapa istilah lain dalam ushul fiqih yaitu nafilah, tathawwu’, mustahab, dan ihsan.
            Mandub (sunnah) di bagi menjadi dua yaitu,
1. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat dianjurkan (sangat penting)
2. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang dianjurkan).

3.      Haram. Makna haram dilihat dari segi bahasa adalah  "yang dilarang" dan makna haram menurut istilah dalam ushul fiqih adalah, 
ما نهى عنهُ الشا رع على وجه الإلزام بِالتَّرك
"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan".
4.      Makruh. Makna makruh dilihat dari segi bahasa adalah  "yang dimurkai" dan makna makruh menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
ما نهى عنهُ الشارع  لا على وجه الإلزام بِالتَّرك
"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan".
5.      Mubah. Makna mubah dilihat dari segi bahasa adalah  "yang diumumkan dan dizinkan denganya" dan makna mubah menurut istilah dalam ushul fiqih adalah, 
ما لا يتعلَّق به أمرٌ, ولا نهيٌ لِذاتهِ 
"sesuatu yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secara asalnya"5.
    II.            Al-Ahkam al-Wadh’iyyah
1)      Sebab. Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
2)      Syarat. yaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya hukum bergantung kepadanya
3)      Azimah, yaitu hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu. Misalnya, puasa wajib pada bulan Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari semalam dan lain sebagainya.
4)      Rukhsoh, yaitu peraturan tambahan yang ditetapkan Allah SWT sebagai keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan mukallaf sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok.
Pembagian Rukhsah Rukhsah terbagi menjadi 4 macam.
a)       Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini dilakukan karena dalam keadaan darurat. Contoh : “memakan bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, dalam Keadaan terpaksa memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas.
b)       Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur yang bersifat dibolehkan secara syar’i.
c)      Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak memenuhi syarat tetapi sudah biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli salam (jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu terjadi aqad jual beli / sistem pesanan).
d)      Tidak berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat ¼ dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di masjid.
5)      Mani’ (Penghalang) Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.
Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris. Akan tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi. Hal ini karena berlainan agama menjadi mani’ atau penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan harta peninggalan.
6)      Sah
 ما ترتّبت اثارُ فعْلهِ عليه عبادةً عقدًا
"apa-apa yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu ibadah ataupun akad."

7)      Fasid
مالا ترتّبت اثارُ فعْلهِ عليه عبادةً عقدًا
"apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik itu ibadah atau akad."

C.   Unsur-Unsur Hukum Islam
1. Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (مَحْكُوم بِهِ \ مَحْكُوم فِيْه ِ)
a. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum fihi
المَحْكُومُ فِيْهِ : هُوَ الفِعْلُ الُمكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ اللهِ
“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara’).”5 Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:
1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.

b. Syarat-syarat Mahkum bihi
Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut.
a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT.
c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.

2. Mahkum ‘Alaih
a. Pengertian Mafkum ‘Alaih (مَحْكُوْم عَلَيْهِ)
Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, Allah SWT memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua, menjauhi zina, larangan minum-minuman keras. Perintah-perintah tersebut ditujukan kepada orang mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang yang terganggu pikirannya atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua hukum baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak manusia tidak dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.

b. Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf).
Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf) adalah :
1)      Mukallaf adalah orang yang mampu memahami dalil taklif baik itu berupa nash Al-Qur’an atau As-Sunnah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
2)      Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar dan pantas untuk menerima perintah tersebut.

3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT dengan sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain sudah baligh juga dalam keadaan sehat akalnya.
Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
A.    Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak menerima kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia tidak bisa menunaikan kewajiban. Ada kalanya mukallaf tidak sanggup mengerjakan hukum-hukum yang sudah dibebankan kepadanya. Keadaan yang menghalanginya menunaikan hak dan kewajiban yang sudah ditetapkannya ini disebut ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). Para ulama ushul fiqih menggolongkan ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). ini menjadi dua kelompok.
Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh mahkum alaih. Ia hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya, gila, kurang akal (idiot), lupa, tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang terkena penghalang samawi seperti ini dihukumi sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan hak dan kewajiban.
Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan sebagainya. Penghalang kasby dapat dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.
B.     Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah SWT tetapi belum mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.
C.    Sempurna apabila sudah menerima hak dan layak baginya melakukan kewajiban, yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal sehat (mukallaf).

3. Hakim.
Al-Hakim ialah pihak yang menjatuhkan hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa hakikat hukum syar'i itu ialah khithab Allah yang berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani' bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada perselisihan di antara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah.

BAB VIII
AZIMAH DAN RUKHSHAH
A.PENGERTIAN AZIMAH DAN RUKHSAH
Para ahli ushul fiqh mendefinisikan ‘azimah dengan :
مَا شُرَ عَ مِنَ اْﻷَ حْكَمِ  الْكُلِّيَّةِ إِبْتِدَاءً
Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.
Kata-kata “ditetapkan pertama kali” mengandung arti bahwa pada mulanya pembuat hukum bermaksud menetapkan hukum taklifi kepada hamba. Hukum ini tidak didahului oleh hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu dinasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan demikian hukum ‘azimah ini brelaku sebagai hukum pemula dan sebagai pengantar kepada kemaslahatan yang bersifat umum.
Kata-kata “hukum-hukum kuliyah (umum)” di sini mengenadung arti berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ditentukan untuk sebagian mukallaf atau semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi. Begitu pula kewajiban zakat,  puasa, haji, dan kewajiban lainnya.
Dengan demikian hukum azimah adalah hukum yang telah disyariatkan oleh Allah kepada seluruh hamba-Nyasejak semula. Artinya belum ada disyariatkannya seluruh mukalaf wajib mengikutinya, seperti sembahyang lima. Sembahyang lima waktu diwajibkan atas segenap orang disegenap ketika dan keadaan, asal saja orang itu masih dipandang cukup kuat untuk mengerjakannya. Hukum wajib semabhayng lima itu, hukum ‘azimah namanya.
Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh tentang rukhshah ialah :
اَلْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلافِ الدَّلِيْلِ لِعًُذْرٍ
“Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur”
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum. Kata-kata tsabit (berlaku tetap) mengandung arti bahwa rukhshah itu harus brdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum yang meyalahi dali yang ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “meyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah, sesuatu yang memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan minum. Kebolehan makan dan minum memang sudah dari dulunya dan tidak menyalahi hukum yang sudah ada.
Kata-kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan dalam definisi ini agar mencakup rukhshah untuk melakukan prebuatan yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib, seperti berbuka puasa bagi musafir, atau yang menyalahi dalil yang menghendaki hukum nadb (sunat) seperti meninggalkan shalat jum’at karena hujan dan lainnya. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum ‘azimah yang uum berlaku selama ada uzur yang berat dan kadar perlu saja. Lagi pula hukum ini datangnya kemudian, sesudah ‘azimah. Umpamanya, hukum makan bangkai di kala tak ada makanan-makanan yang lain. Hukum ini datang kemudian, sesudah hukum ‘azimah yakni tak boleh makan bangkai. Dan seperti dibolehkan berqashar dalam safar, datangnya sesudah ditetapkan bahwa sembahyang dhuhur, ashar dan isya’ itu empat rakaat. Makan bangkai di kala lapar, tak ada makanan yang lain, semabhyang dashar di dalam safar, dinamai : hukum rukhshah. Asy Syathibi menetapkan menetapkan bahwa : hukum menjalankan rukhshah itu, boleh. Kita tidak dimestikan menjalankan rukhshah, tidak wajib menjalankannya. Demikianlah hal menjalankan hukum rukhshah, bila diingat, bahwa hukum rukhshah, hukum yang hanya dibolehkan. Dan banyak dalil yang menegaskan demikian. Diantaranya firman Allah Swt :
 “.maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. ...”(QS. Al Baqarah : 173). Akan tetapi diantara hukum rukhshah ada yang dituntut kita kerjakan, yaitu : bila rukhshah itu untuk melawan sesuatu kesuakaran yang tak dapat dipikul oleh manusia. Kita diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan. Tetapi, jika kita bersafar diharuskan kita berbuka, karena berbuka itu hukum yang dirukhshahkan. Akan tetapi, bil aberpuasa dalam safar itu, mengakibatkan kesukaran kita dituntut menjalan rukhshah, tak boleh lagikita menjalankan ‘azimahnya.
Bersabda Nabi Saw:
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِى السَّفَرِ (رزاه احمد)
“Tidak dipandang kebjaikan berpuasa di dalam safar”. (HR. Ahmad).
Dengan membandingkan pengertian ‘azimah dan rukhshah secara sederhana dapat dikatakan bahwa ‘azimah adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan secar aumum dan mutlak, baik perintah itu perintah wajib atau sunat,bak larangan itu untuk haram atau makruh, sedangkan rukhshah adalah keringanan dan kelapangan yang diberikan kepada orang mukallaf dalam melakukan perintah dan menjauhi larangan.

B.     MACAM – MACAM RUKHSHAH
a.       Rukhshah dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi kepada dua, yaitu rukhshah memperbuat dan rukhshah meninggalkan.
1)      Rukhshah memperbuat ialah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan, dalam bentuk ini asal perbuatan adalah terlarang dan haram hukumnya. Inilah hukum ‘azimahnya. Dalam keadaan darurat atau hajat, perbuatan yang terlarang menjadi boleh hukunya. Umpamanya boleh melakukan perbuatan haram karena darurat seperti memakan daging babi dalam keadaan terpaksa. Contoh melakukan perbuatan haram karena hajat umpamanya melihat aurat bagi calon suami yang sedang meminang calon istri dalam batas yang tertentu. Pada dasarnya hukum melihat aurat itu adalah haram berdasarkan ayat Alqur’an surat Al-Nur ayat 30. Untuk kekalnya jodoh, kedua belah pihak sepatutnya saling mengenal. Untuk maksud itu diperkenankan keduanya saling melihat. Demikian pula dokter laki-laki melihat atau memegang pasiennya yang perempuan saat pemeriksaan (diagnosa) kesehatan.
2)      Rukhshah meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘azimahnya adalah wajib atau nadb (sunnat). Dalam bentuk asalnya, hukunya adalah wajib atau sunnat. Tetapi dalam keadaan tertentu si mukallaf tidak dapat melakukannya dengan arti bila dilakukannya akan membahayakan terhadap dirinya. Dalam hal ini dibolehkan dia meninggalkannya.
Umpamanya kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan firman Allah dalam surat al Baqarah (2): 184:
Dalam bentuk lain umpamanya keharusan shalat empat rakaat dapat dilakukan dua rakaat dalam keadaan tertentu, yaitu dalam perjalanan, berdasarkan firman Allah dalam al Nisa’ (4): 101:
Termasuk pula ke dalam ruskhshah ditinjau dari segi hukum asalnya shalatmu.
3)      Ruskhshah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum Islam yang dinilai terlalu berat dilakukan umat Nabi Muhammad, sebagaimana dipahami dari firman Allah surat al Baqarah (2): 286:
Umpamanya membayar zakat yang kadarnya ¼ dari harta; bunuh diri sebagai cara untuk tobat; memotong pakaian yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya; dan keharusan sembahyang dalam mesjid yang berlaku dalam syari’at Nabi Musa. Bila diperhatikan keringanan hukum dalam hal ini dibandingkan dengan yang berlaku sebelumnya, lebih tepat disebut nasakh; meskipun demikian dalam artian luas dapat pula disebut ruskhshah.
4)      Ruskhshah dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk akad yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Adanya ruskhshah ini disebabkan oleh kebutuhan umum. Umpamanya jual beli ‘ariyah yaitu menukar kurma basah dengan kurma kering dalam ukuran yang berbeda padahal keduanya satu jenis. Hal ini menyalahi ketentuan umum dalam tukar menukar barang yang sejenis dalam ukuran yang berbeda. Contoh lain adalah jual beli saham. Hal ini menyalahi ketentuan umum yang melarang menjual sesuatu yang tidak ada di tangan. Kedua bentuk mu’amalah ini diruskhshahkan karena kalau tidak akan menyulitkan dalam kehidupan umat.
b.      Rukhshah ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan. Dalam hal ini keringanan ada 7 bentuk:
1)      Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at, haji, ‘umrah dan jihad dalam keadaan udzur.
2)      Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban; seperti meng-qashar shalat empat raka’at menjadi dua raka’at bagi orang yang berada dalam perjalanan.
3)      Keringanan dala bentuk mengganti kewajiban; seperti mengganti wudlu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air; mengganti kewajiban berdiri dalam sholat dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat dalam keadaan tidak mampu; kewajiban mengganti puasa wajib dengan memberi makan fakir miskin bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa.
4)      Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti pelaksanaan shalat zhuhur dalam waktu ashar pada jama’ ta’khir karena dalam perjalanan. Menangguhkan pelaksanaan puasa Ramadhan ke waktu sesudahnya dalam bentuk qadha karena sakit atau dalam perjalanan.
5)      Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban; seperti membayar zakat fitrah semenjak awal Ramadhan, padahal waktu wajibnya adalah pada akhir Ramadhan. Mendahulukan mengerjakan shalat ashar pada waktu zhuhur dalam jama’ taqdim di perjalanan.
6)      Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban; seperti cara-cara pelaksanaan shalat dalam perang yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut shalat khauf.
7)      Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena udzur, seperti dijelaskan diatas.

C.    HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH
Pada dasarnya ruskhshah itu adalah pembebasan seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh”, baik dalam mengerjakan sesuatu yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang disuruh. Namun dalam hal menggunakan hukum ruskhshah bagi orang yang telah memenuhi syarat untuk itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan ruskhshah itu tergantung kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya ruskhshah itu. Dengan demikian menggunakan hukum ruskhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi yang tidak mendapatkan makanan yang halal, sedangkan ia khawatir seandainya tidak menggunakan ruskhshah akan mencelakakan dirinya. Hukum ruskhshah ada pula yang sunat seperti berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan.
Di samping membagi hukum rukhshah itu kepada wajib, sunah dan mubah dengan menyangggah argumentasi al-Syathibi, Jumhur Ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu adalah sebagaimana argumen dan jawaban yang dipergunakan serta disampaikan oleh al-Syathibi, yaitu:
1.    Kata rukhshah, berarti memudahkan atau meringankan. Arti ini tidak bertentangan dengan wajib atau nadh selama perintah yang membawa kepada arti wajib atau nadh itu lebih mudah dan lebih ringan.
2.    Rukhshah dan ‘azimah adalah bentuk pembagian lain dari hukum syara’ ditinjau dari segi hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku atau tidak. Bila hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku, maka disebut ‘azimah; bila menyalahi dalil yang berlaku, maka disebut rukhshah.

BAB IX
MAHKUMFIH
A.Pengertian Mahkum fih
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan. Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:
Contoh:
1.Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43
و اقيمو االصلاة) البقرة (
Artinya:”Dirikanlah Sholat”
Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan sholat.
2.Firman Alloh dalam surat al an’am:151
ولاتقتلواالنفس االتي حر م االله الا باالحق) الانعا م (
Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3.Firman Alloh dalam surat Al-maidah:5-6
اذاقمتم الى الصلاة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى المرا فق الما ئد ه 5-6
Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat.
Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.
B.Syarat –syarat mahkum fih
a.         Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak tidak terkena tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia tau persis. Contoh:Dalam Al qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global,Maka Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh sabagaimana sabdanya”sholatlah sebagaimana aku sholat”begitu pula perintah perintah syara’ yang lain seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.
b.         .Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui  bahwa tuntutan itu dari Alloh SWT.Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah  Alloh semata.berarti tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang jelas.hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan syara’.
c.         Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,berkait dengan hal ini terdapat dengan beberapa syatat yaitu:
1.         tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.
2.         tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3.         tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
4.         tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam masalah sholat.
C .Al masyaqqoh
Perlu diketahui bahwa salah satu syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam melaksanakannya pasti ada ada suatu kesulitan. untuk itu akan kami jelaskan yang dimaksud adalah masyaqqoh (halangan)  serta pembagiannya. Masyaqqoh itu ada dua macam yaitu:
1. Masyaqqoh mu’tadah
Yaitu kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya kesulitan seperti ini tidak bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif,karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan.contohnya:Diwajibkannya adanya sholat ini buakan bermaksud agar badan capek atau bagaimana,akan tetapi untuk melatih dirinya diantaranya bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar.

2          Masyaqqoh goiru mu’tadah
Yaitu suatu kesulitan/kesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila di paksakan.Alloh tidak tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan.seperti puasa yang terus menerus sehingga mewajibkan selalu bangun malam untuk sahur.
ير يد الله بكم اليسر و لا ير يد بكم العسر البقره
Artinya:Alloh menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu(al baqoroh 185)
D.Macam macam mahkum bih
Dilihat dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi menjadi empat macam:
1.         Semata mata hak Alloh,yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan.dalam hak ini seseorang tidak di benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini.hak ini semata mata hak Alloh.dalam hal ini ada delapan macam:
a.         ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b.         ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti:zakat fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat fitrah
c.         bantuan/santunan yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan dari bumi
d.         biaya/santunan yang mengandung makna hukuman,seperti: khoroj (pajak bumi) yang di anggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e.         hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana sperti hukuman orang yang berbuat zina
f.          hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris,karena membunuh pemilik harta tersebut.
g.         hukuman yang mengandung makna ibadah seperti:kafarat orang yang melakukan senggama disiang hari pada bulan ramadhan
h          hak hak yang harus di bayarkan,seperti: kewajiban mengeluarkan seperlima harta tependam dan harta rampasan.
2.         Hak hamba yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta seseorang yang di rusak.
3.         Kompromi antara hak Alloh dengan hak hamba,tetapi  hak alloh didalamnya lebih dominan,seperti hukuman untuk tindak pidana.
4.         Kompromi antara hak Alloh dan hak hamba,tetapi hak hamba lebih dominan,seperti masalah qishos.
BAB X
MAHKUM ‘ALAIH
A.Pengertian mahkum alaih
Menurut ushuliyyin yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitob Alloh SWT yaitu yang di sebut mukallaf.dalam arti bahasa yaitu yang di bebani hukum,sedangkan dalam istilah ushul fiqih mukallaf sering di sebut subjek hukum.
B.Dasar Taklif
Orang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif. Maka orang yang belum  berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif dari syari’(Allod dan Rosulnya) sebagai sabda nabi:
ر فع القلم عن ثلا ث عن النا ئم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون حتى يفق(رواه البخا رى والتر مذى والنسا ئى وابن ما جه والدارقطنى عن عا ئثه وابى طا لب)
Artinya:Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila sampai sembuh.(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)
C.Syarat syarat taklif
Syarat taklif ada 2 yaitu:
1.         orang itu telah mampu memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.Kemampuan untuk memahami taklif ini melalui akal manusia,akan tetapi akan adalah sesuatu yang abstrak dan sulit di ukur ,indikasi yang kongkrit dalam menentukan seseorang berakal atau belun.indikasi ini kongkrit itu adalah balighnya seseorang yaitu dengan di tandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali atau sempurnanya umur lima belas tahun.
2.         Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah.maka seseorang yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya seseorang tidak dikenakan tuntutan syara’.begitu pula orang gila,karena kecakapan bertindak hukumnya hilang.
C.Pengertian Ahliyyah
Secara harfiyyah ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan.Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’
Pembagian ahliyyah
1. Ahliyyah ada’
Yaitu kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya,baik yang bersifat positif maupun negatif.ukuran untuk menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah ada’adalah aqil baligh dan cerdas
2. Ahliyyah Al-wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak hak yang menjadi haknya,tetapi belum mampu untuk di bebani seluruh kewajiban,
Para usuliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian
      1. Ahliyyah al wujub an-naqishoh.
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya(janin)janin inilah sudah dianggap mempunyai ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna.
      1. Ahliyyah al wujub al kamilah,
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila
-Halangan ahliyyah
Dalam pembahasan awal bahwa seseorang dalam bertindak hukum di lihat dari segi akal,tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum.seseorang kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal berikut:
  1. Awaridh samawiyyah yaitu halangan yang datangnya dari Alloh bukan di sebabkan oleh manusia seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa
Al awaridh al muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti mabuk,terpaksa,bersalah,dibawah pengampunan dan bodoh.
BAB XII
IJTIHAD
  1. Pengertian Ijtihad

    Menurut bahasa, kata ijtihaadun berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk masdar dari kata ijtahada-yajtahidu yang artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Berdasarkan pengertian bahasa ini, maka tidak tepat jika kata ijtihad digunakan untuk ungkapan “ orang itu berijtihad dalam mengangkat tongkat “. Sebab mengangkat tongkat adalah perbuatan mudah dan ringan.
    Secara terminology sebagaimana aimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra, ijtihad yaitu:[1]
    ﺒَﺬْﻞُﺍﻠْﻔَﻘِﻴْﮫِﻮُﺴْﻌَﺔًﻔِﻰﺍﺴْﺗِﻨْﺑﺎَﻂِﺍْﻷَﺤْﻜَﺎﻡِﺍﻠْﻌَﻤَﻟِﻴَﺔِﻤِﻦْﺃَََﺪِﻠََﺘِﮭَﺎﺍﻟّﺘَﻔْﺼِﻴِْﻟﻴَﺔَِ
Artinya: “Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqih dalam menetapkan       (istimbat) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci.”
Menurut definisi sebagian ulama ushul fiqih sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra bahwa ijtihad adalah “ mencurahkan segala kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin itu adakalanya dalam istimbat (penetapan) hukum syariat adakalanya dalam penerapan hukum”.
Berdasarkan definisi kedua yang dikemukakan oleh sebagian ulama di atas maka ijtihad itu terbagi menjadi dua:
  1. Ijtihad  yang dilakukan secara khusus oleh para ulama yang mengkhususkan diri untuk menetapkan hukum dari dalilnya.
  2. Ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad semacam ini akan selalu ada setiap masa. Tugas utama mujtahid bentuk kedua ini adalah menerapkan hukum termasuk hasil ijtihad para ulama terdahulu yang disebut tahqiq al-manath. 

  1. Dasar ijtihad

    Posisi ijtihad memiliki dasar yang kuat dalam ajaran hukum islam. Dalam al-qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukan perintah untuk berijtihad, baik diungkapkan secara isyarat maupun secara jelas. Diantaranya pada surat an-Nisa ayat 105:
    ﺇِﻨَﺎﺃَﻨْﺯَﻠْﻨَﺎﺇِﻠَﻴْﻚَﺍْﻟﻜِﺘٰﺐَﺑِﺎﻟْﺤَﻕِّﻠِﺘَﺤْﻜُﻡَﺑَﻴْﻦَﺍﻟﻧّﺎَﺲِﺑِﻤَﺎﺃَﺮَﻚَﺍﷲۚﻮَﻻَﺗَﻜُﻦْﻠِﺎْﺨَﺎﺊِﻨِﻴْﻦَﺨَﺼِِﻴْﻤًﺎ۞
Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
Ayat di atas menurut Wahbah Zuhaili mengandung legalitas ijtihad melalui metode qiyas.
Dalam hadits Nabi mengenai penghargaan terhadap hasil ijtihad antara lain:
ﺇِﺬَﺍﺤَﻜَﻢَﺍﻠْﺤَﺎﻜِﻢُﻔَﺎﺟْﺘَﮭَﺪَﻔَﺄَﺼَﺎﺐَﻠَﮫُﺃَﺟْﺮَﺍﻦِﻮَﺇﺫَﺍﺤَﻜَﻡَﻔَﺎﺟْﺘَﮭَﺪَﺜُﻢَﺃَﺨْﻂَﺄَﻔَﻠَﮫُﺃَﺟْﺮٌ(ﺮﻮﺍﮦﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻲ)
Artinya:” Apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ia berijtihad lalu hasil ijtihadnya dinlai benar maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ijtihadnya dinilai salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari).
Ijtihad menurut hadis adalah usaha yang sangat di muliakan meskipun salah tetap diberikan pahala atas usaha kerasnya itu. Imam syafi’I menegaskan dalam kitab risalahnya  bahwa kesalahannya itu dengan catatan tidak dilakukan dengan cara sengaja.
Di zaman Nabi orang tidak butuh ijtihad. Karena permasalahan baru yang belum ada hukumnya dapat ditanyakan langsung kepada Nabi dan Nabi langsung menjawabnya berdasarkan petunjuk wahyu yang terjamin kebenarannya. Setelah Nabi wafat barulah ijtihad diperlakukan oleh ulama mujtahid untuk menjawab hukum permasalahan baru yang timbul dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-qur’an. Permasalahan yang timbul saat ini sangat kompleks dan jawabannya tidak terdapat dalam al-qur’an maupun hadis. Jika tidak ada usaha yang sungguh-sungguh dari orang yang pantas berijtihad, maka akan terjadi kekosongan hukum. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan hukum. Oleh karena itu, ijtihad untuk sekarang ini merupakan hal yang dharury  (mendesak) untuk dilakukan, karena begitu banyak permasalahan baru yang sifatnya kompleks dan rumit yang memerlukan jawaban dari hukum islam.
  1. Syarat-syarat Mujtahid
Para ulama telah merumuskan persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan redaksi yang berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini akan dikemukakan syarat-syarat mujtahid yang dirumuskan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
  1. Mengetahui makna ayat ahkam yang terdapat dalam al-qur’an baik secara bahasa maupun secara istilah syara. Menurut Al-Ghazali, Al-Razi Ibnu Arabi jumlah ayat-ayat ahkam yang perlu dikuasai sekitar lima ratus ayat. Maksud uangkapan “secara bahasa” diatas artinya mengetahui makna-makna mufrad dari suatu lafadz dan maknanya dalam susunan kalimat. Adapun makna syara’ adalah mengetahui berbagai segi penunjukan lafadz terhadap hukum seperti mantuq, mafhum mukhalafah, mafhum muwafaqah, lafadz umum. Dan khas.
  2. Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah. Tidak perlu dihafal sebagaimana juga al-qur’an. Menurut Ibnu Arabi (w.534 H) hadis ahkam berjumlah 3000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hambal 1200 hadis. Tetapi Wahbah Zuhaili tidak sependapat, menurutnya yang terpenting mujtahid mengerti seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat dalam kitab-kitab besar seperti Sahih Bukhari, sahih Muslim, dan lain-lain.
  3. Mengetahui al-qur’an dan hadis yang telah di nasakh  dan mengetahui ayat dan hadis yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari nas (al-qur’an dan hadis) yang sudah tidak berlaku lagi.
  4. Mengetahi sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma, sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma.
  5. Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang meliputi rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nas, maslahah manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan. Pentingnya mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.
  6. Menguasai bahasa arab tentang nahwu, saraf, maani,bayan, dan uslub-nya karena al-qur’an dan hadis itu berbahasa arab. Oleh karena itu tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari keduanya tanpa mengetahui bahasa keduanya. Diantaranya mengetahui lafadz umum dan khusus, hakikat dan majaz, mutlaq dan muqayyad, dan sebagainya. Semua ini tidak disyaratkan untuk dihafal tetapi cukup memiliki kemampuan untuk memahami secara benar uangkapan-ungkapan dalam bahasa arab dan kebiasaan rang arab menggunakannya.
  7. Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad berupa dalil-dali secara terperinci yang menunjukan hukum melalui cara tertentu ini dan semuanya itu ada dalam ilmu ushul fiqh. Tentang urgensi ushul fiqh dalam ijtihad dijelaskan oleh al-Razi dalam kitabnya al-mahsul: “Ilmu yang paling penting untuk dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu  ushul fiqh.”
  8. Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum, karena pemahaman nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada maqasid syariah. Penunjukan suatu lafadz kepada maknanya mengandung beberapa kemungkinan. Pengetahuan tentang maqasid member keterangan untuk memilih mana yang layak untuk difatwakan. Dan yang terpenting lagi pengetahuan tentang maqasid adalah prinsip hukum dalam al-qur’an dan  sunah dapat dikembangkan seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.[2]
  1. Tingkatan Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Mujtahid memiliki tingkatan sebagai berikut:
  1. Mujtahid fi al-asy’ari, disebut juga mujtahid mustaqil. ialah orang yang membangun suatu madzhab seperti imam mujtahid yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’I, dan Ahmad bin Hambal.
  2. Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab sendiri tetapi mengikuti salah satu seorang imam mazhab. Mujtahid fi al-mazhab terkadang menyalahi ijtihad imamnya pada beberapa masalah. Ia berijtihad sendiri tentang masalah itu. Yang termasuk kedalam Mujtahid fi al-mazhab ini seperti” Abu Yusuf dalam mazhab Hanafi dan al-Muzanyi dalam mazhab Syafi’i.
  3. Mujtahid fi al-masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum seperti al-Thahawi dalam mazhab Hanafi dan al-Ghazaly dalam mazhab Syafi’I serta al-Khiraqy dalam mazhab Hambali.
  4. Mujtahid muqoyyad, yaitu mujtahid yang mengikat diri dengan ulama salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja mereka mengetahui dasar dan memahami dalalahnya dan inilah yang disebut dengan takhrij. Mereka mempunyai kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih utama dari pendapat yang berbeda-beda dalam mazhab di samping dapat membedakan riwayat yang kuat dengan yang lemah.
  1. Lapangan Ijtihad
    Ijtihad berlaku pada ayat atau hadis, dengan catatan bahwa nas tersebut masih bersifat zhan dan qat’i . atau pada permasalahan yang hukumnya belum ada dalam nas. Jadi, ijtihad tidak berlaku pada permasalahan yang hukumnya sudah pasti (qat’i) seperti mengeluarkan hukum wajib shalat, puasa, zakat, dan haji. Karena untuk melakukannya tidak perlu usaha yang berat.
    Tidak boleh melakukan ijtihad pada masalah sudah ada nas nya secara qat’I (jelas dan tegas) serta tidak mengandung ta’wil didalamnya seperti ayat tentang keesaan Tuhan, ayat-ayat tentang hukum ibadah (shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya), ayat-ayat tentang hudud (hukuman bagi pencuri,pelaku zina, hukuman membunuh, hukum qisas dan sebagainya) dan ayat yang berbicara tentang muamalat seperti hukum perdagangan, riba, menggauli istri, dan etika kepada rang tua. Ayat-ayat diatas ini bukanlah termasuk lapangan ijtihad karena nasnya sudah qat’I, yang menjadi lapangan ijtihad adalah ayat-ayat atau hadis yang masih mengandung dugaan (zhan) atau belum jelas. Seperti tentang membasuh kepada dalam wudhu, music dan nyanyian, hukum bersentuhan kulit antara ghairu mahram yang berwudhu, masalah keberadaan wali dalam pernikahan, hukum membaca qunut dalam shalat subuh. Dan pada permasalahan yang sama sekali hukumnya tidak ada dalam nas seperti hukum KB, bayi tabung, operasi pelastik, alat kontrasepsi, bedah mayat dan menggugurkan kandungan. Semua itu adalah masalah yang hukumnya belum tegas (zhan), maka diperlukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya.[3]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua macam:
  1. Pada sesuatu yang ada nasnya tetapi nasnya masih zhan.
  2. Pada sesuatu yang hukumnya tidak ada sama sekali dalam nas.
    Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ijtihad.
  • Hasil ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad orang lain dalam perkara yang sama. Sebagaimana hasil ijtihad seseorang juga tidak boleh menyalahi hasil ijtihad orang lain. Dengan alasan, karena ijtihad kedua tidaklah lebih kuat dari ijtihad yang pertama.
  • Tidaklah ijtihad diantara ulama berhak diikuti dari ulama yang lainnya.
  • Membatalkan satu ijtihad dengan ijtihad yang lain dapat mengakibatkan tidak tegasnya suatu hukum dan ini merupakan kesulitan dan kesempitan. Contoh, Abu Bakar pernah pernah memutuskan suatu masalah tetapi Umar mempunyai pendapat lain tentang masalah itu sehingga Umar menghukuminya berbeda. Sikap Umar itu tidak membatalkan ijtihad Abu Bakar.
  1. Metode Ijtihad
                      Untuk melakukan ijtihad, menurut Azhar Basyir ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu adalah :
  1. Qiyas, dengan cara menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang sudah ada dikarenakan adanya persamaan sebab. Contoh mencium istri saat berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa karena disamakan dengan berkumur-kumur.
  2. Maslahah mursalah, yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nasnya dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan asas menarik manfaat dan menghindari mudharat, contoh mencatat pernikahan.
  3. Istihsan, ialah memandang sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syariat dan meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh, boleh menjual harta wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai tujuan syariat yaitu membuat sesuatu itu tidak mubazir.
  4. Istishab, ialah melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada sampai ketentuan dalil yang mengubahnya. Contoh, segala makanan dan minuman tidak ada dalil keharamannya maka hukumnya mubah.
  5. Urf, ialah kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat. Ada dua macam urf. Pertama urf sahih, yaitu urf yang diterima masyarakat secara luas, di benarkan oleh akal yang sehat, membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip nas. Contohnya acara tahlilan, bagian harta gono gini untuk istri yang ditinggal suaminya. Kedua urf fasid, yaitu kebiasaan jelek yang merupakan lawan urf sahih, contohnya kebiasaan meninggalkan shalat bagi seseorang yang sedang menjadi pengantin, mabuk-mabukan dalam resepsi pernikahan dan sebagainya.
  1. Hukum Berijtihad
                     Jika seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad  sebagaimana tersebut diatas maka keberadaan seorang mujtahid dalam kegiatan memberikan ijtihadnya bisa wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula haram.
  1. Wajib ain, yaitu bagi orang yang sudah mencukupi syarat ijtihad dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Ijtihadnya wajib di amalkan dan ia tidak boleh bertaqlid kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi mujtahid yang ditanya tentang hukum suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki jawaban hukum segera sedangkan tidak ditemukan mujtahid yang lain.
  2. Wajib kifayah, jika ada mujtahid lain selain dirinya yang akan menjelaskan hukumnya.
  3. Sunah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal.pertama, terhadap permasalahan yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang di lakukan oleh imam Abu Hanifah yang terkenal fiqh iftiradhi (fiqh pengandaian). Kedua,ijtihad pada masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain.
  4. Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama, berijtihad terhadap pada permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadis ijtihad yang menyalahi ijma. Ijtihad boleh pada masalah selain itu. Kedua, berijtihad bagi seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tetang agama Allah tanpa ilmu hukumnya haram.[4]
  1. Macam-macam Ijtihad
                 Dari segi metodenya, sebagaimana yang dirumuskan oleh ad-Duailibi, ijtihad dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.
  • Al-Ijtihad al-bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ terdapat dalam nashsh al-qur’an dan sunnah.
  • Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menenetukan hukum-hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada dalam nashsh al-qur’an maupun hadisnya, dengan cara meng-qiyas-kannya kepada hukum-hukum syara’ yang ada nashsh-nya.
  • Al-Ijtihad al-ishtislahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menentukan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashsh nya, baik dari al-qur’an maupun sunnah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-istishlah (kemaslahatan).
Adapun dari segi jumlah orang yang melakukan ijtihad (mujtahid), ijtihad dapat di bagi jadi dua, yaitu sebagai berikut.
  • Ijtihad fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang untuk menemukan hukum syara’ dari suatu peristiwa hukum yang belum diketahui ketentuan hukumnya. Di masa lalu, ijtihad model ini yang paling banyak dilakukan, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mazhab yang empat.
  • Ijtihad Jama’I, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh mujtahid untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, dimana ijtihad ini menghasilkan kesepakatan bersama. Ijtihad model inilah yang disebut dengan ijma’ al-ulama’.
                   Di masa lalu, ijtihad model kedua diatas dilakukan hanya oleh ulama yang menguasai disiplin ilmu fiqh saja. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan zaman dan peliknya persoalan-persoalan hukum yang dihadapi, dimana peristiwa hukum tidak lagi  di tinjau dari satu disiplin ilmu saja, melainkan berkaitan dengan banyak disiplin ilmu, aga’nya untuk dewasa ini, al-ijtihad al-jama’I tidak lagi memadai jika hanya dilakukan oleh ulama fiqh saja, tetapi harus melibatkan para pakar dari disiplin ilmu lain. Sebagai contoh, untuk menentukan hukum syara’ berkaitan dengan rekayasa genetika, seperti cloning, aborsi karena alasan tertentu dan problem-problem dalam ilmu kedokteran lainnya. Memerlukan penjelasan yang mendalam bukan saja dari pakar ilmu kedokteran, tetapi juga dari para pakar disiplin ilmu biologi, ilmu social, dan lain-lain. Demikian juga untuk menentukan hukum transaksi yang dilakukan secara cyber, seperti melalui internet, dan masalah-masalah lain yang memerlukan keterlibatan para pakar dalam berbagai ilmu di luar disiplin ilmu fiqh.
Metedologi Ijtihad Empat Madzhab
1. IMAM HANAFI
a) Biografi Imam Hanafi (80 – 150 H / 699-767 M)
Imam Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah Al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan dikufah pada Tahun 80 H, artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan (Manna al-Qaththan, 1989:202). Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah kepada allah, yaitu berasal dari bahasa arab Haniif yang artinya condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta. Sikap politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiaya dan ditindas oleh Dinasti Umayyah. Ketika Zaid berontak terhadap Hisyam dan terbunuh, termasuk putranya Yahya ibn Zaid, Abu Hanifah sangat berduka. “Perjuangan Zaid sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar,” katanya.
Ketika Yazid ibn Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti Umayyah) menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta menjadi hakim dipengadilan atau bendaharawan negara, tetapi ia menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas pertolongan juru cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia tinggal disana selama enam tahun (130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaaan Abbasiah dengan rasa gembira. Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga melakukan kekerasaan terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang dilakukan oleh Al - Manshur terhadap Al - Nasf, Al - Zakiah pada tahun 145 Hijriah. Abu hanifah tampil mengkritik Abbasiah. Ia mengkritik para Hakim dan Mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al - Manshur untuk menjadi hakim di pengadilan, Abu Hanifah menolaknya.. akhirnya ia dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H, akibat penderitaannya dalam tahanan.
b) Metode dan Cara Ijtihat Abu Hanifah
Metode ijtihad yang digunakan oleh imam hanafi adalah :
- Metode Dialektika
Dengan menggunakan analogi terhdap suatu permasalahan, metode yang digunakan oleh hanafi independen dalam artian lebih menjurus kepada pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.
- Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum dalam sat nas desebabkan adanya nas lain yang menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan maqsid al-syari’ah.
Thaha Jabir Fayadl al Ulwani membagi cara ijtihad Abu Hanifah menjadi dua yaitu: Cara Ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat diringkas sebagai berikut: “Aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatnya, apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada Sunnah Rasulullah SAW dan Atsar yang Shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang Tsiqah. Apabila tidak mendapatkan dalam Al Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada Qaul Sahabat, (apabila sahabat Ikhtikaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan Ibn al-Musayyab serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”(Thaha Jabir Fayadl Al Ulwani,1987:91)  Sedangkan cara berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah: 
Bahwa Dilalah lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti lafadz Khash;Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat Khusus bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (Rajih) adanya penolakan terhadap Mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat, bahwa apabila perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya, mendahulukan Qiyas Jali atas Khabar Ahad yang dipertentangkan menggunakan Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan. Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari ungkapannya yaitu “ sungguh, saya berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati disana. Jika tidak saya mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan atsar shahihah yang tersiar di kalangan ulama tsiqah. Jika tidak aku dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain. Bila kasus tersebut pernah diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad”.
2. Imam Malik
a) Biografi Imam Malik (93-179 H)
Nama lengkap pendiri mazhab maliki adalah Malik bin Annas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H = 721M di Madinah pada perkembangan selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau wafat pada tahun 179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah, walaupun pada zaman yang sama, tetapi tempatnya yang berbeda. Pada waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak mnghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah, disamping itu dia juga menuntu ilmu nahwu, syair dan juga menghafal Al-Quran, beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama’ yang dikenal sangat cerdas diantara par ulam’ lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi gurunya tersebut, karena kecerdasan dan kealimanya. Imam Malik belajar kepada ulama’-ulama’ Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibnu Umar, Imam Malik diakui oleh ulama di madinah sebagai Ahli hadist, bliau menghafal hadist sebanyak 100.000 ribu hadist. Imam Malik adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal, baik fiqh, al-quran dan hadist, Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu Al-Hadist, maka hal tersebut mempengaruhi pemikiran Imam Malik. Imam Malik membangun madzhabnya di atas dua puluh dalil, sebagaimana di kutip dari perkataan para Ulama Madzhab Maliki. dua puluh dalil tersebut yaitu:
1. Nash Al-Qur’an
2. Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir Al-Qur’an
3. Dalil Al-Qur’an, yakni mafhum mukhalafahnya
4. Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum muwafaqahnya
5. Tambih Al-Qur’an, yakni memperhatikan illat (sebab) suatu ayat, seperti firman Allah, “Karena sesungguhnya semua itu kotor (najis).” (Al-An’am:145)
Lima dalil ini adalah yang bersumber dari Al-Qur’an. Sedangkan yang berasal dari sunnah, juga sama seperti lima yang dari Al-Qur’an. Dengan demikian jumlahnya menjadi sepuluh. Adapun yang selanjutnya:
Ijma’,qiyas,Amal/perbuatan penduduk Madinah, Perkataan Sahabat, Istihsan,Saddu Dzari’ah,Memperhatikan perbedaan Istishab, Mashlahah Mursalah, Syar’u man qablana (syariat sebelum kita). Dalam pelaksanaannya tidak berurutan seperti yang disebutkan di atas. Qadhi Iyadh berkata: Setelah menjelaskan susunan ijtihad sesuai dengan yang dikehendaki, akal dan disaksikan syara’ , mendahulukan Kitabullah pada dalilnya dengan jelas daripada mendahulukan nash-nashnya, kemudian dzahir mafhumnya. Demikian juga sunnah menurut susunan mutawatir, masyhur dan ahad, lalu susunan nash-nashnya, dzahir-dzahirnya, dan mafhum-mafhumnya. Kemudian Ijma’ ketika tidak ada dalam Al-Qur’an dam sunnah mutawatir. Ketika tidak ada semua yang pokok ini maka menggunakan Qiyas dan mengistimbatkan darinya. Qadhi Iyad berkata setelah menjelaskan hal itu dan berhujjah dengannya: Bila Anda perhatikan pertama kali sikap para imam dan sumber pengambilan mereka dalam fiqih dan ijtihadnya dalam syara’, niscaya Anda dapati Malik menempuh cara ini dalam Ushulnya, susunannya, mendahului Al-Qur’an dari pada Atsar, mendahulukan Atsar dari pada Qiyas dan I’tibar. Meninggalkan Qiyas terhadap sesuatu yang orang-orang arif terpercaya tidak melakukannya dengan apa yang mereka lakukan atau mendapati sesuatu dari mayoritas penduduk Madinah yang telah melakukan yang lainnya dan menyelisihinya, kemudian beliau menempuh cara Salaf dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dia mengutamakan ittiba dan tidak menyukai bid’ah.
Dapat di pahami bahwa Imam Malik secara umum mengikuti cara orang-orang Hijaz dengan menetapkan Atsar selagi memungkinkan dan tidak menyukai perluasan masalah dan memaparkannya sebelum terjadi.
b) Metode Ijtihad Imam Malik
Hal-hal yang membuat metodenya istimewa, yang memberi pengaruh dalam perluasan lapangan perselisihan/perbedaan di antara dia dan yang lainnya, yaitu:
1) Amal/perbuatan Penduduk Madinah, adalah sebagai hujjah bagi Malik dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar Ahad.
2) Mashlahah Mursalah Istishlah yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan maksud syara’ yang keadaan maksudnya dapat diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan dengan maslahat lain. Maka ketika seperti ini Malik mendahulukan beramal dengannya. 
3) Perkataan Sahabat
4) As-Sunnah
5) Beliau berpendapat menggunakan istihsan dalam berbagai masalah, seperti jaminan pekerjaan, menolong pemilik dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan Qisas harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah; hanya saja Malik tidak meluaskan dalam pendapatnya tidak seprti madzhab Hanafi.
3. Mazhab Imam Syafi’i
a) Biografi Imam Syafi’i (150-204 H)
Mazhab ini dibangun oleh imam Abu A’dullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, beliau lahir di gazah pada tahun 150 H dan wafat di mesir pada tahun 204 H pada saat imam berumur 52 tahun. Setelah ayahnya meninggal pada saat Imam Safi’i berumur hampir 2 tahun maka ibunya membawa Imam Syafi’i ke gazah karena dikhawatirkan kalau dia tinggal di gazah maka nasabnya dengan kaum Quraisy akan hilang sehingga Imam Syafi’i tidak dapat memperoleh pendidikan yang semestinya, pada saat itu keturunan quraisy sangat di junjung tinggi, dan orang-orang Quraisy adalah keturunan atau masih memilki hubungan dengan Rasul Saw, sehingga segala kebutuhan pasti dibantu oleh kaum Quraisy, dilatar belakangi hal tersebut maka Imam Syafi’i pindah ke mekkah. Imam Syafi’i dikenal sangat pintar dalam segi keilmuan agama, hafalannya yang tajam dan kuat, sehingga pada umur 7 tahun beliau sudah menghafal Al-Quran, dan pada waktu menuntu ilmu Imam Syafi’i juga dapat mengulangi apa yang telah disampaikan oleh gurunya, setiap kali gurunya menjelaskan beberapa materi imam syafi’i selalu mencatatnya dan menghafalnya.
Jika kita telusuri sejarah perjuangan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i untuk mencari ilmu pengetahuan, maka itu semua tidak luput dari keserisusan dan semangat beliau untuk menjadi yang lebih baik. Kepribadian imam syafi’I yang suka merantau dari suatu daerah ke daerah yang lain hanya untuk mencari ilmu, itu dapat dicermati dalam syairnya :
Merantaulah ! pasti kamu akan mendapat ganti atas apa yang engkau tinggalkan Maka tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah, sehingga dengan berbekal keberanian Imam Syafi’i melakukan rihlahnya ke berbagai daerah, rihlah dilakukan beliau antara lain ke Madinah, Mekkah, Iraq, Yaman.Pada saat Imam Syafi’i berumur 20 tahun, beliau pergi ke Mekah Al-Mukarramah untuk menuntut ilmu fiqh kepada seorang ulama’ besar yaitu Syekh Muslim bin Khalid yaitu imam masjidil haram. Setelah menggali ilmu fiqh dari Muslim bin Khalid, Imam Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke Madina dengan tujuan menuntut ilmu kepada ulama’ terkemuka yaitu Imam Malik ( tekstual normatif) dengan kitab fiqihnya yang terkenal Al-Muwattaq. Imam Syafi’i dapat menghafal dengan waktu yang singkat semua kitab Al-Muwattaq Imam Malik. Karena merasa belum puas dengan keilmuannya, Setelah memguasai kitab Al-Muwattak. Syafi;I melanjutkan rihlahnya ke Iraq berguru kepada imam terkemuka disana yaitu Imam Abu Hanifah (rasionalistis),  Imam Syafi’i mencoba mengkolaborasikan pendapat, pola fikir dan fiqh kedua Imam tersebut, antara Ahlul Al-Hadist (tesa) dan Ahlul Ar-Ra’yu (antitesa). Jadi dapat dikatakan bahwa Imam Syafi’i adalah sintesa dari dua Imam tersebut. Setelah berguru kepada Abu Hanifah, Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke yaman untuk berguru disana, karena keterbatasan dana Imam Syaf’i’i mencari kerja di yaman, dengan bantuan temannya beliau diangkat menjadi hakim di Yaman, tetapi itu hanya sebentar saja, lalu beliau kembali ke mekkah.
b) Metode Ijtihad Imam Syafi’i
Dalam berijtihad Imam Syafi’i menggunakan pemikiran-pemikiran yang jeli dan teliti, kita lihat model ijtihadnya sebagai berikut :


1. Metode induktif (Istiqra’i)
Metode ini lebih menekankan kepada penelitian fakta lapangan, cara ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan waktu terpanjang dan terpendek bagi wanita yang lagi haid, dalam menentukan waktu tersebut Imam Syafi’i melakukan penelitian kepada beberapa wanita yang ada di mesir, hasil penelitian tersebut dihasilkan data yang beragam, ada yang satu hari satu malam, ada yang sepuluh hari dan lima belas hari. Dari data tersebut Imam Syafi’i menyimpulkan bahwa paling cepat masa haid adalah satu hari dan paling lama adalah lima belas hari.
2. Metode dialektika (Jadali)
Terkait dengan hukum menikahi anak dari hasil perzinahan,Dalam menetapkan hokum ini syafi’I meruju’ kepada firman allah yaitu surat An-Nisa’ ayat 23, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anak (perempuanmu)” Imam Syafi’i memberi devinisi bahwa yang diharamkan adalah anak dari istri yang telah kamu kawini dengan halal bukan dengan perbuatan haram, jadi kamu boleh menikahi anak istrimu dari hasil perbuatan zina antara kamu dan istrimu, dikarenakan dia bukan anak istrimu yang syah, dan dia tidak memiliki nasab dengan kumu(suami), tetapi kebolehan yang diberikan oleh Imam Syafi’i adalah kebolehan dalam arti Makruh. Jawaban yang diberikan oleh Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa Syafi’i berusaha memberikan suatu eksistenti kekuatan daya nalar terhadap penggalian hukum.
4. Mazhab Imam Hambali
a) Biografi Imam Ahmad ibn Hambal
Beliau bernama Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani al-Marwazi. Ia lahir di Baghdad pada Tahun 164 H, dibesarkan dan wafat disana pada Tahun 231 H. Ahmad ibn Hambal dilahirkan ketika kekalifahan dipegang oleh Musa Al-Mahdi dari kalangan Abbasiyah. Musa al-Mahdi meninggal dan digantikan oleh Harun Ar-Rasyid (170-194H), Harun Ar-Rasyid digantikan oleh Al-Amin (194-198 H), Al-Amin digantikan oleh al-Makmun ( 198-218 H). Al-Makmun adalah khalifah yang menjadikan Mu’tazilah sebagai Madzhab Negara. Karena Imam Ahmad Ibn Hambal ini tidak memiliki pemikiran yang sejalan dengan Mu’tazilah, sehingga beliau mendapatkan penyiksaan bahkan dipenjarakan. Hal itu diketahui ketika Imam Ahmad diajukan pertanyaan tentang apakah Firman Tuhan (Al-Qur’an) adalah makhluk. Akan tetapi beliau tidak sependapat dengan menjawab bahwa Al-Qur’an bersifat Qadim dan bukan Makhluk. Karena menurut Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah baru, dan tidak bersifat qadim.Keberanian mempertahankan keyakinan ini disamping membawa resiko juga membawa keuntungan , yaitu membuatnya mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Karena itu kendati banyak Ulama’ yang menjalani hukuman mati , Al-Mu’Tashim dan Al-Watsiq tidak berani menjatuhkan hukuman mati terhadap Imam Ahmad karena takut menimbulkan kekacauan. Akhirnya Al-Mutawakkil kahlifah berikutnya menghapuskan pemaksaan paham Mu’tazilah.

b) Metode Ijtihad Imam Ahmad ibn Hambal
Metode yang di kembangkan oleh ahmad bin hambal adalah Metode Dialektika hal ini dpat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang seatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham. Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat : “Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”. Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda : “Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah “. Selanjutnya, tokoh yang membaharui dan melengkapi pemikiran Madzhab Hambali, terutama di bidang Mu’amalah adalah Syeikh al-Islam Taqiyudin Ibn Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibn Al-Qayim al-Jauziyyah (Wafat 751 H) murid ibn Taimiyyah. Tadinya pengikut Madzhab Mahbali tidak begitu banyak, setelah dikembangkan oleh dua tokoh tersebut maka madzhab Hambalimenjadi semarak terlebih setelah dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H). dan kini menjadi Madzhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.
  1. Taqlid
         Taqlid berasal dari bahasa arab yang berarti “mengulangi, meniru, dan mengikuti”. Para ulama ushul memberikan definisi taqlid dengan “ mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. “ sedangkan orang yang bertaqlid disebut mukallid. Dari definisi diatas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:
  • Menerima atau mengikuti perkataan seseorang.
  • Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan Hadis tersbut.
         Muhammad Rasyid Radha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang dianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum islam tanpa memperthatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut.
Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini.
  • Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an  dan Hadis. Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah, antara lain dalam surat Al-Ahzab [33]:64 yang artinya:
    “ sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong. Di hari itu muka mereka di bolak-balik dalam api neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan kepada Rasul.” Dan mereka berkata:” ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami.”
  • Mengikuti orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya dan menggandrungi daerahnya itu melebihi kecintaannya kepada  dirinya sendiri. Hal seperti  ini disinggung oleh Allah dalam surat Al-Baqarah[2]:165-166 yang artinya:                                                                 
    “ Diantara manusia ada yang mempunyai banyak ikatan selain Allah dan mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat mencintai Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zhalim itu ketika mereka melihat azab (di hari akhirat) bahwa sesungguhnya kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, maka Allah sangat pedih siksanya. (yaitu) ketika orang-orang yang mereka ikuti berlepas diri dari mereka ketika melihat azab tersebut dan memutuskan segala hubungan.
  • Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah dalam surat Al-Taubah [9]: 31 artinya:
    Mereka menjadikan para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan menuhankan Al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang satu, tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci dia dari segala apa yang mereka sekutukan.
    Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian mengikuti pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul berkenaan dengan suatu perbuatan. Namun, seorang yang bertaqlid tersebut harus terus belajar mendalami hukum islam. Bila pada suatu saat orang yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang di taqlidinya selama ini bertentangan dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat yang di taqlidinya tadi.[5]
Syarat orang yang bertaklid:
          Yang dibolehkan bertaklid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syari’ah ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan boleh mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri hukum syari’ah. Maka ia harus berijtihad sendiri bila kesempatan dan waktunya masih cukup serta waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan hal-hal lain (tentang ibadah), maka menurut sebagian ulama boleh ia mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
Syarat syarat Masalah yang Ditaklidi
          Hukum terbagi kepada dua macam yaitu: Hukum akal dan Hukum Syara’. Dalam masalah hukum akal, tidak dibolekan taklid kepada orang lain, seperti mengetehui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sifatnya. Hal ini karena jalan untuk menetapkan hukum-hukum tersebut adalah akal, sedang setiap orang memiliki akal. Karena itu tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.
Allah mencela dengan keras taklid soal-soal tersebut dengan firman Nya: yang Artinya: “Apabila dikatakan kepada mereka : “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: “(tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapat dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk “. (Al-Baqoroh: 170)
          Taklid dalam masalah hukum syara’ dibedakan pada dua bagian, yaitu:
           a.       Diketahui dengan pasti dari agama Islam, seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat dan Haji. Juga tentang haramnya zina, minuman keras, dan lain-lain. Dalam hal diatas, tidak boleh taklid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
                b.      Yang diketahui dengan jalan penyelidikan dan mencari dalil seperti soal-soal ibadah tertentu, dalam soal semacam ini dibolehkan taklid.
Pendapat empat imam madzhab dan Ulama lainnya tentang taqlid:
  • Imam Abu Hanifah berkata: Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan Hadits Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.
  • Imam Malik berkata: saya hanya manusia biasa yang kadang salah dan kadang benar, selidikilah dahulu pendapat saya kalau sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits maka ambillah dan yang menyalahi hendaklah ditinggalkan.
  • Imam Syafi’i berkata: Perumpaman orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang mencari kayu di waktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mematuk sedang dia tidak tahu.
  • Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Jangan mengikuti (taklid) kepada saya atau Malik atau Tsauri atau Auza’i tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.
  • Ibnu Ma’sud berkata: kamu jangan mentaklidi orang kalau dia Iman maka kamu beriman kalau ia kafir maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal hal yang buruk.


[1] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, (Damaskus:Daar al-fikr, tt.), hlm.379.
[2] Wahbah Zuhaili, ushul fiqh al-Islami,(Damaskus:Daar  al-Fikr,1986),cet.ke-1,hlm.1044-1049.

[3] Ibrahim Husen,dkk.,Ijtihad dalam sorotan, (Bandung: Mirzan,1996), hlm. 123

[4] Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta:Fajar Interpratama Offset, 2009), Cet. Ke-3, 255-256.
[5] Baca Peunoh Daly dan Qurays Syihab, et., Ushul Fiqh II, (Jakarta Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1986) HLM. 155-156.
[3] Ibrahim Husen,dkk.,Ijtihad dalam sorotan, (Bandung: Mirzan,1996), hlm. 123

[4] Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta:Fajar Interpratama Offset, 2009), Cet. Ke-3, 255-256.
[5] Baca Peunoh Daly dan Qurays Syihab, et., Ushul Fiqh II, (Jakarta Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1986) HLM. 155-156.
, Pada: 09:12



Share to

Facebook Google+ Twitter

Related with :

Posted by Anonymous at 09:12

0 comments :

Post a Comment

« Next Prev »
  • Beranda

Labels

  • KUMPULAN LAPORAN PPL
  • Kumpulan Makalah
  • kumpulan proposal
  • Kumpulan Proposal Skripsi
Copyright © 2016 Blog Al Imam All Rights Reserved | Sonic SEO Template