BAB I
FIKIH DAN SYARIAH
1. Pengertian
Syariah
Secara generic (etimologi) syariah
berarti tempat menuju aliran air, atau jalan yang mesti dilalui atau aliran
sungai. Beberapa ayat al-Quran seperti as-Syura’ : 13 menyebutkan lafal syariah
yang bermakna ad-din (agama) dalam makna totalitasnya yang mnunjukkan
pengertian bahwa syariah Islam adalah jalan yang lurus, yang akan mengantarkan
manusia pada keselamatan dan kesuksesannya di duania dan di akhirat. Hubungan
makna generic syariah sebagai jalan menuju aliran sungai dan syariah
islamadalah, jika air sungai yang bersih dan bening akan memuaskan dahaga dan
kesehatan serta menumbuhkembangkan tubuh orang yang meminum dan menggunakannya,
maka syariah Islam juga akan member kepuasan batin atas upaya manusia dalam
mencari kebenaran, dan akan menyelamatkan hidupnya di dunia dan di akhirat. Belakangan
kata syariah berarti sebagaimana yang didefinisikan ulama pada umumnya, yakni :
“Semua firman Allah yang berhubungan dengan aktifitas
manusia (baik berbuat atau tidak berbuat, baik aktif maupun pasif) baik yang
berupa perintah atau larangan, atau pilihan berbuat atau tidak berbuat”.
Pada definisi ini syariah dibedakan
dari istilah akidah (firman-firman tentang kepercayaan/keyakinan) dan dibedaka
pula dari istilah akhlak (firman berkaitan dengan konsep cara pandang terhadap
segala seuatu yang disebut baik dan jahat, pantas dan tidak pantas. Sebagai
tambahan, yang perlu ditegaskan adalah bahwa makna “firman Allah” sebagaimana
tertera di atas mencakup pengertian hadis Nabi Muhammad yang berkaitan dengan
perbuatan manusia. Sebab pada hakikatnya apa yang disampaikan oleh nabi
Muhammad berada di bawah bimbingan wahyu Allah.
2. Pengertian Fiqh
dan ushul Fiqh
Ushul fiqh merupakan kata majemuk
yang berasal dari lafal ushul dan fiqh, masing-masing akan dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Ushul
Ushul
merupakan bentuk jamak dari lafal ashl yang secara etimologi berarti sesuatu
yang menjadi landasan bagi yang lain. Dakam pengertian terminology, makna ushul
adalah:
1)
Ketentuan dasar
2)
Hukum yang dipedomani
3)
Yang dominan
4)
Unsur qiyas yang pertama menjadi rujukan untuk mendapatkan hukum baru yang
belum ada ketentuan hukumnya
5)
Dalil (dasar)
Dari sekian pengertian, pengertian ushul yang kelima
dianggap lebih sesuai dengan pengertian ushul fiqh. Dengan kata lain ushul fiqh
berarti dasar atau dalil untuk menetapkan hukum fiqh yang dapat berupa
al-Qur’an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan sebagainya.
b.
Fiqh
Secara
etimologi fiqh berarti mengerti atau paham (lihat al-Isra: 44). Dengan demikian
ketika seseorang berkata فقهت (saya paham) berarti ia mengerti tujuan
perkataan seseorang. Namun menurut sebagian ulama paham dan mengerti sebagaimna
dimaksud di atas bukan sekedar paham terhadap hal-hal yang mudah dipahami dan
dimengerti, melainkan paham yang mendalam. Oleh karena itu orang yang mengerti
bahwa api itu panas dan harimau itu buas belum dapat disebut seorang faqih
(orang yang paham). Seorang faqih memiliki seperangkat pengetahuan dan keahlian
dalam memahami masalah-masalah fiqh yang rumit.
c.
Fiqh sebagai Disiplin Ilmu
Secara
istilah (terminology) fiqh menurut Ibnu Qudamah dapat berarti:
العلمم
بالاحكام الشرعيةة العملية الفرعية عن ادلتها التفصيلية بالاستدلال
“Pengetahuan tentang hukum syara
yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang bersifat parsial, yang berasal
dari dalil-dalil yang spesifik melalui penelitian trhadap dalil”
Terminology lain diungkapkan oleh
Ibnu as-Subki, yakni:
العلم بالقواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام
الشرعية الفرعية من ادلتها التفصيلية
“Pengetahuan tentang hukum syara
yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara
yang spesifik.”
Dari definisi kedua dapat diketahui
bahwa:
1)
Fiqh adalah seperangkat ketentuan hukum-hukum syara yang berasal dari Allah
melaui wahyu yang disampaian kepada rasul-Nya. Dengan demikian hukum akal
(logika), hukum kebiasaan (al-adat), hukum kausalitas dan hukum-hukum lain yang
berasal dari pemikiran manusia tidak termasuk dalam pengertian pembahasan fiqh.
2)
Fiqh berkaitan dengan perbuatan manusia. Jadi masalah keimanan dan keyakinan
(akidah) dan juga akhlak tidak masuk dalam pembahsan ilmu fiqh.
3)
Hukum-hukum fiqh itu didapat dari hasil-hasil pemikiran melalui usaha
penelitian sungguh-sungguh yang dilakukan oleh mujtahid untuk menggali dan
memahami nash-nash syara, sehingga mujtahid tersebut dapat mengetahui
bahwa suatu perbuatan tertentu sesuai dengan yang ditentukan oleh Allah. Dengan
demikian tingkat kepastian hukum fiqh tidak bersifat mutlak (mutlak, qath’i)
namun bersifat relative (zhanni), sebab dalam upaya penetapan hukum tersebut
terdapat keterlibatan manusia yang mempunyai keterbatasan akal.
4)
Hukum yang pasti benar adalah hukum yang secara jelas dan langsung berasal dari
Allah. Dengan demikian ketentuan hukum tentang wajibnya shalat lima waktu,
puasa ramadhan, zakat, haji atau keharaman membunuh tanpa alasan yang sah,
makan babi, berzina, mencuri dan meminum khamr tidak termasuk dalam kategori
fiqh karena hal trsebut bersifat pasti(qath’i) dan tidak memerlukan ijtihad
dalam menentukan hukum perbuatan-perbuatan tersebut.
d.
Ushul Fiqh sebagai Disiplin Ilmu
Definisi ushul fiqh menurut Ibnu
Qudamah adalah:
العلم بالقواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام
الشرعية الفرعية من ادلتها التفصيلية
“Pengetahuan tentang hukum syara
yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara
yang spesifik.
Smentara Ali Hasibullah mengemukakan
definisi ushul fiqh dengan:
القواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام الشرعية
العملية من ادلتها التفصيلية
“Sekumpulan kaidah yang digunakan
untuk menarik kesimpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan
manusia, dari dalil-dalil yang spesifik”
Sedang alBaidhawi mendefinisikan:
معرفة دلائل الفقه اجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال
المستفد
“Pengetahuan tentang dalil-dalil
fiqh secara umum dan cara menyimpulkan hukum dari dalil-dalil tersebut, serta
tentang hal ihal mujtahid.
Dari definisi di atas dapat
diketahui bahwa ushul fiqh terdiri dari beberapa unsure berikut:
1)
Ushul fiqh merupakan suatu disiplin ilmu
2)
Ushul fiqh merupakan sekumpulan dalil dan kaidah atau rumusan yang bersifat
umum yang tidak menunjuk secara langsung pada hukum-hukum syara yang
terperinci.
Kaidah-kaidah yang dimaksud trdiri
dari 2 macam:
a)
Kaidah-kaidah syar’iyyah dan dalil-dalil, contoh:
ان الحد لا يتعلق الا بفاحشة
“Hukuman Had hanya berkaitan dengan
perbuatan keji”
الاصل فى الامر للوجوب ما لم يدل دليل على خلافه
“Pada dasarnya suatu perintah
menunjuk pengertian wajib, selama tidak terdapat dalil lain yang menunjuk
pengertian yang berbeda.
b)
Kaidah yang bersifat kebahasaan. Urgensi kaidah kebahasaan adalah mengingat
al-Qur’an dan al-hadis sebagai sumber utama hukum Islam menggunakan bahasa
Arab, oleh sebab itu diperlukan pemahaman terhadap kaidah-kaidah bahasa
arab untuk menarik kesimpulan hukum syara. Contoh:
اللفظ العام يتناول جميع افراده قطعا ما لم يحصص
“lafal yang bersifat umum menunjuk
semua pengertian parsialnya secara pasti, selama tidak dibatasi (ditakhsis)
maknanya.
اللفظ المشترك
لا يراد به عندد الاستعمال الا معنا واحدا
“Dalam menggunakan suatu lafal yang
mengadung lebih dari satu makna, pengertian yang dimaksudkannya hanya menunjuk
satu makna tertentu saja”
3)
Kaidah-kaidah yang terdapat dalam ushul fiqh berfungsi untuk menarik dan
melahirkan hukum syara.
4)
Hukum-hukum fiqh yang dihasilkan itu bersifat amaliyah, bukan akidah maupun
akhlak. Namun demikian di dalam fiqh dan ushul fiqh terdapat juga hukum-hukum
yang tidak secara langsung berkaitan dengan perbuatan manusia missal; tentang
status seseorang yang menimbulkan efek hukum seperti sebagai hamba, janda,
anak-anak, orang gila, terpaksa dll yang semua itu bukan termasuk perbuatan
manusia tetapi juga masuk dalam pembahasan fiqh/ushul fiqh.
5)
Hukum-hukum fiqh yang disimpulkan dari nash merupakan hasil ijtihad (tidak
secara langsung ditegaskan oleh nash)
6)
Tingkat kekuatan hukum tersebut bersifat zhanni (relative) bukan Qath’I
(mutlak) karena hasil ijtihad (ada unsure manusia).
3.
Qawaid Fiqhiyyah
Qawa’id Fiqhiyyah terdiri dari 2
kata, yakni Qawaid dan Fiqhiyyah. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qa’idah,
dalam bahasa Indonesia berarti kaidah atau rumusan asas-asas yang menjadi
hukum; aturan yang tentu; patokan; dalil. Secara etimologi qawaid berarti
dasar, asas atau fondasi dalam pengertian abstrak maupun konkrit. Secara
terminologis, menurut at-Thahanawi, qawaid menunjuk pengertian yang kurang
lebih sama dengan pengertian dasar, qanun (undang-undang), dhabit (catatan
penting) dan maqashid (tujuan), yang secara umum menurut at-Taftazani kata
kaidah menunjuk pada:
امر كلى منتبق على جميع جزئياته عند تعرف احكامها منه
“Ketentuan yang bersifat umum yang sesuai terhadap
semua bagian-bagiannya yang bersifat parsial, ketika hendak mengetahui
ketentuan hukum yang bersifat parsial tersebut daripadanya”. Sedang
menurut Abu al-Baqa’ al-Kafawi al-Hanafi:
قضية كلية من حيث استمالها بالقوة على احكام جزئيات
موضوعها
“Qadhiyyah kulliyah (preposisi yang bersifat umum)
yang secara potensial mencakup semua ketentuan hukum yang bersifat juz’I yang
berada dalam ruang lingkupnya”.Sementara al- jurjani mendefinisikan:
قضية كلية منتبقة على جميع جزئياتها
Qadhiyyah kulliyah (preposisi yang bersifat umum) yang
dapat diterapkan kepada semua juz’iyyah (parsial)nya”. Sedang
menurut at-Taftazani:
حكم كلي ينتبق على جزئياته ليتعرف ااحكامها منهه
“Hukum yang bersifat kulli (umum) yang dapat
diterapkan kepada semua juz’iyyahnya yang dari kaidah tersebut dapat diketahui
hukum-hukumnya”. Sedang fiqh mempunyai pengertian
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Bila kedua kata ini digabungkan
menjadi qawaid fiqhiyyah, maka ia menunjuk pengertian suatu cabang ilmu
keislaman dengan definisi sebagai berikut:
Menurut Tajudin As-Subki:
الامر كلي الذى ينتبق على جزئياته كثيرة نفهم احكامها
منها
“ketentuan yang bersifat umum yang dapat diterapkan
kepada juz’iyyah yang banyak yang dengan ketentuan tersebut diketahui hukumnya”.
اصول فقهية
كلية فى نصوص موجزة دسستورية ت
Qawaid fiqhiyyah adalah dasar-dasar
fiqh yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk udang-undang yang berisi
hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk
dalam ruang lingkup kaidah tersebut”. Selanjutnya dua definisi menurut Ali Ahmad
an-Nadawi:
حكم شرعي فى قضية اغلبية يتعرف منها احكام ما دخل تحتها
“Hukum syra dalam bentuk Qadhiyyah (preposisi) yang
bersifat domiinan yang dengan qadhiyyah tersebut dapat diketahui ketentuan
hukum mengenai peristiwa-peristiwa hukum yang berada di dalam ruang lingkupnya”.
Definisi yang kedua yaitu:
اصول فقهية
كلي يتضمن احكاما تشرعية عامة من ابواب متعددة فى القضايا التي تدخل تحت
موضوعه
“Dasar-dasar fiqh yang bersifat umum yang mengandung
hukum-hukum syara yang umu dalam berbagai bidang dalam bentuk qadhiyyah-qadhiyyah
yang termasuk dalam ruang lingkupnya”
Dari kedua istilah yang dikemukakan oleh Ali Ahmad
an-Nadawi dapat disimpulkan bahwa:
a.
Keduanya menggunakan istilah syar’I, hal ini untuk membedakannya dari kaidah
lain (seperti qawaid an-Nahwiyyah, qawaid al ushuliyyah, qawaid al qanuniyyah
dll)
b.
Penggunaan kata aghlabiyyah dalam kedua definisi di atas dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa kaidah ini hanya mencakup ketentuan-ketentuan hkum yang
bersifat pada umumnya (mayoritas) dan tidak mencakup keseluruhanya. Dapat
ditegaskan bahwa kenyataanya memang tidak ada satupun kaidah keilmuan islam
yang tidak mengandung pengecualian. Perbedaannya hanya terletak pada sedikit
atau banyaknya pengecualian suatu kaidah disiplin ilmu disbanding dengan kaidah
yang berlaku pada disiplin ilmu lainnya tersebut. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa imu qawaid fiqhiyyah pada hakikatnya adalah sekumpulan
kaidah-kaidah fiqh yang berbentuk rumusan-rumusan yang bersifat umum yang
didalamnya terkandung ketentuan-ketentuan hukum fiqh dalam berbagai bidang yang
temasuk dalam ruang lingkupnya.
4.
Hukum Islam
Menurut KBBI Hukum Islam ialah
peraturan-peraturan dan ketentun-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan
berdasarkan kitab al-Qur’an; Hukum syara’. Definisi ini berbeda dengan
pemahaman para akademisi di Indonesia, sebab hukum Islam tidak dibatasi yang
berkaitan dengan perbuatan manusia pada umumnya, dimana ia tidak mencakup
masalah akidah dan akhlak. Di samping itu, sumber hukum Islam bukan hanya al-Quran,
namun juga as-Sunnah dan melalui berbagai metode penemuan hukum yang dikenal
dalam ushul fiqh. Untuk memudahkan, penegertian hukum Islam sebenarnya tidak
jauh dari fiqh Islam, yakni seperangkat aturan yang berisi hukum-hukum syara’
yang bersifat terperinci, yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yang
dipahami dan digali dari sumber-sumber (al-Quran dan alHadis) dan dalil-dalil
syara’ lainnya (ijtihad).
Dari penjelasan mengenai syariah, ushul fiqh, fiqh,
kaidah fiqhiyyah dan hukum Islam di atas maka dapat ditemukan persamaan dan
perbedaanya, antara lain:
a.
Fiqh dan hukum Islam menunjuk pada pengertian yang sama, yakni
ketentuan-ketentuan hukum Islam itu sendiri.
b.
Pada satu sisi, syariah fiqh dan hukum Islam memiliki persamaan yaitu, sama-sama
membahas hukum Islam yang bersifat amaliyyah (perbuatan manusia), tapi terdapat
perbedaan yaitu: syariah menunjuk pnegertian redaksi atau teks-teks firman
Allah dan hadis Nabi yang berbicara tentang hukum Islam, Fiqh dan hukum Islam
adalah materi hukum Islam yang dipahami dan digali dari redaksi/teks firman
Allah dan Hadis Nabi tersebut (maksudnya, Syariah adalah sumber hukum Islam,
sedang fiqh dan hukum Islam merupakan produk syariah).
c.
Kaidah fiqh merupakan kaidah yang berisi sekumpulan materi ketentuan fiqh/
hukum-hukum Islam yang sejenis, karena ada persamaan illat di antara ketentuan
fiqh/hukum Islam tersebut.
d.
Adapun Ushul fiqh, ia hanyalah alat atau metodologi untuk menggali fiqh/hukum
Islam dari syariah yang berupa firman Allah dan hadis Nabi. Bila ilmu ushul
fiqh dihubungkan dengan syaraiah, ilmu fiqh/hukum Islam dan kaidah fiqh, maka
secara sederhana dapat dijelaskan, jika diibaratkan dalam suatu proses
produksi, maka syaraiah adalah bahan bakunya, sedang ushul fiqh adalah mesim
produksinya, sementara fiqh/ hukum Islam adalah barang hasil produksi tersebut.
Adapun kaidah fiqh adalah kumpulan atau paket-paket kemasan dari hasil
produksi. Dalam hal ini hukum Islam yang dikelompokkan menurut jenis dan
kesamaannya.
BAB
II
SEJARAH PERKEMBANGAN
FIQIH DAN USHUL FIQIH MASA AWAL: MASA RASULULLAH SAW DAN MASA SAHABAT
1. Sejerah
Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Nabi dan Ciri-cirinya
a. Sejarah
Perkembangan Fiqih Pada Masa Rosulullah dan Ciri-cirinya.
Tarikh
Tasyrik Islam, atau sejarah fiqh Islam, pada hakikatnya, tumbuh dan berkembang
di masa Nabi sendiri, karena Nabilah yang mempunyai wewenang untuk
mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafatnya Nabi.Para Fuqaha, ahli-ahli
fiqh, hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah, kaidah-kaidah yang umum
meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah juz-iyah, kejadian-kejadian yang
detail dengan mengistinbatkan, mengambil hukum dari nash-nash syara’, atau
ruhnya, di kala tidak terdapat nash-nashnya yang jelas. Pada Masa Rasulullah
adalah masa fiqh Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam
perwujudan. Sumber asasi yang ada pada masa ini ialah Al-quran (wahyu Ilahi
yang diturunkan untuk menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia). Tentang
sunnah Rasul adalah berdasarlkan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada beliau.
Demikian juga segala tindak-tanduk Nabi SAW. Selalu dibimbing oleh wahyu Ilahi,
dan semua hukum dan keputusan hukum didasarkan kepada wahyu juga. Masa ini walaupun berusia tidak panjang, namun
masa inilah yang meninggalkan bekasan-bekasan dan kesan-kesan serta pengaruh
yang penting bagi perkembangan hukum islam dan masa yang kulli yang bersifat
keseluruhan dan dasar-dasar yang umum yang universal untuk dasar penetapan
hukum bagi masalah dan peristiwa yang tidak ada nashnya. Masa Nabi
SAW ini terbagi kepada dua periode yang masing-masing mempunyai corak
tersendiri. Yaitu periode Makkah dan Periode Madinah.
1) Periode Makkah
Periode
pertama ialah periode Makkah, yakni selama Nabi SAW menetapkan dan berkedudukan
di Makkah, yang lamanya 12 tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat
menjadi Nabi hingga beliau berhijrah keMadinah. Dalam masa ini umat islam masih
sedikit dan masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang
mempunyai kedaulatan, kekuasaan yang kuat. Nabi telah mencurahkan Tauhid
kedalam jiwa masing-masing individu dalam masyarakat arab serta memalingkan
mereka dari memperhamba diri kepada berhala, disamping beliau menjaga diri dari
aneka rupa gangguan bangsanya. Dan masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong
Nabi SAW. Untuk mengadakan hukum atau undang-undang. Karena itu tidak ada di
dalam surat Makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Ya sin dan
Al Furqon. Kebanyakan ayat-ayat makkiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai
aqidah kepercayaan, akhlak dan sejarah.
2)
Periode
Madinah
Periode
kedua ialah periode Madinah, Yakni masa Nabi SAW telah berhijrah ke Madinah,
dan Nabi menetapkan di Madinah selama 10 tahun sampai wafatnya. Dalam masa
inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus
bertambah. Mulailah Nabi SAW membentuk suatu masyarakat Islam yang
berkedaulatan. Karena itu timbulah keperluan untuk mengadakan syari’at dan
peraturan peraturan, karena masyarakat membutuhkannya, untuk mengatur
perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya dan perhubungan
mereka dengan umat yang lainnya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa
perang. Dalam hubungan inilah disyari’atkan hukum-hukum perkawinan, thalaq,
wasiat, jual beli, sewa, hutang-piutang, dan sermua transaksi. Demikian juga
yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan dalam masyarakat, dengan adanya
hukum kriminil dan lain sebagainya individu dan sebagai masyarakat dalam
hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas, antara seantero manusia di
dunia. Karena itulah surat-surat Madinah, seperti Surat Al-Baqoroh, Ali Imran,
An Nisa’, Al Maidah, Al Anfal, At Taubah, An Nur, Al Ahzab, banyak mengandung
ayat-ayat hukum disamping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah dan
lain-lain. Kekuasaan tasyri’iyah (legislatif) pada masa itu dipegang Nabi
sendiri, walaupun dalam hal yang mendesak pernah juga beberapa sahabat
berijtihad mencari hukum, seperti Ali Ibn Abi Thalib dikala melawat ke Yaman,
Mu’adz Ibn Jabal ketika menjadi Hakim di Yaman dan Amr Ibn Ash dan lain-lain.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Dalam Periode Makkah hampir tidak didapatkan
indikasi yang berarti, karena masa ini merupakan masa
pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan adalah
ayat-ayat aqidah. Berbeda dengan masa Madinah di mana ayat-ayat tentang hukum
dan pranata sosila mendominasi, sehingga indikasi penetapan hukum terlihat
lebih jelas. Selanjutnya suatu hal yang nyata
terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat
Al-quran yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu
memberikan penjelasan yang mudah difahami untuk kemudian dilaksanakan secara
praktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan
mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang
tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat
dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan,
perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah
hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber
kepada al-quran itu dapat disebut fiqih.
Fiqih adalah
hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum
amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad.
Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil
penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat
disebut Fiqh atau lebih tepat disebut “Fiqh Sunah”. Kemungkinan Nabi melakukan
ijtihad dalam menghasilkan Sunnahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan
pendapat itu berpangkal pada pemahaman dalam Q.S Al Najm ayat 3-4 yang artinya
“ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya,
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” Ada
ulama yang memahami ayat, ini secara umum, bahwa semua yang diucapkan Nabi
dalam usahanya memberi penjelasan atas ayat hukum atau bukan adalah atas dasar
wahyu. Sedangkan ulama lain memahaminya bahwa yang dimaksud ayat itu adalah
ayat-ayat al-quran yang diterima Nabi dan disampaikannya kepada umatnya, itulah
yang disebut wahyu. Tetapi tidak semua yang muncul dari lisan Nabi disebut
wahyu.
Perbedaan
pendapat ulama dalam memahami ayat tersebut kemudian berkembang pada kebolehan
atau kemungkinan Nabi berijtihad. Ulama kalam Asy’ariyah, mayoritas ulama
mu’tazilah, Abu Ali al Jubbani dan anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak
boleh berijtihad dalam hukum syara’. Alasan mereka adalah Firaman Allah Surat
Al-Najm ayat 3-4 yang artinya, “ Dan tiadalah yang diucapkannnya itu menurut
kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya”. Ayat ini menjadi dalil
utama bahwa semua yang muncul dari lisan nabi adalah dari wahyu dan tidak ada
yang di luar wahyu. Ijtihad tidak berasal dari wahyu, karenanya tidak ada
ucapan Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.
Nabi SAW
berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara menyakinkan melalui wahyu.
Sedangkan hasil ijtihad hanyalah bersifat zhanni. Bila mampu untuk sampai
kepada yang meyakinkan (qath’i), maka tidak boleh menempuh yang tidak
menyakinkan (zhanni). Disamping itu, ijtihad hanya boleh dilakukan bila
tidak ada nash, sedangkan selama Nabi masih hidup, tidak mungkin nash itu sudah
berhenti. Sering terjadi nabi tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan
yang diajukan sahabatnya tentang kasus. Dalam keadaan demikian, nabi menyuruh
menunggu sampai turunnya wahyu yang akan menjawabnya. Seandainya Nabi dapat
memberikan jawaban yang hasil ijtihadnya, tentu nabi tidak perlu berlama-lama
menunggu turun wahyu untuk menjawabnya.
Selanjutnya
pendapat dari ulama lain menyatakan bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masa
peperangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Bila diperhatikan dari
beberapa pendapat tersebut beserta argumennya masing-masing, cenderung pada
pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul dari lisan nabi itu dibimbing
wahyu. Dalam kenyataan memang beliau pernah berijtihad untuk memahami dan
menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari hal-hal
yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagian sunnah
nabi adalah berdasarkan ijtihad.
Adapun
menurut Philips dalam bukunya Evolusi Fiqh yang dikutip oleh Ali Sodiqin, menyatakan bahwa sumber hukum pada
masa Rasul hanya wahyu, baik Al-Qur’an maupun sunnah. rasul juga melakukan
ujtihad ketika muncul persoalan dan wahyu belum turun, Hasil ijtihad Rasul
inilah yang kemudian disebut dengan sunnah atau hadis. Namun, hasil ijtihad
Rasul pada periodenya tidak dianggap sebagai sumber hukum yang independen
karena faliditasnya tergantung kepada wahyu, apakah dikonfirmasi atau
dikoreksi. Contoh aturan dari Rasul yang
dikoreksi oleh wahyu adalah masalah perceraian dengan cara zihar. Rasul
menetapkan zihar yang dilakukan oleh Aus bin As-Shamit kepada istrinya, Khalwah
binti Tsa’labahsebagai bentuk perceraian. Qur’an dengan turunnya surah
Al-Mujadalah (58) ayat 1-3 yang menetapkan bahwa zihar adalah tidak sah sebagai
bentuk perceraian.
b. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa Rasulullah dan Ciri-cirinya.
Pertumbuhan
Ushul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak Zaman Rasulullah
SAW, sampai pada masa tersusunnya Ushul Fiqh sebagai salah satu bidang ilmu
pada abad ke-2 Hijriyah. Di zaman
Rasulullah SAW, sumber hukum Islam hanya ada sua , yaitu Al-Qur;an dan
Assunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah SAW menunggu turunnya wahyu
yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun maka beliau
menetapkan hukum kasus tersebut melaiu sabdanya, yang kemudian dikenal dengan
hadist dan sunah. Ilmu Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh,
meskipun ilmu fiqh dibukukan lebih dulu dari ilmu Ushul Fiqh. Karena dengan
timbulnya ilmu fiqh, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu
tersebut.dan metode ini tak lain adalah ilmu Ushul Fiqh.
Ushul Fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari Fiqh adalah Ushul
Fiqh, berarti Ushul Fiqh itu asas atau dalil Fiqh yang diambil dari Al Qur’an
dan Sunnah. Ushul Fiqh ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
اَمَّا عِلْمُ اُصُولِ الفقه فَلَم يَنشَاء الأ
في القَرنِ الثاني الهِجرِى, لانه ف القرن الجهرى الاولِ لم تَدَع حَا جَةً اليه
فاالرسولُ كان يفتى ويقضى بما يوحى به اليه ربُّهُ من القرن بما يَلهِمُ به من
السُّنَنِ
“Mengenai ilmu Ushul Fiqh, ilmu tersebut lahir sejak abad ke 2 H. Ilmu
tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang tidak diperlukan lantaran
keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu
hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah yang di ilhamkan kepada beliau”.
Sumber hukum
pada masa Rasulullah SAW, hanyalah Al-Qur;an dan As Sunnah ( Al-Hadist). Pada
masa itu di temui sunnah-sunnahnya yang memberi kesan bahwa beliau melakukan
ijtihad. Misalnya beliau melakukan Qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh
Umar Bin Khatab RA, sebagai berikut:
صَنَعتُ اليوم يا رسول الله امرًا عَظِيمًا
قبّلت وانا صاءمٌ , فقال له رسول الله صلي الله عليه وسلم ارايت لو تمضمضتَ بماءٍ
وانت صاءم , فقلت لا بأس بذا لك فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : فصم
“Wahai
Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar, saya mencium
istri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah bersabda kepadanya :
Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu bekumur-kumur dengan air dikala kamu
sedang berpuasa ? Lalu saya menjawab : tidak apa-apa dengan yang demikian itu.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Maka tetaplah kamu berpuasa.”
Pada hadist
diatas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium
istrinya dengan mengqiyaskan kepada “tidak batal puasa seseorang karena
berkumur-kumur”. Cara Rasulullah dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi
bibit munculnya ilmu Ushul Fiqh. Karenanya para ulama Ushul Fiqh menyatakan
bahwa Ushul Fiqh ada bersamaan dengan hadirnya Fiqh, yaitu sejak zaman Rasulullah.
Penetapan hukum pada masa Rasulullah SAW dapat secara langsung mengambil dari
AL-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan hukum dengan
melalui Sunnahnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga. Disamping itu
beliau juga berijtihad dalam menetapkan hukum-hukum tertentu, akan tetapi
ijtihadnya dilakukan secara naluri, artinya dilakukan tanpa memerlukan usul dan
kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman dalam mengistimbatkan hukum. Pada
masa Rasulullah SAW, Ushul Fiqh seperti yang kita kenal sekarang ini belum
diperlukan, sebab RAsulullah SAW dan para sahabat, ketika itu dapat memahami
secara langsung hukum-hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Rasulullah
SAW adalah seorang manusia juga, sebagaimana manusia lain pada umumnya, maka
hasil ijtihadnya pun bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam
sebuah riwayat, beliau bersabda :
انما أنا بشرٌ فما حدثكم
عن اللهِ فهو حقٌّ , وما قلت فيه من قبل نفسى فانما أنا بشرٌ أُخطىءوأصيبُ
“saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan
kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar, dan segala yang saya katakan
dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah
dan bisa benar.
Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah , Allah menurunkan wahyu
yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar.
Sebagai contoh hasil beliau tentang
tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan
terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka (para
tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut
Umar bi Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan
mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih
pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur’an yang tidak membenarkan
pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar, yakni:
ماكان لنبىّ ان يكون له أسرى حتى يثخن فى الأرض
, تريدون عرض الدنيا , والله يريد الأخرة , رالله عزيز حكيم.
“tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat ( untukmu). Dan Allah Maha Kuasa
lagi Maha Bijaksana.
Jika terhadap hasil Ijtihad
Rasulullah SAW tersebut tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan
menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan
sudah barang tentu termasuk kedalam kandungan pengertian As Sunnah( Al-Hadist). Dari
penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari sejarah
perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Rasul adalah bahwa Pada Masa itu Rasulullah berijtihad hukum-hukum yang merupakan keputusan-kepetusan dalam
masalah-masalah yang dihadapkan kepada Rasul atau merupakan suatu fatwa atau
jawaban terhadap suatu pertanyaan. Khittah atau jalan yang diikuti Rasul dalam
menetapkan hukum ialah menanti wahyu. Apabila wahyu tidak datang, Nabi pun
berpendapat bahwa Allah menyerahkan tasyri’ dalam masalah yang dihadapinya itu
kepada Nabi sendiri, maka Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruhusy
syari’ah. kemaslahatan dan permusyawaratan.
2. Sejerah
Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya
a. Sejerah
Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh
pada masa Sahabat dan
Ciri-cirinya
Periode sahabat ini dimulai dari
wafatnya Rasulullah SAW sampai akhir abad pertama hijrah. Pada masa sahabat
dunia Islam sudah meluas hingga
meliputi: Syria, Yordania, Mesir, Iraq dan Persia, yang
mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah
mengherankan apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum ditandai dengan
penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya.
Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat
Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam
satu mushaf datang dari Umar bin Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat
yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh Umar
kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut,
karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada
akhirnya Abu Bakar menerima ide yang baik dari Umar ini. Maka beliau menugaskan
Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-pencar
tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan
yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini disimpan pada Abu Bakar, seterusnya
masa Umar dan kemudian setelah Umar meninggal disimpan pada Hafshah binti Umar.
Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf yang ada pada Hafshah
kemudian menugaskan lagi kepada Zaid bin Tsabit untuk memperbanyak dan
membagikannya ke daerah-daerah slam yaitu ke Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah dan
Damaskus. Mushaf itulah yang sampai kepada kita sekarang.
Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi
meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan. Nabi
selalu minta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadist. Dengan
demikian tidak akan bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu
Al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat. Bahkan banyak sahabat yang hafal
keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun
Hadist pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab, akibat tidak tertulisnya
dan tidak terkumpulnya Hadist dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka
ulama-ulama dapa periode selanjutnya harus meneliti keadaan perawi Hadist dari
berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadist serta muncul Ilmu
Musthalah Hadist. Akibat lain adalah timbulnya perbedaan pendapat karena
berbeda dalam menanggapi satu Hadist tertentu.
Pada masa sahabat, Islam telah
menyebar luas misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Negara-negara tersebut
telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu,
peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di
luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode
selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya kasus
Usyuur (bea cukai barang-barang impor), kasus mualaf dan lain-lain pada
zaman Umar bin Khatab. Adapun cara
berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam
Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru
berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad
jama’i. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah
ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin
Khatab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu : ”Musyawarah yang
bersifat khusus dan musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat
khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas
memusyawarahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah.
Adapun musyawarah yang bersifat umu dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang
dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting. Walaupun
demikian tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad para sahabat dalam
masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan
kemaslahatan umum. Mereka menanyakan masalahnya kepada salah seorang sahabat
Nabi dan diberikan jawabannya. Dalam masalah-masalah ijtihadnya termasuk dalam
hal-hal yang belum ada nash-nya para sahabat berijtihad. Jadi, pada
masa sahabat ini sudah ada tiga sumber hukum yaitu Al-Qur’an, Alsunnah dan
Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam masalah-masalah
yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardhi dalam hal-hal
yang bersifat pribadi.
Ciri khas
yang menonjol dalam perkembangan fiqih periode sahabat ini adalah sebagai
berikut:
1. Bersifat realistis, karena ketetapan fiqihnya didasarkan pada
problem-problem aktual yang terjadi. Tidak ada ketetapan fiqih yang bersifat
hipotesis atau rekaan semata, sehingga bentuk fiqih masa ini disebut dengan fiqh
al-waqi’I (fiqih realistik).
2. Bersifat terbuka, karena tidak menetapkan prosedur-prosedur tertentu yang
harus diikuti dalam menetapkan aturan hukum. Para sahabat juga tidak membuat
catatan atas ketetapan hukum yang mereka hasilkan. Di samping itu mereka
menghargai kebebasan pendapat tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah
Rasul.
3. Mengedepankan musyawarah (ijmak) daripada menggunakan pendapat pribadi
dalam penetapan hukum. Hal ini dipraktekkan
oleh para Khulafaur Rasyidin, sehingga memperkecil ruang ikhtilaf maupun
perpecahan di kalangan umat Islam. Meskipun demikian para sahabat tetap
menghormati pendapat pribadi di antara mereka.
4. Bersifat kreatif, dalam arti melakukan modifikasi terhadap aturan hukum
sebelumnya. Alasan modifikasi ini adalah tiadanya illat bagi keberadaan
hukum tersebut dan atau adanya perubahan kondisi sosial. Contoh dalam kasus ini
adalah ijtihad Umar Ibn Khattab, yang melarang pendistribusian zakat bagi
muallaf adalah untuk mendapatkan dukungan, namun pada masa Umar dukungan
muaalaf tersebut tidak dibutuhkan lagi mengingat eksestensi umat Islam sudah
kuat. Contoh kedua terkait dengan penetapan talak tiga. Pada masa Rasulullah,
pernyataan tiga kali talak dalam satu kesempatan dianggap sebagai satu kali
pernyataan talaq. Khalifah Umar sebaliknya menetapkan bahwa talaq tiga kali
tersebut dianggap jatuh talaq tiga.
5. Khalifah Centris, yaitu keputusan akhir yang melibatkan ijmak dan ijtihad
berada di tangan khalifah. Namun keputusan khalifah sebelumnya tidak mengikat
bagi khalifah sesudahnya. Khalifah pengganti dapat mengubah aturan hukum dari
khalifah sebelumnya. Contohnya misalnya Khalifah Ali mengubah hukuman bagi
peminum khamr. Khalifah Abu Bakar dan Umar mengubah hukuman bagi peminum Khamr
dengan 40 kali cambuk, sedangkan khalifah Ali menambah hukuman tersebut menjadi
80 kali cambuk.
BAB III
SUMBER HUKUM
ISLAM
Al Qur’an
Secara etimologi Alquran berasal
dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan
(al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat),
Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para
Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran
adalah Kalamulllah yang diturunkan pada rasulullah dengan bahasa arab,
merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah
ibadah.
Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:
Tauhid, yaitu kepercayaan ke-esaann Allah SWT dan semua kepercayaan yang
berhubungan dengan-Nya
Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan
ajaran tauhid
Janji dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau
mengamalkan isi Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari.
Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul
dalam menyiaran syariat Allah SWT maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah
orang yang mengingkari kebenaran Alquran agar dapat dijadikan pembelajaran.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
- Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur
hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan
dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
- Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara
lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama
manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini
tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu
yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
- Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan
dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk
individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan.
Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yakni:
- Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah SWT,misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
- Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur
manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum
muamalat adalah sebagai berikut:
- Hukum munakahat (pernikahan).
- Hukum faraid (waris).
- Hukum jinayat (pidana).
- Hukum hudud (hukuman).
- Hukum jual-beli dan perjanjian.
- Hukum tata Negara/kepemerintahan
- Hukum makanan dan penyembelihan.
- Hukum aqdiyah (pengadilan).
- Hukum jihad (peperangan).
- Hukum dauliyah (antarbangsa).
2. Hadist
Kedudukan Hadist sebagai sumber
ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan Hadist
juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat
sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa
Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat. Menurut bahasa Hadist
artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan
ada pula yang buruk. Pengertian Hadist seperti ini sejalan dengan makna hadis
Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji,
maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang
mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi
yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya. Sementara
itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Hadis,
Al-Sunnah, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan
maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah
sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan
persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Hadist memiliki fungsi yang
pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat
dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran :
- Yang bersifat global (garis besar) yang
memerlukan perincian;
- Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki
pengecualian;
- Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki
pembatasan; dan ada pula
- Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari
satu (musytarak) yang
- Menghendaki penetapan makna yang akan dipakai
dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak
dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada
hadis nabi.
B. Sumber Ajaran Islam Sekunder
Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtihada
yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin.
Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk
mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist.
Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist.
Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat
di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan
akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist.
Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam,
yaitu
Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan
menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli Ijtihad umat Nabi Muhammad SAW
sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara
musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama
dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
1. Qiyas yaitu berarti mengukur sesuatu
dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula
sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang
mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama.
Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’,
‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap
meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti
hati orang tua.
2. Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu
Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta
yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan
hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang
barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak
memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan
dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
3. Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun
menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan
manusia.
Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan
untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat
Islam demi kemaslahatan umat.
4. Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup
jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah
menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk,
padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar
jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi
kebiasaan.
5. Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang
telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah
kedudukan hukum tersebut.
Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di
saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu
sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
6. Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan
terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai
pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena
harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
a. Abu Hanifah (Imam Hanafi)
Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin
Mahan at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت), lebih dikenal dengan nama Abū
Ḥanīfah, (bahasa Arab: بو حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M —
meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi,
karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik,
dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh
berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan
seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin
Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
b. Imam Malik
Mālik ibn Anas bin Malik bin
‘Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin
`Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab:
مالك بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada tahun
800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Malik.
Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin
Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di
Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat
perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa
imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa
imam malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam
malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar
malik berkata :”aku dilahirkan pada 93 H”. dan inilah riwayat yang paling benar
(menurut al-Sam’ani dan ibn farhun)[3].
Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu
40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’
lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya
berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur
adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al
Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad
Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm
berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum
mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang
Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600
hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in,
disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai
kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad
dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn
Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan
hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’
Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan
600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al
Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad,
Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah
Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang
lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti
al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan
Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb,
Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
Malik bin Anas menyusun
kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini,
Al Muwatta.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul
Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin
Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb,
Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya
al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats
Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi,
dan lain-lain. Pujian Ulama untu Imam Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan
jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada
meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena
tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya
sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada
matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para
tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi’i berkata : “Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya
setelah para Tabi’in. “.
Yahya bin Ma’in berkata :”Imam
Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits”
Ayyub bin Suwaid berkata :”Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah)
dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya”.
Ahmad bin Hanbal berkata:” Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam
malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid’ah”
Seseorang bertanya kepada as-Syafi’i :” apakah anda menemukan seseorang yang
(alim) seperti imam malik?” as-Syafi’i menjawab :”aku mendengar dari orang yang
lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak
menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang)
menemui yang seperti Malik?[3] “
Kitab Al-Muwaththa
Al-Muwaththa bererti ‘yang
disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan
hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan
hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan
ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang
merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis
adalah sahih kerana Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam
penerimaan sebuah hadits. Dia sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan,
dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang
dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya
5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan
al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk
mengumpul dan menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafi
pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang
lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam
Malik.”
inilah karangan para ulama muaqoddimin
[sunting]Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh
Imam malik jatuh sakit pada hari
ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu ia wafat.
sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H.
sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi’:” imam malik wafat pada usia 87
tahun” ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang
memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi’
c. Imam Syafi’i
Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs
al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس
الشافعي) yang akrab dipanggil Imam Syafi’i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 –
Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga
pendiri mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia
termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara
dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama
besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk
berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama
namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Tulisan di bawah terpaksa juga dihapus.
Bagaimana mungkin Imam Syafi’ie
yang lahir tahun 150 H dan wafat tahun 203 H disebut menolak paham Asy’ariyyah
yang memperkenalkan ajaran Sifat 20 sementara Imam Abu Hasan Al Asy’ari sendiri
baru lahir tahun 260 H atau 57 tahun setelah Imam Syafi’ie meninggal?
Imam Syafi’ie adalah Imam Fiqih.
Beda dengan Imam Asy’ari yang merupakan Imam masalah Tauhid. Kalau seperti itu,
maka Imam Syafi’ie juga jauh dari paham Trinitas Tauhid yang dibawa oleh
Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir tahun 1115 Hijriyah:
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang
berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.
Sumber: Majalah As-Salaam
Imam Hambali
Sebetulnya ingin mengambil
referensi dari Wikipedia di bawah. Namun ada yang aneh yang menyatakan Murid
Imam Hambali adalah Imam Syafi’i.
Imam Asy-Syafi’i. Imam
Ahmad juga pernah berguru kepadanya. Padahal berbagai literatur yang ada
menyebut bahwa guru Imam Syafi’i yang lahir tahun 150 H adalah Imam Malik
(lahir tahun 93 H). Sementara Imam Hambali yang lahir tahun 164 H (14 tahun
lebih muda dari Imam Syafi’i) adalah murid dari Imam Syafi’i. Hubungan Guru
dengan Murid tak akan pernah berubah meski seorang guru bertanya beberapa hal
kepada muridnya. Aneh kan jika Imam Hambali berkata: “Imam Syafi’i itu dulu
Guruku. Namun setelah aku lebih pintar, sekarang Imam Syafi’i jadi muridku”
Insya Allah tidak begitu. Meski Imam Hambali adalah seorang Imam yang cerdas,
namun pernyataan bahwa murid Imam Hambali adalah Imam Syafi’i menunjukkan
adanya perubahan seenaknya oleh kaum Salafi Wahabi dalam rangka memuja Imam
Hambali yang mereka jadi panutan secara berlebihan/ghulluw.
d. Imam Hambali
Beliau
adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris
bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin
Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu
dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu
nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika
beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat
tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya
pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah
beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru
berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan
menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian
bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut
merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah
seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam
Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti
Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan
membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah
rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang
sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini,
keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan
miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu
yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau
mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad
telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang
berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis
ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli
bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya
menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat
berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus
menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu
banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia
mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama
dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang
aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi
Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai
adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian
beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari
para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau
mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam
Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun.
Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits
kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim
bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183.
Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar
tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada
tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu
ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau
temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama
tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah
ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang
menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain
yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail
bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan
lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam
Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan
saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah
menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah,
beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya
dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah
setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai
Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta)
hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang
kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni
hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada
kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya,
mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang
pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah
dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau
menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka
waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180
saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang
tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam
dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga
menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir,
kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah
wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah,
kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman,
kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah,
satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il
ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain
Kepadanya
Imam
Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari
akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di
Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya
datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh
saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i
mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad
menolaknya.
Suatu
hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih
tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau
tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau
Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini
menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan
ilmu kepada ahlinya.
Imam
Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu
tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan
lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul
Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad
bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari
ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq
menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia
akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah
disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku
tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang
lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di
sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau,
tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti
diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal
sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah
menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian
dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi
dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari
tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada
masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang
berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang
kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai
kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki.
Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka.
Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari
Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya,
dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah
kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah
mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan
lain-lain.
Kelompok
Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari
Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi
al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di
antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam
(berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah
al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk
meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya
Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat
tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani
menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku
pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa
Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku,
jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia
dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala
Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok
Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun,
mereka mampu melakukannya.
Untuk
memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai
mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung
orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri
telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia
telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa
di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan
ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat
kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten
memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun
bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin
Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke
Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan
sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan
dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun
218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal
al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah
mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan
menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad
dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi
beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah.
Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke
dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan
menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki
terbelenggu.
Selama
itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau,
tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan
al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh
bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua
itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang
menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada
akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam
keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah
kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai
al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya,
al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya,
al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya.
dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya.
Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang
Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad
bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau
menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun,
yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah
al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa
pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian
pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh
wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan
ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga
memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang
sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan
adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan
melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan
namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar
bin Abdul Aziz.
Menjelang
wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya,
orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di
depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di
depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun
241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan
kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka
yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang
mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada
yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya
menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi
menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah
berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa
perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.
Demikianlah
gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap
agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh
keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama
lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang
Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada
dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy
berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan
agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar
as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada
awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
BAB IV
TASYRI JAMAN NABI DAN SAHABAT DAN
TABI’IN
A.
Kondisi Tasyri’ Pada Masa Sahabat
Dengan
wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22
hari yang beliau terima melalui malaikat jibril baik waktu beliau masih berada
di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah,
berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah itu.
Kedudukan
nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak mungkin diganti, tetapi tugas beliau
sebagai pemimpin masyarakat islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh
orang lain. Pengganti nabi Muhammad sebagai kepala Negara dan pemimpin umat
islam ini disebut Khalifah, suatu kata yang dipinjam dari Al-Qur’an (Surat
2:30). Di dalam Al-Qur’an selain surat Al-baqarah ayat 30 itu terdapat
perkataan khalifah yang tersebar dalam sebelas ayat. Ide yang dapat disimpulkan
dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa manusia harus mempunyai tujuan hidup
menata dunia ini. dan sebagai khalifah (wakil) Tuhan dibumi ini, manusia harus
menerjemahkan segala sifat-sifat Tuhan kedalam kenyataan hidup dan
kwhidupan dan wajib mengatur bumi ini sesuai dengan pedoman yang telah
ditetapkan-Nya. Manusia wajib melakukan tugas unutk mencapai tujuan hidupnya menurut
pola yang telah ditentukan oleh Tuhan dalam ajaran-ajaran-Nya.
Pengangkatan
seorang khalifah dapat terjadi dengan persetujuan masyarakat sebagaimana yang
terjadi dalam kasus Abu Bakar, atau dengan penunjukan khalifah sebelumnya
seperti kasus Umar. Jika diperlukan pemilihan, dapat dibentuk suatu badan
khusus menyelenggarakan pemilihan itu. Sesudah dipilih, khalifah harus berjanji
bahwa ia akan memenuhi kewajiban yang dipercayakan kepadanya. Ia harus
melaksanakan janjinya dengan setia, sebab tanggung jawab dan kewajibannya
sebagai kepala Negara, jauh lebih berat dari hak-hak istimewa yang ada
padanya. Ia mendapat janji setia (bai’at) dari rakyat atau wakil-wakilnya yang
memenuhi syarat.
Demikianlah
untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat dan kepala
Negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan
sahabat Nabi sendiri. Sahabat nabi adalah orang hidup semasa dengan nabi,
menjadi teman atau kawan nabi Muhammad dalam menyebarkanluaskan ajaran islam.
Para sahabat Nabi ini silih berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Periode
kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia,
tetapi periode Sahabat meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga masalah
yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci di dalam
Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Para sahabat
menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab.
Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara penetapan hukum
di pengadilan, dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul interpretasi
terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima oleh Rasulullah saw, dan terbukalah
pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash secara
jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai berkembang pesat meluas sampai ke-Timur
dan ke-Barat, sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk
menginterpretasikan nash-nash hukum baik dalam Al-Quran maupun Al-hadits, yang
kemudian menjadi pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum jelas itu.
Selain dari pada itu para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai
masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan
dalam nash mengenai hal itu, yang kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan
untuk berijtihad. Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’ yaitu
menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang
tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita,
maka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab mereka dalam
kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka menyaksikan dan
mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud suatu hadits melebihi pengetahuan
ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan Para sahabat bergabung dalam kelompok yang
biasa diajak bermusyawarah oleh Rasululloh saw. Karena itulah maka munculah
kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail
fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal.
Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat melanjutkan
apa yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali mengenai beberapa peristiwa yang
pada zaman Nabi belum ada.
B.
Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya
Para
sahabat memainkan pesan yang sangat penting dalam membela dan
mempertahankan agama. Mereka tidak cukup melaksanakan dan melestarikan syari’at
yang dibawa Nabi Saw, tetapi juga membentangkan sayap dakwah Islam hingga kemancanegara.
Ini untuk kali pertama syari’at Islam khususnya fiqih berhadapan dengan
berbagai persoalan baru. Misalnya masalah seputar moral, etika, kultur, dan
kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang sangat majemuk.
Fase ini adalah adalah fase yang paling dominan, dalam mempengaruhi
perkembangan syari’at. Wilayah-wilayah yang dibuka dan dibebaskan saat itu
memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi situasi dan kondisi yang
menghadang para fuqaha’ dari kalangan sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali untuk memberikan suatu fatwa.
Para
Sahabat dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al Qur’an dan Sunnah,
menyikapi terhadap persoalan-persoalan yang datang dengan langsung merujuk
kepada al-qur’an dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam
al-Qur’an dan hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka tidak
menemukan dalam dua sumber pokok syari’at Islam tersebut. Kondisi yang demikian
ini mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar
dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al Qur’an untuk diaplikasikan
terhadap persoalan-persoalan baru.
Konsekuensi
lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan
yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian
tetap pada agama dan kepercayaan masing¬-masing. Dari sini muncul suatu
tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam
dengan orang-orang non Muslim. Para fuqaha’ untuk yang kesekian kalinnya
berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini.
Termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era
kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum
masalah ini.
Ada
tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum:
1.
Begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum yang
secara lahiriyah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun
penjelasan dari sunah Nabi.
2.
Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah di atur ketentuan hukumnya
dalam Al-Qur’an maupun Sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu
sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan
perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
3.
Dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan
terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat
menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.
C.
Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Sahabat
Sumber
Tasyri’ pada masa ini adalah Al Qur’an, As-sunnah dan ljtihad (termasuk
didalamnya ijma’ dan qiyas). Sebab pada hakekatnya keduanya dihasilkan dari
jerih payah mujtahiddin. Al qur’an pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada
Utsman bin Afan, setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar.
Adapun sumber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum
dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’ an. Meski
demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan. Sehingga kebenaran
riwayatnya dapat dijamin. Abu Bakar Misalnya, beliau tidak mau menerima hadits
dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang
terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut
datang dari Rasulullah. Demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa
menyumpah perawinya.
Kemudian
sumber hukum yang ketiga, adalah ijtihad. Para shahabat dalam berijtihad tidak
selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Berkenaan dengan
ini Ibnu Qoyyim pernah berkata bila seseorang sahabat mengemukakan pendapat
atau mengemukakan suatu hukum atau memberikan fatwa, tentu ia telah mempunyai
pengetahuan, baik yang dimiliki oleh para sahabat maupun pengetahuan yang kita
miliki. Adapun pengetahuan yang hanya dimiliki oleh sahabat, mungkin didengar
langsung dari Nabi melalui sahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya diketahui
oleh masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para sahabat tidak semua
dapat meriwayatkan semua hadits¬hadits yang didergar dari Khulafa’ ar Rasyidin
dan sahabat-sahabat lainnya.
Walaupun
Abu bakar Assiddiq selalu mendampingi Nabi, hingga nabi tidak pernah lepas dari
pantauan Abu Bakar dan ia digolongkan sebagai orang yang mengetahui tentang
Rasulullah SAW, tetapi hadits-hadits yang ia riwayatkan tidak lebih dari
seratus hadits. Anggapan orang bahwa seorang sahabat selalu meriwayatkan suatu
Hadits atau menyatakan suatu kejadian yang ia ketahui, adalah anggapan yang
keliru, bahwa orang tersebut tidak mengetahui sikap dan tingkah laku para
sahabat. Sebab mereka sangat takut untuk meriwayatkan suatu hadits, lantaran
khawatir akan menambah atau mengurangi hadits tersebut. Karena itu mereka
sedikit sekali meriwayatkan dan hanya menceritakan apa yang mereka dengar dari
Rasulullah, atau sabda beliau.
D.
Metode dalam Mengenal Hukum
Para Sahabat dalam menghadap
suatu masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari nashnya dari Al
Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran dan Sunnah
mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta pendapat
mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka menetapkan
pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’.
Untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan
Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul
keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya
kembali kepada al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal.
Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih
terpusat kepada al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun
demikian, sumber hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar
kedua sumber hukum itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan
menggunakan akal pikiran.
Pada
umumnya dalam memutuskan hukum, sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya
terlebih dahulu kepada sahabat lain, takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan
bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya
keputusan diambil dari hasil consensus, yang lazim disebut ijma’.
Melihat luasnya kekuasaan Islam, tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang
dipandang mewakili keseluruhan.
Pada
awal masa sahabat ini , yaitu pada masa khalifah Abu Bakar dan masa khalifah
Umar, para sahabat dengan cara bersama-bersama menetapkan hukum terhadap
sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para sahabat
dengan cara bersama-sama ini di sebut sebagai ijma’ sahabat.
Khalifah
Umar pun berbuat demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dalam
al-qur’an dan as-sunnah, maka beliau memperhatikan apakah telah ada
keputusan-keputusan terhadap masal itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu
keputusan hukum, maka Umar memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak maka
beliau memanggil pemuka-pemuka kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum
tersebut, maka beliau memberikan keputusan dengan hukum yang telah di sepakati
tersebut.
Jadi,
dalam menghadapi permasalahan yang terjadi, berkembanglah pemikiran para
sahabat. Adapun metode yang digunakan pada masa sahabat dapat melalui beberapa
cara diantaranya :
a.
Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir
lafaz. Umpamanya bagaimana hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang
jelas dalamm alquran hanya larangan memakan harta anak yatim. Ketentuan jelas
dalam alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan
hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan
memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak
yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut
penggunaan metode mafhum.
b.
Dengan cara memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus
(kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki
alasan atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut
metode qiyas.
E.
Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat Dalam Penetapan Hukum
Menurut
Para ahli, timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat disebabkan adanya
beberapa faktor, setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar yang
menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.
1)
Perbedaan dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadits.
Perbedaan
seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash
dan perbedaan persepsi dikalangan sahabat seperti persoalan quru’, Adanya aya-ayat
ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya (dzanni). Dalam Surat Al
baqarah : 228 memiliki dua pengertian. Menurut Zaid bin Tsabit, quru’ berarti
suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh.
2)
Munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan
kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati
tiga tahapan, caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru
kemudian mencari dalil-dalil yang rnenguatkan salah satu dari nash (at-Tarjih),
dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.
3)
Sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa
berdasarkan pengetahuan dari sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya
atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai hadits shahih.
Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan hadits.
Beberapa hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh Sebagian fuqaha’
ditolak oleh fuqaha’ lain sebab berbagai alasan. Selektifnya penerimaan
periwayatan hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan hadits
dilain pihak, terutama dikalangan ulama’ Madinah .
4)
Perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat.
Dari
perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat
dalam suatu persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan fiqh
Islam.
5)
Hal ini adalah yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode
Sahabat dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi.
Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi dan
redinamisasi syariat periode ini.
6)
Perbedaan mereka dalam menerima hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada
yang menerima hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya
menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal
mereka. Bagi yang dekat dengan Rasulullah, praktis mereka banyak menerima
hadits, demikian sebaliknya.
Jadi
dengan adanya faktor tersebut, maka munculah beberapa fatwa diantara mereka,
yang masing-masing mempunyai dalih dan argumentasi yang berbeda. Akan tetapi,
fatwa-fatwa pada waktu itu hanya terbatas pada persoalan-¬persoalan tertentu
yang mendesak saja. Perbedaan pendapat belum begitu meluas, sebab problem hukum
yang muncul saat itu masih relatif sedikit ketimbang sesudahnya. Disamping
konsensus mereka (ijma’) yang masih sangat dimungkinkan. Diantara sahabat besar
yang sangat menghindari ijtihad/ra’yu adalah Ibnu Abbas Zubair, dan Abdulah bin
Umar, Dan yang terkenal besar Ijtihad adalah Umar Bin Khattab dan Abdullah bin
Masud.
Diantara
para sahabat yang memegang peran penting dalam hukum pada masa ini adalah: Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Dzaid bin
Tsabit, Ubay Bin Ka’ab Abdulah bin Umar, Aisyah, isteri nabi. Mereka semua
tinggal di Madinah, termasuk beberapa sahabat yang lain.
F.
Contoh-contoh penerapan hukum (Ijtihad) Para Sahabat
Para
sahabat dalam mencari istimbat hukum pasti merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits.
Akan tetapi permasalahan terjadi ketika dalam dua sumber hukum ,tersebut tidak
ada rujukan, sehingga para sahabat harus menggunakan penalarannya, untuk
memecahkan masalah yang sedang terjadi. Berikut ini beberapa contoh penerapan
hukum pada masa sahabat:
a.
Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat
Allah
SWT. Dalam Al-Qur’an mewajibkan zakat. Nabi dalam Sunnah-Nya menyebutkan bahwa
zakat itu di ambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin. Nabi disuruh
Allah unutk mengambil harta zakat dari umatnya (At-taubah:103). Cara yang
dilakukan Nabi adalah cara yang bijaksana sesuai dengan pesan Allah unutk
berdakwah dengan cara bijaksana (An-nahl:125). Atas kesadaran umat waktu itu,
kewajiban zakat dapat terlaksana dengan baik.
Pada
masa Abu Bakar menjadi khalifah, beliau melihat bahwa pemungutan zakat secara
lemah lembut seperti yang dilakukan Nabi tidak efektif lagi karena adanya
kecenderungan pembangkangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar
zakat. Karena itu Abu Bakar mengambil sikap yang keras, bahkan menetapkan unutk
memerangi orang-orang yang tidak mau membayar kewajiban zakat. Dasar pemikiran
Abu Bakar ialah bahwa menempuh sikap lemah lembut sebagaimana dilakukan oleh
Nabi, kewajiban membayar zakat tidak dapat ditegakkan.
b.
Larangan meminum khamar
Allah
melarang meminum khamar bagi orang islam secara tegas (Al-maidah:90) karena
perbuatan tersebut merupakan dosa besar, maka Nabi melalui ijtihadnya
menetapkan sanki minum khamar, yaitu dera sebanyak 40 kali. Pelaksanaan sanksi
yang ditetpkan Nabi itu dapat menjerakan orang. Dengan demikian tujuan larangan
tercapai.
Pada
masa Umar bin Khatab menjadi khalifah, kebiasaan minum khamar waktu jahiliyah
kmbuh lagi dikalangan orang islam dan sanksi dera 40 kali sudah kurang efektif
sebagai alt penjera. Umar memikirkan cara unutk mebuat orang jera minum khamar
yang merupakan tujuan dari hukum. Dalam hal ini Umar menetapkan sanksi minum
khamar menjadi 80 kali dera, sehingga ornag menjadi bertambah takut meminum
khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapan Umar berbeda dengan yang
ditetapkan Nabi sebelumnya, unutk mencapai tujuan larangan, yaitu menjerakan
berbuat kejahatan.
c.
Penetapan azan shalat jum’at dua kali
Pada
masa Nabi, azan memberi tahu masuk waktu Jum’at dilakukan satu kali, yaitu
setelah khatib naik mimbar. Perbedaan Antar Mazhab? Di antara tonggak
penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab raksasa di
tengah ratusan mazhab kecil lainnya. Keempat mazhab itu adalah Al-Hanabilah,
Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Sebenarnya jumlah mazhab besar
tidak hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui
eksistensi dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad ini. Keempatnya masih utuh
tegak berdiri dan dijalankan serta dikembangkan oleh mayoritas muslimin di muka
bumi. Masing-masing punya basis kekuatan syariah serta masih mampu melahirkan
para ulama besar di masa sekarang ini.
BAB V
TENTANG MAZHAB-MAZHAB
1. MazhabAl-Hanifiyah.
Didirikan
oleh An-Nu’man bin Tsabit atau lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau
berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa,
Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut tabiin , sebagian ahli
sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’in. Mazhab Al-Hanafiyah
sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam
masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para
pengamat dianalisa bahwa di antaralatar belakangnya adalah. Karena beliau
sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu
yakin atas keshahihah suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak
menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula
seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash
syar’i. Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat
di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan
bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di
masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam
Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits. Di
kemudian hari, metodologi yang beliau perkenalkan memang sangat berguna buat
umat Islam sedunia. Apalagi mengingat Islam mengalami perluasan yang sangat
jauh ke seluruh penjuru dunia. Memasuki wilayah yang jauh dari pusat sumber
syariah Islam. Metodologi mazhab ini menjadi sangat menentukan dalam dunia
fiqih di berbagai negeri.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab ini
didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi .Berkembang sejak
awal di kota Madinah dalam urusan fiqh. Mazhab ini ditegakkan di atas doktrin
untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan praktek
penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar; Al-Quran,
As-Sunnah , Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah , perkataan sahabat, istihsan,
saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana.
Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak
sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang
valid di Kufah, mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah. Sebab
mazhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya
adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek
ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa
dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para
umumnya.
3. Mazhab As-Syafi’iyah
Didirikan
oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i . Beliau dilahirkan di Gaza Palestina tahun
150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H. Di Baghdad,
Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya . Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200
H dan menuliskan madzhab baru . Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ‘ilm di
akhir bulan Rajab 204 H. Salah satu karangannya adalah “Ar-Risalah” buku
pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang
baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul.
Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra’yi dan fiqh ahli hadits. Dasar madzhabnya:
Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat
karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil
Istihsan sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan
penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan
maka ia telah menciptakan syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i
adalah nashirussunnah ,”
Kitab
“Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak;
Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Sementara kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh
pengikutnya di Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam
Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan
dengan perkataanku, maka ia adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di
belakang tembok,”
4. Mazhab Al-Hanabilah
Didirikan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani . Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh
besar di sana hingga meninggal pada bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki
pengalaman perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah,
Mekah, Madinah, Yaman, Syam. Beliau berguru kepada Imam Syafi’i ketika datang
ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid mutlak mustaqil. Gurunya sangat banyak
hingga mencapai ratusan. Ia menguasai sebuah hadis dan menghafalnya sehingga
menjadi ahli hadis di zamannya dengan berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi
Hazim Al-Bukhari. Imam Ahmad adalah seorang pakar hadis dan fiqh. Imam Syafi’i
berkata ketika melakukan perjalanan ke Mesir,”Saya keluar dari Baghdad dan
tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih
melebihi Ibnu Hanbal ,”
Dasar madzhab
Ahmad adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab,
Maslahah mursalah, saddudzarai’. Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun
tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari
perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau
mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadis. Beliau
memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal dan
hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau
munkar. Di antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal anak
terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal . Shalih bin Ahmad lebih
menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadis. Murid yang adalah
Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad , Abdul Malik
bin Abdul Hamid bin Mihran , Abu Bakr Al-Khallal , Abul Qasim yang terakhir ini
memiliki banyak karangan tentang fiqh madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh
madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
BAB VI
KAIDAH FIKIH ASASIYAH
I. Kaidah Asasi Pertama
اَلْأُمُوْرُ
بِمَقاَصِدِهاَ
Segala
perkataan terantung pada niat
Niat
di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu
disertai pelaksanaannya.
قَصْدُ
الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ أَوالْقَصْدُالْمُقَارِنُ لِلْفِعْلِ
Di dalan sholat misalnya yang dimaksud dengan
niat adalah bermaksud didalam hati dan wajib niat disertai takbirat al-ihram.
Di
kalangan mahzab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada dalam hati
, karena niat adalah
perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila
meyakini/beritikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup, dan ajib niat
didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat
al-ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.
Dapat
disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :
- Untuk membedakan
antar ibadah dan adat kebiasaan.
- Untuk
membedakan kualitas perbuatan baik kebaikan maupun kejahatan.
- Untuk
menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan
yang wajib dari yang sunnah.
Secara
lebih mendalam lagi para fuqaha merinci masalah niat ini baik dalam ibadah
mahdoh seperti thoharoh, wudhu, tayamum, mandi junub, sholat qhasar, sholat
jama, sholat wajib, sholat sunnat, zakat, haji, saum atau pun didalah ibadah
ghair mahdoh seperti pernikahan, thalaq, wakaf, jual beli, hibah, wasiat,
sewa-menyewa, hutang piutang dan akad-akad lainnya.
- II. Kaidah
Asasi Kedua
الَيقِيْنُ
لاَيُزَالُ بِاالشَّك
Keyakinan
tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan
Di
dalam kaidah-kaidah fiqih banyak di bicarakan tentang hal yang berhubungan
dengan keyakinan dan kerguan misalnya orang yang sudah yakin suci dari hadast
kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap
dalm keadaan suci. Hanya saja untuk kehati-hatian yang lebih utama adalah
memperbaharui wudhunya.
Dari
kaidah asasi tersebut kemuduan muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang
lingkupnya. Misalnya:
أ.
الَيقِيْنُ لاَيُزَالُ بِالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ
Apa
yang yakin bisa hilang karna adanya bukti lain yang meyakinkan pula
Contohnya
kita yakin sudah berwudhu tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air
kecil, maka wudhu kita menjadi batal.
ب.
أَنَّ ماَ ثَبَتَ بِيَقِنٍ لاَيُرْتَفَعُ إِلاَّبِيَقِيْنٍ
Apa
yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan
lagi.
Contohnya
thowaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu dengan tujuh putaran
kemudian dalam keadaan thowaf seseorang ragu apakah yang dilakukannya puteran
ke enam atau kelima. Maka yang menyakinkan adalah jumlah kelima, karna putaran
yang kelima adalah yang menyakinkan.
ت.
اَلأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِمَّةِ
Hukum
asal adalah bebasnya seorang dari tanggung jawab
Contohnya
anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai adanya waktu
balig. Makan dan minum asalnya di bolehkan sampai adanya dalil yang melarang
makan-makanan dam minum-minuman yang di haramkan.
ث.
الأَصْلُ بَقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَا كَانَ مَالَمْ يَكُنْ مَا يُغَيِّرُهُ
Hukum
asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal yang mengubahnya.
Contohnya
manusia bebas lagi dari tanggung jawab karna adanya kematian. Kewajiban suami
istri hilang lagi karna ada talaq.
ج.
الأَصْلُ فِي الصِفَاتِ العَارِضَةِ العَدَمُ
Hukum
asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adah tidak ada
Contohnya
apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib baarah
yang dijual belikan, maka yang dianggap adalah perkataan sipenjual. Karena pada
asalnya cacat itu tidak ada.
ح.
الأَصْلُ فِي كُلِّ حاَدِثٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
Hukum
asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat
kepadanya.
Contohnya
seorang wanita yang sedang mengandung ada yang memukul perutnya kemudian
keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu
meninggal. Maka meninggalnya si bayi tidak disandarkan kepada pemukulan yang
terjadi kepada waktu yang telah lama tetapi disebabkan hal lain yang merupakan
waktu yang paling dekat kepada kematiaannya.
خ.
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِباَحَةُحَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى
التَحْرِيْمِ
hukum
asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya.
Contohnya
apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya maka
hukumnya boleh dimakan.
د.
الأَصْلُ فِي الكَلاَمِ الحَقِيْقَةُ
Hukum
asal dari suatu kalimat adalah arti sebenarnya.
Contohnya
apabila seseorang berkata : “saya mau mewakakan harta saya kepada anak kiyai
Ahmad maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan
anak pungut dan bukan pula cucu.
ذ.
لَا عِبْرَةَ بِالظَنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَا ءُهُ
Tidak
dianggap(diakui) persangkaan yang jelas salahnya
Contohnya
apabila seorag debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil
debitor membayar lagi hutang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar
oleh debitor maka waikil debitor berhak meminta dikembalikan uang yang
dibayarkannya karena pembayaranya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas
salahnya yaitu menyangka bahwa utang belum dibayar oleh debitor.
- III. Kaidah
Asasi Ketiga
المشَقَّةُ
تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
Kesulitan
mendatangkan kemudahan
Maksudnya
adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan
kesukaran bagi mukhalaf, maka syariah meringankannya. Sehingga mukhalaf mampu
melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Dari
kaidah tersebut dimunculkan kaidah-kaidah lain seperti:
أ.
إِّذَا ضَاقَ الأَ مْرُ إِتَّسَعَ
Apabila
suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas.
Contohnya
boleh berbuka puasa pada bulan ramadhan karna sakit atau berpergian jauh. Sakit
dan berpergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas
yaitu kebolehan berbuka.
ب.
إِذَاتَعَذّ رَ الأَصْلُ يُصاَ رُ إِلَى البَدَلِ
Apabila
yang asli suka dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya.
Contohnya
tayamum sebagai pengganti wudhu.
ت.
مَالاَيُمْكِنْ التَحْرُزْ مِنْهُ مَعْفُو عَنْهُ
Apa
yang tidak mungkin menjaganya atau menghindarkannya maka hal itu dimaafkan
Contohnya
pada waktu sedang saum kita berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari
rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa. Keringanan itu tidak dikaitkan
dengan kemaksiatan, misalnya orang yang berpergian dengan tujuan melakukan
maksiat. misalnya, membunuh maka orang semacam ini tidak boleh meggunakan
keringanan di dalam hukum islam.
ث. إِذَاتَعَذّ رَتْ الحَقِيْقَةُ يُصَارُ إلَى المَجَازِ
Apabila
suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya maka kata tersebut
berpindah artinya kepada arti kiasannya.
Contohnya
seseorang berkata saya wakafkan tanah saya ini kepada anak kiyai Ahmad. Padahal
semua tahu bahwa anak kiayi tersebut sudah lama meninggal, maka yang ada
hanyalah cucunya. maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu
kata kiasannya bukan kata sesungguhnya sebab tidak mungkin mewakafkan harta
kepada orang yang sudah meninggal.
ج. إِذَاتَعَذّ رَ إِعْمَالُ الكَلاَمِ يُهْمَلُ
Apabila
sulit mengamalkan suatu perkataan maka perkataan tersebut ditinggalkan.
Contohnya
apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang
yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia
lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka,
Perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
ح.
يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَءِ
Bisa
dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya
Contohnya
orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka oleh pemilik rumah.
Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewaannya
dalam arti melanjutkan sewaannya maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.
خ.
يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَءِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ
Dimaafkan
pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya
Contohnya
seseorang yang baru masuk islam minum-minuman keras karena kebiasaanya sebelum
masuk islam dan tidak tahu bahwa minum-minuman tersebut dilarang. Maka orang
tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidak tahuannya. Selanjutnya
setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram maka dia harus
menghentikan perbuatan tersebut
د. يُغْتَفَرُ فِي التَوَابِعِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي
غَيْرِهَا
Dapat
dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak
dimaafkan pada hal yang lainnya.
Contohnya
penjual boleh menjualkembali karung bekas tempat beras karana karunag mengikuti
kepada beras yang dijual.
- IV. Kaidah
Asasi Keempat
الضَرَرُيُزَالُ
Kemadharatan
harus dihilangkan
Contohnya
larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan
tersebut mengakibatkan kemadharatan bagi rakyat.
Kaidah-kaidah
yang merupakan cabang dari kaidah di atas diantaranya:
أ.
الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَخْظُورَاتِ
kemadharatan
itu membolehkan hal-hal yang dilarang
Contohnya
boleh mengkap dan menghukum pelaku pornografi dan pornoaksi untuk menyelamatkan
keturunan.
ب. الضَرُوْرَاتُ تُقَدِّرُبِقَدَرِهَا
Keadaan
darurat, ukurannya ditentukan kadar kedaruratannya.
Contohnya
seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang diobatinya sekedar yang
diperlukan untuk pengobatan, itu pun apabila tidak ada dokter wanita.
ت.
الضَرَرُيُزَالُ بِقَدَرِ الإِمْكَانِ
Kemadharatan
harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.
Contohnya
usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak kelaparan.
ث.
الضَرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَرَرِ
Kemadharatan
tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan lagi.
Contohnya
orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga
sedang kelaparan.
ج.
يُحْتَمَلُ الضَرَرُ الخَاصِ لِأَجْلِ الضَرَرِ العَامِ
Kemadharatan
yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum.
Contohnya
boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan umum,
misalnya mempailitkan suatu perusahaan demi menyelamatkan para nasabah.
ح.
الضَرَرُ الأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَرَرِ الأَخَفُّ
Kemadharatan
yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan.
Contohnya
apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al-Qur’an dan
Al-Hadis dan ilmu yang berdasarkan agama kecuali di gaji, maka boleh
menggajinya.
خ.
الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَرُورَةِعَامَةً كَانَ أَوْ خَاصَةً
Kedudukan
kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus
Contohnya
dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi, demi untuk
kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum berwujud asal
sifat-sifatnya atau contohnya telah ada.
د.
كُلُّ رُخْصَةٍ أَبِيْحَتْ للضَرُورَةِوَالحَاجَةِ لَمْ تُسْتَبَحْ قَبْلَ
وُجُودِهَا
Setiap
keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah, tidak boleh
dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.
Contohnya
memakan makanan yang haram, baru dilaksanakan setelah terjadinya kondisi
darurat. Misalnya tidak ada makanan lain yang halal.
ذ.
كُلُّ تَصَرُّ فٍ جَرَّ فَسَادًا أَودَفْعَ صَلاَحًامَنهِي عَنْهُ
Setiap
tindakan yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang.
Contohnya
menghambur-hamburkan harta atau boros tanpa ada manfaatnya.
- V. Kaidah
Asasi Kelima
العَادَةمُحَكَّمَةُ
Adat
kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum
Contohnya sebelum Nabi Muhammad di utus, adat
kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia arab maupun di bagian lain
termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan tersebut di bangun atas dasar nilai-nilai
yang di anggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui,
dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
Diantara
cabang dari kaidah ini adalah:
أ.
إِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
Apa
yang di perbuat orang banyak adalah alasan/argumen yang wajib diamalkan.
Contohnya menjahitkan pakaian kepada tukang jahit,
sudah menjadi kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menajhitkan
adalah tukang jahit.
ب.
إِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ إذَااضْطَرَدَتْ أوْغَلَبَتْ
Adat
yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus
berlaku atau berlaku umum.
Contohnya
apabila seseorang berlangganan majalah, maka majalah itu diantar ke rumah
pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah, maka ia bisa komplain
dan menuntut kepada agen majalah tersebut.
ت.
العِبْرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّائِعِ لاَللِنَا دِرِ
Adat
yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang terkenal oleh manusia bukan dengan
jarang terjadi.
Contohnya
para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang tidak akan
melebihi satu tahun.
ث.
المَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالمشْرُوْطِ شَرْطًا
Sesuatu
yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang di syaratkan suatu syarat.
Contohnya
apabila orang bergotong- royong membangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan
adat kebiasaan orang-orang yang bergotong royong itu tidak di bayar.
ج.
المَعْرُوْفُ بَيْنَ التُّجَارِ كَالمشْرُوْطِ بَيْنَهُم
Sesuatu
yang tidak dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka.
ح.
التَعْيِينُ بِالمَعْرُوْفُ كَا التَعْيِينِ بِالنَّص
Ketentuan
berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash
Contohnya
apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang
bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut. Maka si penyewa bisa
memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk kecuali dengan izin orang
yang menyewakan.
خ.
المُمْتَنَعُ عَادَةًكَا المُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
Sesuatu
yang tidak berlaku berdasarka adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam
kenyataan.
Contohnya
seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain adalah miliknya. Tetapi
dia tidak bisa menjelaskan darimana asal harta tersebut.
د.
الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلالَةِ العَادَةِ
Arti
hakiki di tinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat.
Contohnya
yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan penerimaan barang oleh si
pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual.
Akan tetapi apabila si pembeli sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan
adat kebiasaan akad jual beli itu telah terjadi. Dan penjual tidak bisa
membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.
ذ.
الإِذَنُ العُرْفِى كَالإِذْنِ اللَفْطِى
BAB VII
AL AHKAM (HUKUM)
A.
Pengertian Al - Ahkam Dalam Ushul Fiqih
Al-ahkam (الأحكم) maknanya dilihat
dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata hukmun (حكمٌ)
yang artinya keputusan / ketetapan. Sedangkan menurut istilah dalam ushul fiqih
yaitu
ما اْقتضاهُ خِطابُ االشرع المُتعلِّق
بِأَفْعال المُكَلَّفِين من طلبٍ أوتخيير أووضع
"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani
syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan" 1
Dalam hal ini yang dimaksud dengan خِطاب االشرع (seruan syariat) adalah Al Quran dan As Sunnah.
Dari pengertian diatas
terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-Ahkam
1. Tuntunan
طَلَبٍ.
Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan sesuatu (perintah) atau
pun tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik itu berupa keharusan
(wajib) ataupun hanya keutamaan
2. Pilihan تخيِيْر
.
Sesuatu hal yang dalam melakukan ataupun meninggalkannya tidak ada suatu
ketentuan syara’ yang mengatur maka akan menjadi suatu kebebasan untuk memilih
melakukan ataupun tidak atau sering disebut mubah
3. Peletakan وضع
Wadh’i adalah suatu hal yang diletakkan
oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda, atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau
dibatalkan. Seperti suatu ibadah dapat dikatakan “sah” atau “batal”
Menambahkan sedikit dari
pemaparan di atas, al-ahkam dalam bahasan ilmu ushul fiqih adalah hukum-hukum
yang hanya terkait dengan amalan manusia yang bersifat dhohir. Menurut istilah
ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau sabda
Rasulullah SAW. Apabila disebut syara’ maka yang dikehendaki adalah
hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam
ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlak.2
Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum yang
bersifat bathiniyah seperti hukum aqidah dan akhlaq.
B. Pembagian
Al-Ahkam
Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua macam.
1. Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)
2. Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum
wadh’iyah)
I.
Al-Ahkam at-Taklifiyyah
Al-Ahkam at-Taklifiyyah dibagi
menjadi lima yaitu Wajib, Mandub (Sunnah), Harom, Makruh, dan Mubah.
1.
Wajib. Makna wajib dilihat dari segi bahasa adalah "yang jatuh dan harus" dan makna
wajib menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
ما أمربِهِ الشارعُ على وجهِ الإِ لزام
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk
keharusan" 3.
Hukum wajib dibagi menjadi beberapa
macam dilihat dari berbagai aspek yaitu:
1) Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib
ada 2 macam, yaitu
a) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk
melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan
berakhirnya waktu sudah ditentukan.
b) Wajib muwassa’, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai
waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3
jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10
menit saja.
c) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk
melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.
d) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk
melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar
sumpah.
2) Dilihat dari segi orang yang dituntut
mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut.
a) Wajib ‘Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap
mukallaf. Seperti : shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.
b) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian
mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu).
Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.
3) Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya)
wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.
Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
b) Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan
kadarnya.
Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.
4) Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang
diwajibkan, wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis
perbuatannya.
Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.
b) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan.
Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan
boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan
berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin
2. Mandub.
Makna mandub dilihat dari segi bahasa adalah
"yang diseru" dan makna mandub menurut istilah dalam ushul
fiqih adalah,
ماأمربِهِ الشرع لا على وجه الإلزام
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk
keharusan”4
Mandub secara mayoritas kita kenal dengan istilah sunnah, selain sunnah
terdapat beberapa istilah lain dalam ushul fiqih yaitu nafilah, tathawwu’,
mustahab, dan ihsan.
Mandub (sunnah) di bagi
menjadi dua yaitu,
1. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat
dianjurkan (sangat penting)
2. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang
dianjurkan).
3. Haram.
Makna haram dilihat dari segi bahasa adalah
"yang dilarang" dan makna haram menurut istilah dalam ushul
fiqih adalah,
ما نهى عنهُ الشا رع على وجه الإلزام بِالتَّرك
"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan".
4. Makruh.
Makna makruh dilihat dari segi bahasa adalah
"yang dimurkai" dan makna makruh menurut istilah dalam ushul fiqih
adalah,
ما نهى عنهُ الشارع
لا على وجه الإلزام بِالتَّرك
"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan".
5. Mubah.
Makna mubah dilihat dari segi bahasa adalah
"yang diumumkan dan dizinkan denganya" dan makna mubah menurut
istilah dalam ushul fiqih adalah,
ما لا يتعلَّق به أمرٌ, ولا نهيٌ لِذاتهِ
"sesuatu yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secara asalnya"5.
II.
Al-Ahkam al-Wadh’iyyah
1) Sebab. Yaitu sesuatu yang jelas adanya
mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya
hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
2) Syarat. yaitu sesuatu yang harus ada
sebelum ada hukum, karena adanya hukum bergantung kepadanya
3) Azimah, yaitu hukum syara’ yang pokok
dan berlaku untuk umum bagi seluruh mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu.
Misalnya, puasa wajib pada bulan Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari
semalam dan lain sebagainya.
4) Rukhsoh, yaitu peraturan tambahan yang
ditetapkan Allah SWT sebagai keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan
mukallaf sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok.
Pembagian Rukhsah Rukhsah terbagi menjadi 4 macam.
a)
Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini
dilakukan karena dalam keadaan darurat. Contoh : “memakan bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah,
dalam Keadaan terpaksa memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
pula melampaui batas.
b)
Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur
yang bersifat dibolehkan secara syar’i.
c) Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak
memenuhi syarat tetapi sudah biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli
salam (jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu terjadi aqad jual beli /
sistem pesanan).
d) Tidak
berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat terdahulu sebelum
Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis,
mengeluarkan zakat ¼ dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di
masjid.
5) Mani’ (Penghalang) Yaitu sesuatu yang
karenanya menyebabkan tidak adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat
telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang semestinya
bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.
Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris.
Akan tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak
saling mewarisi. Hal ini karena berlainan agama menjadi mani’ atau penghalang
bagi seseorang untuk mendapatkan harta peninggalan.
6) Sah
ما
ترتّبت اثارُ فعْلهِ عليه عبادةً عقدًا
"apa-apa yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu ibadah ataupun akad."
7) Fasid
مالا ترتّبت اثارُ فعْلهِ عليه عبادةً عقدًا
"apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik itu ibadah atau akad."
C. Unsur-Unsur Hukum Islam
1. Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (مَحْكُوم بِهِ \
مَحْكُوم فِيْه ِ)
a. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum fihi
المَحْكُومُ فِيْهِ : هُوَ الفِعْلُ الُمكَلَّفِ الَّذِى
تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ اللهِ
“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum
Allah (hukum syara’).”5 Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan
Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:
1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
b. Syarat-syarat Mahkum bihi
Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut.
a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga
ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa
benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak
dan rasa taat kepada Allah SWT.
c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat
dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif
terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak
mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya,
supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.
2. Mahkum ‘Alaih
a. Pengertian Mafkum ‘Alaih (مَحْكُوْم عَلَيْهِ)
Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT
dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, Allah SWT
memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua, menjauhi
zina, larangan minum-minuman keras. Perintah-perintah tersebut ditujukan kepada
orang mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang yang terganggu
pikirannya atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT selalu disesuaikan dengan
kemampuan manusia. Semua hukum baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun
hak-hak manusia tidak dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki
kemampuan untuk melaksanakannya.
b. Syarat-syarat mahkum ‘alaih
(mukallaf).
Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf) adalah :
1) Mukallaf adalah orang yang mampu memahami
dalil taklif baik itu berupa nash Al-Qur’an atau As-Sunnah baik secara langsung
maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak
dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat
untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal
(gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
2) Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu
yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak,
mampu, atau wajar dan pantas untuk menerima perintah tersebut.
3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT
dengan sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain sudah
baligh juga dalam keadaan sehat akalnya.
Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan
hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
A. Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak
menerima kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin
tersebut berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia tidak
bisa menunaikan kewajiban. Ada kalanya mukallaf tidak sanggup mengerjakan
hukum-hukum yang sudah dibebankan kepadanya. Keadaan yang menghalanginya
menunaikan hak dan kewajiban yang sudah ditetapkannya ini disebut ‘awarid al-ahliyah
(penghalang keahlian). Para ulama ushul fiqih menggolongkan ‘awarid al-ahliyah
(penghalang keahlian). ini menjadi dua kelompok.
Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh
mahkum alaih. Ia hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya, gila,
kurang akal (idiot), lupa, tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang terkena
penghalang samawi seperti ini dihukumi sebagai orang yang tidak memiliki
kemampuan sama sekali untuk melakukan hak dan kewajiban.
Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan
manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan sebagainya.
Penghalang kasby dapat dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.
B. Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah
SWT tetapi belum mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang
sudah dapat membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.
C. Sempurna apabila sudah menerima hak dan layak
baginya melakukan kewajiban, yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal
sehat (mukallaf).
3. Hakim.
Al-Hakim ialah pihak yang
menjatuhkan hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan di antara para ulama
bahwa hakikat hukum syar'i itu ialah khithab Allah yang berhubungan
dengan amal perbuatan mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan
sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani' bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada
perselisihan di antara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah.
BAB VIII
AZIMAH DAN RUKHSHAH
A.PENGERTIAN AZIMAH DAN
RUKHSAH
Para ahli ushul
fiqh mendefinisikan ‘azimah dengan :
مَا
شُرَ عَ مِنَ اْﻷَ حْكَمِ الْكُلِّيَّةِ إِبْتِدَاءً
Hukum yang ditetapkan
Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.
Kata-kata “ditetapkan pertama kali” mengandung arti
bahwa pada mulanya pembuat hukum bermaksud menetapkan hukum taklifi kepada
hamba. Hukum ini tidak didahului oleh hukum lain. Seandainya ada hukum lain
yang mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu dinasakh dengan hukum yang
datang belakangan. Dengan demikian hukum ‘azimah ini brelaku sebagai
hukum pemula dan sebagai pengantar kepada kemaslahatan yang bersifat umum.
Kata-kata “hukum-hukum kuliyah (umum)” di sini
mengenadung arti berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ditentukan untuk
sebagian mukallaf atau semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi. Begitu
pula kewajiban zakat, puasa, haji, dan kewajiban lainnya.
Dengan demikian hukum azimah adalah hukum yang telah
disyariatkan oleh Allah kepada seluruh hamba-Nyasejak semula. Artinya belum ada
disyariatkannya seluruh mukalaf wajib mengikutinya, seperti sembahyang lima.
Sembahyang lima waktu diwajibkan atas segenap orang disegenap ketika dan
keadaan, asal saja orang itu masih dipandang cukup kuat untuk mengerjakannya.
Hukum wajib semabhayng lima itu, hukum ‘azimah namanya.
Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh tentang
rukhshah ialah :
اَلْحُكْمُ
الثَّابِتُ عَلَى خِلافِ الدَّلِيْلِ لِعًُذْرٍ
“Hukum
yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur”
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang
mencakup semua bentuk hukum. Kata-kata tsabit (berlaku tetap) mengandung
arti bahwa rukhshah itu harus brdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum
yang meyalahi dali yang ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “meyalahi dalil yang ada” merupakan sifat
pembeda dalam definisi yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah,
sesuatu yang memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan
minum. Kebolehan makan dan minum memang sudah dari dulunya dan tidak menyalahi
hukum yang sudah ada.
Kata-kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum,
dinyatakan dalam definisi ini agar mencakup rukhshah untuk melakukan prebuatan
yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib, seperti berbuka
puasa bagi musafir, atau yang menyalahi dalil yang menghendaki hukum nadb
(sunat) seperti meninggalkan shalat jum’at karena hujan dan lainnya. Hukum
rukhshah dikecualikan dari hukum ‘azimah yang uum berlaku selama ada uzur yang
berat dan kadar perlu saja. Lagi pula hukum ini datangnya kemudian, sesudah
‘azimah. Umpamanya, hukum makan bangkai di kala tak ada makanan-makanan yang
lain. Hukum ini datang kemudian, sesudah hukum ‘azimah yakni tak boleh makan
bangkai. Dan seperti dibolehkan berqashar dalam safar, datangnya sesudah
ditetapkan bahwa sembahyang dhuhur, ashar dan isya’ itu empat rakaat. Makan
bangkai di kala lapar, tak ada makanan yang lain, semabhyang dashar di dalam
safar, dinamai : hukum rukhshah. Asy Syathibi menetapkan menetapkan bahwa :
hukum menjalankan rukhshah itu, boleh. Kita tidak dimestikan menjalankan rukhshah,
tidak wajib menjalankannya. Demikianlah hal menjalankan hukum rukhshah, bila
diingat, bahwa hukum rukhshah, hukum yang hanya dibolehkan. Dan banyak dalil
yang menegaskan demikian. Diantaranya firman Allah Swt :
“.maka barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. ...”(QS. Al Baqarah : 173). Akan tetapi
diantara hukum rukhshah ada yang dituntut kita kerjakan, yaitu : bila rukhshah
itu untuk melawan sesuatu kesuakaran yang tak dapat dipikul oleh manusia. Kita
diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan. Tetapi, jika kita bersafar diharuskan
kita berbuka, karena berbuka itu hukum yang dirukhshahkan. Akan tetapi, bil
aberpuasa dalam safar itu, mengakibatkan kesukaran kita dituntut menjalan
rukhshah, tak boleh lagikita menjalankan ‘azimahnya.
Bersabda Nabi Saw:
لَيْسَ
مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِى السَّفَرِ (رزاه احمد)
“Tidak dipandang kebjaikan berpuasa di dalam
safar”. (HR. Ahmad).
Dengan membandingkan pengertian ‘azimah dan rukhshah
secara sederhana dapat dikatakan bahwa ‘azimah adalah melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan secar aumum dan mutlak, baik perintah itu perintah wajib atau
sunat,bak larangan itu untuk haram atau makruh, sedangkan rukhshah adalah
keringanan dan kelapangan yang diberikan kepada orang mukallaf dalam melakukan
perintah dan menjauhi larangan.
B. MACAM – MACAM RUKHSHAH
a. Rukhshah
dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi kepada dua, yaitu rukhshah
memperbuat dan rukhshah meninggalkan.
1) Rukhshah
memperbuat ialah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menurut
asalnya harus ditinggalkan, dalam bentuk ini asal perbuatan adalah terlarang
dan haram hukumnya. Inilah hukum ‘azimahnya. Dalam keadaan darurat atau
hajat, perbuatan yang terlarang menjadi boleh hukunya. Umpamanya boleh
melakukan perbuatan haram karena darurat seperti memakan daging babi dalam
keadaan terpaksa. Contoh melakukan perbuatan haram karena hajat umpamanya
melihat aurat bagi calon suami yang sedang meminang calon istri dalam batas
yang tertentu. Pada dasarnya hukum melihat aurat itu adalah haram berdasarkan
ayat Alqur’an surat Al-Nur ayat 30. Untuk kekalnya jodoh, kedua belah pihak
sepatutnya saling mengenal. Untuk maksud itu diperkenankan keduanya saling
melihat. Demikian pula dokter laki-laki melihat atau memegang pasiennya yang
perempuan saat pemeriksaan (diagnosa) kesehatan.
2) Rukhshah
meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘azimahnya
adalah wajib atau nadb (sunnat). Dalam bentuk asalnya, hukunya adalah
wajib atau sunnat. Tetapi dalam keadaan tertentu si mukallaf tidak dapat
melakukannya dengan arti bila dilakukannya akan membahayakan terhadap dirinya.
Dalam hal ini dibolehkan dia meninggalkannya.
Umpamanya
kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan
firman Allah dalam surat al Baqarah (2): 184:
Dalam
bentuk lain umpamanya keharusan shalat empat rakaat dapat dilakukan dua rakaat
dalam keadaan tertentu, yaitu dalam perjalanan, berdasarkan firman Allah dalam al
Nisa’ (4): 101:
Termasuk
pula ke dalam ruskhshah ditinjau dari segi hukum asalnya shalatmu.
3) Ruskhshah dalam
meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum Islam yang dinilai
terlalu berat dilakukan umat Nabi Muhammad, sebagaimana dipahami dari firman
Allah surat al Baqarah (2): 286:
Umpamanya
membayar zakat yang kadarnya ¼ dari harta; bunuh diri sebagai cara untuk tobat;
memotong pakaian yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya; dan
keharusan sembahyang dalam mesjid yang berlaku dalam syari’at Nabi Musa. Bila
diperhatikan keringanan hukum dalam hal ini dibandingkan dengan yang berlaku
sebelumnya, lebih tepat disebut nasakh; meskipun demikian dalam artian luas
dapat pula disebut ruskhshah.
4) Ruskhshah
dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk akad yang tidak memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan. Adanya ruskhshah ini disebabkan oleh
kebutuhan umum. Umpamanya jual beli ‘ariyah yaitu menukar kurma basah
dengan kurma kering dalam ukuran yang berbeda padahal keduanya satu jenis. Hal
ini menyalahi ketentuan umum dalam tukar menukar barang yang sejenis dalam
ukuran yang berbeda. Contoh lain adalah jual beli saham. Hal ini
menyalahi ketentuan umum yang melarang menjual sesuatu yang tidak ada di
tangan. Kedua bentuk mu’amalah ini diruskhshahkan karena kalau tidak
akan menyulitkan dalam kehidupan umat.
b. Rukhshah
ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan. Dalam hal ini keringanan
ada 7 bentuk:
1) Keringanan dalam
bentuk menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at,
haji, ‘umrah dan jihad dalam keadaan udzur.
2) Keringanan dalam
bentuk mengurangi kewajiban; seperti meng-qashar shalat empat raka’at
menjadi dua raka’at bagi orang yang berada dalam perjalanan.
3) Keringanan dala
bentuk mengganti kewajiban; seperti mengganti wudlu’ dan mandi dengan tayamum
karena tidak ada air; mengganti kewajiban berdiri dalam sholat dengan duduk,
berbaring atau dengan isyarat dalam keadaan tidak mampu; kewajiban mengganti
puasa wajib dengan memberi makan fakir miskin bagi orang tua yang tidak mampu
berpuasa.
4) Keringanan dalam
bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti pelaksanaan shalat zhuhur
dalam waktu ashar pada jama’ ta’khir karena dalam perjalanan.
Menangguhkan pelaksanaan puasa Ramadhan ke waktu sesudahnya dalam bentuk qadha
karena sakit atau dalam perjalanan.
5) Keringanan dalam
bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban; seperti membayar zakat fitrah semenjak
awal Ramadhan, padahal waktu wajibnya adalah pada akhir Ramadhan. Mendahulukan
mengerjakan shalat ashar pada waktu zhuhur dalam jama’ taqdim di
perjalanan.
6) Keringanan dalam
bentuk mengubah kewajiban; seperti cara-cara pelaksanaan shalat dalam perang
yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut shalat khauf.
7) Keringanan dalam
bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan perbuatan wajib
karena udzur, seperti dijelaskan diatas.
C. HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH
Pada dasarnya ruskhshah itu adalah pembebasan
seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum azimah dalam keadaan
darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh”, baik dalam mengerjakan sesuatu
yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang disuruh. Namun dalam hal
menggunakan hukum ruskhshah bagi orang yang telah memenuhi syarat untuk
itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan ruskhshah
itu tergantung kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya ruskhshah
itu. Dengan demikian menggunakan hukum ruskhshah dapat menjadi wajib
seperti memakan bangkai bagi yang tidak mendapatkan makanan yang halal,
sedangkan ia khawatir seandainya tidak menggunakan ruskhshah akan
mencelakakan dirinya. Hukum ruskhshah ada pula yang sunat seperti
berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan.
Di samping membagi hukum rukhshah itu kepada
wajib, sunah dan mubah dengan menyangggah argumentasi al-Syathibi, Jumhur Ulama
juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu adalah sebagaimana argumen
dan jawaban yang dipergunakan serta disampaikan oleh al-Syathibi, yaitu:
1. Kata rukhshah, berarti
memudahkan atau meringankan. Arti ini tidak bertentangan dengan wajib atau nadh
selama perintah yang membawa kepada arti wajib atau nadh itu lebih
mudah dan lebih ringan.
2. Rukhshah dan ‘azimah adalah
bentuk pembagian lain dari hukum syara’ ditinjau dari segi hukum itu sesuai
dengan dalil yang berlaku atau tidak. Bila hukum itu sesuai dengan dalil yang
berlaku, maka disebut ‘azimah; bila menyalahi dalil yang berlaku, maka
disebut rukhshah.
BAB IX
MAHKUMFIH
A.Pengertian Mahkum fih
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud
dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang
terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat
tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan. Para
ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu
perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya
suatu hukum:
Contoh:
1.Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43
و اقيمو
االصلاة) البقرة (
Artinya:”Dirikanlah Sholat”
Ayat ini menunjukkan perbuatan
seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan
sholat.
2.Firman Alloh dalam surat al an’am:151
ولاتقتلواالنفس
االتي حر م االله الا باالحق) الانعا م (
Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di
haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu
larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan
pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3.Firman Alloh dalam surat Al-maidah:5-6
اذاقمتم الى
الصلاة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى المرا فق الما ئد ه 5-6
Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka
basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan
salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat.
Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa
objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.
B.Syarat –syarat mahkum fih
a.
Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat
tangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak tidak
terkena tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia tau persis. Contoh:Dalam Al
qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut
masih global,Maka Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh
sabagaimana sabdanya”sholatlah sebagaimana aku sholat”begitu pula perintah
perintah syara’ yang lain seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk
melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan
sebagainya.
b.
.Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui bahwa
tuntutan itu dari Alloh SWT.Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan
dengan tujuan melaksanakan perintah Alloh semata.berarti tidak ada
keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang
jelas.hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan
syara’.
c.
Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,berkait dengan hal
ini terdapat dengan beberapa syatat yaitu:
1.
tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di
tinggalkan.
2.
tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan
atas nama orang lain.
3.
tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan
dengan fitrah manusia.
4.
tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci
dalam masalah sholat.
C .Al masyaqqoh
Perlu diketahui bahwa salah satu
syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam
melaksanakannya pasti ada ada suatu kesulitan. untuk itu akan kami jelaskan
yang dimaksud adalah masyaqqoh (halangan) serta pembagiannya. Masyaqqoh
itu ada dua macam yaitu:
1. Masyaqqoh mu’tadah
Yaitu kesulitan yang mampu diatasi
oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya kesulitan seperti ini tidak
bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif,karena setiap perbuatan
itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan.contohnya:Diwajibkannya adanya sholat
ini buakan bermaksud agar badan capek atau bagaimana,akan tetapi untuk melatih
dirinya diantaranya bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar.
2
Masyaqqoh goiru mu’tadah
Yaitu suatu kesulitan/kesusahan yang
diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila di
paksakan.Alloh tidak tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang
menyebabkan kesusahan.seperti puasa yang terus menerus sehingga mewajibkan
selalu bangun malam untuk sahur.
ير يد الله
بكم اليسر و لا ير يد بكم العسر البقره
Artinya:Alloh menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu(al baqoroh 185)
D.Macam macam mahkum bih
Dilihat dari segi yang terdapat
dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi menjadi empat macam:
1.
Semata mata hak Alloh,yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan.dalam
hak ini seseorang tidak di benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu
tindakan yang mengganggu hak ini.hak ini semata mata hak Alloh.dalam hal ini
ada delapan macam:
a.
ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b.
ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti:zakat
fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat fitrah
c.
bantuan/santunan yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan
dari bumi
d.
biaya/santunan yang mengandung makna hukuman,seperti: khoroj (pajak bumi) yang
di anggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e.
hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana sperti hukuman orang yang
berbuat zina
f.
hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris,karena
membunuh pemilik harta tersebut.
g.
hukuman yang mengandung makna ibadah seperti:kafarat orang yang melakukan
senggama disiang hari pada bulan ramadhan
h
hak hak yang harus di bayarkan,seperti: kewajiban mengeluarkan seperlima harta
tependam dan harta rampasan.
2. Hak
hamba yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi
harta seseorang yang di rusak.
3.
Kompromi antara hak Alloh dengan hak hamba,tetapi hak alloh didalamnya
lebih dominan,seperti hukuman untuk tindak pidana.
4.
Kompromi antara hak Alloh dan hak hamba,tetapi hak hamba lebih dominan,seperti
masalah qishos.
BAB X
MAHKUM ‘ALAIH
A.Pengertian mahkum alaih
Menurut ushuliyyin yang di maksud
mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitob
Alloh SWT yaitu yang di sebut mukallaf.dalam arti bahasa yaitu yang di bebani
hukum,sedangkan dalam istilah ushul fiqih mukallaf sering di sebut subjek hukum.
B.Dasar Taklif
Orang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di
anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang
bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif.
Maka orang yang belum berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif dari
syari’(Allod dan Rosulnya) sebagai sabda nabi:
ر فع القلم
عن ثلا ث عن النا ئم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون حتى يفق(رواه
البخا رى والتر مذى والنسا ئى وابن ما جه والدارقطنى عن عا ئثه وابى طا لب)
Artinya:Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis
orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila
sampai sembuh.(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari
Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)
C.Syarat syarat taklif
Syarat taklif ada 2 yaitu:
1.
orang itu telah mampu memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung
dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.Kemampuan
untuk memahami taklif ini melalui akal manusia,akan tetapi akan adalah sesuatu
yang abstrak dan sulit di ukur ,indikasi yang kongkrit dalam menentukan
seseorang berakal atau belun.indikasi ini kongkrit itu adalah balighnya
seseorang yaitu dengan di tandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita
dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali atau sempurnanya
umur lima belas tahun.
2.
Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut
Ahliyyah.maka seseorang yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya
seseorang tidak dikenakan tuntutan syara’.begitu pula orang gila,karena
kecakapan bertindak hukumnya hilang.
C.Pengertian Ahliyyah
Secara harfiyyah ahliyyah adalah
kecakapan menangani sesuatu urusan.Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah
suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’
Pembagian ahliyyah
1. Ahliyyah ada’
Yaitu kecakapan bertindak hukum bagi
seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya,baik
yang bersifat positif maupun negatif.ukuran untuk menentukan seseorang telah
memiliki ahliyyah ada’adalah aqil baligh dan cerdas
2. Ahliyyah Al-wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang
untuk menerima hak hak yang menjadi haknya,tetapi belum mampu untuk di bebani
seluruh kewajiban,
Para usuliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian
Ahliyyah al wujub an-naqishoh.
Yaitu anak yang masih berada dalam
kandungan ibunya(janin)janin inilah sudah dianggap mempunyai ahliyyah wujub
akan tetapi belum sempurna.
Ahliyyah al wujub al kamilah,
Yaitu kecakapan menerima hak bagi
seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan
berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila
-Halangan ahliyyah
Dalam pembahasan awal bahwa seseorang
dalam bertindak hukum di lihat dari segi akal,tetapi yang namanya akal kadang
berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak
hukum.seseorang kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal
berikut:
- Awaridh samawiyyah yaitu halangan yang datangnya
dari Alloh bukan di sebabkan oleh manusia seperti: gila, dungu,
perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa
Al awaridh al muktasabah yaitu halangan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia seperti mabuk,terpaksa,bersalah,dibawah
pengampunan dan bodoh.
BAB XII
IJTIHAD
Pengertian
Ijtihad
Menurut bahasa,
kata ijtihaadun berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk
masdar dari kata ijtahada-yajtahidu yang artinya mengerahkan
segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Berdasarkan pengertian
bahasa ini, maka tidak tepat jika kata ijtihad digunakan untuk ungkapan “ orang itu berijtihad dalam mengangkat
tongkat “. Sebab mengangkat tongkat adalah perbuatan mudah dan ringan.
Secara terminology
sebagaimana aimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra, ijtihad yaitu:[1]
ﺒَﺬْﻞُﺍﻠْﻔَﻘِﻴْﮫِﻮُﺴْﻌَﺔًﻔِﻰﺍﺴْﺗِﻨْﺑﺎَﻂِﺍْﻷَﺤْﻜَﺎﻡِﺍﻠْﻌَﻤَﻟِﻴَﺔِﻤِﻦْﺃَََﺪِﻠََﺘِﮭَﺎﺍﻟّﺘَﻔْﺼِﻴِْﻟﻴَﺔَِ
Artinya: “Pengerahan segala kemampuan seorang ahli
fiqih dalam menetapkan (istimbat)
hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci.”
Menurut definisi sebagian ulama ushul fiqih
sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra bahwa ijtihad adalah “ mencurahkan segala
kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin itu adakalanya dalam istimbat
(penetapan) hukum syariat adakalanya dalam penerapan hukum”.
Berdasarkan definisi kedua yang dikemukakan oleh
sebagian ulama di atas maka ijtihad itu terbagi menjadi dua:
Ijtihad yang dilakukan secara khusus oleh para ulama
yang mengkhususkan diri untuk menetapkan hukum dari dalilnya.
Ijtihad
dalam penerapan hukum. Ijtihad semacam ini akan selalu ada setiap masa. Tugas
utama mujtahid bentuk kedua ini adalah menerapkan hukum termasuk hasil ijtihad
para ulama terdahulu yang disebut tahqiq al-manath.
Dasar
ijtihad
Posisi ijtihad
memiliki dasar yang kuat dalam ajaran hukum islam. Dalam al-qur’an terdapat
ayat-ayat yang menunjukan perintah untuk berijtihad, baik diungkapkan secara
isyarat maupun secara jelas. Diantaranya pada surat an-Nisa ayat 105:
ﺇِﻨَﺎﺃَﻨْﺯَﻠْﻨَﺎﺇِﻠَﻴْﻚَﺍْﻟﻜِﺘٰﺐَﺑِﺎﻟْﺤَﻕِّﻠِﺘَﺤْﻜُﻡَﺑَﻴْﻦَﺍﻟﻧّﺎَﺲِﺑِﻤَﺎﺃَﺮَﻚَﺍﷲۚﻮَﻻَﺗَﻜُﻦْﻠِﺎْﺨَﺎﺊِﻨِﻴْﻦَﺨَﺼِِﻴْﻤًﺎ۞
Artinya: Sesungguhnya
kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat.
Ayat di atas menurut Wahbah Zuhaili mengandung
legalitas ijtihad melalui metode qiyas.
Dalam hadits Nabi mengenai penghargaan terhadap hasil
ijtihad antara lain:
ﺇِﺬَﺍﺤَﻜَﻢَﺍﻠْﺤَﺎﻜِﻢُﻔَﺎﺟْﺘَﮭَﺪَﻔَﺄَﺼَﺎﺐَﻠَﮫُﺃَﺟْﺮَﺍﻦِﻮَﺇﺫَﺍﺤَﻜَﻡَﻔَﺎﺟْﺘَﮭَﺪَﺜُﻢَﺃَﺨْﻂَﺄَﻔَﻠَﮫُﺃَﺟْﺮٌ(ﺮﻮﺍﮦﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻲ)
Artinya:” Apabila seorang hakim memutuskan perkara
kemudian ia berijtihad lalu hasil ijtihadnya dinlai benar maka ia mendapatkan
dua pahala. Dan apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ijtihadnya
dinilai salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari).
Ijtihad menurut hadis adalah usaha yang sangat di
muliakan meskipun salah tetap diberikan pahala atas usaha kerasnya itu. Imam
syafi’I menegaskan dalam kitab risalahnya
bahwa kesalahannya itu dengan catatan tidak dilakukan dengan cara
sengaja.
Di zaman Nabi orang tidak butuh ijtihad. Karena
permasalahan baru yang belum ada hukumnya dapat ditanyakan langsung kepada Nabi
dan Nabi langsung menjawabnya berdasarkan petunjuk wahyu yang terjamin
kebenarannya. Setelah Nabi wafat barulah ijtihad diperlakukan oleh ulama
mujtahid untuk menjawab hukum permasalahan baru yang timbul dengan tetap
berpegang pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-qur’an. Permasalahan
yang timbul saat ini sangat kompleks dan jawabannya tidak terdapat dalam
al-qur’an maupun hadis. Jika tidak ada usaha yang sungguh-sungguh dari orang
yang pantas berijtihad, maka akan terjadi kekosongan hukum. Hal ini tidak
sejalan dengan tujuan hukum. Oleh karena itu, ijtihad untuk sekarang ini
merupakan hal yang dharury (mendesak) untuk dilakukan, karena begitu
banyak permasalahan baru yang sifatnya kompleks dan rumit yang memerlukan
jawaban dari hukum islam.
Syarat-syarat
Mujtahid
Para ulama telah merumuskan
persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan redaksi yang berbeda-beda.
Namun dalam pembahasan ini akan dikemukakan syarat-syarat mujtahid yang
dirumuskan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
Mengetahui
makna ayat ahkam yang terdapat dalam al-qur’an baik secara bahasa maupun secara
istilah syara. Menurut Al-Ghazali, Al-Razi Ibnu Arabi jumlah ayat-ayat ahkam
yang perlu dikuasai sekitar lima ratus ayat. Maksud uangkapan “secara bahasa”
diatas artinya mengetahui makna-makna mufrad dari suatu lafadz dan maknanya
dalam susunan kalimat. Adapun makna syara’ adalah mengetahui berbagai segi
penunjukan lafadz terhadap hukum seperti mantuq,
mafhum mukhalafah, mafhum muwafaqah, lafadz umum. Dan khas.
Mengetahui
hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah. Tidak perlu dihafal
sebagaimana juga al-qur’an. Menurut Ibnu Arabi (w.534 H) hadis ahkam berjumlah
3000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hambal 1200 hadis. Tetapi
Wahbah Zuhaili tidak sependapat, menurutnya yang terpenting mujtahid mengerti
seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat dalam kitab-kitab besar seperti Sahih
Bukhari, sahih Muslim, dan lain-lain.
Mengetahui al-qur’an dan hadis yang telah di
nasakh dan mengetahui ayat dan hadis
yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari nas
(al-qur’an dan hadis) yang sudah tidak berlaku lagi.
Mengetahi
sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma, sehingga ia tidak menetapkan
hukum yang bertentangan dengan ijma.
Mengetahui
qiyas dan sesuatu yang berhubungan
dengan qiyas yang meliputi rukun,
syarat, illat hukum dan cara
istinbatnya dari nas, maslahah
manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan. Pentingnya mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.
Menguasai
bahasa arab tentang nahwu, saraf, maani,bayan,
dan uslub-nya karena al-qur’an dan
hadis itu berbahasa arab. Oleh karena itu tidak mungkin dapat mengistinbatkan
hukum yang berdasar dari keduanya tanpa mengetahui bahasa keduanya. Diantaranya
mengetahui lafadz umum dan khusus, hakikat dan majaz, mutlaq dan muqayyad, dan sebagainya. Semua ini tidak disyaratkan
untuk dihafal tetapi cukup memiliki kemampuan untuk memahami secara benar
uangkapan-ungkapan dalam bahasa arab dan kebiasaan rang arab menggunakannya.
Mengetahui
ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad berupa dalil-dali
secara terperinci yang menunjukan hukum melalui cara tertentu ini dan semuanya
itu ada dalam ilmu ushul fiqh. Tentang urgensi ushul fiqh dalam ijtihad
dijelaskan oleh al-Razi dalam kitabnya al-mahsul:
“Ilmu yang paling penting untuk dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu
ushul fiqh.”
Mengetahui
maqasid syariah dalam penetapan
hukum, karena pemahaman nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada maqasid syariah. Penunjukan suatu lafadz
kepada maknanya mengandung beberapa kemungkinan. Pengetahuan tentang maqasid member keterangan untuk memilih
mana yang layak untuk difatwakan. Dan yang terpenting lagi pengetahuan tentang maqasid adalah prinsip hukum dalam
al-qur’an dan sunah dapat dikembangkan
seperti dengan qiyas, istihsan, dan
maslahah mursalah.[2]
Tingkatan
Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad
disebut mujtahid. Mujtahid memiliki tingkatan sebagai berikut:
Mujtahid fi al-asy’ari, disebut juga mujtahid mustaqil. ialah orang yang membangun suatu madzhab seperti imam
mujtahid yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’I, dan Ahmad bin
Hambal.
Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab sendiri
tetapi mengikuti salah satu seorang imam mazhab. Mujtahid fi al-mazhab terkadang menyalahi ijtihad imamnya pada
beberapa masalah. Ia berijtihad sendiri tentang masalah itu. Yang termasuk
kedalam Mujtahid fi al-mazhab ini
seperti” Abu Yusuf dalam mazhab Hanafi dan al-Muzanyi dalam mazhab Syafi’i.
Mujtahid fi al-masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa
masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum seperti al-Thahawi dalam
mazhab Hanafi dan al-Ghazaly dalam mazhab Syafi’I serta al-Khiraqy dalam mazhab
Hambali.
Mujtahid
muqoyyad, yaitu mujtahid
yang mengikat diri dengan ulama salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja
mereka mengetahui dasar dan memahami dalalahnya dan inilah yang disebut dengan takhrij. Mereka mempunyai kesanggupan
untuk menentukan mana yang lebih utama dari pendapat yang berbeda-beda dalam
mazhab di samping dapat membedakan riwayat yang kuat dengan yang lemah.
Lapangan
Ijtihad
Ijtihad berlaku
pada ayat atau hadis, dengan catatan bahwa nas tersebut masih bersifat zhan dan qat’i . atau pada permasalahan yang hukumnya belum ada dalam nas. Jadi,
ijtihad tidak berlaku pada permasalahan yang hukumnya sudah pasti (qat’i)
seperti mengeluarkan hukum wajib shalat, puasa, zakat, dan haji. Karena untuk
melakukannya tidak perlu usaha yang berat.
Tidak
boleh melakukan ijtihad pada masalah sudah ada nas nya secara qat’I (jelas dan tegas) serta tidak
mengandung ta’wil didalamnya seperti
ayat tentang keesaan Tuhan, ayat-ayat tentang hukum ibadah (shalat, puasa,
zakat, haji dan sebagainya), ayat-ayat tentang hudud (hukuman bagi pencuri,pelaku zina, hukuman membunuh, hukum qisas dan sebagainya) dan ayat yang
berbicara tentang muamalat seperti hukum perdagangan, riba, menggauli istri,
dan etika kepada rang tua. Ayat-ayat diatas ini bukanlah termasuk lapangan
ijtihad karena nasnya sudah qat’I,
yang menjadi lapangan ijtihad adalah ayat-ayat atau hadis yang masih mengandung
dugaan (zhan) atau belum jelas. Seperti tentang membasuh kepada dalam wudhu,
music dan nyanyian, hukum bersentuhan kulit antara ghairu mahram yang
berwudhu, masalah keberadaan wali dalam pernikahan, hukum membaca qunut dalam
shalat subuh. Dan pada permasalahan yang sama sekali hukumnya tidak ada dalam
nas seperti hukum KB, bayi tabung, operasi pelastik, alat kontrasepsi, bedah
mayat dan menggugurkan kandungan. Semua itu adalah masalah yang hukumnya belum
tegas (zhan), maka diperlukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya.[3]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan
ijtihad itu ada dua macam:
Pada sesuatu yang ada nasnya tetapi nasnya masih zhan.
Pada sesuatu yang hukumnya tidak ada sama sekali dalam
nas.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait
dengan ijtihad.
Hasil
ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad orang lain dalam perkara
yang sama. Sebagaimana hasil ijtihad seseorang juga tidak boleh menyalahi hasil
ijtihad orang lain. Dengan alasan, karena ijtihad kedua tidaklah lebih kuat
dari ijtihad yang pertama.
Tidaklah ijtihad diantara ulama berhak diikuti dari
ulama yang lainnya.
Membatalkan satu ijtihad dengan ijtihad yang lain
dapat mengakibatkan tidak tegasnya suatu hukum dan ini merupakan kesulitan dan
kesempitan. Contoh, Abu Bakar pernah pernah memutuskan suatu masalah tetapi
Umar mempunyai pendapat lain tentang masalah itu sehingga Umar menghukuminya
berbeda. Sikap Umar itu tidak membatalkan ijtihad Abu Bakar.
Metode Ijtihad
Untuk melakukan ijtihad, menurut Azhar Basyir ada
beberapa cara yang dapat ditempuh oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu adalah :
Qiyas,
dengan cara
menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang sudah ada dikarenakan adanya
persamaan sebab. Contoh mencium istri saat berpuasa hukumnya tidak membatalkan
puasa karena disamakan dengan berkumur-kumur.
Maslahah
mursalah, yaitu menetapkan
hukum yang sama sekali tidak ada nasnya dengan pertimbangan untuk kepentingan
hidup manusia yang bersendikan asas menarik manfaat dan menghindari mudharat,
contoh mencatat pernikahan.
Istihsan,
ialah memandang
sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syariat dan meninggalkan dalil khusus
dan mengamalkan dalil umum. Contoh, boleh menjual harta wakaf karena dengan
menjualnya akan tercapai tujuan syariat yaitu membuat sesuatu itu tidak
mubazir.
Istishab,
ialah
melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada sampai ketentuan dalil yang
mengubahnya. Contoh, segala makanan dan minuman tidak ada dalil keharamannya
maka hukumnya mubah.
Urf,
ialah kebiasaan
yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat. Ada dua
macam urf. Pertama urf sahih, yaitu urf yang diterima masyarakat secara
luas, di benarkan oleh akal yang sehat, membawa kebaikan dan sejalan dengan
prinsip nas. Contohnya acara tahlilan, bagian harta gono gini untuk istri yang
ditinggal suaminya. Kedua urf fasid, yaitu
kebiasaan jelek yang merupakan lawan urf
sahih, contohnya kebiasaan meninggalkan shalat bagi seseorang yang sedang
menjadi pengantin, mabuk-mabukan dalam resepsi pernikahan dan sebagainya.
Hukum Berijtihad
Jika seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk
berijtihad sebagaimana tersebut diatas
maka keberadaan seorang mujtahid dalam kegiatan memberikan ijtihadnya bisa
wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula haram.
Wajib ain, yaitu bagi orang yang sudah mencukupi
syarat ijtihad dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan
jawaban hukumnya. Ijtihadnya wajib di amalkan dan ia tidak boleh bertaqlid
kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi mujtahid yang ditanya
tentang hukum suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki jawaban hukum segera
sedangkan tidak ditemukan mujtahid yang lain.
Wajib kifayah, jika ada mujtahid lain selain dirinya
yang akan menjelaskan hukumnya.
Sunah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal.pertama, terhadap permasalahan yang
belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang di lakukan oleh imam Abu Hanifah yang
terkenal fiqh iftiradhi (fiqh
pengandaian). Kedua,ijtihad pada
masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain.
Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama, berijtihad
terhadap pada permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat
atau hadis ijtihad yang menyalahi ijma.
Ijtihad boleh pada masalah selain itu. Kedua, berijtihad bagi seseorang yang
belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan
benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tetang agama Allah
tanpa ilmu hukumnya haram.[4]
Macam-macam Ijtihad
Dari segi metodenya, sebagaimana yang dirumuskan oleh
ad-Duailibi, ijtihad dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.
Al-Ijtihad al-bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk
menjelaskan hukum-hukum syara’ terdapat dalam nashsh al-qur’an dan sunnah.
Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menenetukan hukum-hukum
syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada dalam nashsh al-qur’an
maupun hadisnya, dengan cara meng-qiyas-kannya
kepada hukum-hukum syara’ yang ada nashsh-nya.
Al-Ijtihad al-ishtislahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menentukan hukum
syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashsh nya, baik dari
al-qur’an maupun sunnah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-istishlah (kemaslahatan).
Adapun
dari segi jumlah orang yang melakukan ijtihad (mujtahid), ijtihad dapat di bagi
jadi dua, yaitu sebagai berikut.
Ijtihad fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau
beberapa orang untuk menemukan hukum syara’ dari suatu peristiwa hukum yang
belum diketahui ketentuan hukumnya. Di masa lalu, ijtihad model ini yang paling
banyak dilakukan, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mazhab yang empat.
Ijtihad Jama’I, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh
mujtahid untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, dimana ijtihad ini
menghasilkan kesepakatan bersama. Ijtihad model inilah yang disebut dengan ijma’ al-ulama’.
Di masa lalu, ijtihad model kedua diatas dilakukan hanya oleh ulama yang
menguasai disiplin ilmu fiqh saja. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan
zaman dan peliknya persoalan-persoalan hukum yang dihadapi, dimana peristiwa
hukum tidak lagi di tinjau dari satu
disiplin ilmu saja, melainkan berkaitan dengan banyak disiplin ilmu, aga’nya untuk
dewasa ini, al-ijtihad al-jama’I tidak
lagi memadai jika hanya dilakukan oleh ulama fiqh saja, tetapi harus melibatkan
para pakar dari disiplin ilmu lain. Sebagai contoh, untuk menentukan hukum
syara’ berkaitan dengan rekayasa genetika, seperti cloning, aborsi karena alasan tertentu dan problem-problem dalam
ilmu kedokteran lainnya. Memerlukan penjelasan yang mendalam bukan saja dari
pakar ilmu kedokteran, tetapi juga dari para pakar disiplin ilmu biologi, ilmu
social, dan lain-lain. Demikian juga untuk menentukan hukum transaksi yang dilakukan
secara cyber, seperti melalui
internet, dan masalah-masalah lain yang memerlukan keterlibatan para pakar
dalam berbagai ilmu di luar disiplin ilmu fiqh.
Metedologi Ijtihad
Empat Madzhab
1. IMAM HANAFI
a) Biografi Imam Hanafi (80 – 150 H / 699-767 M)
Imam Hanafi atau nama lainnya
disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah Al-Numan ibn Tsabit
ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia
dilahirkan dikufah pada Tahun 80 H, artinya ia lahir pada zaman Dinasti
Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn
Marwan (Manna al-Qaththan, 1989:202). Beliau meninggal pada zaman kekuasaan
Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18
tahun pada zaman Abbasiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh
lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang
bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah,
karena beliau begitu taat beribadah kepada allah, yaitu berasal dari bahasa
arab Haniif yang artinya condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut
riwayat lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya
beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta. Sikap
politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiaya dan
ditindas oleh Dinasti Umayyah. Ketika Zaid berontak terhadap Hisyam dan
terbunuh, termasuk putranya Yahya ibn Zaid, Abu Hanifah sangat berduka. “Perjuangan
Zaid sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar,” katanya.
Ketika Yazid ibn Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti
Umayyah) menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta menjadi hakim dipengadilan
atau bendaharawan negara, tetapi ia menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap dan
dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas pertolongan juru cambuk, ia berhasil
meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia tinggal disana selama enam
tahun (130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah
dan menyambut kekuasaaan Abbasiah dengan rasa gembira. Tidak berbeda dengan
pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga melakukan kekerasaan terhadap Ahlul
Bait, seperti tindakan yang dilakukan oleh Al - Manshur terhadap Al - Nasf, Al
- Zakiah pada tahun 145 Hijriah. Abu hanifah tampil mengkritik Abbasiah. Ia
mengkritik para Hakim dan Mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al - Manshur
untuk menjadi hakim di pengadilan, Abu Hanifah menolaknya.. akhirnya ia
dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H, akibat penderitaannya
dalam tahanan.
b) Metode dan Cara Ijtihat Abu Hanifah
Metode ijtihad yang digunakan oleh imam hanafi adalah
:
- Metode Dialektika
Dengan menggunakan analogi terhdap suatu permasalahan,
metode yang digunakan oleh hanafi independen dalam artian lebih menjurus kepada
pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.
- Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum
dalam sat nas desebabkan adanya nas lain yang menghendaki demikian, metode ini
dikaitkan dengan maqsid al-syari’ah.
Thaha Jabir Fayadl al Ulwani membagi cara ijtihad Abu Hanifah menjadi dua
yaitu: Cara Ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara
ijtihadnya yang pokok dapat diringkas sebagai berikut: “Aku (Abu Hanifah)
merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatnya, apabila tidak ada dalam
Al-Quran, aku merujuk kepada Sunnah Rasulullah SAW dan Atsar yang Shahih yang
diriwayatkan oleh orang-orang Tsiqah. Apabila tidak mendapatkan dalam Al Quran
dan sunnah rasul, aku merujuk kepada Qaul Sahabat, (apabila sahabat Ikhtikaf),
aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan
pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila
didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan Ibn al-Musayyab serta yang lainnya,
aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”(Thaha Jabir Fayadl Al
Ulwani,1987:91) Sedangkan cara
berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
Bahwa Dilalah lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti
lafadz Khash;Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum
adalah bersifat Khusus bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih
kuat (Rajih) adanya penolakan terhadap Mafhum (makna tersirat) syarat dan
sifat, bahwa apabila perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil
adalah perbuatannya, bukan riwayatnya, mendahulukan Qiyas Jali atas Khabar Ahad
yang dipertentangkan menggunakan Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila
diperlukan. Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari
ungkapannya yaitu “ sungguh, saya berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati
disana. Jika tidak saya mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan atsar shahihah
yang tersiar di kalangan ulama tsiqah. Jika tidak aku dapati juga di Kitab
Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki
pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain.
Bila kasus tersebut pernah diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim,
al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan
berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad”.
2. Imam Malik
a) Biografi Imam Malik (93-179 H)
Nama lengkap pendiri mazhab
maliki adalah Malik bin Annas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H = 721M di
Madinah pada perkembangan selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik.
Beliau wafat pada tahun 179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah,
walaupun pada zaman yang sama, tetapi tempatnya yang berbeda. Pada waktu beliau
masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak mnghalangi ia
untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah, disamping itu dia juga
menuntu ilmu nahwu, syair dan juga menghafal Al-Quran, beliau juga menuntut
ilmu kepada seorang ulama’ yang dikenal sangat cerdas diantara par ulam’
lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi gurunya tersebut, karena
kecerdasan dan kealimanya. Imam Malik belajar kepada ulama’-ulama’ Madinah, dan
yang menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar
kepada Nafi’ Maulana ibnu Umar, Imam Malik diakui oleh ulama di madinah sebagai
Ahli hadist, bliau menghafal hadist sebanyak 100.000 ribu hadist. Imam Malik
adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal, baik fiqh, al-quran dan hadist,
Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu Al-Hadist, maka hal tersebut
mempengaruhi pemikiran Imam Malik. Imam Malik membangun madzhabnya di atas dua
puluh dalil, sebagaimana di kutip dari perkataan para Ulama Madzhab Maliki. dua
puluh dalil tersebut yaitu:
1. Nash Al-Qur’an
2. Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir Al-Qur’an
3. Dalil Al-Qur’an, yakni mafhum mukhalafahnya
4. Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum muwafaqahnya
5. Tambih Al-Qur’an, yakni memperhatikan illat (sebab)
suatu ayat, seperti firman Allah, “Karena sesungguhnya semua itu kotor
(najis).” (Al-An’am:145)
Lima dalil ini adalah yang bersumber dari Al-Qur’an. Sedangkan yang berasal
dari sunnah, juga sama seperti lima yang dari Al-Qur’an. Dengan demikian
jumlahnya menjadi sepuluh. Adapun yang selanjutnya:
Ijma’,qiyas,Amal/perbuatan penduduk Madinah, Perkataan
Sahabat, Istihsan,Saddu Dzari’ah,Memperhatikan perbedaan Istishab, Mashlahah
Mursalah, Syar’u man qablana (syariat sebelum kita). Dalam pelaksanaannya tidak
berurutan seperti yang disebutkan di atas. Qadhi Iyadh berkata: Setelah
menjelaskan susunan ijtihad sesuai dengan yang dikehendaki, akal dan disaksikan
syara’ , mendahulukan Kitabullah pada dalilnya dengan jelas daripada
mendahulukan nash-nashnya, kemudian dzahir mafhumnya. Demikian juga sunnah
menurut susunan mutawatir, masyhur dan ahad, lalu susunan nash-nashnya,
dzahir-dzahirnya, dan mafhum-mafhumnya. Kemudian Ijma’ ketika tidak ada dalam
Al-Qur’an dam sunnah mutawatir. Ketika tidak ada semua yang pokok ini maka
menggunakan Qiyas dan mengistimbatkan darinya. Qadhi Iyad berkata setelah
menjelaskan hal itu dan berhujjah dengannya: Bila Anda perhatikan pertama kali
sikap para imam dan sumber pengambilan mereka dalam fiqih dan ijtihadnya dalam
syara’, niscaya Anda dapati Malik menempuh cara ini dalam Ushulnya, susunannya,
mendahului Al-Qur’an dari pada Atsar, mendahulukan Atsar dari pada Qiyas dan
I’tibar. Meninggalkan Qiyas terhadap sesuatu yang orang-orang arif terpercaya
tidak melakukannya dengan apa yang mereka lakukan atau mendapati sesuatu dari
mayoritas penduduk Madinah yang telah melakukan yang lainnya dan
menyelisihinya, kemudian beliau menempuh cara Salaf dalam menghadapi berbagai
kesulitan. Dia mengutamakan ittiba dan tidak menyukai bid’ah.
Dapat di pahami bahwa Imam Malik secara umum mengikuti cara orang-orang Hijaz
dengan menetapkan Atsar selagi memungkinkan dan tidak menyukai perluasan
masalah dan memaparkannya sebelum terjadi.
b) Metode Ijtihad Imam Malik
Hal-hal yang membuat metodenya
istimewa, yang memberi pengaruh dalam perluasan lapangan perselisihan/perbedaan
di antara dia dan yang lainnya, yaitu:
1) Amal/perbuatan Penduduk Madinah, adalah sebagai
hujjah bagi Malik dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar Ahad.
2) Mashlahah Mursalah Istishlah yaitu
kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan
tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan
maksud syara’ yang keadaan maksudnya dapat diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan
dengan maslahat lain. Maka ketika seperti ini Malik mendahulukan beramal
dengannya.
3) Perkataan Sahabat
4) As-Sunnah
5) Beliau berpendapat menggunakan istihsan dalam
berbagai masalah, seperti jaminan pekerjaan, menolong pemilik dapur roti dan mesin
giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan Qisas
harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah; hanya saja Malik tidak
meluaskan dalam pendapatnya tidak seprti madzhab Hanafi.
3. Mazhab Imam Syafi’i
a) Biografi Imam Syafi’i (150-204 H)
Mazhab ini dibangun oleh imam
Abu A’dullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam
Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani
Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, beliau lahir di gazah pada tahun 150 H
dan wafat di mesir pada tahun 204 H pada saat imam berumur 52 tahun. Setelah
ayahnya meninggal pada saat Imam Safi’i berumur hampir 2 tahun maka ibunya
membawa Imam Syafi’i ke gazah karena dikhawatirkan kalau dia tinggal di gazah maka
nasabnya dengan kaum Quraisy akan hilang sehingga Imam Syafi’i tidak dapat
memperoleh pendidikan yang semestinya, pada saat itu keturunan quraisy sangat
di junjung tinggi, dan orang-orang Quraisy adalah keturunan atau masih memilki
hubungan dengan Rasul Saw, sehingga segala kebutuhan pasti dibantu oleh kaum
Quraisy, dilatar belakangi hal tersebut maka Imam Syafi’i pindah ke mekkah.
Imam Syafi’i dikenal sangat pintar dalam segi keilmuan agama, hafalannya yang
tajam dan kuat, sehingga pada umur 7 tahun beliau sudah menghafal Al-Quran, dan
pada waktu menuntu ilmu Imam Syafi’i juga dapat mengulangi apa yang telah
disampaikan oleh gurunya, setiap kali gurunya menjelaskan beberapa materi imam
syafi’i selalu mencatatnya dan menghafalnya.
Jika kita telusuri sejarah perjuangan yang dilakukan
oleh Imam Syafi’i untuk mencari ilmu pengetahuan, maka itu semua tidak luput
dari keserisusan dan semangat beliau untuk menjadi yang lebih baik. Kepribadian
imam syafi’I yang suka merantau dari suatu daerah ke daerah yang lain hanya
untuk mencari ilmu, itu dapat dicermati dalam syairnya :
Merantaulah ! pasti kamu akan mendapat ganti atas apa
yang engkau tinggalkan Maka tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah,
sehingga dengan berbekal keberanian Imam Syafi’i melakukan rihlahnya ke
berbagai daerah, rihlah dilakukan beliau antara lain ke Madinah, Mekkah, Iraq,
Yaman.Pada saat Imam Syafi’i berumur 20 tahun, beliau pergi ke Mekah
Al-Mukarramah untuk menuntut ilmu fiqh kepada seorang ulama’ besar yaitu Syekh
Muslim bin Khalid yaitu imam masjidil haram. Setelah menggali ilmu fiqh dari
Muslim bin Khalid, Imam Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke Madina dengan tujuan
menuntut ilmu kepada ulama’ terkemuka yaitu Imam Malik ( tekstual normatif)
dengan kitab fiqihnya yang terkenal Al-Muwattaq. Imam Syafi’i dapat menghafal
dengan waktu yang singkat semua kitab Al-Muwattaq Imam Malik. Karena merasa
belum puas dengan keilmuannya, Setelah memguasai kitab Al-Muwattak. Syafi;I
melanjutkan rihlahnya ke Iraq berguru kepada imam terkemuka disana yaitu Imam
Abu Hanifah (rasionalistis), Imam
Syafi’i mencoba mengkolaborasikan pendapat, pola fikir dan fiqh kedua Imam
tersebut, antara Ahlul Al-Hadist (tesa) dan Ahlul Ar-Ra’yu (antitesa). Jadi
dapat dikatakan bahwa Imam Syafi’i adalah sintesa dari dua Imam tersebut.
Setelah berguru kepada Abu Hanifah, Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke yaman
untuk berguru disana, karena keterbatasan dana Imam Syaf’i’i mencari kerja di
yaman, dengan bantuan temannya beliau diangkat menjadi hakim di Yaman, tetapi
itu hanya sebentar saja, lalu beliau kembali ke mekkah.
b) Metode Ijtihad Imam Syafi’i
Dalam berijtihad Imam Syafi’i
menggunakan pemikiran-pemikiran yang jeli dan teliti, kita lihat model
ijtihadnya sebagai berikut :
1. Metode induktif (Istiqra’i)
Metode ini lebih menekankan
kepada penelitian fakta lapangan, cara ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i
dalam menentukan waktu terpanjang dan terpendek bagi wanita yang lagi haid,
dalam menentukan waktu tersebut Imam Syafi’i melakukan penelitian kepada beberapa
wanita yang ada di mesir, hasil penelitian tersebut dihasilkan data yang
beragam, ada yang satu hari satu malam, ada yang sepuluh hari dan lima belas
hari. Dari data tersebut Imam Syafi’i menyimpulkan bahwa paling cepat masa haid
adalah satu hari dan paling lama adalah lima belas hari.
2. Metode dialektika (Jadali)
Terkait dengan hukum menikahi
anak dari hasil perzinahan,Dalam menetapkan hokum ini syafi’I meruju’ kepada
firman allah yaitu surat An-Nisa’ ayat 23, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibu-ibumu,
anak-anak (perempuanmu)” Imam Syafi’i memberi devinisi bahwa yang diharamkan
adalah anak dari istri yang telah kamu kawini dengan halal bukan dengan
perbuatan haram, jadi kamu boleh menikahi anak istrimu dari hasil perbuatan
zina antara kamu dan istrimu, dikarenakan dia bukan anak istrimu yang syah, dan
dia tidak memiliki nasab dengan kumu(suami), tetapi kebolehan yang diberikan
oleh Imam Syafi’i adalah kebolehan dalam arti Makruh. Jawaban yang diberikan
oleh Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa Syafi’i berusaha memberikan suatu
eksistenti kekuatan daya nalar terhadap penggalian hukum.
4. Mazhab Imam Hambali
a) Biografi Imam Ahmad ibn Hambal
Beliau bernama Abu Abdillah
Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani al-Marwazi. Ia lahir di Baghdad
pada Tahun 164 H, dibesarkan dan wafat disana pada Tahun 231 H. Ahmad ibn
Hambal dilahirkan ketika kekalifahan dipegang oleh Musa Al-Mahdi dari kalangan
Abbasiyah. Musa al-Mahdi meninggal dan digantikan oleh Harun Ar-Rasyid
(170-194H), Harun Ar-Rasyid digantikan oleh Al-Amin (194-198 H), Al-Amin
digantikan oleh al-Makmun ( 198-218 H). Al-Makmun adalah khalifah yang
menjadikan Mu’tazilah sebagai Madzhab Negara. Karena Imam Ahmad Ibn Hambal ini
tidak memiliki pemikiran yang sejalan dengan Mu’tazilah, sehingga beliau
mendapatkan penyiksaan bahkan dipenjarakan. Hal itu diketahui ketika Imam Ahmad
diajukan pertanyaan tentang apakah Firman Tuhan (Al-Qur’an) adalah makhluk.
Akan tetapi beliau tidak sependapat dengan menjawab bahwa Al-Qur’an bersifat
Qadim dan bukan Makhluk. Karena menurut Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah baru,
dan tidak bersifat qadim.Keberanian mempertahankan keyakinan ini disamping
membawa resiko juga membawa keuntungan , yaitu membuatnya mempunyai banyak
pengikut di kalangan umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Karena
itu kendati banyak Ulama’ yang menjalani hukuman mati , Al-Mu’Tashim dan
Al-Watsiq tidak berani menjatuhkan hukuman mati terhadap Imam Ahmad karena
takut menimbulkan kekacauan. Akhirnya Al-Mutawakkil kahlifah berikutnya menghapuskan
pemaksaan paham Mu’tazilah.
b) Metode Ijtihad Imam Ahmad ibn Hambal
Metode yang di kembangkan oleh
ahmad bin hambal adalah Metode Dialektika hal ini dpat kita lihat cara beliau
menjelaskan tentang seatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang
syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian,
syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat
memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari
segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai
nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus
dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham. Dalam bidang
pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari
kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad
berpendapat : “Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin
(adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”. Dalam bidang
Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jual
beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila
penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan.
Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka
akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar
r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda : “Setiap penjual dan
pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah “. Selanjutnya,
tokoh yang membaharui dan melengkapi pemikiran Madzhab Hambali, terutama di
bidang Mu’amalah adalah Syeikh al-Islam Taqiyudin Ibn Taimiyah (wafat 728 H)
dan Ibn Al-Qayim al-Jauziyyah (Wafat 751 H) murid ibn Taimiyyah. Tadinya
pengikut Madzhab Mahbali tidak begitu banyak, setelah dikembangkan oleh dua
tokoh tersebut maka madzhab Hambalimenjadi semarak terlebih setelah
dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H). dan kini
menjadi Madzhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.
Taqlid
Taqlid
berasal dari bahasa arab yang berarti “mengulangi, meniru, dan mengikuti”. Para
ulama ushul memberikan definisi taqlid
dengan “ mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa
mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. “ sedangkan orang
yang bertaqlid disebut mukallid. Dari definisi diatas terdapat
dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:
Muhammad
Rasyid Radha merumuskan definisi taqlid
dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti
pendapat orang yang dianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam
hukum islam tanpa memperthatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta
manfaat mudharatnya pendapat tersebut.
Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini.
Semata-mata
mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Contohnya, tradisi nenek moyang
tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan
mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan
firman Allah, antara lain dalam surat Al-Ahzab [33]:64 yang artinya:
“ sesungguhnya
Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang
menyala-nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan
tidak pula penolong. Di hari itu muka mereka di bolak-balik dalam api neraka,
mereka berkata: “Alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan kepada
Rasul.” Dan mereka berkata:” ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami.”
Mengikuti
orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya dan
menggandrungi daerahnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal seperti ini disinggung oleh Allah dalam surat
Al-Baqarah[2]:165-166 yang artinya:
“
Diantara manusia ada yang mempunyai banyak ikatan selain Allah dan mencintai
Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat mencintai Allah. Sekiranya
orang-orang yang berbuat zhalim itu ketika mereka melihat azab (di hari
akhirat) bahwa sesungguhnya kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, maka Allah
sangat pedih siksanya. (yaitu) ketika orang-orang yang mereka ikuti berlepas
diri dari mereka ketika melihat azab tersebut dan memutuskan segala hubungan.
Mengikuti
pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman
Allah dalam surat Al-Taubah [9]: 31 artinya:
Mereka
menjadikan para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan
menuhankan Al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah
Tuhan yang satu, tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci dia dari segala apa yang
mereka sekutukan.
Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian mengikuti pendapat
orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul berkenaan dengan suatu
perbuatan. Namun, seorang yang bertaqlid
tersebut harus terus belajar mendalami hukum islam. Bila pada suatu saat orang
yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang di taqlidinya selama ini bertentangan dengan syariat Allah, ia harus
meninggalkan pendapat yang di taqlidinya
tadi.[5]
Syarat orang
yang bertaklid:
Yang dibolehkan bertaklid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti
cara-cara mencari hukum syari’ah ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan
boleh mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri
hukum syari’ah. Maka ia harus berijtihad sendiri bila kesempatan dan waktunya
masih cukup serta waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan
waktu untuk mengerjakan hal-hal lain (tentang ibadah), maka menurut sebagian
ulama boleh ia mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
Syarat
syarat Masalah yang Ditaklidi
Hukum terbagi kepada dua macam yaitu: Hukum akal dan Hukum Syara’. Dalam
masalah hukum akal, tidak dibolekan taklid kepada orang lain, seperti
mengetehui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sifatnya. Hal ini karena
jalan untuk menetapkan hukum-hukum tersebut adalah akal, sedang setiap orang
memiliki akal. Karena itu tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.
Allah
mencela dengan keras taklid soal-soal tersebut dengan firman Nya: yang Artinya:
“Apabila dikatakan kepada mereka : “ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah, mereka menjawab: “(tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah
kami dapat dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (apakah mereka akan mengikuti
juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk “. (Al-Baqoroh: 170)
Taklid dalam masalah hukum syara’ dibedakan pada dua bagian, yaitu:
a. Diketahui dengan pasti dari agama
Islam, seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat dan Haji. Juga tentang
haramnya zina, minuman keras, dan lain-lain. Dalam hal diatas, tidak boleh
taklid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
b. Yang diketahui dengan jalan
penyelidikan dan mencari dalil seperti soal-soal ibadah tertentu, dalam soal
semacam ini dibolehkan taklid.
Pendapat
empat imam madzhab dan Ulama lainnya tentang taqlid:
Imam Abu Hanifah berkata: Jika
perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan Hadits Rasul, maka tinggalkanlah
perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum
mengetahui dari mana saya berkata.
Imam Malik berkata: saya hanya
manusia biasa yang kadang salah dan kadang benar, selidikilah dahulu pendapat
saya kalau sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits maka ambillah dan yang
menyalahi hendaklah ditinggalkan.
Imam Syafi’i berkata: Perumpaman
orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang mencari
kayu di waktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang
mematuk sedang dia tidak tahu.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
Jangan mengikuti (taklid) kepada saya atau Malik atau Tsauri atau Auza’i tetapi
ambillah dari mana mereka mengambil.
Ibnu Ma’sud berkata: kamu jangan
mentaklidi orang kalau dia Iman maka kamu beriman kalau ia kafir maka kamu
kafir. Tidak ada tauladan dalam hal hal yang buruk.
[1] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, (Damaskus:Daar al-fikr, tt.),
hlm.379.
[2] Wahbah Zuhaili, ushul fiqh al-Islami,(Damaskus:Daar al-Fikr,1986),cet.ke-1,hlm.1044-1049.
BAB I
FIKIH DAN SYARIAH
1. Pengertian
Syariah
Secara generic (etimologi) syariah
berarti tempat menuju aliran air, atau jalan yang mesti dilalui atau aliran
sungai. Beberapa ayat al-Quran seperti as-Syura’ : 13 menyebutkan lafal syariah
yang bermakna ad-din (agama) dalam makna totalitasnya yang mnunjukkan
pengertian bahwa syariah Islam adalah jalan yang lurus, yang akan mengantarkan
manusia pada keselamatan dan kesuksesannya di duania dan di akhirat. Hubungan
makna generic syariah sebagai jalan menuju aliran sungai dan syariah
islamadalah, jika air sungai yang bersih dan bening akan memuaskan dahaga dan
kesehatan serta menumbuhkembangkan tubuh orang yang meminum dan menggunakannya,
maka syariah Islam juga akan member kepuasan batin atas upaya manusia dalam
mencari kebenaran, dan akan menyelamatkan hidupnya di dunia dan di akhirat. Belakangan
kata syariah berarti sebagaimana yang didefinisikan ulama pada umumnya, yakni :
“Semua firman Allah yang berhubungan dengan aktifitas
manusia (baik berbuat atau tidak berbuat, baik aktif maupun pasif) baik yang
berupa perintah atau larangan, atau pilihan berbuat atau tidak berbuat”.
Pada definisi ini syariah dibedakan
dari istilah akidah (firman-firman tentang kepercayaan/keyakinan) dan dibedaka
pula dari istilah akhlak (firman berkaitan dengan konsep cara pandang terhadap
segala seuatu yang disebut baik dan jahat, pantas dan tidak pantas. Sebagai
tambahan, yang perlu ditegaskan adalah bahwa makna “firman Allah” sebagaimana
tertera di atas mencakup pengertian hadis Nabi Muhammad yang berkaitan dengan
perbuatan manusia. Sebab pada hakikatnya apa yang disampaikan oleh nabi
Muhammad berada di bawah bimbingan wahyu Allah.
2. Pengertian Fiqh
dan ushul Fiqh
Ushul fiqh merupakan kata majemuk
yang berasal dari lafal ushul dan fiqh, masing-masing akan dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Ushul
Ushul
merupakan bentuk jamak dari lafal ashl yang secara etimologi berarti sesuatu
yang menjadi landasan bagi yang lain. Dakam pengertian terminology, makna ushul
adalah:
1)
Ketentuan dasar
2)
Hukum yang dipedomani
3)
Yang dominan
4)
Unsur qiyas yang pertama menjadi rujukan untuk mendapatkan hukum baru yang
belum ada ketentuan hukumnya
5)
Dalil (dasar)
Dari sekian pengertian, pengertian ushul yang kelima
dianggap lebih sesuai dengan pengertian ushul fiqh. Dengan kata lain ushul fiqh
berarti dasar atau dalil untuk menetapkan hukum fiqh yang dapat berupa
al-Qur’an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan sebagainya.
b.
Fiqh
Secara
etimologi fiqh berarti mengerti atau paham (lihat al-Isra: 44). Dengan demikian
ketika seseorang berkata فقهت (saya paham) berarti ia mengerti tujuan
perkataan seseorang. Namun menurut sebagian ulama paham dan mengerti sebagaimna
dimaksud di atas bukan sekedar paham terhadap hal-hal yang mudah dipahami dan
dimengerti, melainkan paham yang mendalam. Oleh karena itu orang yang mengerti
bahwa api itu panas dan harimau itu buas belum dapat disebut seorang faqih
(orang yang paham). Seorang faqih memiliki seperangkat pengetahuan dan keahlian
dalam memahami masalah-masalah fiqh yang rumit.
c.
Fiqh sebagai Disiplin Ilmu
Secara
istilah (terminology) fiqh menurut Ibnu Qudamah dapat berarti:
العلمم
بالاحكام الشرعيةة العملية الفرعية عن ادلتها التفصيلية بالاستدلال
“Pengetahuan tentang hukum syara
yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang bersifat parsial, yang berasal
dari dalil-dalil yang spesifik melalui penelitian trhadap dalil”
Terminology lain diungkapkan oleh
Ibnu as-Subki, yakni:
العلم بالقواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام
الشرعية الفرعية من ادلتها التفصيلية
“Pengetahuan tentang hukum syara
yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara
yang spesifik.”
Dari definisi kedua dapat diketahui
bahwa:
1)
Fiqh adalah seperangkat ketentuan hukum-hukum syara yang berasal dari Allah
melaui wahyu yang disampaian kepada rasul-Nya. Dengan demikian hukum akal
(logika), hukum kebiasaan (al-adat), hukum kausalitas dan hukum-hukum lain yang
berasal dari pemikiran manusia tidak termasuk dalam pengertian pembahasan fiqh.
2)
Fiqh berkaitan dengan perbuatan manusia. Jadi masalah keimanan dan keyakinan
(akidah) dan juga akhlak tidak masuk dalam pembahsan ilmu fiqh.
3)
Hukum-hukum fiqh itu didapat dari hasil-hasil pemikiran melalui usaha
penelitian sungguh-sungguh yang dilakukan oleh mujtahid untuk menggali dan
memahami nash-nash syara, sehingga mujtahid tersebut dapat mengetahui
bahwa suatu perbuatan tertentu sesuai dengan yang ditentukan oleh Allah. Dengan
demikian tingkat kepastian hukum fiqh tidak bersifat mutlak (mutlak, qath’i)
namun bersifat relative (zhanni), sebab dalam upaya penetapan hukum tersebut
terdapat keterlibatan manusia yang mempunyai keterbatasan akal.
4)
Hukum yang pasti benar adalah hukum yang secara jelas dan langsung berasal dari
Allah. Dengan demikian ketentuan hukum tentang wajibnya shalat lima waktu,
puasa ramadhan, zakat, haji atau keharaman membunuh tanpa alasan yang sah,
makan babi, berzina, mencuri dan meminum khamr tidak termasuk dalam kategori
fiqh karena hal trsebut bersifat pasti(qath’i) dan tidak memerlukan ijtihad
dalam menentukan hukum perbuatan-perbuatan tersebut.
d.
Ushul Fiqh sebagai Disiplin Ilmu
Definisi ushul fiqh menurut Ibnu
Qudamah adalah:
العلم بالقواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام
الشرعية الفرعية من ادلتها التفصيلية
“Pengetahuan tentang hukum syara
yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara
yang spesifik.
Smentara Ali Hasibullah mengemukakan
definisi ushul fiqh dengan:
القواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام الشرعية
العملية من ادلتها التفصيلية
“Sekumpulan kaidah yang digunakan
untuk menarik kesimpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan
manusia, dari dalil-dalil yang spesifik”
Sedang alBaidhawi mendefinisikan:
معرفة دلائل الفقه اجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال
المستفد
“Pengetahuan tentang dalil-dalil
fiqh secara umum dan cara menyimpulkan hukum dari dalil-dalil tersebut, serta
tentang hal ihal mujtahid.
Dari definisi di atas dapat
diketahui bahwa ushul fiqh terdiri dari beberapa unsure berikut:
1)
Ushul fiqh merupakan suatu disiplin ilmu
2)
Ushul fiqh merupakan sekumpulan dalil dan kaidah atau rumusan yang bersifat
umum yang tidak menunjuk secara langsung pada hukum-hukum syara yang
terperinci.
Kaidah-kaidah yang dimaksud trdiri
dari 2 macam:
a)
Kaidah-kaidah syar’iyyah dan dalil-dalil, contoh:
ان الحد لا يتعلق الا بفاحشة
“Hukuman Had hanya berkaitan dengan
perbuatan keji”
الاصل فى الامر للوجوب ما لم يدل دليل على خلافه
“Pada dasarnya suatu perintah
menunjuk pengertian wajib, selama tidak terdapat dalil lain yang menunjuk
pengertian yang berbeda.
b)
Kaidah yang bersifat kebahasaan. Urgensi kaidah kebahasaan adalah mengingat
al-Qur’an dan al-hadis sebagai sumber utama hukum Islam menggunakan bahasa
Arab, oleh sebab itu diperlukan pemahaman terhadap kaidah-kaidah bahasa
arab untuk menarik kesimpulan hukum syara. Contoh:
اللفظ العام يتناول جميع افراده قطعا ما لم يحصص
“lafal yang bersifat umum menunjuk
semua pengertian parsialnya secara pasti, selama tidak dibatasi (ditakhsis)
maknanya.
اللفظ المشترك
لا يراد به عندد الاستعمال الا معنا واحدا
“Dalam menggunakan suatu lafal yang
mengadung lebih dari satu makna, pengertian yang dimaksudkannya hanya menunjuk
satu makna tertentu saja”
3)
Kaidah-kaidah yang terdapat dalam ushul fiqh berfungsi untuk menarik dan
melahirkan hukum syara.
4)
Hukum-hukum fiqh yang dihasilkan itu bersifat amaliyah, bukan akidah maupun
akhlak. Namun demikian di dalam fiqh dan ushul fiqh terdapat juga hukum-hukum
yang tidak secara langsung berkaitan dengan perbuatan manusia missal; tentang
status seseorang yang menimbulkan efek hukum seperti sebagai hamba, janda,
anak-anak, orang gila, terpaksa dll yang semua itu bukan termasuk perbuatan
manusia tetapi juga masuk dalam pembahasan fiqh/ushul fiqh.
5)
Hukum-hukum fiqh yang disimpulkan dari nash merupakan hasil ijtihad (tidak
secara langsung ditegaskan oleh nash)
6)
Tingkat kekuatan hukum tersebut bersifat zhanni (relative) bukan Qath’I
(mutlak) karena hasil ijtihad (ada unsure manusia).
3.
Qawaid Fiqhiyyah
Qawa’id Fiqhiyyah terdiri dari 2
kata, yakni Qawaid dan Fiqhiyyah. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qa’idah,
dalam bahasa Indonesia berarti kaidah atau rumusan asas-asas yang menjadi
hukum; aturan yang tentu; patokan; dalil. Secara etimologi qawaid berarti
dasar, asas atau fondasi dalam pengertian abstrak maupun konkrit. Secara
terminologis, menurut at-Thahanawi, qawaid menunjuk pengertian yang kurang
lebih sama dengan pengertian dasar, qanun (undang-undang), dhabit (catatan
penting) dan maqashid (tujuan), yang secara umum menurut at-Taftazani kata
kaidah menunjuk pada:
امر كلى منتبق على جميع جزئياته عند تعرف احكامها منه
“Ketentuan yang bersifat umum yang sesuai terhadap
semua bagian-bagiannya yang bersifat parsial, ketika hendak mengetahui
ketentuan hukum yang bersifat parsial tersebut daripadanya”. Sedang
menurut Abu al-Baqa’ al-Kafawi al-Hanafi:
قضية كلية من حيث استمالها بالقوة على احكام جزئيات
موضوعها
“Qadhiyyah kulliyah (preposisi yang bersifat umum)
yang secara potensial mencakup semua ketentuan hukum yang bersifat juz’I yang
berada dalam ruang lingkupnya”.Sementara al- jurjani mendefinisikan:
قضية كلية منتبقة على جميع جزئياتها
Qadhiyyah kulliyah (preposisi yang bersifat umum) yang
dapat diterapkan kepada semua juz’iyyah (parsial)nya”. Sedang
menurut at-Taftazani:
حكم كلي ينتبق على جزئياته ليتعرف ااحكامها منهه
“Hukum yang bersifat kulli (umum) yang dapat
diterapkan kepada semua juz’iyyahnya yang dari kaidah tersebut dapat diketahui
hukum-hukumnya”. Sedang fiqh mempunyai pengertian
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Bila kedua kata ini digabungkan
menjadi qawaid fiqhiyyah, maka ia menunjuk pengertian suatu cabang ilmu
keislaman dengan definisi sebagai berikut:
Menurut Tajudin As-Subki:
الامر كلي الذى ينتبق على جزئياته كثيرة نفهم احكامها
منها
“ketentuan yang bersifat umum yang dapat diterapkan
kepada juz’iyyah yang banyak yang dengan ketentuan tersebut diketahui hukumnya”.
اصول فقهية
كلية فى نصوص موجزة دسستورية ت
Qawaid fiqhiyyah adalah dasar-dasar
fiqh yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk udang-undang yang berisi
hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk
dalam ruang lingkup kaidah tersebut”. Selanjutnya dua definisi menurut Ali Ahmad
an-Nadawi:
حكم شرعي فى قضية اغلبية يتعرف منها احكام ما دخل تحتها
“Hukum syra dalam bentuk Qadhiyyah (preposisi) yang
bersifat domiinan yang dengan qadhiyyah tersebut dapat diketahui ketentuan
hukum mengenai peristiwa-peristiwa hukum yang berada di dalam ruang lingkupnya”.
Definisi yang kedua yaitu:
اصول فقهية
كلي يتضمن احكاما تشرعية عامة من ابواب متعددة فى القضايا التي تدخل تحت
موضوعه
“Dasar-dasar fiqh yang bersifat umum yang mengandung
hukum-hukum syara yang umu dalam berbagai bidang dalam bentuk qadhiyyah-qadhiyyah
yang termasuk dalam ruang lingkupnya”
Dari kedua istilah yang dikemukakan oleh Ali Ahmad
an-Nadawi dapat disimpulkan bahwa:
a.
Keduanya menggunakan istilah syar’I, hal ini untuk membedakannya dari kaidah
lain (seperti qawaid an-Nahwiyyah, qawaid al ushuliyyah, qawaid al qanuniyyah
dll)
b.
Penggunaan kata aghlabiyyah dalam kedua definisi di atas dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa kaidah ini hanya mencakup ketentuan-ketentuan hkum yang
bersifat pada umumnya (mayoritas) dan tidak mencakup keseluruhanya. Dapat
ditegaskan bahwa kenyataanya memang tidak ada satupun kaidah keilmuan islam
yang tidak mengandung pengecualian. Perbedaannya hanya terletak pada sedikit
atau banyaknya pengecualian suatu kaidah disiplin ilmu disbanding dengan kaidah
yang berlaku pada disiplin ilmu lainnya tersebut. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa imu qawaid fiqhiyyah pada hakikatnya adalah sekumpulan
kaidah-kaidah fiqh yang berbentuk rumusan-rumusan yang bersifat umum yang
didalamnya terkandung ketentuan-ketentuan hukum fiqh dalam berbagai bidang yang
temasuk dalam ruang lingkupnya.
4.
Hukum Islam
Menurut KBBI Hukum Islam ialah
peraturan-peraturan dan ketentun-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan
berdasarkan kitab al-Qur’an; Hukum syara’. Definisi ini berbeda dengan
pemahaman para akademisi di Indonesia, sebab hukum Islam tidak dibatasi yang
berkaitan dengan perbuatan manusia pada umumnya, dimana ia tidak mencakup
masalah akidah dan akhlak. Di samping itu, sumber hukum Islam bukan hanya al-Quran,
namun juga as-Sunnah dan melalui berbagai metode penemuan hukum yang dikenal
dalam ushul fiqh. Untuk memudahkan, penegertian hukum Islam sebenarnya tidak
jauh dari fiqh Islam, yakni seperangkat aturan yang berisi hukum-hukum syara’
yang bersifat terperinci, yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yang
dipahami dan digali dari sumber-sumber (al-Quran dan alHadis) dan dalil-dalil
syara’ lainnya (ijtihad).
Dari penjelasan mengenai syariah, ushul fiqh, fiqh,
kaidah fiqhiyyah dan hukum Islam di atas maka dapat ditemukan persamaan dan
perbedaanya, antara lain:
a.
Fiqh dan hukum Islam menunjuk pada pengertian yang sama, yakni
ketentuan-ketentuan hukum Islam itu sendiri.
b.
Pada satu sisi, syariah fiqh dan hukum Islam memiliki persamaan yaitu, sama-sama
membahas hukum Islam yang bersifat amaliyyah (perbuatan manusia), tapi terdapat
perbedaan yaitu: syariah menunjuk pnegertian redaksi atau teks-teks firman
Allah dan hadis Nabi yang berbicara tentang hukum Islam, Fiqh dan hukum Islam
adalah materi hukum Islam yang dipahami dan digali dari redaksi/teks firman
Allah dan Hadis Nabi tersebut (maksudnya, Syariah adalah sumber hukum Islam,
sedang fiqh dan hukum Islam merupakan produk syariah).
c.
Kaidah fiqh merupakan kaidah yang berisi sekumpulan materi ketentuan fiqh/
hukum-hukum Islam yang sejenis, karena ada persamaan illat di antara ketentuan
fiqh/hukum Islam tersebut.
d.
Adapun Ushul fiqh, ia hanyalah alat atau metodologi untuk menggali fiqh/hukum
Islam dari syariah yang berupa firman Allah dan hadis Nabi. Bila ilmu ushul
fiqh dihubungkan dengan syaraiah, ilmu fiqh/hukum Islam dan kaidah fiqh, maka
secara sederhana dapat dijelaskan, jika diibaratkan dalam suatu proses
produksi, maka syaraiah adalah bahan bakunya, sedang ushul fiqh adalah mesim
produksinya, sementara fiqh/ hukum Islam adalah barang hasil produksi tersebut.
Adapun kaidah fiqh adalah kumpulan atau paket-paket kemasan dari hasil
produksi. Dalam hal ini hukum Islam yang dikelompokkan menurut jenis dan
kesamaannya.
BAB
II
SEJARAH PERKEMBANGAN
FIQIH DAN USHUL FIQIH MASA AWAL: MASA RASULULLAH SAW DAN MASA SAHABAT
1. Sejerah
Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Nabi dan Ciri-cirinya
a. Sejarah
Perkembangan Fiqih Pada Masa Rosulullah dan Ciri-cirinya.
Tarikh
Tasyrik Islam, atau sejarah fiqh Islam, pada hakikatnya, tumbuh dan berkembang
di masa Nabi sendiri, karena Nabilah yang mempunyai wewenang untuk
mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafatnya Nabi.Para Fuqaha, ahli-ahli
fiqh, hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah, kaidah-kaidah yang umum
meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah juz-iyah, kejadian-kejadian yang
detail dengan mengistinbatkan, mengambil hukum dari nash-nash syara’, atau
ruhnya, di kala tidak terdapat nash-nashnya yang jelas. Pada Masa Rasulullah
adalah masa fiqh Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam
perwujudan. Sumber asasi yang ada pada masa ini ialah Al-quran (wahyu Ilahi
yang diturunkan untuk menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia). Tentang
sunnah Rasul adalah berdasarlkan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada beliau.
Demikian juga segala tindak-tanduk Nabi SAW. Selalu dibimbing oleh wahyu Ilahi,
dan semua hukum dan keputusan hukum didasarkan kepada wahyu juga. Masa ini walaupun berusia tidak panjang, namun
masa inilah yang meninggalkan bekasan-bekasan dan kesan-kesan serta pengaruh
yang penting bagi perkembangan hukum islam dan masa yang kulli yang bersifat
keseluruhan dan dasar-dasar yang umum yang universal untuk dasar penetapan
hukum bagi masalah dan peristiwa yang tidak ada nashnya. Masa Nabi
SAW ini terbagi kepada dua periode yang masing-masing mempunyai corak
tersendiri. Yaitu periode Makkah dan Periode Madinah.
1) Periode Makkah
Periode
pertama ialah periode Makkah, yakni selama Nabi SAW menetapkan dan berkedudukan
di Makkah, yang lamanya 12 tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat
menjadi Nabi hingga beliau berhijrah keMadinah. Dalam masa ini umat islam masih
sedikit dan masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang
mempunyai kedaulatan, kekuasaan yang kuat. Nabi telah mencurahkan Tauhid
kedalam jiwa masing-masing individu dalam masyarakat arab serta memalingkan
mereka dari memperhamba diri kepada berhala, disamping beliau menjaga diri dari
aneka rupa gangguan bangsanya. Dan masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong
Nabi SAW. Untuk mengadakan hukum atau undang-undang. Karena itu tidak ada di
dalam surat Makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Ya sin dan
Al Furqon. Kebanyakan ayat-ayat makkiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai
aqidah kepercayaan, akhlak dan sejarah.
2)
Periode
Madinah
Periode
kedua ialah periode Madinah, Yakni masa Nabi SAW telah berhijrah ke Madinah,
dan Nabi menetapkan di Madinah selama 10 tahun sampai wafatnya. Dalam masa
inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus
bertambah. Mulailah Nabi SAW membentuk suatu masyarakat Islam yang
berkedaulatan. Karena itu timbulah keperluan untuk mengadakan syari’at dan
peraturan peraturan, karena masyarakat membutuhkannya, untuk mengatur
perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya dan perhubungan
mereka dengan umat yang lainnya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa
perang. Dalam hubungan inilah disyari’atkan hukum-hukum perkawinan, thalaq,
wasiat, jual beli, sewa, hutang-piutang, dan sermua transaksi. Demikian juga
yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan dalam masyarakat, dengan adanya
hukum kriminil dan lain sebagainya individu dan sebagai masyarakat dalam
hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas, antara seantero manusia di
dunia. Karena itulah surat-surat Madinah, seperti Surat Al-Baqoroh, Ali Imran,
An Nisa’, Al Maidah, Al Anfal, At Taubah, An Nur, Al Ahzab, banyak mengandung
ayat-ayat hukum disamping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah dan
lain-lain. Kekuasaan tasyri’iyah (legislatif) pada masa itu dipegang Nabi
sendiri, walaupun dalam hal yang mendesak pernah juga beberapa sahabat
berijtihad mencari hukum, seperti Ali Ibn Abi Thalib dikala melawat ke Yaman,
Mu’adz Ibn Jabal ketika menjadi Hakim di Yaman dan Amr Ibn Ash dan lain-lain.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Dalam Periode Makkah hampir tidak didapatkan
indikasi yang berarti, karena masa ini merupakan masa
pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan adalah
ayat-ayat aqidah. Berbeda dengan masa Madinah di mana ayat-ayat tentang hukum
dan pranata sosila mendominasi, sehingga indikasi penetapan hukum terlihat
lebih jelas. Selanjutnya suatu hal yang nyata
terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat
Al-quran yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu
memberikan penjelasan yang mudah difahami untuk kemudian dilaksanakan secara
praktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan
mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang
tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat
dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan,
perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah
hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber
kepada al-quran itu dapat disebut fiqih.
Fiqih adalah
hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum
amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad.
Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil
penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat
disebut Fiqh atau lebih tepat disebut “Fiqh Sunah”. Kemungkinan Nabi melakukan
ijtihad dalam menghasilkan Sunnahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan
pendapat itu berpangkal pada pemahaman dalam Q.S Al Najm ayat 3-4 yang artinya
“ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya,
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” Ada
ulama yang memahami ayat, ini secara umum, bahwa semua yang diucapkan Nabi
dalam usahanya memberi penjelasan atas ayat hukum atau bukan adalah atas dasar
wahyu. Sedangkan ulama lain memahaminya bahwa yang dimaksud ayat itu adalah
ayat-ayat al-quran yang diterima Nabi dan disampaikannya kepada umatnya, itulah
yang disebut wahyu. Tetapi tidak semua yang muncul dari lisan Nabi disebut
wahyu.
Perbedaan
pendapat ulama dalam memahami ayat tersebut kemudian berkembang pada kebolehan
atau kemungkinan Nabi berijtihad. Ulama kalam Asy’ariyah, mayoritas ulama
mu’tazilah, Abu Ali al Jubbani dan anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak
boleh berijtihad dalam hukum syara’. Alasan mereka adalah Firaman Allah Surat
Al-Najm ayat 3-4 yang artinya, “ Dan tiadalah yang diucapkannnya itu menurut
kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya”. Ayat ini menjadi dalil
utama bahwa semua yang muncul dari lisan nabi adalah dari wahyu dan tidak ada
yang di luar wahyu. Ijtihad tidak berasal dari wahyu, karenanya tidak ada
ucapan Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.
Nabi SAW
berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara menyakinkan melalui wahyu.
Sedangkan hasil ijtihad hanyalah bersifat zhanni. Bila mampu untuk sampai
kepada yang meyakinkan (qath’i), maka tidak boleh menempuh yang tidak
menyakinkan (zhanni). Disamping itu, ijtihad hanya boleh dilakukan bila
tidak ada nash, sedangkan selama Nabi masih hidup, tidak mungkin nash itu sudah
berhenti. Sering terjadi nabi tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan
yang diajukan sahabatnya tentang kasus. Dalam keadaan demikian, nabi menyuruh
menunggu sampai turunnya wahyu yang akan menjawabnya. Seandainya Nabi dapat
memberikan jawaban yang hasil ijtihadnya, tentu nabi tidak perlu berlama-lama
menunggu turun wahyu untuk menjawabnya.
Selanjutnya
pendapat dari ulama lain menyatakan bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masa
peperangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Bila diperhatikan dari
beberapa pendapat tersebut beserta argumennya masing-masing, cenderung pada
pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul dari lisan nabi itu dibimbing
wahyu. Dalam kenyataan memang beliau pernah berijtihad untuk memahami dan
menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari hal-hal
yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagian sunnah
nabi adalah berdasarkan ijtihad.
Adapun
menurut Philips dalam bukunya Evolusi Fiqh yang dikutip oleh Ali Sodiqin, menyatakan bahwa sumber hukum pada
masa Rasul hanya wahyu, baik Al-Qur’an maupun sunnah. rasul juga melakukan
ujtihad ketika muncul persoalan dan wahyu belum turun, Hasil ijtihad Rasul
inilah yang kemudian disebut dengan sunnah atau hadis. Namun, hasil ijtihad
Rasul pada periodenya tidak dianggap sebagai sumber hukum yang independen
karena faliditasnya tergantung kepada wahyu, apakah dikonfirmasi atau
dikoreksi. Contoh aturan dari Rasul yang
dikoreksi oleh wahyu adalah masalah perceraian dengan cara zihar. Rasul
menetapkan zihar yang dilakukan oleh Aus bin As-Shamit kepada istrinya, Khalwah
binti Tsa’labahsebagai bentuk perceraian. Qur’an dengan turunnya surah
Al-Mujadalah (58) ayat 1-3 yang menetapkan bahwa zihar adalah tidak sah sebagai
bentuk perceraian.
b. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa Rasulullah dan Ciri-cirinya.
Pertumbuhan
Ushul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak Zaman Rasulullah
SAW, sampai pada masa tersusunnya Ushul Fiqh sebagai salah satu bidang ilmu
pada abad ke-2 Hijriyah. Di zaman
Rasulullah SAW, sumber hukum Islam hanya ada sua , yaitu Al-Qur;an dan
Assunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah SAW menunggu turunnya wahyu
yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun maka beliau
menetapkan hukum kasus tersebut melaiu sabdanya, yang kemudian dikenal dengan
hadist dan sunah. Ilmu Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh,
meskipun ilmu fiqh dibukukan lebih dulu dari ilmu Ushul Fiqh. Karena dengan
timbulnya ilmu fiqh, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu
tersebut.dan metode ini tak lain adalah ilmu Ushul Fiqh.
Ushul Fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari Fiqh adalah Ushul
Fiqh, berarti Ushul Fiqh itu asas atau dalil Fiqh yang diambil dari Al Qur’an
dan Sunnah. Ushul Fiqh ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
اَمَّا عِلْمُ اُصُولِ الفقه فَلَم يَنشَاء الأ
في القَرنِ الثاني الهِجرِى, لانه ف القرن الجهرى الاولِ لم تَدَع حَا جَةً اليه
فاالرسولُ كان يفتى ويقضى بما يوحى به اليه ربُّهُ من القرن بما يَلهِمُ به من
السُّنَنِ
“Mengenai ilmu Ushul Fiqh, ilmu tersebut lahir sejak abad ke 2 H. Ilmu
tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang tidak diperlukan lantaran
keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu
hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah yang di ilhamkan kepada beliau”.
Sumber hukum
pada masa Rasulullah SAW, hanyalah Al-Qur;an dan As Sunnah ( Al-Hadist). Pada
masa itu di temui sunnah-sunnahnya yang memberi kesan bahwa beliau melakukan
ijtihad. Misalnya beliau melakukan Qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh
Umar Bin Khatab RA, sebagai berikut:
صَنَعتُ اليوم يا رسول الله امرًا عَظِيمًا
قبّلت وانا صاءمٌ , فقال له رسول الله صلي الله عليه وسلم ارايت لو تمضمضتَ بماءٍ
وانت صاءم , فقلت لا بأس بذا لك فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : فصم
“Wahai
Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar, saya mencium
istri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah bersabda kepadanya :
Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu bekumur-kumur dengan air dikala kamu
sedang berpuasa ? Lalu saya menjawab : tidak apa-apa dengan yang demikian itu.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Maka tetaplah kamu berpuasa.”
Pada hadist
diatas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium
istrinya dengan mengqiyaskan kepada “tidak batal puasa seseorang karena
berkumur-kumur”. Cara Rasulullah dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi
bibit munculnya ilmu Ushul Fiqh. Karenanya para ulama Ushul Fiqh menyatakan
bahwa Ushul Fiqh ada bersamaan dengan hadirnya Fiqh, yaitu sejak zaman Rasulullah.
Penetapan hukum pada masa Rasulullah SAW dapat secara langsung mengambil dari
AL-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan hukum dengan
melalui Sunnahnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga. Disamping itu
beliau juga berijtihad dalam menetapkan hukum-hukum tertentu, akan tetapi
ijtihadnya dilakukan secara naluri, artinya dilakukan tanpa memerlukan usul dan
kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman dalam mengistimbatkan hukum. Pada
masa Rasulullah SAW, Ushul Fiqh seperti yang kita kenal sekarang ini belum
diperlukan, sebab RAsulullah SAW dan para sahabat, ketika itu dapat memahami
secara langsung hukum-hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Rasulullah
SAW adalah seorang manusia juga, sebagaimana manusia lain pada umumnya, maka
hasil ijtihadnya pun bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam
sebuah riwayat, beliau bersabda :
انما أنا بشرٌ فما حدثكم
عن اللهِ فهو حقٌّ , وما قلت فيه من قبل نفسى فانما أنا بشرٌ أُخطىءوأصيبُ
“saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan
kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar, dan segala yang saya katakan
dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah
dan bisa benar.
Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah , Allah menurunkan wahyu
yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar.
Sebagai contoh hasil beliau tentang
tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan
terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka (para
tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut
Umar bi Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan
mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih
pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur’an yang tidak membenarkan
pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar, yakni:
ماكان لنبىّ ان يكون له أسرى حتى يثخن فى الأرض
, تريدون عرض الدنيا , والله يريد الأخرة , رالله عزيز حكيم.
“tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat ( untukmu). Dan Allah Maha Kuasa
lagi Maha Bijaksana.
Jika terhadap hasil Ijtihad
Rasulullah SAW tersebut tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan
menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan
sudah barang tentu termasuk kedalam kandungan pengertian As Sunnah( Al-Hadist). Dari
penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari sejarah
perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Rasul adalah bahwa Pada Masa itu Rasulullah berijtihad hukum-hukum yang merupakan keputusan-kepetusan dalam
masalah-masalah yang dihadapkan kepada Rasul atau merupakan suatu fatwa atau
jawaban terhadap suatu pertanyaan. Khittah atau jalan yang diikuti Rasul dalam
menetapkan hukum ialah menanti wahyu. Apabila wahyu tidak datang, Nabi pun
berpendapat bahwa Allah menyerahkan tasyri’ dalam masalah yang dihadapinya itu
kepada Nabi sendiri, maka Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruhusy
syari’ah. kemaslahatan dan permusyawaratan.
2. Sejerah
Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya
a. Sejerah
Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh
pada masa Sahabat dan
Ciri-cirinya
Periode sahabat ini dimulai dari
wafatnya Rasulullah SAW sampai akhir abad pertama hijrah. Pada masa sahabat
dunia Islam sudah meluas hingga
meliputi: Syria, Yordania, Mesir, Iraq dan Persia, yang
mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah
mengherankan apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum ditandai dengan
penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya.
Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat
Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam
satu mushaf datang dari Umar bin Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat
yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh Umar
kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut,
karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada
akhirnya Abu Bakar menerima ide yang baik dari Umar ini. Maka beliau menugaskan
Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-pencar
tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan
yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini disimpan pada Abu Bakar, seterusnya
masa Umar dan kemudian setelah Umar meninggal disimpan pada Hafshah binti Umar.
Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf yang ada pada Hafshah
kemudian menugaskan lagi kepada Zaid bin Tsabit untuk memperbanyak dan
membagikannya ke daerah-daerah slam yaitu ke Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah dan
Damaskus. Mushaf itulah yang sampai kepada kita sekarang.
Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi
meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan. Nabi
selalu minta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadist. Dengan
demikian tidak akan bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu
Al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat. Bahkan banyak sahabat yang hafal
keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun
Hadist pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab, akibat tidak tertulisnya
dan tidak terkumpulnya Hadist dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka
ulama-ulama dapa periode selanjutnya harus meneliti keadaan perawi Hadist dari
berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadist serta muncul Ilmu
Musthalah Hadist. Akibat lain adalah timbulnya perbedaan pendapat karena
berbeda dalam menanggapi satu Hadist tertentu.
Pada masa sahabat, Islam telah
menyebar luas misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Negara-negara tersebut
telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu,
peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di
luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode
selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya kasus
Usyuur (bea cukai barang-barang impor), kasus mualaf dan lain-lain pada
zaman Umar bin Khatab. Adapun cara
berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam
Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru
berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad
jama’i. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah
ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin
Khatab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu : ”Musyawarah yang
bersifat khusus dan musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat
khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas
memusyawarahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah.
Adapun musyawarah yang bersifat umu dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang
dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting. Walaupun
demikian tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad para sahabat dalam
masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan
kemaslahatan umum. Mereka menanyakan masalahnya kepada salah seorang sahabat
Nabi dan diberikan jawabannya. Dalam masalah-masalah ijtihadnya termasuk dalam
hal-hal yang belum ada nash-nya para sahabat berijtihad. Jadi, pada
masa sahabat ini sudah ada tiga sumber hukum yaitu Al-Qur’an, Alsunnah dan
Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam masalah-masalah
yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardhi dalam hal-hal
yang bersifat pribadi.
Ciri khas
yang menonjol dalam perkembangan fiqih periode sahabat ini adalah sebagai
berikut:
1. Bersifat realistis, karena ketetapan fiqihnya didasarkan pada
problem-problem aktual yang terjadi. Tidak ada ketetapan fiqih yang bersifat
hipotesis atau rekaan semata, sehingga bentuk fiqih masa ini disebut dengan fiqh
al-waqi’I (fiqih realistik).
2. Bersifat terbuka, karena tidak menetapkan prosedur-prosedur tertentu yang
harus diikuti dalam menetapkan aturan hukum. Para sahabat juga tidak membuat
catatan atas ketetapan hukum yang mereka hasilkan. Di samping itu mereka
menghargai kebebasan pendapat tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah
Rasul.
3. Mengedepankan musyawarah (ijmak) daripada menggunakan pendapat pribadi
dalam penetapan hukum. Hal ini dipraktekkan
oleh para Khulafaur Rasyidin, sehingga memperkecil ruang ikhtilaf maupun
perpecahan di kalangan umat Islam. Meskipun demikian para sahabat tetap
menghormati pendapat pribadi di antara mereka.
4. Bersifat kreatif, dalam arti melakukan modifikasi terhadap aturan hukum
sebelumnya. Alasan modifikasi ini adalah tiadanya illat bagi keberadaan
hukum tersebut dan atau adanya perubahan kondisi sosial. Contoh dalam kasus ini
adalah ijtihad Umar Ibn Khattab, yang melarang pendistribusian zakat bagi
muallaf adalah untuk mendapatkan dukungan, namun pada masa Umar dukungan
muaalaf tersebut tidak dibutuhkan lagi mengingat eksestensi umat Islam sudah
kuat. Contoh kedua terkait dengan penetapan talak tiga. Pada masa Rasulullah,
pernyataan tiga kali talak dalam satu kesempatan dianggap sebagai satu kali
pernyataan talaq. Khalifah Umar sebaliknya menetapkan bahwa talaq tiga kali
tersebut dianggap jatuh talaq tiga.
5. Khalifah Centris, yaitu keputusan akhir yang melibatkan ijmak dan ijtihad
berada di tangan khalifah. Namun keputusan khalifah sebelumnya tidak mengikat
bagi khalifah sesudahnya. Khalifah pengganti dapat mengubah aturan hukum dari
khalifah sebelumnya. Contohnya misalnya Khalifah Ali mengubah hukuman bagi
peminum khamr. Khalifah Abu Bakar dan Umar mengubah hukuman bagi peminum Khamr
dengan 40 kali cambuk, sedangkan khalifah Ali menambah hukuman tersebut menjadi
80 kali cambuk.
BAB III
SUMBER HUKUM
ISLAM
Al Qur’an
Secara etimologi Alquran berasal
dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti mengumpulkan
(al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat),
Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para
Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran
adalah Kalamulllah yang diturunkan pada rasulullah dengan bahasa arab,
merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah
ibadah.
Pokok-pokok kandungan dalam Alquran antara lain:
Tauhid, yaitu kepercayaan ke-esaann Allah SWT dan semua kepercayaan yang
berhubungan dengan-Nya
Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan
ajaran tauhid
Janji dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau
mengamalkan isi Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari.
Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul
dalam menyiaran syariat Allah SWT maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah
orang yang mengingkari kebenaran Alquran agar dapat dijadikan pembelajaran.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
- Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur
hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan
dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
- Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara
lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama
manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini
tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu
yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
- Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan
dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk
individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan.
Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yakni:
- Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah SWT,misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
- Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur
manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum
muamalat adalah sebagai berikut:
- Hukum munakahat (pernikahan).
- Hukum faraid (waris).
- Hukum jinayat (pidana).
- Hukum hudud (hukuman).
- Hukum jual-beli dan perjanjian.
- Hukum tata Negara/kepemerintahan
- Hukum makanan dan penyembelihan.
- Hukum aqdiyah (pengadilan).
- Hukum jihad (peperangan).
- Hukum dauliyah (antarbangsa).
2. Hadist
Kedudukan Hadist sebagai sumber
ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan Hadist
juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat
sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa
Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat. Menurut bahasa Hadist
artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan
ada pula yang buruk. Pengertian Hadist seperti ini sejalan dengan makna hadis
Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji,
maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang
mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi
yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya. Sementara
itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Hadis,
Al-Sunnah, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan
maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah
sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan
persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Hadist memiliki fungsi yang
pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat
dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran :
- Yang bersifat global (garis besar) yang
memerlukan perincian;
- Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki
pengecualian;
- Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki
pembatasan; dan ada pula
- Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari
satu (musytarak) yang
- Menghendaki penetapan makna yang akan dipakai
dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak
dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada
hadis nabi.
B. Sumber Ajaran Islam Sekunder
Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtihada
yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin.
Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk
mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist.
Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist.
Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat
di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan
akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist.
Macam-macam ijtidah yang dikenal dalam syariat islam,
yaitu
Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan
menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli Ijtihad umat Nabi Muhammad SAW
sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara
musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama
dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
1. Qiyas yaitu berarti mengukur sesuatu
dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula
sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang
mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama.
Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’,
‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap
meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti
hati orang tua.
2. Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu
Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta
yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan
hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang
barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak
memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan
dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
3. Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun
menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan
manusia.
Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan
untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat
Islam demi kemaslahatan umat.
4. Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup
jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah
menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk,
padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar
jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi
kebiasaan.
5. Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang
telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah
kedudukan hukum tersebut.
Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di
saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu
sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
6. Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan
terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai
pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena
harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
a. Abu Hanifah (Imam Hanafi)
Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin
Mahan at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت), lebih dikenal dengan nama Abū
Ḥanīfah, (bahasa Arab: بو حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M —
meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Hanafi.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi,
karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik,
dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh
berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan
seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin
Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
b. Imam Malik
Mālik ibn Anas bin Malik bin
‘Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin
`Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab:
مالك بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada tahun
800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Malik.
Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin
Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di
Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat
perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa
imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa
imam malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam
malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar
malik berkata :”aku dilahirkan pada 93 H”. dan inilah riwayat yang paling benar
(menurut al-Sam’ani dan ibn farhun)[3].
Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu
40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.
Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’
lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya
berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur
adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al
Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad
Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm
berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum
mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang
Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600
hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in,
disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai
kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad
dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn
Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan
hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’
Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan
600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al
Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad,
Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah
Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang
lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti
al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan
Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb,
Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
Malik bin Anas menyusun
kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini,
Al Muwatta.
Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul
Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin
Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb,
Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya
al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats
Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi,
dan lain-lain. Pujian Ulama untu Imam Malik
An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan
jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada
meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.
(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena
tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya
sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada
matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para
tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Imam as-Syafi’i berkata : “Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya
setelah para Tabi’in. “.
Yahya bin Ma’in berkata :”Imam
Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits”
Ayyub bin Suwaid berkata :”Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah)
dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya”.
Ahmad bin Hanbal berkata:” Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam
malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid’ah”
Seseorang bertanya kepada as-Syafi’i :” apakah anda menemukan seseorang yang
(alim) seperti imam malik?” as-Syafi’i menjawab :”aku mendengar dari orang yang
lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak
menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang)
menemui yang seperti Malik?[3] “
Kitab Al-Muwaththa
Al-Muwaththa bererti ‘yang
disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan
hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan
hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan
ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang
merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis
adalah sahih kerana Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam
penerimaan sebuah hadits. Dia sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan,
dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang
dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya
5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan
al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk
mengumpul dan menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafi
pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang
lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam
Malik.”
inilah karangan para ulama muaqoddimin
[sunting]Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh
Imam malik jatuh sakit pada hari
ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu ia wafat.
sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H.
sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi’:” imam malik wafat pada usia 87
tahun” ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang
memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi’
c. Imam Syafi’i
Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs
al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس
الشافعي) yang akrab dipanggil Imam Syafi’i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 –
Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga
pendiri mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia
termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara
dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama
besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk
berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama
namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Tulisan di bawah terpaksa juga dihapus.
Bagaimana mungkin Imam Syafi’ie
yang lahir tahun 150 H dan wafat tahun 203 H disebut menolak paham Asy’ariyyah
yang memperkenalkan ajaran Sifat 20 sementara Imam Abu Hasan Al Asy’ari sendiri
baru lahir tahun 260 H atau 57 tahun setelah Imam Syafi’ie meninggal?
Imam Syafi’ie adalah Imam Fiqih.
Beda dengan Imam Asy’ari yang merupakan Imam masalah Tauhid. Kalau seperti itu,
maka Imam Syafi’ie juga jauh dari paham Trinitas Tauhid yang dibawa oleh
Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir tahun 1115 Hijriyah:
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang
berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.
Sumber: Majalah As-Salaam
Imam Hambali
Sebetulnya ingin mengambil
referensi dari Wikipedia di bawah. Namun ada yang aneh yang menyatakan Murid
Imam Hambali adalah Imam Syafi’i. Imam Asy-Syafi’i. Imam
Ahmad juga pernah berguru kepadanya. Padahal berbagai literatur yang ada
menyebut bahwa guru Imam Syafi’i yang lahir tahun 150 H adalah Imam Malik
(lahir tahun 93 H). Sementara Imam Hambali yang lahir tahun 164 H (14 tahun
lebih muda dari Imam Syafi’i) adalah murid dari Imam Syafi’i. Hubungan Guru
dengan Murid tak akan pernah berubah meski seorang guru bertanya beberapa hal
kepada muridnya. Aneh kan jika Imam Hambali berkata: “Imam Syafi’i itu dulu
Guruku. Namun setelah aku lebih pintar, sekarang Imam Syafi’i jadi muridku”
Insya Allah tidak begitu. Meski Imam Hambali adalah seorang Imam yang cerdas,
namun pernyataan bahwa murid Imam Hambali adalah Imam Syafi’i menunjukkan
adanya perubahan seenaknya oleh kaum Salafi Wahabi dalam rangka memuja Imam
Hambali yang mereka jadi panutan secara berlebihan/ghulluw.
d. Imam Hambali
Beliau
adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris
bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin
Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu
dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu
nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika
beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat
tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya
pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah
beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru
berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan
menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian
bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut
merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah
seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam
Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti
Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan
membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah
rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang
sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini,
keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan
miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu
yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau
mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad
telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang
berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis
ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli
bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya
menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat
berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus
menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu
banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia
mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama
dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang
aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi
Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai
adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian
beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari
para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau
mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam
Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun.
Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits
kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim
bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183.
Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar
tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada
tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu
ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau
temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama
tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah
ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang
menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain
yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail
bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan
lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam
Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan
saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah
menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah,
beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya
dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah
setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai
Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta)
hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang
kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni
hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada
kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya,
mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang
pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah
dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau
menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka
waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180
saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang
tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam
dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga
menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-kabir,
kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah
wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah,
kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman,
kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah,
satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il
ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain
Kepadanya
Imam
Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari
akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di
Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya
datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh
saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i
mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad
menolaknya.
Suatu
hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih
tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau
tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau
Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini
menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan
ilmu kepada ahlinya.
Imam
Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu
tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan
lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul
Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad
bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari
ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq
menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia
akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah
disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku
tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang
lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di
sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau,
tidak mau berkelakar dengannya”. Demikianlah, padahal seperti
diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal
sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah
menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian
dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi
dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari
tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada
masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang
berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang
kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai
kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki.
Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka.
Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari
Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya,
dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah
kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah
mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan
lain-lain.
Kelompok
Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari
Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi
al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di
antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam
(berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah
al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk
meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya
Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat
tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani
menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku
pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa
Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku,
jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia
dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala
Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok
Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun,
mereka mampu melakukannya.
Untuk
memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai
mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung
orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri
telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia
telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa
di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan
ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat
kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten
memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun
bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin
Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke
Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan
sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan
dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun
218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal
al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah
mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan
menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad
dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi
beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah.
Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke
dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan
menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki
terbelenggu.
Selama
itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau,
tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan
al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh
bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua
itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang
menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada
akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam
keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah
kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai
al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya,
al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya,
al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya.
dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya.
Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang
Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad
bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau
menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun,
yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah
al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa
pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian
pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh
wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan
ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga
memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang
sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan
adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan
melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan
namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar
bin Abdul Aziz.
Menjelang
wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya,
orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di
depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di
depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun
241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan
kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka
yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang
mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada
yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya
menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi
menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah
berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa
perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.
Demikianlah
gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap
agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh
keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama
lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang
Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada
dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy
berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan
agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar
as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada
awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
BAB IV
TASYRI JAMAN NABI DAN SAHABAT DAN
TABI’IN
A.
Kondisi Tasyri’ Pada Masa Sahabat
Dengan
wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22
hari yang beliau terima melalui malaikat jibril baik waktu beliau masih berada
di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah,
berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah itu.
Kedudukan
nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak mungkin diganti, tetapi tugas beliau
sebagai pemimpin masyarakat islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh
orang lain. Pengganti nabi Muhammad sebagai kepala Negara dan pemimpin umat
islam ini disebut Khalifah, suatu kata yang dipinjam dari Al-Qur’an (Surat
2:30). Di dalam Al-Qur’an selain surat Al-baqarah ayat 30 itu terdapat
perkataan khalifah yang tersebar dalam sebelas ayat. Ide yang dapat disimpulkan
dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa manusia harus mempunyai tujuan hidup
menata dunia ini. dan sebagai khalifah (wakil) Tuhan dibumi ini, manusia harus
menerjemahkan segala sifat-sifat Tuhan kedalam kenyataan hidup dan
kwhidupan dan wajib mengatur bumi ini sesuai dengan pedoman yang telah
ditetapkan-Nya. Manusia wajib melakukan tugas unutk mencapai tujuan hidupnya menurut
pola yang telah ditentukan oleh Tuhan dalam ajaran-ajaran-Nya.
Pengangkatan
seorang khalifah dapat terjadi dengan persetujuan masyarakat sebagaimana yang
terjadi dalam kasus Abu Bakar, atau dengan penunjukan khalifah sebelumnya
seperti kasus Umar. Jika diperlukan pemilihan, dapat dibentuk suatu badan
khusus menyelenggarakan pemilihan itu. Sesudah dipilih, khalifah harus berjanji
bahwa ia akan memenuhi kewajiban yang dipercayakan kepadanya. Ia harus
melaksanakan janjinya dengan setia, sebab tanggung jawab dan kewajibannya
sebagai kepala Negara, jauh lebih berat dari hak-hak istimewa yang ada
padanya. Ia mendapat janji setia (bai’at) dari rakyat atau wakil-wakilnya yang
memenuhi syarat.
Demikianlah
untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat dan kepala
Negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan
sahabat Nabi sendiri. Sahabat nabi adalah orang hidup semasa dengan nabi,
menjadi teman atau kawan nabi Muhammad dalam menyebarkanluaskan ajaran islam.
Para sahabat Nabi ini silih berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Periode
kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia,
tetapi periode Sahabat meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga masalah
yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci di dalam
Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Para sahabat
menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab.
Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara penetapan hukum
di pengadilan, dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul interpretasi
terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima oleh Rasulullah saw, dan terbukalah
pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash secara
jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai berkembang pesat meluas sampai ke-Timur
dan ke-Barat, sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk
menginterpretasikan nash-nash hukum baik dalam Al-Quran maupun Al-hadits, yang
kemudian menjadi pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum jelas itu.
Selain dari pada itu para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai
masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan
dalam nash mengenai hal itu, yang kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan
untuk berijtihad. Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’ yaitu
menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang
tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita,
maka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab mereka dalam
kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka menyaksikan dan
mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud suatu hadits melebihi pengetahuan
ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan Para sahabat bergabung dalam kelompok yang
biasa diajak bermusyawarah oleh Rasululloh saw. Karena itulah maka munculah
kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail
fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal.
Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat melanjutkan
apa yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali mengenai beberapa peristiwa yang
pada zaman Nabi belum ada.
B.
Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya
Para
sahabat memainkan pesan yang sangat penting dalam membela dan
mempertahankan agama. Mereka tidak cukup melaksanakan dan melestarikan syari’at
yang dibawa Nabi Saw, tetapi juga membentangkan sayap dakwah Islam hingga kemancanegara.
Ini untuk kali pertama syari’at Islam khususnya fiqih berhadapan dengan
berbagai persoalan baru. Misalnya masalah seputar moral, etika, kultur, dan
kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang sangat majemuk.
Fase ini adalah adalah fase yang paling dominan, dalam mempengaruhi
perkembangan syari’at. Wilayah-wilayah yang dibuka dan dibebaskan saat itu
memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi situasi dan kondisi yang
menghadang para fuqaha’ dari kalangan sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali untuk memberikan suatu fatwa.
Para
Sahabat dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al Qur’an dan Sunnah,
menyikapi terhadap persoalan-persoalan yang datang dengan langsung merujuk
kepada al-qur’an dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam
al-Qur’an dan hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka tidak
menemukan dalam dua sumber pokok syari’at Islam tersebut. Kondisi yang demikian
ini mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar
dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al Qur’an untuk diaplikasikan
terhadap persoalan-persoalan baru.
Konsekuensi
lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan
yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian
tetap pada agama dan kepercayaan masing¬-masing. Dari sini muncul suatu
tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam
dengan orang-orang non Muslim. Para fuqaha’ untuk yang kesekian kalinnya
berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini.
Termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era
kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum
masalah ini.
Ada
tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum:
1.
Begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum yang
secara lahiriyah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun
penjelasan dari sunah Nabi.
2.
Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah di atur ketentuan hukumnya
dalam Al-Qur’an maupun Sunah Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu
sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan
perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
3.
Dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan
terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat
menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.
C.
Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Sahabat
Sumber
Tasyri’ pada masa ini adalah Al Qur’an, As-sunnah dan ljtihad (termasuk
didalamnya ijma’ dan qiyas). Sebab pada hakekatnya keduanya dihasilkan dari
jerih payah mujtahiddin. Al qur’an pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada
Utsman bin Afan, setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar.
Adapun sumber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum
dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’ an. Meski
demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan. Sehingga kebenaran
riwayatnya dapat dijamin. Abu Bakar Misalnya, beliau tidak mau menerima hadits
dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang
terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut
datang dari Rasulullah. Demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa
menyumpah perawinya.
Kemudian
sumber hukum yang ketiga, adalah ijtihad. Para shahabat dalam berijtihad tidak
selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Berkenaan dengan
ini Ibnu Qoyyim pernah berkata bila seseorang sahabat mengemukakan pendapat
atau mengemukakan suatu hukum atau memberikan fatwa, tentu ia telah mempunyai
pengetahuan, baik yang dimiliki oleh para sahabat maupun pengetahuan yang kita
miliki. Adapun pengetahuan yang hanya dimiliki oleh sahabat, mungkin didengar
langsung dari Nabi melalui sahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya diketahui
oleh masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para sahabat tidak semua
dapat meriwayatkan semua hadits¬hadits yang didergar dari Khulafa’ ar Rasyidin
dan sahabat-sahabat lainnya.
Walaupun
Abu bakar Assiddiq selalu mendampingi Nabi, hingga nabi tidak pernah lepas dari
pantauan Abu Bakar dan ia digolongkan sebagai orang yang mengetahui tentang
Rasulullah SAW, tetapi hadits-hadits yang ia riwayatkan tidak lebih dari
seratus hadits. Anggapan orang bahwa seorang sahabat selalu meriwayatkan suatu
Hadits atau menyatakan suatu kejadian yang ia ketahui, adalah anggapan yang
keliru, bahwa orang tersebut tidak mengetahui sikap dan tingkah laku para
sahabat. Sebab mereka sangat takut untuk meriwayatkan suatu hadits, lantaran
khawatir akan menambah atau mengurangi hadits tersebut. Karena itu mereka
sedikit sekali meriwayatkan dan hanya menceritakan apa yang mereka dengar dari
Rasulullah, atau sabda beliau.
D.
Metode dalam Mengenal Hukum
Para Sahabat dalam menghadap
suatu masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari nashnya dari Al
Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran dan Sunnah
mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta pendapat
mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka menetapkan
pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’.
Untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan
Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul
keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya
kembali kepada al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal.
Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih
terpusat kepada al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun
demikian, sumber hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar
kedua sumber hukum itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan
menggunakan akal pikiran.
Pada
umumnya dalam memutuskan hukum, sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya
terlebih dahulu kepada sahabat lain, takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan
bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya
keputusan diambil dari hasil consensus, yang lazim disebut ijma’.
Melihat luasnya kekuasaan Islam, tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang
dipandang mewakili keseluruhan.
Pada
awal masa sahabat ini , yaitu pada masa khalifah Abu Bakar dan masa khalifah
Umar, para sahabat dengan cara bersama-bersama menetapkan hukum terhadap
sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para sahabat
dengan cara bersama-sama ini di sebut sebagai ijma’ sahabat.
Khalifah
Umar pun berbuat demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dalam
al-qur’an dan as-sunnah, maka beliau memperhatikan apakah telah ada
keputusan-keputusan terhadap masal itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu
keputusan hukum, maka Umar memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak maka
beliau memanggil pemuka-pemuka kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum
tersebut, maka beliau memberikan keputusan dengan hukum yang telah di sepakati
tersebut.
Jadi,
dalam menghadapi permasalahan yang terjadi, berkembanglah pemikiran para
sahabat. Adapun metode yang digunakan pada masa sahabat dapat melalui beberapa
cara diantaranya :
a.
Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir
lafaz. Umpamanya bagaimana hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang
jelas dalamm alquran hanya larangan memakan harta anak yatim. Ketentuan jelas
dalam alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan
hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan
memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak
yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut
penggunaan metode mafhum.
b.
Dengan cara memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus
(kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki
alasan atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut
metode qiyas.
E.
Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat Dalam Penetapan Hukum
Menurut
Para ahli, timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat disebabkan adanya
beberapa faktor, setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar yang
menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.
1)
Perbedaan dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadits.
Perbedaan
seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash
dan perbedaan persepsi dikalangan sahabat seperti persoalan quru’, Adanya aya-ayat
ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya (dzanni). Dalam Surat Al
baqarah : 228 memiliki dua pengertian. Menurut Zaid bin Tsabit, quru’ berarti
suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh.
2)
Munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan
kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati
tiga tahapan, caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru
kemudian mencari dalil-dalil yang rnenguatkan salah satu dari nash (at-Tarjih),
dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.
3)
Sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa
berdasarkan pengetahuan dari sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya
atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai hadits shahih.
Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan hadits.
Beberapa hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh Sebagian fuqaha’
ditolak oleh fuqaha’ lain sebab berbagai alasan. Selektifnya penerimaan
periwayatan hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan hadits
dilain pihak, terutama dikalangan ulama’ Madinah .
4)
Perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat.
Dari
perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat
dalam suatu persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan fiqh
Islam.
5)
Hal ini adalah yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode
Sahabat dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi.
Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi dan
redinamisasi syariat periode ini.
6)
Perbedaan mereka dalam menerima hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada
yang menerima hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya
menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal
mereka. Bagi yang dekat dengan Rasulullah, praktis mereka banyak menerima
hadits, demikian sebaliknya.
Jadi
dengan adanya faktor tersebut, maka munculah beberapa fatwa diantara mereka,
yang masing-masing mempunyai dalih dan argumentasi yang berbeda. Akan tetapi,
fatwa-fatwa pada waktu itu hanya terbatas pada persoalan-¬persoalan tertentu
yang mendesak saja. Perbedaan pendapat belum begitu meluas, sebab problem hukum
yang muncul saat itu masih relatif sedikit ketimbang sesudahnya. Disamping
konsensus mereka (ijma’) yang masih sangat dimungkinkan. Diantara sahabat besar
yang sangat menghindari ijtihad/ra’yu adalah Ibnu Abbas Zubair, dan Abdulah bin
Umar, Dan yang terkenal besar Ijtihad adalah Umar Bin Khattab dan Abdullah bin
Masud.
Diantara
para sahabat yang memegang peran penting dalam hukum pada masa ini adalah: Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Dzaid bin
Tsabit, Ubay Bin Ka’ab Abdulah bin Umar, Aisyah, isteri nabi. Mereka semua
tinggal di Madinah, termasuk beberapa sahabat yang lain.
F.
Contoh-contoh penerapan hukum (Ijtihad) Para Sahabat
Para
sahabat dalam mencari istimbat hukum pasti merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits.
Akan tetapi permasalahan terjadi ketika dalam dua sumber hukum ,tersebut tidak
ada rujukan, sehingga para sahabat harus menggunakan penalarannya, untuk
memecahkan masalah yang sedang terjadi. Berikut ini beberapa contoh penerapan
hukum pada masa sahabat:
a.
Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat
Allah
SWT. Dalam Al-Qur’an mewajibkan zakat. Nabi dalam Sunnah-Nya menyebutkan bahwa
zakat itu di ambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin. Nabi disuruh
Allah unutk mengambil harta zakat dari umatnya (At-taubah:103). Cara yang
dilakukan Nabi adalah cara yang bijaksana sesuai dengan pesan Allah unutk
berdakwah dengan cara bijaksana (An-nahl:125). Atas kesadaran umat waktu itu,
kewajiban zakat dapat terlaksana dengan baik.
Pada
masa Abu Bakar menjadi khalifah, beliau melihat bahwa pemungutan zakat secara
lemah lembut seperti yang dilakukan Nabi tidak efektif lagi karena adanya
kecenderungan pembangkangan dari sebagian masyarakat terhadap kewajiban membayar
zakat. Karena itu Abu Bakar mengambil sikap yang keras, bahkan menetapkan unutk
memerangi orang-orang yang tidak mau membayar kewajiban zakat. Dasar pemikiran
Abu Bakar ialah bahwa menempuh sikap lemah lembut sebagaimana dilakukan oleh
Nabi, kewajiban membayar zakat tidak dapat ditegakkan.
b.
Larangan meminum khamar
Allah
melarang meminum khamar bagi orang islam secara tegas (Al-maidah:90) karena
perbuatan tersebut merupakan dosa besar, maka Nabi melalui ijtihadnya
menetapkan sanki minum khamar, yaitu dera sebanyak 40 kali. Pelaksanaan sanksi
yang ditetpkan Nabi itu dapat menjerakan orang. Dengan demikian tujuan larangan
tercapai.
Pada
masa Umar bin Khatab menjadi khalifah, kebiasaan minum khamar waktu jahiliyah
kmbuh lagi dikalangan orang islam dan sanksi dera 40 kali sudah kurang efektif
sebagai alt penjera. Umar memikirkan cara unutk mebuat orang jera minum khamar
yang merupakan tujuan dari hukum. Dalam hal ini Umar menetapkan sanksi minum
khamar menjadi 80 kali dera, sehingga ornag menjadi bertambah takut meminum
khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapan Umar berbeda dengan yang
ditetapkan Nabi sebelumnya, unutk mencapai tujuan larangan, yaitu menjerakan
berbuat kejahatan.
c.
Penetapan azan shalat jum’at dua kali
Pada
masa Nabi, azan memberi tahu masuk waktu Jum’at dilakukan satu kali, yaitu
setelah khatib naik mimbar. Perbedaan Antar Mazhab? Di antara tonggak
penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab raksasa di
tengah ratusan mazhab kecil lainnya. Keempat mazhab itu adalah Al-Hanabilah,
Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Sebenarnya jumlah mazhab besar
tidak hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui
eksistensi dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad ini. Keempatnya masih utuh
tegak berdiri dan dijalankan serta dikembangkan oleh mayoritas muslimin di muka
bumi. Masing-masing punya basis kekuatan syariah serta masih mampu melahirkan
para ulama besar di masa sekarang ini.
BAB V
TENTANG MAZHAB-MAZHAB
1. MazhabAl-Hanifiyah.
Didirikan
oleh An-Nu’man bin Tsabit atau lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau
berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa,
Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut tabiin , sebagian ahli
sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’in. Mazhab Al-Hanafiyah
sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai terdepan dalam
masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih. Oleh para
pengamat dianalisa bahwa di antaralatar belakangnya adalah. Karena beliau
sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu
yakin atas keshahihah suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk tidak
menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula
seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash
syar’i. Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat
di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan
bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di
masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam
Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits. Di
kemudian hari, metodologi yang beliau perkenalkan memang sangat berguna buat
umat Islam sedunia. Apalagi mengingat Islam mengalami perluasan yang sangat
jauh ke seluruh penjuru dunia. Memasuki wilayah yang jauh dari pusat sumber
syariah Islam. Metodologi mazhab ini menjadi sangat menentukan dalam dunia
fiqih di berbagai negeri.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab ini
didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi .Berkembang sejak
awal di kota Madinah dalam urusan fiqh. Mazhab ini ditegakkan di atas doktrin
untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan praktek
penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar; Al-Quran,
As-Sunnah , Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah , perkataan sahabat, istihsan,
saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana.
Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak
sekali mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang
valid di Kufah, mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah. Sebab
mazhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya
adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek
ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa
dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para
umumnya.
3. Mazhab As-Syafi’iyah
Didirikan
oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i . Beliau dilahirkan di Gaza Palestina tahun
150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H. Di Baghdad,
Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya . Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200
H dan menuliskan madzhab baru . Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ‘ilm di
akhir bulan Rajab 204 H. Salah satu karangannya adalah “Ar-Risalah” buku
pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang
baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul.
Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra’yi dan fiqh ahli hadits. Dasar madzhabnya:
Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat
karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil
Istihsan sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan
penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan
maka ia telah menciptakan syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i
adalah nashirussunnah ,”
Kitab
“Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak;
Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Sementara kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh
pengikutnya di Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam
Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan
dengan perkataanku, maka ia adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di
belakang tembok,”
4. Mazhab Al-Hanabilah
Didirikan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani . Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh
besar di sana hingga meninggal pada bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki
pengalaman perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah,
Mekah, Madinah, Yaman, Syam. Beliau berguru kepada Imam Syafi’i ketika datang
ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid mutlak mustaqil. Gurunya sangat banyak
hingga mencapai ratusan. Ia menguasai sebuah hadis dan menghafalnya sehingga
menjadi ahli hadis di zamannya dengan berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi
Hazim Al-Bukhari. Imam Ahmad adalah seorang pakar hadis dan fiqh. Imam Syafi’i
berkata ketika melakukan perjalanan ke Mesir,”Saya keluar dari Baghdad dan
tidaklah saya tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih
melebihi Ibnu Hanbal ,”
Dasar madzhab
Ahmad adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab,
Maslahah mursalah, saddudzarai’. Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun
tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari
perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau
mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadis. Beliau
memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal dan
hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau
munkar. Di antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal anak
terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal . Shalih bin Ahmad lebih
menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadis. Murid yang adalah
Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad , Abdul Malik
bin Abdul Hamid bin Mihran , Abu Bakr Al-Khallal , Abul Qasim yang terakhir ini
memiliki banyak karangan tentang fiqh madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh
madzhab Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
BAB VI
KAIDAH FIKIH ASASIYAH
I. Kaidah Asasi Pertama
اَلْأُمُوْرُ
بِمَقاَصِدِهاَ
Segala
perkataan terantung pada niat
Niat
di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu
disertai pelaksanaannya.
قَصْدُ
الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ أَوالْقَصْدُالْمُقَارِنُ لِلْفِعْلِ
Di dalan sholat misalnya yang dimaksud dengan
niat adalah bermaksud didalam hati dan wajib niat disertai takbirat al-ihram.
Di
kalangan mahzab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada dalam hati
, karena niat adalah
perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila
meyakini/beritikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup, dan ajib niat
didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat
al-ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.
Dapat
disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :
- Untuk membedakan
antar ibadah dan adat kebiasaan.
- Untuk
membedakan kualitas perbuatan baik kebaikan maupun kejahatan.
- Untuk
menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan
yang wajib dari yang sunnah.
Secara
lebih mendalam lagi para fuqaha merinci masalah niat ini baik dalam ibadah
mahdoh seperti thoharoh, wudhu, tayamum, mandi junub, sholat qhasar, sholat
jama, sholat wajib, sholat sunnat, zakat, haji, saum atau pun didalah ibadah
ghair mahdoh seperti pernikahan, thalaq, wakaf, jual beli, hibah, wasiat,
sewa-menyewa, hutang piutang dan akad-akad lainnya.
- II. Kaidah
Asasi Kedua
الَيقِيْنُ
لاَيُزَالُ بِاالشَّك
Keyakinan
tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan
Di
dalam kaidah-kaidah fiqih banyak di bicarakan tentang hal yang berhubungan
dengan keyakinan dan kerguan misalnya orang yang sudah yakin suci dari hadast
kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap
dalm keadaan suci. Hanya saja untuk kehati-hatian yang lebih utama adalah
memperbaharui wudhunya.
Dari
kaidah asasi tersebut kemuduan muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang
lingkupnya. Misalnya:
أ.
الَيقِيْنُ لاَيُزَالُ بِالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ
Apa
yang yakin bisa hilang karna adanya bukti lain yang meyakinkan pula
Contohnya
kita yakin sudah berwudhu tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air
kecil, maka wudhu kita menjadi batal.
ب.
أَنَّ ماَ ثَبَتَ بِيَقِنٍ لاَيُرْتَفَعُ إِلاَّبِيَقِيْنٍ
Apa
yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan
lagi.
Contohnya
thowaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu dengan tujuh putaran
kemudian dalam keadaan thowaf seseorang ragu apakah yang dilakukannya puteran
ke enam atau kelima. Maka yang menyakinkan adalah jumlah kelima, karna putaran
yang kelima adalah yang menyakinkan.
ت.
اَلأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِمَّةِ
Hukum
asal adalah bebasnya seorang dari tanggung jawab
Contohnya
anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai adanya waktu
balig. Makan dan minum asalnya di bolehkan sampai adanya dalil yang melarang
makan-makanan dam minum-minuman yang di haramkan.
ث.
الأَصْلُ بَقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَا كَانَ مَالَمْ يَكُنْ مَا يُغَيِّرُهُ
Hukum
asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal yang mengubahnya.
Contohnya
manusia bebas lagi dari tanggung jawab karna adanya kematian. Kewajiban suami
istri hilang lagi karna ada talaq.
ج.
الأَصْلُ فِي الصِفَاتِ العَارِضَةِ العَدَمُ
Hukum
asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adah tidak ada
Contohnya
apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib baarah
yang dijual belikan, maka yang dianggap adalah perkataan sipenjual. Karena pada
asalnya cacat itu tidak ada.
ح.
الأَصْلُ فِي كُلِّ حاَدِثٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
Hukum
asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat
kepadanya.
Contohnya
seorang wanita yang sedang mengandung ada yang memukul perutnya kemudian
keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu
meninggal. Maka meninggalnya si bayi tidak disandarkan kepada pemukulan yang
terjadi kepada waktu yang telah lama tetapi disebabkan hal lain yang merupakan
waktu yang paling dekat kepada kematiaannya.
خ.
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِباَحَةُحَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى
التَحْرِيْمِ
hukum
asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya.
Contohnya
apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya maka
hukumnya boleh dimakan.
د.
الأَصْلُ فِي الكَلاَمِ الحَقِيْقَةُ
Hukum
asal dari suatu kalimat adalah arti sebenarnya.
Contohnya
apabila seseorang berkata : “saya mau mewakakan harta saya kepada anak kiyai
Ahmad maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan
anak pungut dan bukan pula cucu.
ذ.
لَا عِبْرَةَ بِالظَنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَا ءُهُ
Tidak
dianggap(diakui) persangkaan yang jelas salahnya
Contohnya
apabila seorag debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil
debitor membayar lagi hutang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar
oleh debitor maka waikil debitor berhak meminta dikembalikan uang yang
dibayarkannya karena pembayaranya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas
salahnya yaitu menyangka bahwa utang belum dibayar oleh debitor.
- III. Kaidah
Asasi Ketiga
المشَقَّةُ
تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
Kesulitan
mendatangkan kemudahan
Maksudnya
adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan
kesukaran bagi mukhalaf, maka syariah meringankannya. Sehingga mukhalaf mampu
melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Dari
kaidah tersebut dimunculkan kaidah-kaidah lain seperti:
أ.
إِّذَا ضَاقَ الأَ مْرُ إِتَّسَعَ
Apabila
suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas.
Contohnya
boleh berbuka puasa pada bulan ramadhan karna sakit atau berpergian jauh. Sakit
dan berpergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas
yaitu kebolehan berbuka.
ب.
إِذَاتَعَذّ رَ الأَصْلُ يُصاَ رُ إِلَى البَدَلِ
Apabila
yang asli suka dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya.
Contohnya
tayamum sebagai pengganti wudhu.
ت.
مَالاَيُمْكِنْ التَحْرُزْ مِنْهُ مَعْفُو عَنْهُ
Apa
yang tidak mungkin menjaganya atau menghindarkannya maka hal itu dimaafkan
Contohnya
pada waktu sedang saum kita berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari
rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa. Keringanan itu tidak dikaitkan
dengan kemaksiatan, misalnya orang yang berpergian dengan tujuan melakukan
maksiat. misalnya, membunuh maka orang semacam ini tidak boleh meggunakan
keringanan di dalam hukum islam.
ث. إِذَاتَعَذّ رَتْ الحَقِيْقَةُ يُصَارُ إلَى المَجَازِ
Apabila
suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya maka kata tersebut
berpindah artinya kepada arti kiasannya.
Contohnya
seseorang berkata saya wakafkan tanah saya ini kepada anak kiyai Ahmad. Padahal
semua tahu bahwa anak kiayi tersebut sudah lama meninggal, maka yang ada
hanyalah cucunya. maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu
kata kiasannya bukan kata sesungguhnya sebab tidak mungkin mewakafkan harta
kepada orang yang sudah meninggal.
ج. إِذَاتَعَذّ رَ إِعْمَالُ الكَلاَمِ يُهْمَلُ
Apabila
sulit mengamalkan suatu perkataan maka perkataan tersebut ditinggalkan.
Contohnya
apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang
yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia
lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka,
Perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
ح.
يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَءِ
Bisa
dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya
Contohnya
orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka oleh pemilik rumah.
Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewaannya
dalam arti melanjutkan sewaannya maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.
خ.
يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَءِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ
Dimaafkan
pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya
Contohnya
seseorang yang baru masuk islam minum-minuman keras karena kebiasaanya sebelum
masuk islam dan tidak tahu bahwa minum-minuman tersebut dilarang. Maka orang
tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidak tahuannya. Selanjutnya
setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram maka dia harus
menghentikan perbuatan tersebut
د. يُغْتَفَرُ فِي التَوَابِعِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي
غَيْرِهَا
Dapat
dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak
dimaafkan pada hal yang lainnya.
Contohnya
penjual boleh menjualkembali karung bekas tempat beras karana karunag mengikuti
kepada beras yang dijual.
- IV. Kaidah
Asasi Keempat
الضَرَرُيُزَالُ
Kemadharatan
harus dihilangkan
Contohnya
larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan
tersebut mengakibatkan kemadharatan bagi rakyat.
Kaidah-kaidah
yang merupakan cabang dari kaidah di atas diantaranya:
أ.
الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَخْظُورَاتِ
kemadharatan
itu membolehkan hal-hal yang dilarang
Contohnya
boleh mengkap dan menghukum pelaku pornografi dan pornoaksi untuk menyelamatkan
keturunan.
ب. الضَرُوْرَاتُ تُقَدِّرُبِقَدَرِهَا
Keadaan
darurat, ukurannya ditentukan kadar kedaruratannya.
Contohnya
seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang diobatinya sekedar yang
diperlukan untuk pengobatan, itu pun apabila tidak ada dokter wanita.
ت.
الضَرَرُيُزَالُ بِقَدَرِ الإِمْكَانِ
Kemadharatan
harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.
Contohnya
usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak kelaparan.
ث.
الضَرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَرَرِ
Kemadharatan
tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan lagi.
Contohnya
orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga
sedang kelaparan.
ج.
يُحْتَمَلُ الضَرَرُ الخَاصِ لِأَجْلِ الضَرَرِ العَامِ
Kemadharatan
yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum.
Contohnya
boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan umum,
misalnya mempailitkan suatu perusahaan demi menyelamatkan para nasabah.
ح.
الضَرَرُ الأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَرَرِ الأَخَفُّ
Kemadharatan
yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan.
Contohnya
apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al-Qur’an dan
Al-Hadis dan ilmu yang berdasarkan agama kecuali di gaji, maka boleh
menggajinya.
خ.
الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَرُورَةِعَامَةً كَانَ أَوْ خَاصَةً
Kedudukan
kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus
Contohnya
dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi, demi untuk
kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum berwujud asal
sifat-sifatnya atau contohnya telah ada.
د.
كُلُّ رُخْصَةٍ أَبِيْحَتْ للضَرُورَةِوَالحَاجَةِ لَمْ تُسْتَبَحْ قَبْلَ
وُجُودِهَا
Setiap
keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah, tidak boleh
dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.
Contohnya
memakan makanan yang haram, baru dilaksanakan setelah terjadinya kondisi
darurat. Misalnya tidak ada makanan lain yang halal.
ذ.
كُلُّ تَصَرُّ فٍ جَرَّ فَسَادًا أَودَفْعَ صَلاَحًامَنهِي عَنْهُ
Setiap
tindakan yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang.
Contohnya
menghambur-hamburkan harta atau boros tanpa ada manfaatnya.
- V. Kaidah
Asasi Kelima
العَادَةمُحَكَّمَةُ
Adat
kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum
Contohnya sebelum Nabi Muhammad di utus, adat
kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia arab maupun di bagian lain
termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan tersebut di bangun atas dasar nilai-nilai
yang di anggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui,
dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
Diantara
cabang dari kaidah ini adalah:
أ.
إِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
Apa
yang di perbuat orang banyak adalah alasan/argumen yang wajib diamalkan.
Contohnya menjahitkan pakaian kepada tukang jahit,
sudah menjadi kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menajhitkan
adalah tukang jahit.
ب.
إِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ إذَااضْطَرَدَتْ أوْغَلَبَتْ
Adat
yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus
berlaku atau berlaku umum.
Contohnya
apabila seseorang berlangganan majalah, maka majalah itu diantar ke rumah
pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah, maka ia bisa komplain
dan menuntut kepada agen majalah tersebut.
ت.
العِبْرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّائِعِ لاَللِنَا دِرِ
Adat
yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang terkenal oleh manusia bukan dengan
jarang terjadi.
Contohnya
para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang tidak akan
melebihi satu tahun.
ث.
المَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالمشْرُوْطِ شَرْطًا
Sesuatu
yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang di syaratkan suatu syarat.
Contohnya
apabila orang bergotong- royong membangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan
adat kebiasaan orang-orang yang bergotong royong itu tidak di bayar.
ج.
المَعْرُوْفُ بَيْنَ التُّجَارِ كَالمشْرُوْطِ بَيْنَهُم
Sesuatu
yang tidak dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka.
ح.
التَعْيِينُ بِالمَعْرُوْفُ كَا التَعْيِينِ بِالنَّص
Ketentuan
berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash
Contohnya
apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang
bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut. Maka si penyewa bisa
memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk kecuali dengan izin orang
yang menyewakan.
خ.
المُمْتَنَعُ عَادَةًكَا المُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
Sesuatu
yang tidak berlaku berdasarka adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam
kenyataan.
Contohnya
seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain adalah miliknya. Tetapi
dia tidak bisa menjelaskan darimana asal harta tersebut.
د.
الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلالَةِ العَادَةِ
Arti
hakiki di tinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat.
Contohnya
yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan penerimaan barang oleh si
pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual.
Akan tetapi apabila si pembeli sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan
adat kebiasaan akad jual beli itu telah terjadi. Dan penjual tidak bisa
membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.
ذ.
الإِذَنُ العُرْفِى كَالإِذْنِ اللَفْطِى
BAB VII
AL AHKAM (HUKUM)
A.
Pengertian Al - Ahkam Dalam Ushul Fiqih
Al-ahkam (الأحكم) maknanya dilihat
dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata hukmun (حكمٌ)
yang artinya keputusan / ketetapan. Sedangkan menurut istilah dalam ushul fiqih
yaitu
ما اْقتضاهُ خِطابُ االشرع المُتعلِّق
بِأَفْعال المُكَلَّفِين من طلبٍ أوتخيير أووضع
"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani
syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan" 1
Dalam hal ini yang dimaksud dengan خِطاب االشرع (seruan syariat) adalah Al Quran dan As Sunnah.
Dari pengertian diatas
terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-Ahkam
1. Tuntunan
طَلَبٍ.
Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan sesuatu (perintah) atau
pun tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik itu berupa keharusan
(wajib) ataupun hanya keutamaan
2. Pilihan تخيِيْر
.
Sesuatu hal yang dalam melakukan ataupun meninggalkannya tidak ada suatu
ketentuan syara’ yang mengatur maka akan menjadi suatu kebebasan untuk memilih
melakukan ataupun tidak atau sering disebut mubah
3. Peletakan وضع
Wadh’i adalah suatu hal yang diletakkan
oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda, atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau
dibatalkan. Seperti suatu ibadah dapat dikatakan “sah” atau “batal”
Menambahkan sedikit dari
pemaparan di atas, al-ahkam dalam bahasan ilmu ushul fiqih adalah hukum-hukum
yang hanya terkait dengan amalan manusia yang bersifat dhohir. Menurut istilah
ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau sabda
Rasulullah SAW. Apabila disebut syara’ maka yang dikehendaki adalah
hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam
ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlak.2
Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum yang
bersifat bathiniyah seperti hukum aqidah dan akhlaq.
B. Pembagian
Al-Ahkam
Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua macam.
1. Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)
2. Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum
wadh’iyah)
I.
Al-Ahkam at-Taklifiyyah
Al-Ahkam at-Taklifiyyah dibagi
menjadi lima yaitu Wajib, Mandub (Sunnah), Harom, Makruh, dan Mubah.
1.
Wajib. Makna wajib dilihat dari segi bahasa adalah "yang jatuh dan harus" dan makna
wajib menurut istilah dalam ushul fiqih adalah,
ما أمربِهِ الشارعُ على وجهِ الإِ لزام
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk
keharusan" 3.
Hukum wajib dibagi menjadi beberapa
macam dilihat dari berbagai aspek yaitu:
1) Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib
ada 2 macam, yaitu
a) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk
melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan
berakhirnya waktu sudah ditentukan.
b) Wajib muwassa’, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai
waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3
jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10
menit saja.
c) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk
melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.
d) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk
melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar
sumpah.
2) Dilihat dari segi orang yang dituntut
mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut.
a) Wajib ‘Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap
mukallaf. Seperti : shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.
b) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian
mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu).
Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.
3) Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya)
wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.
Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
b) Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan
kadarnya.
Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.
4) Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang
diwajibkan, wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis
perbuatannya.
Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.
b) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan.
Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan
boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan
berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin
2. Mandub.
Makna mandub dilihat dari segi bahasa adalah
"yang diseru" dan makna mandub menurut istilah dalam ushul
fiqih adalah,
ماأمربِهِ الشرع لا على وجه الإلزام
"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk
keharusan”4
Mandub secara mayoritas kita kenal dengan istilah sunnah, selain sunnah
terdapat beberapa istilah lain dalam ushul fiqih yaitu nafilah, tathawwu’,
mustahab, dan ihsan.
Mandub (sunnah) di bagi
menjadi dua yaitu,
1. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat
dianjurkan (sangat penting)
2. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang
dianjurkan).
3. Haram.
Makna haram dilihat dari segi bahasa adalah
"yang dilarang" dan makna haram menurut istilah dalam ushul
fiqih adalah,
ما نهى عنهُ الشا رع على وجه الإلزام بِالتَّرك
"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan".
4. Makruh.
Makna makruh dilihat dari segi bahasa adalah
"yang dimurkai" dan makna makruh menurut istilah dalam ushul fiqih
adalah,
ما نهى عنهُ الشارع
لا على وجه الإلزام بِالتَّرك
"sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan".
5. Mubah.
Makna mubah dilihat dari segi bahasa adalah
"yang diumumkan dan dizinkan denganya" dan makna mubah menurut
istilah dalam ushul fiqih adalah,
ما لا يتعلَّق به أمرٌ, ولا نهيٌ لِذاتهِ
"sesuatu yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secara asalnya"5.
II.
Al-Ahkam al-Wadh’iyyah
1) Sebab. Yaitu sesuatu yang jelas adanya
mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya
hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
2) Syarat. yaitu sesuatu yang harus ada
sebelum ada hukum, karena adanya hukum bergantung kepadanya
3) Azimah, yaitu hukum syara’ yang pokok
dan berlaku untuk umum bagi seluruh mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu.
Misalnya, puasa wajib pada bulan Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari
semalam dan lain sebagainya.
4) Rukhsoh, yaitu peraturan tambahan yang
ditetapkan Allah SWT sebagai keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan
mukallaf sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok.
Pembagian Rukhsah Rukhsah terbagi menjadi 4 macam.
a)
Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini
dilakukan karena dalam keadaan darurat. Contoh : “memakan bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah,
dalam Keadaan terpaksa memakannya sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
pula melampaui batas.
b)
Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur
yang bersifat dibolehkan secara syar’i.
c) Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak
memenuhi syarat tetapi sudah biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli
salam (jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu terjadi aqad jual beli /
sistem pesanan).
d) Tidak
berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat terdahulu sebelum
Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis,
mengeluarkan zakat ¼ dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di
masjid.
5) Mani’ (Penghalang) Yaitu sesuatu yang
karenanya menyebabkan tidak adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat
telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang semestinya
bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.
Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris.
Akan tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak
saling mewarisi. Hal ini karena berlainan agama menjadi mani’ atau penghalang
bagi seseorang untuk mendapatkan harta peninggalan.
6) Sah
ما
ترتّبت اثارُ فعْلهِ عليه عبادةً عقدًا
"apa-apa yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu ibadah ataupun akad."
7) Fasid
مالا ترتّبت اثارُ فعْلهِ عليه عبادةً عقدًا
"apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik itu ibadah atau akad."
C. Unsur-Unsur Hukum Islam
1. Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (مَحْكُوم بِهِ \
مَحْكُوم فِيْه ِ)
a. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum fihi
المَحْكُومُ فِيْهِ : هُوَ الفِعْلُ الُمكَلَّفِ الَّذِى
تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ اللهِ
“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum
Allah (hukum syara’).”5 Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan
Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:
1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
b. Syarat-syarat Mahkum bihi
Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut.
a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga
ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa
benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak
dan rasa taat kepada Allah SWT.
c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat
dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif
terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak
mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya,
supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.
2. Mahkum ‘Alaih
a. Pengertian Mafkum ‘Alaih (مَحْكُوْم عَلَيْهِ)
Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT
dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, Allah SWT
memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua, menjauhi
zina, larangan minum-minuman keras. Perintah-perintah tersebut ditujukan kepada
orang mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang yang terganggu
pikirannya atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT selalu disesuaikan dengan
kemampuan manusia. Semua hukum baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun
hak-hak manusia tidak dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki
kemampuan untuk melaksanakannya.
b. Syarat-syarat mahkum ‘alaih
(mukallaf).
Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf) adalah :
1) Mukallaf adalah orang yang mampu memahami
dalil taklif baik itu berupa nash Al-Qur’an atau As-Sunnah baik secara langsung
maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak
dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat
untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal
(gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
2) Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu
yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak,
mampu, atau wajar dan pantas untuk menerima perintah tersebut.
3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT
dengan sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain sudah
baligh juga dalam keadaan sehat akalnya.
Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan
hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
A. Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak
menerima kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin
tersebut berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia tidak
bisa menunaikan kewajiban. Ada kalanya mukallaf tidak sanggup mengerjakan
hukum-hukum yang sudah dibebankan kepadanya. Keadaan yang menghalanginya
menunaikan hak dan kewajiban yang sudah ditetapkannya ini disebut ‘awarid al-ahliyah
(penghalang keahlian). Para ulama ushul fiqih menggolongkan ‘awarid al-ahliyah
(penghalang keahlian). ini menjadi dua kelompok.
Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh
mahkum alaih. Ia hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya, gila,
kurang akal (idiot), lupa, tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang terkena
penghalang samawi seperti ini dihukumi sebagai orang yang tidak memiliki
kemampuan sama sekali untuk melakukan hak dan kewajiban.
Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan
manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan sebagainya.
Penghalang kasby dapat dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.
B. Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah
SWT tetapi belum mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang
sudah dapat membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.
C. Sempurna apabila sudah menerima hak dan layak
baginya melakukan kewajiban, yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal
sehat (mukallaf).
3. Hakim.
Al-Hakim ialah pihak yang
menjatuhkan hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan di antara para ulama
bahwa hakikat hukum syar'i itu ialah khithab Allah yang berhubungan
dengan amal perbuatan mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan
sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani' bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada
perselisihan di antara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah.
BAB VIII
AZIMAH DAN RUKHSHAH
A.PENGERTIAN AZIMAH DAN
RUKHSAH
Para ahli ushul
fiqh mendefinisikan ‘azimah dengan :
مَا
شُرَ عَ مِنَ اْﻷَ حْكَمِ الْكُلِّيَّةِ إِبْتِدَاءً
Hukum yang ditetapkan
Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.
Kata-kata “ditetapkan pertama kali” mengandung arti
bahwa pada mulanya pembuat hukum bermaksud menetapkan hukum taklifi kepada
hamba. Hukum ini tidak didahului oleh hukum lain. Seandainya ada hukum lain
yang mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu dinasakh dengan hukum yang
datang belakangan. Dengan demikian hukum ‘azimah ini brelaku sebagai
hukum pemula dan sebagai pengantar kepada kemaslahatan yang bersifat umum.
Kata-kata “hukum-hukum kuliyah (umum)” di sini
mengenadung arti berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ditentukan untuk
sebagian mukallaf atau semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi. Begitu
pula kewajiban zakat, puasa, haji, dan kewajiban lainnya.
Dengan demikian hukum azimah adalah hukum yang telah
disyariatkan oleh Allah kepada seluruh hamba-Nyasejak semula. Artinya belum ada
disyariatkannya seluruh mukalaf wajib mengikutinya, seperti sembahyang lima.
Sembahyang lima waktu diwajibkan atas segenap orang disegenap ketika dan
keadaan, asal saja orang itu masih dipandang cukup kuat untuk mengerjakannya.
Hukum wajib semabhayng lima itu, hukum ‘azimah namanya.
Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh tentang
rukhshah ialah :
اَلْحُكْمُ
الثَّابِتُ عَلَى خِلافِ الدَّلِيْلِ لِعًُذْرٍ
“Hukum
yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur”
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang
mencakup semua bentuk hukum. Kata-kata tsabit (berlaku tetap) mengandung
arti bahwa rukhshah itu harus brdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum
yang meyalahi dali yang ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “meyalahi dalil yang ada” merupakan sifat
pembeda dalam definisi yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah,
sesuatu yang memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan
minum. Kebolehan makan dan minum memang sudah dari dulunya dan tidak menyalahi
hukum yang sudah ada.
Kata-kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum,
dinyatakan dalam definisi ini agar mencakup rukhshah untuk melakukan prebuatan
yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib, seperti berbuka
puasa bagi musafir, atau yang menyalahi dalil yang menghendaki hukum nadb
(sunat) seperti meninggalkan shalat jum’at karena hujan dan lainnya. Hukum
rukhshah dikecualikan dari hukum ‘azimah yang uum berlaku selama ada uzur yang
berat dan kadar perlu saja. Lagi pula hukum ini datangnya kemudian, sesudah
‘azimah. Umpamanya, hukum makan bangkai di kala tak ada makanan-makanan yang
lain. Hukum ini datang kemudian, sesudah hukum ‘azimah yakni tak boleh makan
bangkai. Dan seperti dibolehkan berqashar dalam safar, datangnya sesudah
ditetapkan bahwa sembahyang dhuhur, ashar dan isya’ itu empat rakaat. Makan
bangkai di kala lapar, tak ada makanan yang lain, semabhyang dashar di dalam
safar, dinamai : hukum rukhshah. Asy Syathibi menetapkan menetapkan bahwa :
hukum menjalankan rukhshah itu, boleh. Kita tidak dimestikan menjalankan rukhshah,
tidak wajib menjalankannya. Demikianlah hal menjalankan hukum rukhshah, bila
diingat, bahwa hukum rukhshah, hukum yang hanya dibolehkan. Dan banyak dalil
yang menegaskan demikian. Diantaranya firman Allah Swt :
“.maka barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. ...”(QS. Al Baqarah : 173). Akan tetapi
diantara hukum rukhshah ada yang dituntut kita kerjakan, yaitu : bila rukhshah
itu untuk melawan sesuatu kesuakaran yang tak dapat dipikul oleh manusia. Kita
diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan. Tetapi, jika kita bersafar diharuskan
kita berbuka, karena berbuka itu hukum yang dirukhshahkan. Akan tetapi, bil
aberpuasa dalam safar itu, mengakibatkan kesukaran kita dituntut menjalan
rukhshah, tak boleh lagikita menjalankan ‘azimahnya.
Bersabda Nabi Saw:
لَيْسَ
مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِى السَّفَرِ (رزاه احمد)
“Tidak dipandang kebjaikan berpuasa di dalam
safar”. (HR. Ahmad).
Dengan membandingkan pengertian ‘azimah dan rukhshah
secara sederhana dapat dikatakan bahwa ‘azimah adalah melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan secar aumum dan mutlak, baik perintah itu perintah wajib atau
sunat,bak larangan itu untuk haram atau makruh, sedangkan rukhshah adalah
keringanan dan kelapangan yang diberikan kepada orang mukallaf dalam melakukan
perintah dan menjauhi larangan.
B. MACAM – MACAM RUKHSHAH
a. Rukhshah
dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi kepada dua, yaitu rukhshah
memperbuat dan rukhshah meninggalkan.
1) Rukhshah
memperbuat ialah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menurut
asalnya harus ditinggalkan, dalam bentuk ini asal perbuatan adalah terlarang
dan haram hukumnya. Inilah hukum ‘azimahnya. Dalam keadaan darurat atau
hajat, perbuatan yang terlarang menjadi boleh hukunya. Umpamanya boleh
melakukan perbuatan haram karena darurat seperti memakan daging babi dalam
keadaan terpaksa. Contoh melakukan perbuatan haram karena hajat umpamanya
melihat aurat bagi calon suami yang sedang meminang calon istri dalam batas
yang tertentu. Pada dasarnya hukum melihat aurat itu adalah haram berdasarkan
ayat Alqur’an surat Al-Nur ayat 30. Untuk kekalnya jodoh, kedua belah pihak
sepatutnya saling mengenal. Untuk maksud itu diperkenankan keduanya saling
melihat. Demikian pula dokter laki-laki melihat atau memegang pasiennya yang
perempuan saat pemeriksaan (diagnosa) kesehatan.
2) Rukhshah
meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘azimahnya
adalah wajib atau nadb (sunnat). Dalam bentuk asalnya, hukunya adalah
wajib atau sunnat. Tetapi dalam keadaan tertentu si mukallaf tidak dapat
melakukannya dengan arti bila dilakukannya akan membahayakan terhadap dirinya.
Dalam hal ini dibolehkan dia meninggalkannya.
Umpamanya
kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan
firman Allah dalam surat al Baqarah (2): 184:
Dalam
bentuk lain umpamanya keharusan shalat empat rakaat dapat dilakukan dua rakaat
dalam keadaan tertentu, yaitu dalam perjalanan, berdasarkan firman Allah dalam al
Nisa’ (4): 101:
Termasuk
pula ke dalam ruskhshah ditinjau dari segi hukum asalnya shalatmu.
3) Ruskhshah dalam
meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum Islam yang dinilai
terlalu berat dilakukan umat Nabi Muhammad, sebagaimana dipahami dari firman
Allah surat al Baqarah (2): 286:
Umpamanya
membayar zakat yang kadarnya ¼ dari harta; bunuh diri sebagai cara untuk tobat;
memotong pakaian yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya; dan
keharusan sembahyang dalam mesjid yang berlaku dalam syari’at Nabi Musa. Bila
diperhatikan keringanan hukum dalam hal ini dibandingkan dengan yang berlaku
sebelumnya, lebih tepat disebut nasakh; meskipun demikian dalam artian luas
dapat pula disebut ruskhshah.
4) Ruskhshah
dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk akad yang tidak memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan. Adanya ruskhshah ini disebabkan oleh
kebutuhan umum. Umpamanya jual beli ‘ariyah yaitu menukar kurma basah
dengan kurma kering dalam ukuran yang berbeda padahal keduanya satu jenis. Hal
ini menyalahi ketentuan umum dalam tukar menukar barang yang sejenis dalam
ukuran yang berbeda. Contoh lain adalah jual beli saham. Hal ini
menyalahi ketentuan umum yang melarang menjual sesuatu yang tidak ada di
tangan. Kedua bentuk mu’amalah ini diruskhshahkan karena kalau tidak
akan menyulitkan dalam kehidupan umat.
b. Rukhshah
ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan. Dalam hal ini keringanan
ada 7 bentuk:
1) Keringanan dalam
bentuk menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at,
haji, ‘umrah dan jihad dalam keadaan udzur.
2) Keringanan dalam
bentuk mengurangi kewajiban; seperti meng-qashar shalat empat raka’at
menjadi dua raka’at bagi orang yang berada dalam perjalanan.
3) Keringanan dala
bentuk mengganti kewajiban; seperti mengganti wudlu’ dan mandi dengan tayamum
karena tidak ada air; mengganti kewajiban berdiri dalam sholat dengan duduk,
berbaring atau dengan isyarat dalam keadaan tidak mampu; kewajiban mengganti
puasa wajib dengan memberi makan fakir miskin bagi orang tua yang tidak mampu
berpuasa.
4) Keringanan dalam
bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti pelaksanaan shalat zhuhur
dalam waktu ashar pada jama’ ta’khir karena dalam perjalanan.
Menangguhkan pelaksanaan puasa Ramadhan ke waktu sesudahnya dalam bentuk qadha
karena sakit atau dalam perjalanan.
5) Keringanan dalam
bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban; seperti membayar zakat fitrah semenjak
awal Ramadhan, padahal waktu wajibnya adalah pada akhir Ramadhan. Mendahulukan
mengerjakan shalat ashar pada waktu zhuhur dalam jama’ taqdim di
perjalanan.
6) Keringanan dalam
bentuk mengubah kewajiban; seperti cara-cara pelaksanaan shalat dalam perang
yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut shalat khauf.
7) Keringanan dalam
bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan perbuatan wajib
karena udzur, seperti dijelaskan diatas.
C. HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH
Pada dasarnya ruskhshah itu adalah pembebasan
seorang mukallaf dari melakukan tuntutan hukum azimah dalam keadaan
darurat. Dengan sendirinya hukumnya “boleh”, baik dalam mengerjakan sesuatu
yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang disuruh. Namun dalam hal
menggunakan hukum ruskhshah bagi orang yang telah memenuhi syarat untuk
itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan ruskhshah
itu tergantung kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya ruskhshah
itu. Dengan demikian menggunakan hukum ruskhshah dapat menjadi wajib
seperti memakan bangkai bagi yang tidak mendapatkan makanan yang halal,
sedangkan ia khawatir seandainya tidak menggunakan ruskhshah akan
mencelakakan dirinya. Hukum ruskhshah ada pula yang sunat seperti
berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan.
Di samping membagi hukum rukhshah itu kepada
wajib, sunah dan mubah dengan menyangggah argumentasi al-Syathibi, Jumhur Ulama
juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu adalah sebagaimana argumen
dan jawaban yang dipergunakan serta disampaikan oleh al-Syathibi, yaitu:
1. Kata rukhshah, berarti
memudahkan atau meringankan. Arti ini tidak bertentangan dengan wajib atau nadh
selama perintah yang membawa kepada arti wajib atau nadh itu lebih
mudah dan lebih ringan.
2. Rukhshah dan ‘azimah adalah
bentuk pembagian lain dari hukum syara’ ditinjau dari segi hukum itu sesuai
dengan dalil yang berlaku atau tidak. Bila hukum itu sesuai dengan dalil yang
berlaku, maka disebut ‘azimah; bila menyalahi dalil yang berlaku, maka
disebut rukhshah.
BAB IX
MAHKUMFIH
A.Pengertian Mahkum fih
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud
dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang
terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat
tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan. Para
ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu
perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya
suatu hukum:
Contoh:
1.Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43
و اقيمو
االصلاة) البقرة (
Artinya:”Dirikanlah Sholat”
Ayat ini menunjukkan perbuatan
seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan
sholat.
2.Firman Alloh dalam surat al an’am:151
ولاتقتلواالنفس
االتي حر م االله الا باالحق) الانعا م (
Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di
haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu
larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan
pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3.Firman Alloh dalam surat Al-maidah:5-6
اذاقمتم الى
الصلاة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى المرا فق الما ئد ه 5-6
Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka
basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan
salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat.
Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa
objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.
B.Syarat –syarat mahkum fih
a.
Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat
tangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak tidak
terkena tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia tau persis. Contoh:Dalam Al
qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut
masih global,Maka Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh
sabagaimana sabdanya”sholatlah sebagaimana aku sholat”begitu pula perintah
perintah syara’ yang lain seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk
melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan
sebagainya.
b.
.Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui bahwa
tuntutan itu dari Alloh SWT.Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan
dengan tujuan melaksanakan perintah Alloh semata.berarti tidak ada
keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang
jelas.hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan
syara’.
c.
Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,berkait dengan hal
ini terdapat dengan beberapa syatat yaitu:
1.
tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di
tinggalkan.
2.
tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan
atas nama orang lain.
3.
tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan
dengan fitrah manusia.
4.
tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci
dalam masalah sholat.
C .Al masyaqqoh
Perlu diketahui bahwa salah satu
syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam
melaksanakannya pasti ada ada suatu kesulitan. untuk itu akan kami jelaskan
yang dimaksud adalah masyaqqoh (halangan) serta pembagiannya. Masyaqqoh
itu ada dua macam yaitu:
1. Masyaqqoh mu’tadah
Yaitu kesulitan yang mampu diatasi
oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya kesulitan seperti ini tidak
bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif,karena setiap perbuatan
itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan.contohnya:Diwajibkannya adanya sholat
ini buakan bermaksud agar badan capek atau bagaimana,akan tetapi untuk melatih
dirinya diantaranya bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar.
2
Masyaqqoh goiru mu’tadah
Yaitu suatu kesulitan/kesusahan yang
diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila di
paksakan.Alloh tidak tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang
menyebabkan kesusahan.seperti puasa yang terus menerus sehingga mewajibkan
selalu bangun malam untuk sahur.
ير يد الله
بكم اليسر و لا ير يد بكم العسر البقره
Artinya:Alloh menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu(al baqoroh 185)
D.Macam macam mahkum bih
Dilihat dari segi yang terdapat
dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi menjadi empat macam:
1.
Semata mata hak Alloh,yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan.dalam
hak ini seseorang tidak di benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu
tindakan yang mengganggu hak ini.hak ini semata mata hak Alloh.dalam hal ini
ada delapan macam:
a.
ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b.
ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti:zakat
fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat fitrah
c.
bantuan/santunan yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan
dari bumi
d.
biaya/santunan yang mengandung makna hukuman,seperti: khoroj (pajak bumi) yang
di anggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e.
hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana sperti hukuman orang yang
berbuat zina
f.
hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris,karena
membunuh pemilik harta tersebut.
g.
hukuman yang mengandung makna ibadah seperti:kafarat orang yang melakukan
senggama disiang hari pada bulan ramadhan
h
hak hak yang harus di bayarkan,seperti: kewajiban mengeluarkan seperlima harta
tependam dan harta rampasan.
2. Hak
hamba yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi
harta seseorang yang di rusak.
3.
Kompromi antara hak Alloh dengan hak hamba,tetapi hak alloh didalamnya
lebih dominan,seperti hukuman untuk tindak pidana.
4.
Kompromi antara hak Alloh dan hak hamba,tetapi hak hamba lebih dominan,seperti
masalah qishos.
BAB X
MAHKUM ‘ALAIH
A.Pengertian mahkum alaih
Menurut ushuliyyin yang di maksud
mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitob
Alloh SWT yaitu yang di sebut mukallaf.dalam arti bahasa yaitu yang di bebani
hukum,sedangkan dalam istilah ushul fiqih mukallaf sering di sebut subjek hukum.
B.Dasar Taklif
Orang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di
anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang
bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif.
Maka orang yang belum berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif dari
syari’(Allod dan Rosulnya) sebagai sabda nabi:
ر فع القلم
عن ثلا ث عن النا ئم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون حتى يفق(رواه
البخا رى والتر مذى والنسا ئى وابن ما جه والدارقطنى عن عا ئثه وابى طا لب)
Artinya:Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis
orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila
sampai sembuh.(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari
Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)
C.Syarat syarat taklif
Syarat taklif ada 2 yaitu:
1.
orang itu telah mampu memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung
dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.Kemampuan
untuk memahami taklif ini melalui akal manusia,akan tetapi akan adalah sesuatu
yang abstrak dan sulit di ukur ,indikasi yang kongkrit dalam menentukan
seseorang berakal atau belun.indikasi ini kongkrit itu adalah balighnya
seseorang yaitu dengan di tandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita
dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali atau sempurnanya
umur lima belas tahun.
2.
Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut
Ahliyyah.maka seseorang yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya
seseorang tidak dikenakan tuntutan syara’.begitu pula orang gila,karena
kecakapan bertindak hukumnya hilang.
C.Pengertian Ahliyyah
Secara harfiyyah ahliyyah adalah
kecakapan menangani sesuatu urusan.Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah
suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’
Pembagian ahliyyah
1. Ahliyyah ada’
Yaitu kecakapan bertindak hukum bagi
seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya,baik
yang bersifat positif maupun negatif.ukuran untuk menentukan seseorang telah
memiliki ahliyyah ada’adalah aqil baligh dan cerdas
2. Ahliyyah Al-wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang
untuk menerima hak hak yang menjadi haknya,tetapi belum mampu untuk di bebani
seluruh kewajiban,
Para usuliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian
Ahliyyah al wujub an-naqishoh.
Yaitu anak yang masih berada dalam
kandungan ibunya(janin)janin inilah sudah dianggap mempunyai ahliyyah wujub
akan tetapi belum sempurna.
Ahliyyah al wujub al kamilah,
Yaitu kecakapan menerima hak bagi
seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan
berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila
-Halangan ahliyyah
Dalam pembahasan awal bahwa seseorang
dalam bertindak hukum di lihat dari segi akal,tetapi yang namanya akal kadang
berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak
hukum.seseorang kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal
berikut:
- Awaridh samawiyyah yaitu halangan yang datangnya
dari Alloh bukan di sebabkan oleh manusia seperti: gila, dungu,
perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa
Al awaridh al muktasabah yaitu halangan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia seperti mabuk,terpaksa,bersalah,dibawah
pengampunan dan bodoh.
BAB XII
IJTIHAD
Pengertian
Ijtihad
Menurut bahasa,
kata ijtihaadun berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk
masdar dari kata ijtahada-yajtahidu yang artinya mengerahkan
segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Berdasarkan pengertian
bahasa ini, maka tidak tepat jika kata ijtihad digunakan untuk ungkapan “ orang itu berijtihad dalam mengangkat
tongkat “. Sebab mengangkat tongkat adalah perbuatan mudah dan ringan.
Secara terminology
sebagaimana aimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra, ijtihad yaitu:[1]
ﺒَﺬْﻞُﺍﻠْﻔَﻘِﻴْﮫِﻮُﺴْﻌَﺔًﻔِﻰﺍﺴْﺗِﻨْﺑﺎَﻂِﺍْﻷَﺤْﻜَﺎﻡِﺍﻠْﻌَﻤَﻟِﻴَﺔِﻤِﻦْﺃَََﺪِﻠََﺘِﮭَﺎﺍﻟّﺘَﻔْﺼِﻴِْﻟﻴَﺔَِ
Artinya: “Pengerahan segala kemampuan seorang ahli
fiqih dalam menetapkan (istimbat)
hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci.”
Menurut definisi sebagian ulama ushul fiqih
sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra bahwa ijtihad adalah “ mencurahkan segala
kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin itu adakalanya dalam istimbat
(penetapan) hukum syariat adakalanya dalam penerapan hukum”.
Berdasarkan definisi kedua yang dikemukakan oleh
sebagian ulama di atas maka ijtihad itu terbagi menjadi dua:
Ijtihad yang dilakukan secara khusus oleh para ulama
yang mengkhususkan diri untuk menetapkan hukum dari dalilnya.
Ijtihad
dalam penerapan hukum. Ijtihad semacam ini akan selalu ada setiap masa. Tugas
utama mujtahid bentuk kedua ini adalah menerapkan hukum termasuk hasil ijtihad
para ulama terdahulu yang disebut tahqiq al-manath.
Dasar
ijtihad
Posisi ijtihad
memiliki dasar yang kuat dalam ajaran hukum islam. Dalam al-qur’an terdapat
ayat-ayat yang menunjukan perintah untuk berijtihad, baik diungkapkan secara
isyarat maupun secara jelas. Diantaranya pada surat an-Nisa ayat 105:
ﺇِﻨَﺎﺃَﻨْﺯَﻠْﻨَﺎﺇِﻠَﻴْﻚَﺍْﻟﻜِﺘٰﺐَﺑِﺎﻟْﺤَﻕِّﻠِﺘَﺤْﻜُﻡَﺑَﻴْﻦَﺍﻟﻧّﺎَﺲِﺑِﻤَﺎﺃَﺮَﻚَﺍﷲۚﻮَﻻَﺗَﻜُﻦْﻠِﺎْﺨَﺎﺊِﻨِﻴْﻦَﺨَﺼِِﻴْﻤًﺎ۞
Artinya: Sesungguhnya
kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat.
Ayat di atas menurut Wahbah Zuhaili mengandung
legalitas ijtihad melalui metode qiyas.
Dalam hadits Nabi mengenai penghargaan terhadap hasil
ijtihad antara lain:
ﺇِﺬَﺍﺤَﻜَﻢَﺍﻠْﺤَﺎﻜِﻢُﻔَﺎﺟْﺘَﮭَﺪَﻔَﺄَﺼَﺎﺐَﻠَﮫُﺃَﺟْﺮَﺍﻦِﻮَﺇﺫَﺍﺤَﻜَﻡَﻔَﺎﺟْﺘَﮭَﺪَﺜُﻢَﺃَﺨْﻂَﺄَﻔَﻠَﮫُﺃَﺟْﺮٌ(ﺮﻮﺍﮦﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻲ)
Artinya:” Apabila seorang hakim memutuskan perkara
kemudian ia berijtihad lalu hasil ijtihadnya dinlai benar maka ia mendapatkan
dua pahala. Dan apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ijtihadnya
dinilai salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari).
Ijtihad menurut hadis adalah usaha yang sangat di
muliakan meskipun salah tetap diberikan pahala atas usaha kerasnya itu. Imam
syafi’I menegaskan dalam kitab risalahnya
bahwa kesalahannya itu dengan catatan tidak dilakukan dengan cara
sengaja.
Di zaman Nabi orang tidak butuh ijtihad. Karena
permasalahan baru yang belum ada hukumnya dapat ditanyakan langsung kepada Nabi
dan Nabi langsung menjawabnya berdasarkan petunjuk wahyu yang terjamin
kebenarannya. Setelah Nabi wafat barulah ijtihad diperlakukan oleh ulama
mujtahid untuk menjawab hukum permasalahan baru yang timbul dengan tetap
berpegang pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-qur’an. Permasalahan
yang timbul saat ini sangat kompleks dan jawabannya tidak terdapat dalam
al-qur’an maupun hadis. Jika tidak ada usaha yang sungguh-sungguh dari orang
yang pantas berijtihad, maka akan terjadi kekosongan hukum. Hal ini tidak
sejalan dengan tujuan hukum. Oleh karena itu, ijtihad untuk sekarang ini
merupakan hal yang dharury (mendesak) untuk dilakukan, karena begitu
banyak permasalahan baru yang sifatnya kompleks dan rumit yang memerlukan
jawaban dari hukum islam.
Syarat-syarat
Mujtahid
Para ulama telah merumuskan
persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan redaksi yang berbeda-beda.
Namun dalam pembahasan ini akan dikemukakan syarat-syarat mujtahid yang
dirumuskan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
Mengetahui
makna ayat ahkam yang terdapat dalam al-qur’an baik secara bahasa maupun secara
istilah syara. Menurut Al-Ghazali, Al-Razi Ibnu Arabi jumlah ayat-ayat ahkam
yang perlu dikuasai sekitar lima ratus ayat. Maksud uangkapan “secara bahasa”
diatas artinya mengetahui makna-makna mufrad dari suatu lafadz dan maknanya
dalam susunan kalimat. Adapun makna syara’ adalah mengetahui berbagai segi
penunjukan lafadz terhadap hukum seperti mantuq,
mafhum mukhalafah, mafhum muwafaqah, lafadz umum. Dan khas.
Mengetahui
hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah. Tidak perlu dihafal
sebagaimana juga al-qur’an. Menurut Ibnu Arabi (w.534 H) hadis ahkam berjumlah
3000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hambal 1200 hadis. Tetapi
Wahbah Zuhaili tidak sependapat, menurutnya yang terpenting mujtahid mengerti
seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat dalam kitab-kitab besar seperti Sahih
Bukhari, sahih Muslim, dan lain-lain.
Mengetahui al-qur’an dan hadis yang telah di
nasakh dan mengetahui ayat dan hadis
yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari nas
(al-qur’an dan hadis) yang sudah tidak berlaku lagi.
Mengetahi
sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma, sehingga ia tidak menetapkan
hukum yang bertentangan dengan ijma.
Mengetahui
qiyas dan sesuatu yang berhubungan
dengan qiyas yang meliputi rukun,
syarat, illat hukum dan cara
istinbatnya dari nas, maslahah
manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan. Pentingnya mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.
Menguasai
bahasa arab tentang nahwu, saraf, maani,bayan,
dan uslub-nya karena al-qur’an dan
hadis itu berbahasa arab. Oleh karena itu tidak mungkin dapat mengistinbatkan
hukum yang berdasar dari keduanya tanpa mengetahui bahasa keduanya. Diantaranya
mengetahui lafadz umum dan khusus, hakikat dan majaz, mutlaq dan muqayyad, dan sebagainya. Semua ini tidak disyaratkan
untuk dihafal tetapi cukup memiliki kemampuan untuk memahami secara benar
uangkapan-ungkapan dalam bahasa arab dan kebiasaan rang arab menggunakannya.
Mengetahui
ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad berupa dalil-dali
secara terperinci yang menunjukan hukum melalui cara tertentu ini dan semuanya
itu ada dalam ilmu ushul fiqh. Tentang urgensi ushul fiqh dalam ijtihad
dijelaskan oleh al-Razi dalam kitabnya al-mahsul:
“Ilmu yang paling penting untuk dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu
ushul fiqh.”
Mengetahui
maqasid syariah dalam penetapan
hukum, karena pemahaman nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada maqasid syariah. Penunjukan suatu lafadz
kepada maknanya mengandung beberapa kemungkinan. Pengetahuan tentang maqasid member keterangan untuk memilih
mana yang layak untuk difatwakan. Dan yang terpenting lagi pengetahuan tentang maqasid adalah prinsip hukum dalam
al-qur’an dan sunah dapat dikembangkan
seperti dengan qiyas, istihsan, dan
maslahah mursalah.[2]
Tingkatan
Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad
disebut mujtahid. Mujtahid memiliki tingkatan sebagai berikut:
Mujtahid fi al-asy’ari, disebut juga mujtahid mustaqil. ialah orang yang membangun suatu madzhab seperti imam
mujtahid yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’I, dan Ahmad bin
Hambal.
Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab sendiri
tetapi mengikuti salah satu seorang imam mazhab. Mujtahid fi al-mazhab terkadang menyalahi ijtihad imamnya pada
beberapa masalah. Ia berijtihad sendiri tentang masalah itu. Yang termasuk
kedalam Mujtahid fi al-mazhab ini
seperti” Abu Yusuf dalam mazhab Hanafi dan al-Muzanyi dalam mazhab Syafi’i.
Mujtahid fi al-masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa
masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum seperti al-Thahawi dalam
mazhab Hanafi dan al-Ghazaly dalam mazhab Syafi’I serta al-Khiraqy dalam mazhab
Hambali.
Mujtahid
muqoyyad, yaitu mujtahid
yang mengikat diri dengan ulama salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja
mereka mengetahui dasar dan memahami dalalahnya dan inilah yang disebut dengan takhrij. Mereka mempunyai kesanggupan
untuk menentukan mana yang lebih utama dari pendapat yang berbeda-beda dalam
mazhab di samping dapat membedakan riwayat yang kuat dengan yang lemah.
Lapangan
Ijtihad
Ijtihad berlaku
pada ayat atau hadis, dengan catatan bahwa nas tersebut masih bersifat zhan dan qat’i . atau pada permasalahan yang hukumnya belum ada dalam nas. Jadi,
ijtihad tidak berlaku pada permasalahan yang hukumnya sudah pasti (qat’i)
seperti mengeluarkan hukum wajib shalat, puasa, zakat, dan haji. Karena untuk
melakukannya tidak perlu usaha yang berat.
Tidak
boleh melakukan ijtihad pada masalah sudah ada nas nya secara qat’I (jelas dan tegas) serta tidak
mengandung ta’wil didalamnya seperti
ayat tentang keesaan Tuhan, ayat-ayat tentang hukum ibadah (shalat, puasa,
zakat, haji dan sebagainya), ayat-ayat tentang hudud (hukuman bagi pencuri,pelaku zina, hukuman membunuh, hukum qisas dan sebagainya) dan ayat yang
berbicara tentang muamalat seperti hukum perdagangan, riba, menggauli istri,
dan etika kepada rang tua. Ayat-ayat diatas ini bukanlah termasuk lapangan
ijtihad karena nasnya sudah qat’I,
yang menjadi lapangan ijtihad adalah ayat-ayat atau hadis yang masih mengandung
dugaan (zhan) atau belum jelas. Seperti tentang membasuh kepada dalam wudhu,
music dan nyanyian, hukum bersentuhan kulit antara ghairu mahram yang
berwudhu, masalah keberadaan wali dalam pernikahan, hukum membaca qunut dalam
shalat subuh. Dan pada permasalahan yang sama sekali hukumnya tidak ada dalam
nas seperti hukum KB, bayi tabung, operasi pelastik, alat kontrasepsi, bedah
mayat dan menggugurkan kandungan. Semua itu adalah masalah yang hukumnya belum
tegas (zhan), maka diperlukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya.[3]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan
ijtihad itu ada dua macam:
Pada sesuatu yang ada nasnya tetapi nasnya masih zhan.
Pada sesuatu yang hukumnya tidak ada sama sekali dalam
nas.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait
dengan ijtihad.
Hasil
ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad orang lain dalam perkara
yang sama. Sebagaimana hasil ijtihad seseorang juga tidak boleh menyalahi hasil
ijtihad orang lain. Dengan alasan, karena ijtihad kedua tidaklah lebih kuat
dari ijtihad yang pertama.
Tidaklah ijtihad diantara ulama berhak diikuti dari
ulama yang lainnya.
Membatalkan satu ijtihad dengan ijtihad yang lain
dapat mengakibatkan tidak tegasnya suatu hukum dan ini merupakan kesulitan dan
kesempitan. Contoh, Abu Bakar pernah pernah memutuskan suatu masalah tetapi
Umar mempunyai pendapat lain tentang masalah itu sehingga Umar menghukuminya
berbeda. Sikap Umar itu tidak membatalkan ijtihad Abu Bakar.
Metode Ijtihad
Untuk melakukan ijtihad, menurut Azhar Basyir ada
beberapa cara yang dapat ditempuh oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu adalah :
Qiyas,
dengan cara
menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang sudah ada dikarenakan adanya
persamaan sebab. Contoh mencium istri saat berpuasa hukumnya tidak membatalkan
puasa karena disamakan dengan berkumur-kumur.
Maslahah
mursalah, yaitu menetapkan
hukum yang sama sekali tidak ada nasnya dengan pertimbangan untuk kepentingan
hidup manusia yang bersendikan asas menarik manfaat dan menghindari mudharat,
contoh mencatat pernikahan.
Istihsan,
ialah memandang
sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syariat dan meninggalkan dalil khusus
dan mengamalkan dalil umum. Contoh, boleh menjual harta wakaf karena dengan
menjualnya akan tercapai tujuan syariat yaitu membuat sesuatu itu tidak
mubazir.
Istishab,
ialah
melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada sampai ketentuan dalil yang
mengubahnya. Contoh, segala makanan dan minuman tidak ada dalil keharamannya
maka hukumnya mubah.
Urf,
ialah kebiasaan
yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat. Ada dua
macam urf. Pertama urf sahih, yaitu urf yang diterima masyarakat secara
luas, di benarkan oleh akal yang sehat, membawa kebaikan dan sejalan dengan
prinsip nas. Contohnya acara tahlilan, bagian harta gono gini untuk istri yang
ditinggal suaminya. Kedua urf fasid, yaitu
kebiasaan jelek yang merupakan lawan urf
sahih, contohnya kebiasaan meninggalkan shalat bagi seseorang yang sedang
menjadi pengantin, mabuk-mabukan dalam resepsi pernikahan dan sebagainya.
Hukum Berijtihad
Jika seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk
berijtihad sebagaimana tersebut diatas
maka keberadaan seorang mujtahid dalam kegiatan memberikan ijtihadnya bisa
wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula haram.
Wajib ain, yaitu bagi orang yang sudah mencukupi
syarat ijtihad dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan
jawaban hukumnya. Ijtihadnya wajib di amalkan dan ia tidak boleh bertaqlid
kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi mujtahid yang ditanya
tentang hukum suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki jawaban hukum segera
sedangkan tidak ditemukan mujtahid yang lain.
Wajib kifayah, jika ada mujtahid lain selain dirinya
yang akan menjelaskan hukumnya.
Sunah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal.pertama, terhadap permasalahan yang
belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang di lakukan oleh imam Abu Hanifah yang
terkenal fiqh iftiradhi (fiqh
pengandaian). Kedua,ijtihad pada
masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain.
Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama, berijtihad
terhadap pada permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat
atau hadis ijtihad yang menyalahi ijma.
Ijtihad boleh pada masalah selain itu. Kedua, berijtihad bagi seseorang yang
belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan
benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tetang agama Allah
tanpa ilmu hukumnya haram.[4]
Macam-macam Ijtihad
Dari segi metodenya, sebagaimana yang dirumuskan oleh
ad-Duailibi, ijtihad dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.
Al-Ijtihad al-bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk
menjelaskan hukum-hukum syara’ terdapat dalam nashsh al-qur’an dan sunnah.
Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menenetukan hukum-hukum
syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada dalam nashsh al-qur’an
maupun hadisnya, dengan cara meng-qiyas-kannya
kepada hukum-hukum syara’ yang ada nashsh-nya.
Al-Ijtihad al-ishtislahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menentukan hukum
syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashsh nya, baik dari
al-qur’an maupun sunnah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-istishlah (kemaslahatan).
Adapun
dari segi jumlah orang yang melakukan ijtihad (mujtahid), ijtihad dapat di bagi
jadi dua, yaitu sebagai berikut.
Ijtihad fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau
beberapa orang untuk menemukan hukum syara’ dari suatu peristiwa hukum yang
belum diketahui ketentuan hukumnya. Di masa lalu, ijtihad model ini yang paling
banyak dilakukan, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mazhab yang empat.
Ijtihad Jama’I, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh
mujtahid untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, dimana ijtihad ini
menghasilkan kesepakatan bersama. Ijtihad model inilah yang disebut dengan ijma’ al-ulama’.
Di masa lalu, ijtihad model kedua diatas dilakukan hanya oleh ulama yang
menguasai disiplin ilmu fiqh saja. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan
zaman dan peliknya persoalan-persoalan hukum yang dihadapi, dimana peristiwa
hukum tidak lagi di tinjau dari satu
disiplin ilmu saja, melainkan berkaitan dengan banyak disiplin ilmu, aga’nya untuk
dewasa ini, al-ijtihad al-jama’I tidak
lagi memadai jika hanya dilakukan oleh ulama fiqh saja, tetapi harus melibatkan
para pakar dari disiplin ilmu lain. Sebagai contoh, untuk menentukan hukum
syara’ berkaitan dengan rekayasa genetika, seperti cloning, aborsi karena alasan tertentu dan problem-problem dalam
ilmu kedokteran lainnya. Memerlukan penjelasan yang mendalam bukan saja dari
pakar ilmu kedokteran, tetapi juga dari para pakar disiplin ilmu biologi, ilmu
social, dan lain-lain. Demikian juga untuk menentukan hukum transaksi yang dilakukan
secara cyber, seperti melalui
internet, dan masalah-masalah lain yang memerlukan keterlibatan para pakar
dalam berbagai ilmu di luar disiplin ilmu fiqh.
Metedologi Ijtihad
Empat Madzhab
1. IMAM HANAFI
a) Biografi Imam Hanafi (80 – 150 H / 699-767 M)
Imam Hanafi atau nama lainnya
disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah Al-Numan ibn Tsabit
ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia
dilahirkan dikufah pada Tahun 80 H, artinya ia lahir pada zaman Dinasti
Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn
Marwan (Manna al-Qaththan, 1989:202). Beliau meninggal pada zaman kekuasaan
Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18
tahun pada zaman Abbasiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh
lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang
bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah,
karena beliau begitu taat beribadah kepada allah, yaitu berasal dari bahasa
arab Haniif yang artinya condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut
riwayat lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya
beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta. Sikap
politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiaya dan
ditindas oleh Dinasti Umayyah. Ketika Zaid berontak terhadap Hisyam dan
terbunuh, termasuk putranya Yahya ibn Zaid, Abu Hanifah sangat berduka. “Perjuangan
Zaid sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar,” katanya.
Ketika Yazid ibn Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti
Umayyah) menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta menjadi hakim dipengadilan
atau bendaharawan negara, tetapi ia menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap dan
dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas pertolongan juru cambuk, ia berhasil
meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia tinggal disana selama enam
tahun (130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah
dan menyambut kekuasaaan Abbasiah dengan rasa gembira. Tidak berbeda dengan
pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga melakukan kekerasaan terhadap Ahlul
Bait, seperti tindakan yang dilakukan oleh Al - Manshur terhadap Al - Nasf, Al
- Zakiah pada tahun 145 Hijriah. Abu hanifah tampil mengkritik Abbasiah. Ia
mengkritik para Hakim dan Mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al - Manshur
untuk menjadi hakim di pengadilan, Abu Hanifah menolaknya.. akhirnya ia
dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H, akibat penderitaannya
dalam tahanan.
b) Metode dan Cara Ijtihat Abu Hanifah
Metode ijtihad yang digunakan oleh imam hanafi adalah
:
- Metode Dialektika
Dengan menggunakan analogi terhdap suatu permasalahan,
metode yang digunakan oleh hanafi independen dalam artian lebih menjurus kepada
pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.
- Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum
dalam sat nas desebabkan adanya nas lain yang menghendaki demikian, metode ini
dikaitkan dengan maqsid al-syari’ah.
Thaha Jabir Fayadl al Ulwani membagi cara ijtihad Abu Hanifah menjadi dua
yaitu: Cara Ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara
ijtihadnya yang pokok dapat diringkas sebagai berikut: “Aku (Abu Hanifah)
merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatnya, apabila tidak ada dalam
Al-Quran, aku merujuk kepada Sunnah Rasulullah SAW dan Atsar yang Shahih yang
diriwayatkan oleh orang-orang Tsiqah. Apabila tidak mendapatkan dalam Al Quran
dan sunnah rasul, aku merujuk kepada Qaul Sahabat, (apabila sahabat Ikhtikaf),
aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan
pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila
didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan Ibn al-Musayyab serta yang lainnya,
aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”(Thaha Jabir Fayadl Al
Ulwani,1987:91) Sedangkan cara
berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
Bahwa Dilalah lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti
lafadz Khash;Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum
adalah bersifat Khusus bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih
kuat (Rajih) adanya penolakan terhadap Mafhum (makna tersirat) syarat dan
sifat, bahwa apabila perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil
adalah perbuatannya, bukan riwayatnya, mendahulukan Qiyas Jali atas Khabar Ahad
yang dipertentangkan menggunakan Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila
diperlukan. Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari
ungkapannya yaitu “ sungguh, saya berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati
disana. Jika tidak saya mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan atsar shahihah
yang tersiar di kalangan ulama tsiqah. Jika tidak aku dapati juga di Kitab
Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki
pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain.
Bila kasus tersebut pernah diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim,
al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan
berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad”.
2. Imam Malik
a) Biografi Imam Malik (93-179 H)
Nama lengkap pendiri mazhab
maliki adalah Malik bin Annas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H = 721M di
Madinah pada perkembangan selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik.
Beliau wafat pada tahun 179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah,
walaupun pada zaman yang sama, tetapi tempatnya yang berbeda. Pada waktu beliau
masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak mnghalangi ia
untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah, disamping itu dia juga
menuntu ilmu nahwu, syair dan juga menghafal Al-Quran, beliau juga menuntut
ilmu kepada seorang ulama’ yang dikenal sangat cerdas diantara par ulam’
lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi gurunya tersebut, karena
kecerdasan dan kealimanya. Imam Malik belajar kepada ulama’-ulama’ Madinah, dan
yang menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar
kepada Nafi’ Maulana ibnu Umar, Imam Malik diakui oleh ulama di madinah sebagai
Ahli hadist, bliau menghafal hadist sebanyak 100.000 ribu hadist. Imam Malik
adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal, baik fiqh, al-quran dan hadist,
Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu Al-Hadist, maka hal tersebut
mempengaruhi pemikiran Imam Malik. Imam Malik membangun madzhabnya di atas dua
puluh dalil, sebagaimana di kutip dari perkataan para Ulama Madzhab Maliki. dua
puluh dalil tersebut yaitu:
1. Nash Al-Qur’an
2. Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir Al-Qur’an
3. Dalil Al-Qur’an, yakni mafhum mukhalafahnya
4. Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum muwafaqahnya
5. Tambih Al-Qur’an, yakni memperhatikan illat (sebab)
suatu ayat, seperti firman Allah, “Karena sesungguhnya semua itu kotor
(najis).” (Al-An’am:145)
Lima dalil ini adalah yang bersumber dari Al-Qur’an. Sedangkan yang berasal
dari sunnah, juga sama seperti lima yang dari Al-Qur’an. Dengan demikian
jumlahnya menjadi sepuluh. Adapun yang selanjutnya:
Ijma’,qiyas,Amal/perbuatan penduduk Madinah, Perkataan
Sahabat, Istihsan,Saddu Dzari’ah,Memperhatikan perbedaan Istishab, Mashlahah
Mursalah, Syar’u man qablana (syariat sebelum kita). Dalam pelaksanaannya tidak
berurutan seperti yang disebutkan di atas. Qadhi Iyadh berkata: Setelah
menjelaskan susunan ijtihad sesuai dengan yang dikehendaki, akal dan disaksikan
syara’ , mendahulukan Kitabullah pada dalilnya dengan jelas daripada
mendahulukan nash-nashnya, kemudian dzahir mafhumnya. Demikian juga sunnah
menurut susunan mutawatir, masyhur dan ahad, lalu susunan nash-nashnya,
dzahir-dzahirnya, dan mafhum-mafhumnya. Kemudian Ijma’ ketika tidak ada dalam
Al-Qur’an dam sunnah mutawatir. Ketika tidak ada semua yang pokok ini maka
menggunakan Qiyas dan mengistimbatkan darinya. Qadhi Iyad berkata setelah
menjelaskan hal itu dan berhujjah dengannya: Bila Anda perhatikan pertama kali
sikap para imam dan sumber pengambilan mereka dalam fiqih dan ijtihadnya dalam
syara’, niscaya Anda dapati Malik menempuh cara ini dalam Ushulnya, susunannya,
mendahului Al-Qur’an dari pada Atsar, mendahulukan Atsar dari pada Qiyas dan
I’tibar. Meninggalkan Qiyas terhadap sesuatu yang orang-orang arif terpercaya
tidak melakukannya dengan apa yang mereka lakukan atau mendapati sesuatu dari
mayoritas penduduk Madinah yang telah melakukan yang lainnya dan
menyelisihinya, kemudian beliau menempuh cara Salaf dalam menghadapi berbagai
kesulitan. Dia mengutamakan ittiba dan tidak menyukai bid’ah.
Dapat di pahami bahwa Imam Malik secara umum mengikuti cara orang-orang Hijaz
dengan menetapkan Atsar selagi memungkinkan dan tidak menyukai perluasan
masalah dan memaparkannya sebelum terjadi.
b) Metode Ijtihad Imam Malik
Hal-hal yang membuat metodenya
istimewa, yang memberi pengaruh dalam perluasan lapangan perselisihan/perbedaan
di antara dia dan yang lainnya, yaitu:
1) Amal/perbuatan Penduduk Madinah, adalah sebagai
hujjah bagi Malik dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar Ahad.
2) Mashlahah Mursalah Istishlah yaitu
kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan
tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan
maksud syara’ yang keadaan maksudnya dapat diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan
dengan maslahat lain. Maka ketika seperti ini Malik mendahulukan beramal
dengannya.
3) Perkataan Sahabat
4) As-Sunnah
5) Beliau berpendapat menggunakan istihsan dalam
berbagai masalah, seperti jaminan pekerjaan, menolong pemilik dapur roti dan mesin
giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan Qisas
harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah; hanya saja Malik tidak
meluaskan dalam pendapatnya tidak seprti madzhab Hanafi.
3. Mazhab Imam Syafi’i
a) Biografi Imam Syafi’i (150-204 H)
Mazhab ini dibangun oleh imam
Abu A’dullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam
Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani
Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, beliau lahir di gazah pada tahun 150 H
dan wafat di mesir pada tahun 204 H pada saat imam berumur 52 tahun. Setelah
ayahnya meninggal pada saat Imam Safi’i berumur hampir 2 tahun maka ibunya
membawa Imam Syafi’i ke gazah karena dikhawatirkan kalau dia tinggal di gazah maka
nasabnya dengan kaum Quraisy akan hilang sehingga Imam Syafi’i tidak dapat
memperoleh pendidikan yang semestinya, pada saat itu keturunan quraisy sangat
di junjung tinggi, dan orang-orang Quraisy adalah keturunan atau masih memilki
hubungan dengan Rasul Saw, sehingga segala kebutuhan pasti dibantu oleh kaum
Quraisy, dilatar belakangi hal tersebut maka Imam Syafi’i pindah ke mekkah.
Imam Syafi’i dikenal sangat pintar dalam segi keilmuan agama, hafalannya yang
tajam dan kuat, sehingga pada umur 7 tahun beliau sudah menghafal Al-Quran, dan
pada waktu menuntu ilmu Imam Syafi’i juga dapat mengulangi apa yang telah
disampaikan oleh gurunya, setiap kali gurunya menjelaskan beberapa materi imam
syafi’i selalu mencatatnya dan menghafalnya.
Jika kita telusuri sejarah perjuangan yang dilakukan
oleh Imam Syafi’i untuk mencari ilmu pengetahuan, maka itu semua tidak luput
dari keserisusan dan semangat beliau untuk menjadi yang lebih baik. Kepribadian
imam syafi’I yang suka merantau dari suatu daerah ke daerah yang lain hanya
untuk mencari ilmu, itu dapat dicermati dalam syairnya :
Merantaulah ! pasti kamu akan mendapat ganti atas apa
yang engkau tinggalkan Maka tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah,
sehingga dengan berbekal keberanian Imam Syafi’i melakukan rihlahnya ke
berbagai daerah, rihlah dilakukan beliau antara lain ke Madinah, Mekkah, Iraq,
Yaman.Pada saat Imam Syafi’i berumur 20 tahun, beliau pergi ke Mekah
Al-Mukarramah untuk menuntut ilmu fiqh kepada seorang ulama’ besar yaitu Syekh
Muslim bin Khalid yaitu imam masjidil haram. Setelah menggali ilmu fiqh dari
Muslim bin Khalid, Imam Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke Madina dengan tujuan
menuntut ilmu kepada ulama’ terkemuka yaitu Imam Malik ( tekstual normatif)
dengan kitab fiqihnya yang terkenal Al-Muwattaq. Imam Syafi’i dapat menghafal
dengan waktu yang singkat semua kitab Al-Muwattaq Imam Malik. Karena merasa
belum puas dengan keilmuannya, Setelah memguasai kitab Al-Muwattak. Syafi;I
melanjutkan rihlahnya ke Iraq berguru kepada imam terkemuka disana yaitu Imam
Abu Hanifah (rasionalistis), Imam
Syafi’i mencoba mengkolaborasikan pendapat, pola fikir dan fiqh kedua Imam
tersebut, antara Ahlul Al-Hadist (tesa) dan Ahlul Ar-Ra’yu (antitesa). Jadi
dapat dikatakan bahwa Imam Syafi’i adalah sintesa dari dua Imam tersebut.
Setelah berguru kepada Abu Hanifah, Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke yaman
untuk berguru disana, karena keterbatasan dana Imam Syaf’i’i mencari kerja di
yaman, dengan bantuan temannya beliau diangkat menjadi hakim di Yaman, tetapi
itu hanya sebentar saja, lalu beliau kembali ke mekkah.
b) Metode Ijtihad Imam Syafi’i
Dalam berijtihad Imam Syafi’i
menggunakan pemikiran-pemikiran yang jeli dan teliti, kita lihat model
ijtihadnya sebagai berikut :
1. Metode induktif (Istiqra’i)
Metode ini lebih menekankan
kepada penelitian fakta lapangan, cara ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i
dalam menentukan waktu terpanjang dan terpendek bagi wanita yang lagi haid,
dalam menentukan waktu tersebut Imam Syafi’i melakukan penelitian kepada beberapa
wanita yang ada di mesir, hasil penelitian tersebut dihasilkan data yang
beragam, ada yang satu hari satu malam, ada yang sepuluh hari dan lima belas
hari. Dari data tersebut Imam Syafi’i menyimpulkan bahwa paling cepat masa haid
adalah satu hari dan paling lama adalah lima belas hari.
2. Metode dialektika (Jadali)
Terkait dengan hukum menikahi
anak dari hasil perzinahan,Dalam menetapkan hokum ini syafi’I meruju’ kepada
firman allah yaitu surat An-Nisa’ ayat 23, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibu-ibumu,
anak-anak (perempuanmu)” Imam Syafi’i memberi devinisi bahwa yang diharamkan
adalah anak dari istri yang telah kamu kawini dengan halal bukan dengan
perbuatan haram, jadi kamu boleh menikahi anak istrimu dari hasil perbuatan
zina antara kamu dan istrimu, dikarenakan dia bukan anak istrimu yang syah, dan
dia tidak memiliki nasab dengan kumu(suami), tetapi kebolehan yang diberikan
oleh Imam Syafi’i adalah kebolehan dalam arti Makruh. Jawaban yang diberikan
oleh Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa Syafi’i berusaha memberikan suatu
eksistenti kekuatan daya nalar terhadap penggalian hukum.
4. Mazhab Imam Hambali
a) Biografi Imam Ahmad ibn Hambal
Beliau bernama Abu Abdillah
Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani al-Marwazi. Ia lahir di Baghdad
pada Tahun 164 H, dibesarkan dan wafat disana pada Tahun 231 H. Ahmad ibn
Hambal dilahirkan ketika kekalifahan dipegang oleh Musa Al-Mahdi dari kalangan
Abbasiyah. Musa al-Mahdi meninggal dan digantikan oleh Harun Ar-Rasyid
(170-194H), Harun Ar-Rasyid digantikan oleh Al-Amin (194-198 H), Al-Amin
digantikan oleh al-Makmun ( 198-218 H). Al-Makmun adalah khalifah yang
menjadikan Mu’tazilah sebagai Madzhab Negara. Karena Imam Ahmad Ibn Hambal ini
tidak memiliki pemikiran yang sejalan dengan Mu’tazilah, sehingga beliau
mendapatkan penyiksaan bahkan dipenjarakan. Hal itu diketahui ketika Imam Ahmad
diajukan pertanyaan tentang apakah Firman Tuhan (Al-Qur’an) adalah makhluk.
Akan tetapi beliau tidak sependapat dengan menjawab bahwa Al-Qur’an bersifat
Qadim dan bukan Makhluk. Karena menurut Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah baru,
dan tidak bersifat qadim.Keberanian mempertahankan keyakinan ini disamping
membawa resiko juga membawa keuntungan , yaitu membuatnya mempunyai banyak
pengikut di kalangan umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Karena
itu kendati banyak Ulama’ yang menjalani hukuman mati , Al-Mu’Tashim dan
Al-Watsiq tidak berani menjatuhkan hukuman mati terhadap Imam Ahmad karena
takut menimbulkan kekacauan. Akhirnya Al-Mutawakkil kahlifah berikutnya menghapuskan
pemaksaan paham Mu’tazilah.
b) Metode Ijtihad Imam Ahmad ibn Hambal
Metode yang di kembangkan oleh
ahmad bin hambal adalah Metode Dialektika hal ini dpat kita lihat cara beliau
menjelaskan tentang seatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang
syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian,
syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat
memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari
segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai
nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus
dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham. Dalam bidang
pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari
kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad
berpendapat : “Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin
(adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”. Dalam bidang
Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jual
beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila
penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan.
Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka
akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar
r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda : “Setiap penjual dan
pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah “. Selanjutnya,
tokoh yang membaharui dan melengkapi pemikiran Madzhab Hambali, terutama di
bidang Mu’amalah adalah Syeikh al-Islam Taqiyudin Ibn Taimiyah (wafat 728 H)
dan Ibn Al-Qayim al-Jauziyyah (Wafat 751 H) murid ibn Taimiyyah. Tadinya
pengikut Madzhab Mahbali tidak begitu banyak, setelah dikembangkan oleh dua
tokoh tersebut maka madzhab Hambalimenjadi semarak terlebih setelah
dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H). dan kini
menjadi Madzhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.
Taqlid
Taqlid
berasal dari bahasa arab yang berarti “mengulangi, meniru, dan mengikuti”. Para
ulama ushul memberikan definisi taqlid
dengan “ mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa
mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. “ sedangkan orang
yang bertaqlid disebut mukallid. Dari definisi diatas terdapat
dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:
Muhammad
Rasyid Radha merumuskan definisi taqlid
dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti
pendapat orang yang dianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam
hukum islam tanpa memperthatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta
manfaat mudharatnya pendapat tersebut.
Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini.
Semata-mata
mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Contohnya, tradisi nenek moyang
tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan
mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan
firman Allah, antara lain dalam surat Al-Ahzab [33]:64 yang artinya:
“ sesungguhnya
Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang
menyala-nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan
tidak pula penolong. Di hari itu muka mereka di bolak-balik dalam api neraka,
mereka berkata: “Alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan kepada
Rasul.” Dan mereka berkata:” ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami.”
Mengikuti
orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya dan
menggandrungi daerahnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal seperti ini disinggung oleh Allah dalam surat
Al-Baqarah[2]:165-166 yang artinya:
“
Diantara manusia ada yang mempunyai banyak ikatan selain Allah dan mencintai
Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat mencintai Allah. Sekiranya
orang-orang yang berbuat zhalim itu ketika mereka melihat azab (di hari
akhirat) bahwa sesungguhnya kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, maka Allah
sangat pedih siksanya. (yaitu) ketika orang-orang yang mereka ikuti berlepas
diri dari mereka ketika melihat azab tersebut dan memutuskan segala hubungan.
Mengikuti
pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman
Allah dalam surat Al-Taubah [9]: 31 artinya:
Mereka
menjadikan para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan
menuhankan Al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah
Tuhan yang satu, tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci dia dari segala apa yang
mereka sekutukan.
Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian mengikuti pendapat
orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul berkenaan dengan suatu
perbuatan. Namun, seorang yang bertaqlid
tersebut harus terus belajar mendalami hukum islam. Bila pada suatu saat orang
yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang di taqlidinya selama ini bertentangan dengan syariat Allah, ia harus
meninggalkan pendapat yang di taqlidinya
tadi.[5]
Syarat orang
yang bertaklid:
Yang dibolehkan bertaklid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti
cara-cara mencari hukum syari’ah ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan
boleh mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri
hukum syari’ah. Maka ia harus berijtihad sendiri bila kesempatan dan waktunya
masih cukup serta waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan
waktu untuk mengerjakan hal-hal lain (tentang ibadah), maka menurut sebagian
ulama boleh ia mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
Syarat
syarat Masalah yang Ditaklidi
Hukum terbagi kepada dua macam yaitu: Hukum akal dan Hukum Syara’. Dalam
masalah hukum akal, tidak dibolekan taklid kepada orang lain, seperti
mengetehui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sifatnya. Hal ini karena
jalan untuk menetapkan hukum-hukum tersebut adalah akal, sedang setiap orang
memiliki akal. Karena itu tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.
Allah
mencela dengan keras taklid soal-soal tersebut dengan firman Nya: yang Artinya:
“Apabila dikatakan kepada mereka : “ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah, mereka menjawab: “(tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah
kami dapat dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (apakah mereka akan mengikuti
juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk “. (Al-Baqoroh: 170)
Taklid dalam masalah hukum syara’ dibedakan pada dua bagian, yaitu:
a. Diketahui dengan pasti dari agama
Islam, seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat dan Haji. Juga tentang
haramnya zina, minuman keras, dan lain-lain. Dalam hal diatas, tidak boleh
taklid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
b. Yang diketahui dengan jalan
penyelidikan dan mencari dalil seperti soal-soal ibadah tertentu, dalam soal
semacam ini dibolehkan taklid.
Pendapat
empat imam madzhab dan Ulama lainnya tentang taqlid:
Imam Abu Hanifah berkata: Jika
perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan Hadits Rasul, maka tinggalkanlah
perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum
mengetahui dari mana saya berkata.
Imam Malik berkata: saya hanya
manusia biasa yang kadang salah dan kadang benar, selidikilah dahulu pendapat
saya kalau sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits maka ambillah dan yang
menyalahi hendaklah ditinggalkan.
Imam Syafi’i berkata: Perumpaman
orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang mencari
kayu di waktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang
mematuk sedang dia tidak tahu.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
Jangan mengikuti (taklid) kepada saya atau Malik atau Tsauri atau Auza’i tetapi
ambillah dari mana mereka mengambil.
Ibnu Ma’sud berkata: kamu jangan
mentaklidi orang kalau dia Iman maka kamu beriman kalau ia kafir maka kamu
kafir. Tidak ada tauladan dalam hal hal yang buruk.
[1] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, (Damaskus:Daar al-fikr, tt.),
hlm.379.
[2] Wahbah Zuhaili, ushul fiqh al-Islami,(Damaskus:Daar al-Fikr,1986),cet.ke-1,hlm.1044-1049.
[3] Ibrahim Husen,dkk.,Ijtihad dalam sorotan, (Bandung: Mirzan,1996), hlm.
123
[4] Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta:Fajar Interpratama
Offset, 2009), Cet. Ke-3, 255-256.
[5] Baca Peunoh Daly dan Qurays Syihab, et., Ushul Fiqh II, (Jakarta
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1986) HLM. 155-156.
[3] Ibrahim Husen,dkk.,Ijtihad dalam sorotan, (Bandung: Mirzan,1996), hlm.
123
[4] Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta:Fajar Interpratama
Offset, 2009), Cet. Ke-3, 255-256.
[5] Baca Peunoh Daly dan Qurays Syihab, et., Ushul Fiqh II, (Jakarta
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1986) HLM. 155-156.