BAB II
PEMBAHASAN
DESKRIFSI
PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA
2.1
Arti
Tata Hukum
Pada waktu sekarang,tak ada suatu
bangsa di dunia ini yang tidak mempunyai hukumnya sendiri. Apabila dalam bahasa
dikenal tata bahasa,demikian juga dalam hukum dikenal tata hukum.
Tiap-tiap bangsa mempunyai tata
hukumnya sendiri, demikian juga bangsa Indonesia mempunyai tata hukum sendiri, Tata Hukum Indonesia.
Barang siapa yang mempelajari Tata
Hukum Indonesia, maksudnya terutama ialah ingin mengetahui perbuatan atau
tindakan manakah yang menurut hukum,
dan yang manakah bertentangan dengan hukum,
bagaimanakah kedudukan seseorang dalam masyarakat, apakah ada
kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenangnya, yang kesemuanya itu menurut hukum
Indonesia.
Dengan singkatnya dapat dikatakan,bahwa
ia ingin mengetahui hukum yang berlaku
sekarang ini di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum yang sedang
berlaku didalam suatu Negara itu dipelajari, dijadikan obyek dari ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang obyeknya ialah hokum yang sedang berlaku dalam
suatu Negara, disebut ilmu pengetahuan
hukum positif (ius constitutum).
Hukum yang berlaku terdiri dari dan
diwujudkan oleh ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan hukum yang saling
berhubungan dan saling menentukan. Misalnya, aturan bahwa hak milik diakui jika
tidaak di akui adanya hak milik. Maka tentulah tak ada kemungkinan pencabutan.
Selanjutnya aturan bahwa hak milik
adalah fungsi social, menentukan luasnya kewenangan seseorang dalam menggunakan
hak miliknya iti. Oleh karena itu, aturan-aturan tadi merupakan suatu susunan (tata), suatu Tata Hukum.
Tata hukum itu sah, berlaku bagi
suatu masyarakat tertentu jika dibuat, ditetapkanoleh penguasa (authority)
masyarakat itu.
Suatu masyarakat yang menetapkan
tata hukumnya bagi masyarakat itu sendiri dan oleh sebab itu turut serta
sendiri dalam berlakunya masyarakat hukum itu, artinya tunduk sendiri kepada
tata hukum itu, disebut masyarakat hukum
(misalnya: desa dan Negara). Tata hukum
sebagai suatu susunan merupakan suatu keseluruhan yang bagian-bagiannya saling
berhubungan dan saling menentukan pun saling mengimbangi pula.
Dalam tiap-tiap tata hukum cara
berhubungan, cara menentukan dan cara pertimbangan antara bagian yang satu
dengan bagian yang lain itu adalah tertentu. Misalnya imbangan antara bagian
yang tertulis dengan bagian yang tak
tertulis. Dalam tata hukum Hindia Belanda dinyatakan dalam I.S (Indische
Staatsregeling) pasal 131 dan A.B. pasal 15; dalam tata hukum Indonesia pernah
dinyatakan dalam UUDS-1950 pasal 32yo. Pasal 102.
Dapat dikatakan, tiap-tiap tata hukum
mempunyai struktur tertentu,yakni
strukturnya sendiri. Masyarakat yang menetapkan dan menuruti tata hokum itu
hidup, berkembang, bergerak, berubah. Demikianpun tata hukumnya, sehingga
struktur tata hukumpun dapat berubah-ubah juga, oleh karena itu dikatakan,
bahwa tata hukum mempunyai struktur terbuka.
2.2
Tata
Hukum Indonesia
Tata hukum Indonesia ditetapkan oleh
masyarakat hokum Indonesia, ditetapkan oleh Negara Indonesia. Oleh karena itu,
adanya Tata Hukum Indonesia barusejak lahirnya Negara Indonesia (17-8-1945).
Pada saat berdirinya Negara Indonesia dibentuklah tata hukumnya;halite
dinyatakan dalam.
1) Proklamasi
kemerdekaan : “Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaan Indonesia.”
2) Pembukaan UUD – 1945 : “Atas berkat
rahmat Allah yang maha kuasa dn dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat indonesiamenyatakan dengan ini
kemerdekaannya.” “Kemudian daripada itu… disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar Negara Indonesia.”
Pernyataan tersebut mengandung arti:
a. Menjadikan Indonesia suatu Negara yang
merdeka dan berdaulat
b. Pada saat itu juga menetapkantata
hukumindonesia, sekedar mengenaibagian yang tertulisdidalam undang-undang dasar
Negara itulah tertulis tata hokum Indonesia (yang tertulis)
UUD hanyalah memuat
ketentuan-ketentuan dasar dan merupakan rangka dari tata hukum Indonesia. Masih
banyak ketentuan-ketentuan yang perlu diselenggarakan lebih lanjut dalam
berbagai undang-undang dasar organik.
Oleh karena,sampai sekarang belum
juga banyak undang-undang demikian, maka masih sangat pentinglah arti ketentuan
peralihan. Dalam pasal II aturan peraliha UUD 1945. Dengan adanya peraturan
peralihan tersebut, pengaturan dalam peraturan perundang-undangan organic yang
menyelenggarakanketentuan dasar dari UUD maka melalui jambatan Pasal peralihan
tersebut, masih harus kita pergunakan peraturan perundangan tentang hal itu
dari tata hukum sebelum 17 Agustus 1945, ialah tata hukum Belanda.
Kenyataan demikian, dewasa ini
masih terdapat dalam banyak lapangan hokum Indonesaia. Kiranya tak ada tata
hokum di dunia ini yang “sesulit” tata hokum Indonesia.
Akan tetapi walaupun demikian, tata
hokum Indonesia tetapberpribadi Indonesia, yang sepanjang masa mengalami
pengaruh dari anasir tata hukum asing, yang pada masa penjajahan Belanda
hamper-hampir terdesak oleh tata hukum Hindia Belanda. Tetapi akhirnya dengan
Proklamasi Kemerdekaan hidup kembali dengan segarnya dengan kesadaran akan
pribadinya sendiri.
Bahwasanya bangsa Indonesia
mempunyaitata hukum pribadi asli itu dibuktikan oleh adanya ilmu pengetahuan
Hukum Adat, berkat hasil penyelidikan ilmiah Prof. Mr. C Van Vollenhoven di
Indonesia.
Dalam padaitu tata hukum Indonesia,
semenjaktanggal 17 Agustus 1945 ada di tengah-tengah dunia modern. Tata hokum
Indonesia yang pada waktu dahulu dikatakan tidak beberntuk tertentu kini
menemukan dirinya lahir kembali dalam bentuk tertentu.
Negara Indonesia dengan
undang-undang dasarnya,sebagai perwujudan dari pribadi tata hukum Indonesia.
Undang-undang 1945 adalah inti tata hukum nasional Indonesia yang harus kita
perkembangkan.
2.3
Dasar-Dasar
Hukum Berlakunya Aneka Warna Peraturan Perundangan Di Indonesia
1. Peraturan-Peraturan Pokok Pada Zaman
Hindia Belanda
Di
Indonesia terdapat beraneka warna peraturan perundang-undangan baik yang diadakan oleh
Pemerintah Republik Indonesia sendiri sejak Proklamasi Kemerdekaan pada 17
Agustus 1945, maupun yang diadakan Pemerintah pada zaman penjajahan Hindia
Belanda dan Balatentara Jepang.
Sejak
berakhirnya kekuasaan dengan hak Monopoli dan Oktroi dari VOC pada 31
Desember 1799 dan dimulainya Pemerintah
Hindia Belanda pada 1 Januari 1800, hingga masuknya Pemerintahan Militer Jepang
di Indonesia pada 9 Maret 1942, tidaklah sedikit peraturan perundangan yang
telah dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Yang
menjadi peraturan pokok pada jaman Hindia Belanda ialah:
a) Algemene
Bepaling van Welgeving voor Indonesia,
disingkat A.B. (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Peratuaran-perundangan untuk
Indonesia). A.B. ini di keluarkan pada 30 April 1847 termuat dala Stb. 1847/23.
Beberapa ketentuan penting dalam dalam AB ini misalnya terdapat dalam pasal 15
dan 22
b) Regerings
Reglement (R.R) yang dikeluarkan pada 2 September
1854 yang termuat dalam Stb. 1854/2. Ketentuan yang penting dalam R.R. ini
misalnya yang di atur dalam pasal 75.
c) Indische
Staatsregeling (I.S) atau Peraturan Ketatanegaraan Indonesia. Pada tanggal 23 Juni 1925
Regerings Reglement tersebut di robah menjadi Indische Staatsregeling (I.S),
termuat dalam Stb. 1925/415 yang mulai berlaku pada 1 Januari 1926.
R.R dan I.S ini adalah
persturan-peraturan pokok yang dapat dikatakan merupakan “undang-undang dasar
Hindia-Belanda” dan merupakan sumberperaturan-peraturan organic pada masa itu.
Macam-macam peraturan organic seperti: Ordonnanti, Regerings Verordening.
Locale Verordening dan lainlain diatur dalam pasal 95 dari I.S .
2. Peraturan Pokok di zaman Jepang
Satu-satunya
peratuaran pokok yang diadakan Pemerintah Militer Jepang di Indonesia ialah Undang-Undang No. 1
tahun 1942 yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan perundangan Hindu
Belanda yang tidak bertentangan dengan kekuasaan Militer Jepang.
3. Pernyataan Berlakunya
peraturan-peraturan sebelum Republik Indonesia
Untuk
mengetahui peraturan perundangan atau hukum apakah yang berlaku dalamsuatu
Negara, kita harus melihat kepada Undang-Undang Dasar atau Peraturan Pokok dari
Negara tersebut.
UUD 1945 dalam pasal II aturan peralihan :
“segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku , selama
belum diadakan yang baru menurut Undang
–Undang Dasar ini.”
Peraturan
perundangan yang dinyatakan berlaku oleh
UUDS -1950 ialah segala peraturan –peraturan yang telah ada sebelum
terbentuknya UUDS -1950 pada 15 Agustus
1950, sebab menurut UUDS-1950 pasal 142. Ketentuan
Peralihan :
“peraturan undang
–undang dan ketentuan –ketentuan tata- usaha
Negara yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 , tetap berlaku dengan tidak berobah
sebagai peraturan –ketentuan RI sendiri , selama dan sekedar peraturan
–peraturan dan ketentuan –ketentuan itu tidak dicabut , ditambah atau diubah
oieh Undang –Undang dan ketentuan
tata-usaha atas kuasa UUD ini.’’
Jelaslah
di sini ,bahwa segala peraturan- peraturan perundangan yang ada sebelum terbentuknya
UUDS-1950 tetap berlaku selama belum dicabut , ditambah atau diubah.
Peraturan-peraturan
yang dinyatakan berlaku oleh Konstitusi RIS itu adalah segala peraturan-peraturan
yang telah ada sebelum terbentuknya Konstitusi RIS pada 6 Februari 1950,
seperti yang dinyatakan oleh pasal 192 Ketentuan Peralihan Konstitusi RIS: “Peraturan-peraturan
dan ketentuan tata-usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku
tetap berlaku dan tidak berubahsebagai peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau di
ubah oleh Undang-Undang dan jetentuan ketentuan tata-usaha atas kuasa
konstitusi ini.”
Peraturan-peraturan
yang sudah ada pada 6 Februari 1950 ialah segala peraturan yang diadakan
berdasarkan UUD 1945 (UUD Proklamasi)
dan peraturan-peraturan yang dinyatakan berlaku oleh UUD 1945 tersebut.
Peraturan-peraturan
yang dinyatakan berlaku olehUUD 1945 itu adalah segala peraturan-peraturan yang
sudah ada pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945 diumumkan, seperti yang tersebut dalam pasal II Peraturan
Peralihan UUD 1945: “segala badan Negara
dan peraturan yang ada masih ada berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut UUD ini.”
Disamping
peraturan-peraturan yang diadakan oleh pemerintah Militer Jepang
Indonesia,mereka juga menyatakan berlakunya segala peraturan-peraturan
perundangan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang sesuai dengan
peraturan yang di keluarkan mereka itu sendiri.
Untukitu
pad tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Balatentara Jepang di Indonesia telah
mengeluarkan Undang-Undang No.1 tahun 1942 yang dalaam Pasal 3 ditenukan “Semua Badan-Badan Pemerintahan dan
kekuasaannya hukumdan undang-undang dari Pemerintah yang dulu, tetap diakui sah
untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentanganan dengan Aturan Pemerintah
Militer.”
Dari
keterangan-keterangan pelajaran tersebut diatas dapat diambil keringkasan
sebagai berikut:
1)
Semua
peraturan-peraturan perundangan Hindia Belanda yang diambil alih oleh
Pemerintah Militer Jepang di tambah dengan peraturan-peraturan yang dibuat
Pemerintah Jepang sendiri, berlaku pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia.
2)
Semua
peraturan-peraturan perundangan yang berlaku pada masa penjajahan Jepang yang
diambilalih oleh UUD 1945 (Pasal II Aturan Peralihan) ditambah dengan peraturan-peraturan
yang dibuat berdasarkan UUD 1945 tersebut, berlaku pada masa UUD 1945 (yang
pertama).
3)
Semua
peraturan perundangan yang berlaku pada masa UUD 1945 yang diambil alih oleh
Konstitusi RIS (Pasal 192 Aturan Peralihan) ditambah dengan peraturan-peraturan
yang dibuat berdasarkan Konstitusi RIS tersebut, berlaku selamamasa Konstitusi
RIS.
4) Semua peraturan-peraturan perundangan
yang berlaku pada masa Konstitusi RIS yang diambilalih oleh UUDS 1950 (Pasal
142 Ketentuan Peralihan), ditambah dengan peraturan-peraturan yang dibuat
berdasarkan UUDS 1950 tersebut selama masa UUDS1950.
5) Akhirnya semua peraturan-peraturan perundangan yang berlaku selama masa
berlakunnya UUDS 1950 yang diambil oleh UUD 1945 ( UUD 1945 dinyatakan berlaku
dengan dekrit presiden ), ditambah
dengan peraturan -peraturan perundangan yang dibuat berdasarkan UUD 1945
(yang kedua) ditambah lagi dengan peraturan_peraturan yang dibuat berdasarkan
Dekrit Presiden ( sebagai peraturan –peraturan pelaksanaan Dekrit Presiden
tersebut sepanjang belum dicabut)
berlaku pada masa sekarang ini .Alhasil dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa berdasarkan :
a) Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
(Setelah Dekrit Presiden) yuntco (berhubungan dengan)
b) Pasal 142 ketentuan Peralihan UUDS RI
1950 juncto
c) Pasal 192 ketentuan Peralihan Konstitusi
RIS juncto
d) Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
(Proklamasi) juncto
e)
Pasal
3 Undang-Undang Balatentara Jepang tahun 1942 No. 1 maka dapatlah dikatakan, bahwa :
Segala peraturan perundangan yang
diadakan dijaman Hindia Belanda,di zaman Balatentara Jepang dan di zaman
Republik Indonesia hingga sekarang, berlaku seluruhnya di Indonesia sekarang
ini, asalsaja peraturan perundangan tersebut tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 yang sekarang berlaku dan tetapakan berlaku di
Indonesia seterusnya selama belum dicabut, ditambah atau di ubah oleh
ketentun-ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang sekarang berlaku di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2.4
Lapangan-lapangan
Hukum di Indonesia
Aturan-aturan
hukum yang beraneka ragam itu dapat di golongkan menjadi lapangan-lapangan
hukum tertentu. Di dalam UUDS (1950) pernah disebut beberapa lapangan hukum
yaitu dalam pasal 102 dan 108.
Dalam
Pasal 102 UUDS dicabut:
a. Hukum Perdata dan Hukum Dagang
b. Hukum Pidana Sipil dan Hukum Pidana
Militer
c. Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara
Pidana
Pasal 108 menyebut pula Hukum Tata Usaha. Kedua
pasal ini tidaklah membuat pembagian lapangan hukum di Indonesia, sehingga
tidak menyebut lengkap lapangan hukum.
Pasal 102 UUDS ini hanya menyebut
lapangan-lapangan hukum yang harus “diatur dengan undang-undang dalam
kitab-kitab hukum.” Dengan kata lain, Pasal 102 UUDS hanya menyebut
lapangan-lapangan hukum yang harus “dikodifikasikan.”
Sedangkan Pasal 108 UUDS hanya
menentukan siapa yang harus memutuskan sengketa-sengketa yang mengenai hukum
tata usaha (Hukum Administrasi). Pada pokoknya jenis-jenis lapangan hukum
dapatlah disebutkan sebagai berikut:
Pertama ialah Hukum Tata Negara.
Dengan terwujudnya Negara Indonesia dapat dimengerti bahwa aturan-aturan hukum
tentang Negara Indonesia merupakan Hukum Tata Negara Indonesia.
Kedua ialah Hukum Administrasi
Negara, karena erat pertaliannya dengan Negara. Hukum Administrasi Negara
mengatur cara Negara atau alat-alat perlengkapan negara hendaknya bertingkah
laku dalam menjalankan tugasnya itu.
Ketiga ialah Hukum Perdata, yaitu
keseluruhan aturan hukum yang mengatur tingkah-laku orang-orang terhadap orang
lainnya didalam Negara, tingkah laku antara warga masyarakat dalam hubungan
keluarga dan pergaulan masyarakat.
Keempat ialah Hukum Dagang, yang
pada hakekatnya bagian hukum perdata di bidang perdagangan atau perusahaan.
Kelima ialah Hukum Pidana
yakniaturan-aturan hukum yang mengatur tindakan-tindakan apa yang dilarang dan
memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya.
Keenam ialah Hukum Acara, yang
meliputi Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana.
2.5
Keadaan
Tata Hukum Indonesia
Seperti telah dijelaskan, Tata Hukum
ialah semua perturan-peraturan hukum yang diadakan/diatur oleh Negara atau bagian-bagiannya
dan berlaku pada waktu itu seluruh masyarakat dalam negara itu. Jelasnya, semua
hukum yang berlaku bagi masyarakat pada
suatu waktu dalam suatu tempat tertentu.
Oleh karena itu,ada sarjana yang mempersamakan tata hukum itu dengan Hukum
Positif atau Ius constitutum.
Tujuan Tata Hukum ialah untuk
mempertahankan, memelihara dan melaksanakan tata tertib dikalangan
anggota-anggota masyarakat dalam Negara itu dengan peraturan-peraturan yang
diadakan oleh Negara atau bagian-bagiannya.
Peraturan-peraturan
Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia sebagian besarnya telah
dikodifikasikan dan disebut hukum kodifikasi.
Dasar hukum dari kodifikasi itu
tercantum dalam Pasal 75 ayat 1 Regerings – Reglement (R.R) yang kemudian
diganti menjadi Pasal 131 Ayat 1 Indishe Staatsregeling (I.S), yaitu peraturan
ketatanegaraan Hindia Belanda, yang berbunyi “Hukum Perdata dan Hukum Dagang
begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara perdata dan Hukum Acara Pidana
harus diletakan dalam Undang-Undang” (yaitu harus dikodifikasikan).
1. Asas Konkordansi (Asas Keselarasan)
Hukum
Kodifikasi (misalnya Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pidana) yang sekarang
berlaku di Indonesia adalah selaras (Konkordan) dengan Hukum Kodifikasi yang
berlaku di negeri Belanda keselarasan kodifikasi tersebut disebabkan berlakunya
asas korkondansi (asas keselarasan= asas persamaan berlangsungnya ssistem
hukum) di Indonesia. Asas konkordansi diatur dalam I.S pasal 131ayat 2 yang
berbunyi: “untukgolongan bangsa Belanda untukitu harus dianut (dicontoh) undang-undang
di negeri Belanda.”
Hal
itu berarti, bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang belanda di Indonesia
harus di persamakan dengan hukum yang berlaku di negeri belanda. Jadi
sekarasnya hukum kodifikasi di Indonesia dengan hukum kodifikasi di negeri
Belanda adalah berdasarkan asas konkordansi tersebut. Namun demikian hukum
kodifikasi yang berlaku di Belanda ini umumnya mencontohi hukum kodifikasi yang
berlaku di prancis, yang pada akhirnya kodifikasi prancis berpokok pangkal pada
hukum kodifikasi di romawi kuno.
2. Keadaan Hukum Kodifikasi di Indonesia
Hukum
kodifikasi di Indonesia terutama hukum sipil berlaku hanya bagi beberapa
golongan tertentu rakyat saja, sedangkan bagi golongan terbesar dari rakyat
Indonesia berlaku susunan hukum perdata yang lain pula, yang pada umumnya tak
tertulis, yaitu hukum perdata adat (hukum adat). Perbedaan dalam hukum perdata
itu sebenarnya sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia di proklamasikan,
yaitu di jaman penjajahan Belanda dan Jepang. Sampai sekarang ini, keadaan yang
demikian itu (dulisme) masih belum dapat dihindarkan.
Adapun
sebabnya ialah karena Negara Republik Indonesia sendiri belumlah mengadakan
hukum kodifikasi yang baru. Untuk menghindari kekosongan (vacuum) dalam hukum,
maka Negara kita mengadakan peraturan-peraturan peralihan dalam beberapa
Undang-Undang Dasar yang telah dan yang sedang berlaku.
Peraturan-peraturan
itu menyatakan, bahwa hukumkodifikasi yang lama (hukum kodifikasi yang konkordan
dengan hukum kodifikasi di negeri Belanda) masih tetap berlaku. Pembentuk
undang-undang RI belum dapat menghasilkan hukum kodifikasi yang baru, oleh
karena untuk itu di perlukan waktu yang tak sedikit.
Disamping itu di perlukan banyak ahli-ahli hukum yang
berpengalaman untuk mengadakan penyelidikan yang mendalam, berhubung dengan
banyaknya macam golongan rakyat dan suku bangsa yang masing-masing mempunyai
kebutuhan-kebutuhan hukum yang berlainan serta mendiami beribu-ribu kepulauan
terbesar di seluruh Nusantara yang luas ini.
3. Kesatuan berlakunya Hukum Pidana
(Unifikasi Hukum Pidana)
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) di Indonesia yang di kodifikasikan pada
tahun 1918 itu adalah merupakan satu-satunya hukum kodifikasi yang berlaku umum
untuk semua golonganpenduduk yang berada dalam daerah Indonesia. KUH Pidana ini
berlaku terhadap setiaporang dalam daerah Indonesia yang melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum (tindak
pidana = delik). Kesatuan berlakunya
atau unifikasi hukum pidana yang
telah dikodifikasikan ini mulai berlaku sejak 1 januari 1918.
Tetapi jauh
sebelum tanggal tersebut, masih terdapat juga dualism dalam hukum pidana,
karena waktu itu berlaku dua macam hukum pidana, yakni hukum pidana yang
berlaku khusus untuk golongan Eropa di Indonesia dan hukum pidana yang berlaku
bagi golongan rakyat Eropa.
4. Pluralisme dalam Hukum Perdata di
Indonesia (Aneka warna HukumPerdata di Indonesia)
Kalau
hukum pidana di Indonesia itu sebagai hukum kodifikasi telah diadakan unifikasi, maka sebaliknya
hukum perdata di Indonesia masih “ber-bhineka”, yaitu beraneka warna.
Di Indonesia berlaku macam–macam hukum perdata ,yaitu
hukum perdata eropah (barat), hukum perdata timur asing dan hukum perdata adat
(hukum adat), yang kesemuanya itu berlaku resmi bagi golongan–golongan penduduk
di Indonesia. Keadaan demikian disebut pluralism dalam
hukum perdata ( berlaku bermacam-macam hukum perdata bagi masing-masing
golongan penduduk ).
Ketidakseragaman
dalam hukum perdata ini, disebabkan banyaknya macam golongan penduduk di
Indonesia yang masing–masing golongan mempunyai kebutuhan hukum perdata yang
bebeda-beda pula.
Beberapa
bagian dari hukum perdata di Indonesia sekarang ini telah diadakan perubahan
dan dinyatakan berlaku bagi semua warganegara Indonesia seperti misalnya: peraturan
tentang perkawinan dan pencatatan sipil.
2.6 Tujuan Mempelajari Tata Hukum
Indonesia
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tentang tujuan dari belajar hukum itu
ialah:
- Ingin mengetahui peraturan-peraturan hukum yang berlaku saat ini di
suatu wilayah negara atau hukum positif atau Ius Constitutum.
- Ingin mengetahui perbuatan-perbuatan mana yang menurut hukum, dan
perbuatan-perbuatan mana yang melanggar hukum.
- Ingin mengetahui kedudukan seseorang dalam masyarakat atau hak dan
kewajibannya.
- Ingin mengetahui sanksi-sanksi apa yang diderita oleh seseorang bila
orang tersebut melanggar peraturan yang berlaku.
Samidjo,
mengatakan bahwa tujuan mempelajari tata hukum Indonesia adalah mempelajari
hukum yang mencakup seluruh lapangan hukum yang berlaku di Indonesia, baik itu
hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.
BAB III
3.1 KESIMPULAN
1. Kerap kali
disebut sebagai hukum positif, yaitu hukum yang berlaku disuatu tempat,pada
saat tertentu ( sekarang misalnya di Indonesia).
2. adalah tatanan hukum yang berlaku di Indonesia sekarang. Tata
hukum tersebut menata, menyusun, mengatur tertib kehidupan masyarakat tertentu
dan juga dibuat, ditetapkan dan dipertetapkan atas daya penguasa masyarakat
itu.
3. Dasar-Dasar Hukum
Berlakunya Aneka Warna Peraturan Perundangan Di Indonesia
1. Peraturan-Peraturan
Pokok Pada Zaman Hindia Belanda
2. Peraturan Pokok di zaman Jepang
3. Pernyataan Berlakunya
peraturan-peraturan sebelum Republik Indonesia
4. Lapangan-lapangan Hukum
di Indonesia
Aturan-aturan
hukum yang beraneka ragam itu dapat di golongkan menjadi lapangan-lapangan
hukum tertentu. Di dalam UUDS (1950) pernah disebut beberapa lapangan hukum
yaitu dalam pasal 102 dan 108.
Dalam
Pasal 102 UUDS dicabut:
a. Hukum Perdata dan Hukum Dagang
b. Hukum Pidana Sipil dan Hukum Pidana
Militer
c. Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara
Pidana
DAFTAR PUSTAKA
BUKU PENGANTARA ILMU HUKUM DAN TATA HUKUM INDONESIA.
Drs.C.S.T. Kansil ,S.H.