BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Peradilan
Menurut ilmu bahasa arti qadha’ (Peradilan)
antara lain: menyelesaikan, menunaikan, dan memutuskan hukum atau membuat suatu
ketetapan. Atau bias juga dirinci sebagai berikut :
·
الفراغ yang berarti putus, cerai, menyelesaikan atau mengakhiri, seperti
firman Allah dalan Surah Al-Ahzab ayat 37
·
الأداء yang berarti
menunaikan atau menyelesaikan , seperti firman Allah Surah
Al-Jum`ah ayat 10
·
الحكم yang berarti memutuskan
hukum atau menetapkan suatu ketetapan.
Perkataan الحكم pada mulanya bermakna المنع artinya
menghalang-halangi atau mencegah, maka kata قاض juga disebut الحاكم
berarti mencegah atau menghalang-halangi orang-orang yang zalim dan
hendak menganiaya orang lain. Jadi حكم
الحاكم بكذا
sama dengan وضع
الحق في أهله. Di samping itu pula peradilan bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan umat dengan tetap tegaknya hukum Islam. Oleh karena itu tugas
pokok peradilan, adalah: mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
Menetapkan sanksi dan menerapkannya kepada para pelaku perbuatan yang
melanggar.
Sedangkan dari segi istilah ahli fiqih, qadha’
berarti Lembaga Hukum dan perkataan yang harus dituruti yang di ucapkan oleh
seseorang yang mempunyai wilayah umum atau berarti menghindarkan masalah dari pihak-pihak yang
bersengketa dan menyelesaikan perseteruan di antara mereka, dengan menggunakan
hukum Allah. Yakni, mengaplikasikan ketentuan syariat dalam kehidupan nyata.
الحكم بين النّاس
Al qodhaa (peradilan) artinya “Memutuskan peradilan di antara
orang-orang”.
Maka, qadha’ disebut juga hukum mengingat
didalamnya terdapat hikmah yang mewajibkan pihak-pihak berwenang untuk
meletakkan sesuatu pada tempatnya, dengan tujuan untuk mencegah para kriminal
untuk kembali pada kejahatannya, sehingga tidak ada lagi pihak manapun yang
didzalimi
Qodha dapat pula didefiniisikan sebagai
berikut :
هو الفصل
بين الناس في الحصومات حسما للتداعي و قطعا للنزاع وفقا با لاحكام الشرعية المستمدة
من الكتاب والسنة
“Menyelesikan perkara pertengkaran untuk
melenyapkan gugat menggugat dan untuk memotong pertengkaran dengan hukum-hukum
yang dipetik dải Al Qur’an dan Al Hadits”.
Para ulama madhab
juga memberikan definisi mengenal qadha yaitu :
·
Imam Abu Hanifah : “Suatu keputusan mengikat yang
bersumber dải mpemerintah umum guna menyelesaikan dan memutus pesengketaan”.
·
Imam Malik : “Pemberitaan tentang hukum syara’ melalui
oảng yang mengikat dan pasti”. Ulama maliki mendefinisikan Al Qadha dải segi
sifat lembaga hukum ini.
·
Sementara Imam Ahmad dan Imam Syafi’I memberrikan
definisi “Penyelesaian persengketaan antarra dua oihak atau lebih berdasarkan
hukum Allah SWT.
Karena adanya berbagai
pengertian dari kata qadha’ itu, maka ia bisa digunakan dalam arti memutuskan
perselisihan oleh hakim. Orang yang melakukannya disebut qadhi. Menurut para
ahli fiqih, terminologi syariat dari kata qadha’ adalah memutuskan perselisihan
dan menghindarkan perbedaan serta konflik-konflik.
Dengan definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa tugas
qadha’ (Lembaga Peradilan) adalah menampakkan hukum agama, bukan menetapkan
suatu hukum, karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi oleh hakim. Hakim
hanya menerapkannya ke alam nyata, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.
Dalam
pengkajian Peradilan Islam (al-qadhaa fi al-Islam), terdapat berbagai
konsep yang digunakan. Konsep itu merupakan suatu gagasan (idea) yang
dilambangkan oleh suatu istilah tertentu, sesuai dengan bahasa yang digunakan.
Ia berhubungan dengan berbagai konsep dalam pengkajian hukum Islam secarra
keseluruhan.
Dalam
pengkajian Peradilan Islam di Indonesia, dan peradilan pada umumnya, dikenal
berbagai kata atau istilah khuus yang menjadi lambang dari suatu konsep,
diantarannya peradilan agama, peradilan Agama Islam, peradilan Islam, Islamic
judiciary, badan kehakiman, badan peradilan agama, badan peradilan agama Islam,
pengadilan agama, mahkamah syar’iyah, kerapatan qodhi, pengadilan agama Islam,
dan Islamic court. Selain itu, terdapat juga istilah lain yang berhubungan
dengan istilah-istilah itu, baik yang bermakna sejenis maupun yang berhubungan
dengnnya dan menjadi penjelas poisi dari setiap istilah itu. Semua kata atau
istilah itu dikemukakan dalam pengerrtian yang berbeda namun berhubungan.
Ada
dua istilah yang berasal dari kata dasar yang sama tetapi memiliki pengerrtian
yang berbeda, yaitu peradilan dan pengadilan. Peradilan merupakan
salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup masyarrakat dalam penegakan hukum
dan peradilan, yang mengacu kepada hukum yang berlaku. Sedangkan pengadilan
merupakan satuan organisasi yang menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan
tersebut. Meskipun demikian, kedua istilah itu kadang-kadang digunakan dalam
pengerrtian yang sama. Umpamanya, judul Bab V Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman : Kedudukan Pejabat
Peradilan (Pengadilan).
B. Rukun Peradilan
Dalam
peradilan terdapat rukun-rukun yang háu ditetapkan yaitu :
1. Hakim, yaitu oảng yang diangkat oleh
penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan, karena penguasa tidak meampu
melaksanaan sendiri semua tugas itu.
2. Hukum, yaitu suatu keputusan produk
Qodhi, untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan.
3.
Al
Mahkum Bih, yaitu hak. Kalau pada qodho al ilzam, yaitu penetapan qodhi atas
tergugta, dengan memenuhi tuntutan penggugat apa yang menjadi haknya, sedangkan
qadha al tarki (penolakan) penggugat yang berupa penolakan atas gugatannya.
4.
Al
Mahkum ‘Alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya.
5.
Al
Mahkum Lah, yaitu penggugat suatu hak yang merupakan hak manusia semata.
6.
Sumber
Hukum (Putusan)
Di samping itu pula peradilan bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan umat dengan tetap tegaknya hukum Islam. Oleh karena itu tugas
pokok peradilan, adalah:
- mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
- Menetapkan sanksi dan menerapkannya kepada para pelaku
perbuatan yang melanggar.
- Hikmah Peradilan.
- Terwujudnya perdamaian dalam masyarakat.
- Terwujudnya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa
- Terwujudnya perlindungan hak setiap orang.
- Terwujudnya keadilan bagi manusia.
- Mewujudkan sifat taqwa bagi semua pihak.
C. Dalil-dalil
tentang qodhaa (peradilan)
Dalil asal
mengenai masalah peradilan sebelum adanya ijma’ ialah firman Allah swt
yang mengatakan :
و
ان احكم بينهم بما أنزل الله
“Dan
hendaknya kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturrunkan
Allah swt. (Al-Maidah : 49)
FirmanNya yang lain, yaitu :
و
ان احكم بينهم بما أنزل الله
“Maka
putuskannlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil”. (Al-Maidah : 42)
Beberapa buah Hadits, antara lain
hadits Shahihain (Imam Bukhari dan Imam Muslim), mengatakan :
اذا
حكم حاكم اي اراد الحكم فاجتهد ثمّ اصاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثمّ اخطأ فله اجر
وفي رواية بدل الاولي فله عشرة اجور
“
Apabila seorang hakim hendak memutuskan (suatu perkara), lalu ia berijtihad
(dengan segenap kemampuannya), kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka baginya
dua pahala. Apabila dia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya keliru, maka
baginya hanya satu pahala”.
Di
dalam riwayat lain, pada bagian pertamanya disebutkan, “Maka baginya (yang
benar ijtihadnya) sepuluh kali pahala”
D. Peradilan Islam
dan Perdailan Agama
Peradilan Islam
atau peradilan agama adalah dua nama secara hakikatnya mempunyai keterkaitan
bahwa sebagai kesinambungan system peradilan di Indonesia. Lalu apakah
peradilan agama dapat diidentikkan sebagai suatu peradilan Islam (al-qadha
fi al-Islam)?. Untuk mengidentifikasi peradilan agama sebagai peradilan
Islam yang harus dilihat adalah :
Ø landasan
teologis-filosofis peradilan Islam dibentuk dan dikembangkan untuk memenuhi
tuntutan penegakkan hukum dan keadilan Allah dalam komunitas umat.
Ø Secara yuridis,
ia berkembang mengacu kepada konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Negara Indonesia.
Ø Secara historis
menurut para Fuqoha peradilan agama merrupakan salah satu mata rantai peradilan
Islam yang berkesinambungan sejak masa Rasullullah saw.
Ø Secara
sosiologis menunjukkan bahwa peradilan agama merupakan produk interraksi antara
elite Islam dengan elite politik. Ia điukung dan dikembangkan oleh masyarakat
Islam Indonesia sejak lebih satu abad silam.
Ketika
empat landasan ini terpenuhi, maka peradilan agama dapat disebut sebagai
peradilan Islam. Hal ini diperkuat oleh undang-undnag No. 7 Tahun 1989 yang
menytakan bahwa Peradilan Agâm adalah peradilan bagi oảng-ornag yang beragama
Islam, mengenai perdata tertentu.
E.
Cakupan
dan Batasan Peradilan
Berdasarkan berbagai pengertian yang disarikan dari
beberapa sumber sebagaimana di sebutkan di atas, pengertian Peradilan Agama dapat
dirumuskan sebagai : kekuasan negara dalam
menerima,memeriksa,mengadili,memutus,dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu
antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Yang dimaksud dengan kekuasaan negara adalah kekuasaan kehakiman. Sedangkan
yang dimaksud dengan perkara-perkara tertentu adalah perkara dalam bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah yang dilaksanakan
berdasarkan hukum Islam. Adapun Pengadilan Agama adalah pengadilan
tingkat pertama dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal itu menunjukkan
bahwa Pengadilan Agama adalah satuan (unit) penyelenggara Peradilan
Agama. Adapun satuan penyelenggara peradilan pada tingkat kedua (banding)
adalah Pengadilan Tinggi Agama (PTA), sedangkan pengadilan pada tingkat kasasi
adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan perkataan lain, pengadilan adalah badan
peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Dewasa ini, pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
terdiri atas 314 satun Pengadilan Agama dan 25 satuan Pengadilan Tinggi Agama.
Berdasarkan pengertian peradilan itu, cakupan dan batasan
Peradilan Agama meliputi komponen-komponen sebagai berikut :
1. Kekuasaan
negara, yaitu kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan kekuasaan
negara lainnya dan dari pihak luar. Secara operasional kekuasaan itu terdiri
atas kekuasaan absolut dan kekuasaan relatif
2. Badan
peradilan agama, sebagai satuan penyelenggara kekuasaan kehakiman. Ia meliputi
hierarki, susunan, pimpinan, hakim, panitera, dan unsur lain dalam struktur
organisasi pengadilan
3. Prosedur
berperkara di pengadilan, yang mencakup jenis perkara, hukum prosedural (hukum
acara) dan produk-produknya (putusan dan penetapan). Prosedur itu meliputi
tahapan kegiatan menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan
4. Perkara-perkara
dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Ia
mencakup variasi dan frekuensi sebarannya dalam berbagai pengadilan
5. Orang-orang
yang beragama islam, sebagai pihak yang berperkara (berselisih atau
bersengketa), atau para pencari keadilan
6. Hukum
Islam, sebagai hukum substansial yang dijadikan rujukan dalam proses peradilan
7. Penegakan
hukum dan keadilan sebagai tujuan
F.
Peradilan
: Pranata Hukum dan Pranata Sosial
Berkenaan
dengan pengertian, cakupan, dan batasannya itu, peradilan dapat diidentifikasi
sebagai bagian dari pranata hukum untuk memenuhi kebutuhan penegakan hukum dan
keadilan yang mengacu kepada hukum yang berlaku. Karena peradilan
diidentifikasi sebagai pranata hukum, didalamnya terdapat jaringan hubungan
antar manusia yang meliputi komponen-komponen sebagaimana telah di kemukakan.
Untuk mewujudkan dan mengorganisasikan jaringan hubungan tersebut dilaksanakan
oleh pengadilan, Berkenaan dengan hal itu, dalam setiap lingkungan peradilan
terdiri atas pengadilan tingkat pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan
diidentifikasi sebagai bagian dari pranata hukum,sedangkan hukum dapat diidentifikasi
sebagai bagian dari pranata sosial. Young (1982:506) mengutip pandangan Summer
bahwa pranata adalah konsep dan struktur.Hukum adalah pranata. Hal itu
didasarkan kepada gagasan keadilan dan kepatutan. Gagasan itu dikonstruksikan
dan mencakup pengadilan, perangkat hukum, dan sejenisnya. Dengan demikian
peradilan dapat diidentifikasi sebagai bagian dari pranata sosial. Dalam
kenyataannya, peradilan berhubungan secara timbal balik, bahkan saling
bergantung dengan pranata hukum lainnya, seperti perangkat hukum (tertulis dan
tidak tertulis), sistem hukuman, politik hukum, dan nilai-nilai hukum, bahakan
berhubungan dengan penyuluhan hukum, pendidikan hukum, dan kesadaran hukum
masyarakat. Berkenaan dengan hal itu, pembentukan hukum mengacu kepada nilai filosofis,
nilai yuridis, dan nilai sosiologis.
Hal itu
tercermin dalam GBHN 1993, khususnya tentang Pembangunan Bidang Hukum, yang
secara garis besar meliputi materi hukum aparatur hukum, dan sarana serta
prasarana hukum. Pembangunan dalam bidang hukum itu merupakan bagian dari
Pembangunan Nasional, yang mencakup berbagai bidang kehidupan masyarakat-bangsa
yang berhubungan secara timbal balik. Demikian pula isyarat itu tercermin dalam
ketentuan pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, “Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Demikian
halnya dengan pranata hukum, ia saling bergantung dengan pranata sosial lainnya
dalam suatu kesatuan tatananan masyarakat secara mkaro. Hukum bergantung kepada
apa yang terjadi dengan kondisi kekuasaan dan wewenang politik-kondisi tersebut
ditentuakan beragam kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi. Bahkan ia
saling bergantung dengan pertumbuhan penduduk,
perkembangan ilmu dan teknologi, dan industrialisai. Apabila kondisi-kondisi
itu berubah, hukum pun mengalami perubahan. Pembentukan undang-undang, sebagai
penyelesaian konflik di kalangan berbagai kekuatan politik, baik yang nampak
maupun yang tersembunyi, dapat dipahami dan dijelaskan dengan menggunakan
pandangan tersebut. Salah satu contoh dapat dilihat dalam pembentukan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Gambaran
tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama, dan
hukum pada umumnya, sangat bergantung kepada pranata politik yang berbasis
kepada struktur sosial, pola budaya, dan perkembangan ekonomi. Begitu juga,
proses peradilan merupakan suatu mekanisme yang bersifat aktual dalam
mewujudkan penegakan hukum dan keadilan yang mengacu kepada nilai-nilai yang
dianut masyarakat. Atau dengan perkataan lain, peradilan tidak berdiri dan
bekerja secara otonom, melainkan berada dalam proses pertukaran dengan
lingkungannya. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan peradilan terletak
pada kemampuan masyarakat untuk melakukan artikulasi politik dalam
mengalokasikan dan merumuskan nilai-nilai budaya yang dianutnya kedalam pranata
hukum yang menjadi kebutuhan mereka. Dalam hal ini, tentu saja terletak pada
kemampuan elite Islam dalam mengalokasikan hukum Islam dalam peraturan
perundang-undangan yang dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan Peradilan Agama
atau Peradilan Islam di Indonesia.
G.
Peradilan agama sebagai peradilan islam
Uraian diatas, dalam berbagai hal, menunjukkan gagasan
dan kedudukan Peradilan Agama dengan sangat jelas. Meskipun demikian, muncul
sebuah pertanyaan: apakah Peradilan Agama dapat diidentifikasi sebagai suatu
Peradilan Islam (al-qadha’ fi al islam)? Jawaban atas pertanyaan itu
membutuhkan landasan yang logis dan ditunjang oleh data empirik. Ia membutuhkan
informasi yang akurat dan memadai, yang dikaitkan dengan konteks munculnya
informasi iutu tanpa berusaha untuk melakukan pembelaan atau sebaliknya.
Peradilan
Islam merupakan simbol (dalam bahasa indonesia) dari suatu gagasan atau konsep (concept).
Simbol simbol ini tumbuh dan berkembang dikalangan para pakar Muslim sebagai
upaya untuk mengidentifikasi diri, dan untuk menyatakan jati diri dalam
pergaulan hidup di tengah-tengah beraneka ragam bahasa dan kebudayaan yang
didominasi oleh bangsa-bangsa dan kebudayaan dari kawasan Eropa (Barat Dan
Timur) dan Amerika Serikat. Ia muncul sebagai respon terhadap kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang didasarkan atas kesamaan kebangsaaan (National
State) yang menempatkan agama dalam posisi yang terpisah. Hal itu menuntut
redefinisi tentang hubungan antara agama dengan negara (al din wa al
dawlah). Di samping itu bagi pakar non-Muslim, ia merupakan suatu deskripsi
tentang fenomena yang berkembang di dunia Islam (di negara-negara islam dan di
negeri-negeri muslim), yang sedang mengalami perubahan dari masa penjajahan ke
masa kemerdekaan.
Substansi dari simbol itu adalah produk pemikiran fuqaha
yang tumbuh dan berkembang di kalangan generasi pertama dan berikutnya, yang di
kalangan mereka dideskripsikan sebagai al-qadha. Sebagai contoh dapat
dikemukakan, antara lain dalam karya al-mawardi, ia dideskripsikan dalam BAB
ke-enam, fi wilayat al-qadha (t. th.: 65), dalam karya Ibn Rusyd, ia
dideskripsikan dalam kitab al-aqdhiyah (juz II: 344-3560, dan dalam
karya Abi Ya’la, ia dideskripsikan dalam wilayal al-qadha’ (1986: 64).
Dari ke-tiga contoh diatas tidak ada satupun yang menggunakan simbol islam.
Meskipun demikian, ia merupakan deskripsi tentang konsep peradilan Islam.
Konsep itu merupakan hasil pemikiran fuqoha yang dideduksi dari
Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW.
Secara filosofis, peradilan agama dibentuk dan
dikembangkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam pergaulan hidup manusia,
khususnya di kalangan orang-orang yang beragama islam dalam bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, waqaf, dan shadaqah. Hukum yang ditegakkan adalah
hukum allah yang telah disistematisasi oleh manusia melalui kekuasaan negara
(cf. Bustanul arifin, 1996: 78). Hal itu merupakan suatu konsekuensi bagi hamba
allah yang beriman, yang taat kepada allah dan rasulnya; serta membuat
keputusan secara adil (S. An-nisa’:58-59). Keputusan itu, didasarkan kepada
hukum yang diditurunkan oleh Allah: ma anzal ’I-Lah (S. Al-Ma’idah:49).
Pandangan preskriptif itu dijadikan rujukan utrama dalam menyelenggaraan
peradilan, yang bertitik tolak bahwa mendirikan peradilan merupakan kewajiban
yang ditetapkan dan sunah yang dipatuhi (faridhah muhkamah wa sunnah mutaba’ah).
Sedangkan keadilan yang ditegakkan adalah keadilan Allah, sebagaimana tercermin
dalam kepala keputusan pengadilan, “Bismillahirrahmanirrohim”, dan “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Uraian di atas
menunjukkan bahwa Peradilan Agama merupakan media untuk menegakkan hukum dan
keadilan sebagaimana dititahkan oleh Allah. Ia kemudian dikenal sebagai hukum
Islam dalam dimensi syariah, yang berasaskan tawhid I’Lah. Hal yang sama
dilakukan di negara-negara islam, seperti saudi arabia. Hukum yang berlaku
dalam penyelenggaraan peradilan (majlis al-qadhi al-a’la, mahkamah
al-tamyiz, al-mahkamah al-amah dan al-mahkamah al-juz-‘iyah) di negara itu
adalah hukum Islam (al-tasyri’ al-islami) yang bersumber kepada
Al-Qur’an dan sunah Rasul (al-hafnawi, t. th.: 4). Demikian halnya di
negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, seperti di Mesir dan
beberapa negara lain di Timur Tengah dan di Asia Selatan, penyelenggaraan
peradilan berdasarkan hukum Islam, khususnya dalam bidang hukum keluarga.
Disamping itu di negara-negara non-Muslim seperti di wilayah Patani
Raya-meliputi Provinsi Patani, Yala, Narathivat dan Stun, dengan penduduk
mayoritas (71,94%) beragama Islam-di Thailand dan bagi Muslim Philipina, hukum
keluarga yang berlaku adalah hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu pemerintah
Thailand memberi peluang kepada ulama untuk menyelenggarakan Peradilan Islam (sala
to’ kali), khususnya dalam bidang perkawinan dan pewarisan (Surin Pitsuan,
1989: 97). Hal itu menunjukkan bahwa dalam kenyataanya, corak Peradilan Islam,
baik simbol maupun penyebutan (titeulateur) beraneka ragam namun
memiliki fungsi yang sama. Dengan perkataan lain, Peradilan Islam yang bersifat
Universal merupakan suatu suatu tipe ideal yang dalam kenyataannya sangat bervariasi.
Secara historis Peradilan Agama merupakan salah satu mata
rantai Peradilan Islam yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah SAW.
Peradilan islam mengalami pasang surut, sejalan dengan perkembangan masyarakat
Islam di berbagai kawasan dan negara. Sedangkan masyarakat Islam merupakan
basis utama dalam melakukkan artikulasi dan perumusan politik hukum di berbagai
kawasan dan negara karena masyarakat Islam tersebar di berbagai kawasan yang
beraneka ragam struktur, pola budaya, dan perkembangannya, pengorganisasian
Peradilan Islam pun beraneka ragam pula. Meskipun demikian mengacu kepada
prinsip yang sama. Peradilan Islam pada masa Rasulullah SAW bersifat sederhana,
baik dalam pengorganisasiannya maupun prosedurnya. Ketika masyarakat islam
telah tersebar di berbagai kawasan, yaitu pada masa Khalifah Umar bin Khathab,
pengorganisasiannya dikembangkan. Peradilan mulai dipisahkan dari kekuasaan
Pemerintahan (wilayat al-‘ammah), dan para hakim (al-qadhi)
diberi depoman tentang pelaksanaan tugas mereka, yang tercermin dengan apa yang
kemudian dikenal sebagai risalat al-qadha’ (lihat: T. M. Hasbi
Ash Shiddieqy, 1970: 26-28). Perkembangan itu terus berlangsung pada masa
Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Turki Usmani, dan seterusnya hingga
akhir abad keduapuluh.
Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Islam merupakan
produk interaksi didalam tatanan masyarakat, termasuk dalam pranata peradilan
yang telah tersedia’. Salah satu unsur yang paling menentukan dalam proses itu
adalah kemampuan dan peranan para penduduknya, yaitu ulama dan anggota
masyarakat islam pada umumnya, dalam merumuskan dan menerapkan hukum Islam
dalam Peraturan Perundang-Undangan.
Proses interaksi itu dialami oleh masyarakat Islam di
Indonesia. Hal itu berlansung pada jangka waktu yang panjang, sejak masyarakat
Islam menjadi kekuatan politik pada masa kesultanan Islam hingga sekarang.
Salah satu produk interaksi itu adalah Peradilan Islam di indonesia, yang
secara resmi disebut Peradilan Agama, sebagai salah satu bagian dari
Peradilan Negara. Dengan demikian, Peradilan Agama adalah Peradilan
Islam di Indonesia.
Daftar Pustaka
Cik
Hasan Bisri, Peradilan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998. Hlm.23