Blog Al Imam

  • Home
  • Kumpulan Makalah
  • 404
Home » Kumpulan Makalah » makalah pengertian peradilan

makalah pengertian peradilan



BAB I
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Peradilan
Menurut ilmu bahasa arti qadha’ (Peradilan) antara lain: menyelesaikan, menunaikan, dan memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan. Atau bias juga dirinci sebagai berikut :

·         الفراغ  yang berarti putus, cerai, menyelesaikan atau mengakhiri, seperti firman Allah dalan Surah Al-Ahzab ayat 37 
·         الأداء   yang berarti menunaikan  atau menyelesaikan , seperti firman Allah Surah  Al-Jum`ah ayat 10
·         الحكم yang berarti memutuskan hukum atau menetapkan suatu ketetapan.
Perkataan الحكم   pada mulanya bermakna  المنع  artinya menghalang-halangi atau mencegah, maka kata  قاض   juga disebut الحاكم    berarti mencegah atau menghalang-halangi orang-orang yang zalim dan hendak menganiaya orang lain. Jadi حكم الحاكم بكذا  sama dengan  وضع الحق في أهله. Di samping itu pula peradilan bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat dengan tetap tegaknya hukum Islam. Oleh karena itu tugas pokok peradilan, adalah: mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Menetapkan sanksi dan menerapkannya kepada para pelaku perbuatan yang melanggar.
Sedangkan dari segi istilah ahli fiqih, qadha’ berarti Lembaga Hukum dan perkataan yang harus dituruti yang di ucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau berarti menghindarkan masalah dari pihak-pihak yang bersengketa dan menyelesaikan perseteruan di antara mereka, dengan menggunakan hukum Allah. Yakni, mengaplikasikan ketentuan syariat dalam kehidupan nyata.
الحكم بين النّاس
Al qodhaa (peradilan) artinya “Memutuskan peradilan di antara orang-orang”.
Maka, qadha’ disebut juga hukum mengingat didalamnya terdapat hikmah yang mewajibkan pihak-pihak berwenang untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya, dengan tujuan untuk mencegah para kriminal untuk kembali pada kejahatannya, sehingga tidak ada lagi pihak manapun yang didzalimi
Qodha dapat pula didefiniisikan sebagai berikut :
هو الفصل بين الناس في الحصومات حسما للتداعي و قطعا للنزاع وفقا با لاحكام الشرعية المستمدة من الكتاب والسنة
“Menyelesikan perkara pertengkaran untuk melenyapkan gugat menggugat dan untuk memotong pertengkaran dengan hukum-hukum yang dipetik dải Al Qur’an dan Al Hadits”.
Para  ulama madhab juga memberikan definisi mengenal qadha yaitu :
·         Imam Abu Hanifah : “Suatu keputusan mengikat yang bersumber dải mpemerintah umum guna menyelesaikan dan memutus pesengketaan”.
·         Imam Malik : “Pemberitaan tentang hukum syara’ melalui oảng yang mengikat dan pasti”. Ulama maliki mendefinisikan Al Qadha dải segi sifat lembaga hukum ini.
·         Sementara Imam Ahmad dan Imam Syafi’I memberrikan definisi “Penyelesaian persengketaan antarra dua oihak atau lebih berdasarkan hukum Allah SWT.
Karena adanya berbagai pengertian dari kata qadha’ itu, maka ia bisa digunakan dalam arti memutuskan perselisihan oleh hakim. Orang yang melakukannya disebut qadhi. Menurut para ahli fiqih, terminologi syariat dari kata qadha’ adalah memutuskan perselisihan dan menghindarkan perbedaan serta konflik-konflik.
Dengan definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa tugas qadha’ (Lembaga Peradilan) adalah menampakkan hukum agama, bukan menetapkan suatu hukum, karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi oleh hakim. Hakim hanya menerapkannya ke alam nyata, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.
            Dalam pengkajian Peradilan Islam (al-qadhaa fi al-Islam), terdapat berbagai konsep yang digunakan. Konsep itu merupakan suatu gagasan (idea) yang dilambangkan oleh suatu istilah tertentu, sesuai dengan bahasa yang digunakan. Ia berhubungan dengan berbagai konsep dalam pengkajian hukum Islam secarra keseluruhan.
            Dalam pengkajian Peradilan Islam di Indonesia, dan peradilan pada umumnya, dikenal berbagai kata atau istilah khuus yang menjadi lambang dari suatu konsep, diantarannya peradilan agama, peradilan Agama Islam, peradilan Islam, Islamic judiciary, badan kehakiman, badan peradilan agama, badan peradilan agama Islam, pengadilan agama, mahkamah syar’iyah, kerapatan qodhi, pengadilan agama Islam, dan Islamic court. Selain itu, terdapat juga istilah lain yang berhubungan dengan istilah-istilah itu, baik yang bermakna sejenis maupun yang berhubungan dengnnya dan menjadi penjelas poisi dari setiap istilah itu. Semua kata atau istilah itu dikemukakan dalam pengerrtian yang berbeda namun berhubungan.
            Ada dua istilah yang berasal dari kata dasar yang sama tetapi memiliki pengerrtian yang berbeda, yaitu peradilan dan pengadilan. Peradilan merupakan salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup masyarrakat dalam penegakan hukum dan peradilan, yang mengacu kepada hukum yang berlaku. Sedangkan pengadilan merupakan satuan organisasi yang menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan tersebut. Meskipun demikian, kedua istilah itu kadang-kadang digunakan dalam pengerrtian yang sama. Umpamanya, judul Bab V Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman : Kedudukan Pejabat Peradilan (Pengadilan).

B.     Rukun Peradilan
Dalam peradilan terdapat rukun-rukun yang háu ditetapkan yaitu :
1.      Hakim, yaitu oảng yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan, karena penguasa tidak meampu melaksanaan sendiri semua tugas itu.
2.      Hukum, yaitu suatu keputusan produk Qodhi, untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan.
3.      Al Mahkum Bih, yaitu hak. Kalau pada qodho al ilzam, yaitu penetapan qodhi atas tergugta, dengan memenuhi tuntutan penggugat apa yang menjadi haknya, sedangkan qadha al tarki (penolakan) penggugat yang berupa penolakan atas gugatannya.
4.      Al Mahkum ‘Alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya.
5.      Al Mahkum Lah, yaitu penggugat suatu hak yang merupakan hak manusia semata.
6.      Sumber Hukum (Putusan)

Di samping itu pula peradilan bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat dengan tetap tegaknya hukum Islam. Oleh karena itu tugas pokok peradilan, adalah:
  1. mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
  2. Menetapkan sanksi dan menerapkannya kepada para pelaku perbuatan yang melanggar.
  3. Hikmah Peradilan.
  4. Terwujudnya perdamaian dalam masyarakat.
  5. Terwujudnya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa
  6. Terwujudnya perlindungan hak setiap orang.
  7. Terwujudnya keadilan bagi manusia.
  8. Mewujudkan sifat taqwa bagi semua pihak.

C.    Dalil-dalil tentang qodhaa (peradilan)

Dalil asal mengenai masalah peradilan sebelum adanya ijma’ ialah firman Allah swt yang mengatakan :
و ان احكم بينهم بما أنزل الله
“Dan hendaknya kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturrunkan Allah swt. (Al-Maidah : 49)

FirmanNya yang lain, yaitu :

و ان احكم بينهم بما أنزل الله
            “Maka putuskannlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil”. (Al-Maidah : 42)

Beberapa buah Hadits, antara lain hadits Shahihain (Imam Bukhari dan Imam Muslim), mengatakan :

اذا حكم حاكم اي اراد الحكم فاجتهد ثمّ اصاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثمّ اخطأ فله اجر وفي رواية بدل الاولي فله عشرة اجور
“ Apabila seorang hakim hendak memutuskan (suatu perkara), lalu ia berijtihad (dengan segenap kemampuannya), kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala. Apabila dia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya keliru, maka baginya hanya satu pahala”.
Di dalam riwayat lain, pada bagian pertamanya disebutkan, “Maka baginya (yang benar ijtihadnya) sepuluh kali pahala”

D.    Peradilan Islam dan Perdailan Agama

Peradilan Islam atau peradilan agama adalah dua nama secara hakikatnya mempunyai keterkaitan bahwa sebagai kesinambungan system peradilan di Indonesia. Lalu apakah peradilan agama dapat diidentikkan sebagai suatu peradilan Islam (al-qadha fi al-Islam)?. Untuk mengidentifikasi peradilan agama sebagai peradilan Islam yang harus dilihat adalah :
Ø  landasan teologis-filosofis peradilan Islam dibentuk dan dikembangkan untuk memenuhi tuntutan penegakkan hukum dan keadilan Allah dalam komunitas umat.
Ø  Secara yuridis, ia berkembang mengacu kepada konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Indonesia.
Ø  Secara historis menurut para Fuqoha peradilan agama merrupakan salah satu mata rantai peradilan Islam yang berkesinambungan sejak masa Rasullullah saw.
Ø  Secara sosiologis menunjukkan bahwa peradilan agama merupakan produk interraksi antara elite Islam dengan elite politik. Ia điukung dan dikembangkan oleh masyarakat Islam Indonesia sejak lebih satu abad silam.
Ketika empat landasan ini terpenuhi, maka peradilan agama dapat disebut sebagai peradilan Islam. Hal ini diperkuat oleh undang-undnag No. 7 Tahun 1989 yang menytakan bahwa Peradilan Agâm adalah peradilan bagi oảng-ornag yang beragama Islam, mengenai perdata tertentu.

E.     Cakupan dan Batasan Peradilan
Berdasarkan berbagai pengertian yang disarikan dari beberapa sumber sebagaimana di sebutkan di atas, pengertian Peradilan Agama dapat dirumuskan sebagai : kekuasan negara dalam menerima,memeriksa,mengadili,memutus,dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.Yang dimaksud dengan kekuasaan negara adalah kekuasaan kehakiman. Sedangkan yang dimaksud dengan perkara-perkara tertentu adalah perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Adapun Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal itu menunjukkan bahwa Pengadilan Agama adalah satuan (unit) penyelenggara Peradilan Agama. Adapun satuan penyelenggara peradilan pada tingkat kedua (banding) adalah Pengadilan Tinggi Agama (PTA), sedangkan pengadilan pada tingkat kasasi adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan perkataan lain, pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dewasa ini, pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agamaterdiri atas 314 satun Pengadilan Agama dan 25 satuan Pengadilan Tinggi Agama.
Berdasarkan pengertian peradilan itu, cakupan dan batasan Peradilan Agama meliputi komponen-komponen sebagai berikut :
1.      Kekuasaan negara, yaitu kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya dan dari pihak luar. Secara operasional kekuasaan itu terdiri atas kekuasaan absolut dan kekuasaan relatif
2.      Badan peradilan agama, sebagai satuan penyelenggara kekuasaan kehakiman. Ia meliputi hierarki, susunan, pimpinan, hakim, panitera, dan unsur lain dalam struktur organisasi pengadilan
3.      Prosedur berperkara di pengadilan, yang mencakup jenis perkara, hukum prosedural (hukum acara) dan produk-produknya (putusan dan penetapan). Prosedur itu meliputi tahapan kegiatan menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan
4.      Perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Ia mencakup variasi dan frekuensi sebarannya dalam berbagai pengadilan
5.      Orang-orang yang beragama islam, sebagai pihak yang berperkara (berselisih atau bersengketa), atau para pencari keadilan
6.      Hukum Islam, sebagai hukum substansial yang dijadikan rujukan dalam proses peradilan
7.      Penegakan hukum dan keadilan sebagai tujuan

F.     Peradilan : Pranata Hukum dan Pranata Sosial
            Berkenaan dengan pengertian, cakupan, dan batasannya itu, peradilan dapat diidentifikasi sebagai bagian dari pranata hukum untuk memenuhi kebutuhan penegakan hukum dan keadilan yang mengacu kepada hukum yang berlaku. Karena peradilan diidentifikasi sebagai pranata hukum, didalamnya terdapat jaringan hubungan antar manusia yang meliputi komponen-komponen sebagaimana telah di kemukakan. Untuk mewujudkan dan mengorganisasikan jaringan hubungan tersebut dilaksanakan oleh pengadilan, Berkenaan dengan hal itu, dalam setiap lingkungan peradilan terdiri atas pengadilan tingkat pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.
            Peradilan diidentifikasi sebagai bagian dari pranata hukum,sedangkan hukum dapat diidentifikasi sebagai bagian dari pranata sosial. Young (1982:506) mengutip pandangan Summer bahwa pranata adalah konsep dan struktur.Hukum adalah pranata. Hal itu didasarkan kepada gagasan keadilan dan kepatutan. Gagasan itu dikonstruksikan dan mencakup pengadilan, perangkat hukum, dan sejenisnya. Dengan demikian peradilan dapat diidentifikasi sebagai bagian dari pranata sosial. Dalam kenyataannya, peradilan berhubungan secara timbal balik, bahkan saling bergantung dengan pranata hukum lainnya, seperti perangkat hukum (tertulis dan tidak tertulis), sistem hukuman, politik hukum, dan nilai-nilai hukum, bahakan berhubungan dengan penyuluhan hukum, pendidikan hukum, dan kesadaran hukum masyarakat. Berkenaan dengan hal itu, pembentukan hukum mengacu kepada nilai filosofis, nilai yuridis, dan nilai sosiologis.
            Hal itu tercermin dalam GBHN 1993, khususnya tentang Pembangunan Bidang Hukum, yang secara garis besar meliputi materi hukum aparatur hukum, dan sarana serta prasarana hukum. Pembangunan dalam bidang hukum itu merupakan bagian dari Pembangunan Nasional, yang mencakup berbagai bidang kehidupan masyarakat-bangsa yang berhubungan secara timbal balik. Demikian pula isyarat itu tercermin dalam ketentuan pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
            Demikian halnya dengan pranata hukum, ia saling bergantung dengan pranata sosial lainnya dalam suatu kesatuan tatananan masyarakat secara mkaro. Hukum bergantung kepada apa yang terjadi dengan kondisi kekuasaan dan wewenang politik-kondisi tersebut ditentuakan beragam kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi. Bahkan iasaling bergantung dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan ilmu dan teknologi, dan industrialisai. Apabila kondisi-kondisi itu berubah, hukum pun mengalami perubahan. Pembentukan undang-undang, sebagai penyelesaian konflik di kalangan berbagai kekuatan politik, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dapat dipahami dan dijelaskan dengan menggunakan pandangan tersebut. Salah satu contoh dapat dilihat dalam pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
            Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama, dan hukum pada umumnya, sangat bergantung kepada pranata politik yang berbasis kepada struktur sosial, pola budaya, dan perkembangan ekonomi. Begitu juga, proses peradilan merupakan suatu mekanisme yang bersifat aktual dalam mewujudkan penegakan hukum dan keadilan yang mengacu kepada nilai-nilai yang dianut masyarakat. Atau dengan perkataan lain, peradilan tidak berdiri dan bekerja secara otonom, melainkan berada dalam proses pertukaran dengan lingkungannya. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan peradilan terletak pada kemampuan masyarakat untuk melakukan artikulasi politik dalam mengalokasikan dan merumuskan nilai-nilai budaya yang dianutnya kedalam pranata hukum yang menjadi kebutuhan mereka. Dalam hal ini, tentu saja terletak pada kemampuan elite Islam dalam mengalokasikan hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan yang dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan Peradilan Agama atau Peradilan Islam di Indonesia.

G.    Peradilan agama sebagai peradilan islam
Uraian diatas, dalam berbagai hal, menunjukkan gagasan dan kedudukan Peradilan Agama dengan sangat jelas. Meskipun demikian, muncul sebuah pertanyaan: apakah Peradilan Agama dapat diidentifikasi sebagai suatu Peradilan Islam (al-qadha’ fi al islam)? Jawaban atas pertanyaan itu membutuhkan landasan yang logis dan ditunjang oleh data empirik. Ia membutuhkan informasi yang akurat dan memadai, yang dikaitkan dengan konteks munculnya informasi iutu tanpa berusaha untuk melakukan pembelaan atau sebaliknya.
            Peradilan Islam merupakan simbol (dalam bahasa indonesia) dari suatu gagasan atau konsep (concept).Simbol simbol ini tumbuh dan berkembang dikalangan para pakar Muslim sebagai upaya untuk mengidentifikasi diri, dan untuk menyatakan jati diri dalam pergaulan hidup di tengah-tengah beraneka ragam bahasa dan kebudayaan yang didominasi oleh bangsa-bangsa dan kebudayaan dari kawasan Eropa (Barat Dan Timur) dan Amerika Serikat. Ia muncul sebagai respon terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang didasarkan atas kesamaan kebangsaaan (National State) yang menempatkan agama dalam posisi yang terpisah. Hal itu menuntut redefinisi tentang hubungan antara agama dengan negara (al din wa al dawlah). Di samping itu bagi pakar non-Muslim, ia merupakan suatu deskripsi tentang fenomena yang berkembang di dunia Islam (di negara-negara islam dan di negeri-negeri muslim), yang sedang mengalami perubahan dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan.
Substansi dari simbol itu adalah produk pemikiran fuqahayang tumbuh dan berkembang di kalangan generasi pertama dan berikutnya, yang di kalangan mereka dideskripsikan sebagai al-qadha. Sebagai contoh dapat dikemukakan, antara lain dalam karya al-mawardi, ia dideskripsikan dalam BAB ke-enam, fi wilayat al-qadha (t. th.: 65), dalam karya Ibn Rusyd, ia dideskripsikan dalam kitab al-aqdhiyah (juz II: 344-3560, dan dalam karya Abi Ya’la, ia dideskripsikan dalam wilayal al-qadha’ (1986: 64). Dari ke-tiga contoh diatas tidak ada satupun yang menggunakan simbol islam. Meskipun demikian, ia merupakan deskripsi tentang konsep peradilan Islam. Konsep itu merupakan hasil pemikiran fuqoha yang dideduksi dari Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW.
Secara filosofis, peradilan agama dibentuk dan dikembangkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam pergaulan hidup manusia, khususnya di kalangan orang-orang yang beragama islam dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf, dan shadaqah. Hukum yang ditegakkan adalah hukum allah yang telah disistematisasi oleh manusia melalui kekuasaan negara (cf. Bustanul arifin, 1996: 78). Hal itu merupakan suatu konsekuensi bagi hamba allah yang beriman, yang taat kepada allah dan rasulnya; serta membuat keputusan secara adil (S. An-nisa’:58-59). Keputusan itu, didasarkan kepada hukum yang diditurunkan oleh Allah: ma anzal ’I-Lah (S. Al-Ma’idah:49). Pandangan preskriptif itu dijadikan rujukan utrama dalam menyelenggaraan peradilan, yang bertitik tolak bahwa mendirikan peradilan merupakan kewajiban yang ditetapkan dan sunah yang dipatuhi (faridhah muhkamah wa sunnah mutaba’ah). Sedangkan keadilan yang ditegakkan adalah keadilan Allah, sebagaimana tercermin dalam kepala keputusan pengadilan, “Bismillahirrahmanirrohim”, dan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Peradilan Agama merupakan media untuk menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dititahkan oleh Allah. Ia kemudian dikenal sebagai hukum Islam dalam dimensi syariah, yang berasaskan tawhid I’Lah. Hal yang sama dilakukan di negara-negara islam, seperti saudi arabia. Hukum yang berlaku dalam penyelenggaraan peradilan (majlis al-qadhi al-a’la, mahkamah al-tamyiz, al-mahkamah al-amah dan al-mahkamah al-juz-‘iyah) di negara itu adalah hukum Islam (al-tasyri’ al-islami) yang bersumber kepada Al-Qur’an dan sunah Rasul (al-hafnawi, t. th.: 4). Demikian halnya di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, seperti di Mesir dan beberapa negara lain di Timur Tengah dan di Asia Selatan, penyelenggaraan peradilan berdasarkan hukum Islam, khususnya dalam bidang hukum keluarga. Disamping itu di negara-negara non-Muslim seperti di wilayah Patani Raya-meliputi Provinsi Patani, Yala, Narathivat dan Stun, dengan penduduk mayoritas (71,94%) beragama Islam-di Thailand dan bagi Muslim Philipina, hukum keluarga yang berlaku adalah hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu pemerintah Thailand memberi peluang kepada ulama untuk menyelenggarakan Peradilan Islam (sala to’ kali), khususnya dalam bidang perkawinan dan pewarisan (Surin Pitsuan, 1989: 97). Hal itu menunjukkan bahwa dalam kenyataanya, corak Peradilan Islam, baik simbol maupun penyebutan (titeulateur) beraneka ragam namun memiliki fungsi yang sama. Dengan perkataan lain, Peradilan Islam yang bersifat Universal merupakan suatu suatu tipe ideal yang dalam kenyataannya sangat bervariasi.
Secara historis Peradilan Agama merupakan salah satu mata rantai Peradilan Islam yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah SAW. Peradilan islam mengalami pasang surut, sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam di berbagai kawasan dan negara. Sedangkan masyarakat Islam merupakan basis utama dalam melakukkan artikulasi dan perumusan politik hukum di berbagai kawasan dan negara karena masyarakat Islam tersebar di berbagai kawasan yang beraneka ragam struktur, pola budaya, dan perkembangannya, pengorganisasian Peradilan Islam pun beraneka ragam pula. Meskipun demikian mengacu kepada prinsip yang sama. Peradilan Islam pada masa Rasulullah SAW bersifat sederhana, baik dalam pengorganisasiannya maupun prosedurnya. Ketika masyarakat islam telah tersebar di berbagai kawasan, yaitu pada masa Khalifah Umar bin Khathab, pengorganisasiannya dikembangkan. Peradilan mulai dipisahkan dari kekuasaan Pemerintahan (wilayat al-‘ammah), dan para hakim (al-qadhi) diberi depoman tentang pelaksanaan tugas mereka, yang tercermin dengan apa yang kemudian dikenal sebagai risalat al-qadha’ (lihat: T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1970: 26-28). Perkembangan itu terus berlangsung pada masa Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Turki Usmani, dan seterusnya hingga akhir abad keduapuluh.
Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Islam merupakan produk interaksi didalam tatanan masyarakat, termasuk dalam pranata peradilan yang telah tersedia’. Salah satu unsur yang paling menentukan dalam proses itu adalah kemampuan dan peranan para penduduknya, yaitu ulama dan anggota masyarakat islam pada umumnya, dalam merumuskan dan menerapkan hukum Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan.
Proses interaksi itu dialami oleh masyarakat Islam di Indonesia. Hal itu berlansung pada jangka waktu yang panjang, sejak masyarakat Islam menjadi kekuatan politik pada masa kesultanan Islam hingga sekarang. Salah satu produk interaksi itu adalah Peradilan Islam di indonesia, yang secara resmi disebut Peradilan Agama, sebagai salah satu bagian dari Peradilan Negara. Dengan demikian, Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia.

Daftar Pustaka
[1]Basiq Jalil, S.H., M.A. Peradilan Islam .Amzah:Ciputat. 2011. Hlm. 7
[1]Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Hlm.23

makalah pengertian peradilan , Pada: 04:50



Share to

Facebook Google+ Twitter

Related with makalah pengertian peradilan :

Tags: #Kumpulan Makalah Posted by Anonymous at 04:50

0 comments :

Post a Comment

« Next Prev »
  • Beranda

Labels

  • KUMPULAN LAPORAN PPL
  • Kumpulan Makalah
  • kumpulan proposal
  • Kumpulan Proposal Skripsi
Copyright © 2016 Blog Al Imam All Rights Reserved | Sonic SEO Template