PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam proses pelaksanaan
pendidikan dibutuhkan langkah-langkah yang diambil demi kelancaran proses
pelaksanaan pendidikan tersebut. Langkah-langkah tersebut kita kenal dengan
alat-alat pendidikan.Selain alat-alat pendidikan, kita juga membutuhkan pedoman
kita untuk mengajar atau yang kita sebut dengan kurikulum, yang merupakan salah
satu alat untuk mengantarkan siswa mencapai tujuan pendidikan.Dan semua itu
akanlah lebih lengkap jika disertai dengan evaluasi.Berdasarkan pernyataan itu,
maka di dalam makalah ini akan dibahas lebih detail tentang hakikat kurikulum,
alat-alat pendidikan, dan evaluasi.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana peradilanislampadamasa Umar Bin Khathab?
2.
Apasaranaprasaranperadilanpadamasa
Umar Bin Khathab?
3.
Bagaimanaupayaperdamaianpadamasa
Umar Bin Khathab?
4.
BagaimanamemisahkanqodlodaritanganGubernur?
5.
Siapa yang
berwenangmengangkatqadli?
6.
Apasajasifat-sifat
yang dipentingkanKhalifah Umar r.a?
C. Tujuan Penyusunan Makalah
Penugasan ini dilakukan semata-mata
demi untuk mempelajari dan menambah wawasan pada materi Peradilan
Islam PadaMasa Umar Bin Khatab
dan juga merupakan salah satu tugas mata kuliah.
PERADILAN
ISLAM MASA KHULAFA AL-RASYIDDIN
A. Peradilan Islam PadaMasa Umar Bin Khathab
Secara umum, perluasan wilayah kekuasaan Islam pada masa khulafa
Al-Rasyiddin disertai pula dengan perkembangan dalam bidang peradilan.
Perkembangan dibidang ini ditandai dengan diangkatnya para hakim yang
ditugaskan dibeberapa wilayah yang ditentukan. Hal itu secara langsung telah
membawa perubahan baru dalam struktur dan administrasi lembaga peradilan.
Perbedaan mendasar antara masa rasulullah SAW. Dengan masa Khulafa Al-rasyiddin
adalah terletak pada turunnya wahyu dengan wafatnya rasulullah, secara langsung
terhenti pula diturunkannya wahyu. Padahal, pada masa rasulullah, setiap
persoalan yang muncul kepermukaan itu tidak jarang diselesaikan dengan berpijak
kepada wahyu.
Setelah Abu Bakar meninggal dunia. Umar menggantikan kedudukannya
sebagai khalifah kedua. Pemerintahan Umar bin Khattab ini berlangsung dari
tahun 634-644 masehi. Satu hal yang perlu dicatat terlebih dahulu tentang
kebijakan-kebijakan Umar dalam melanjutkan usaha pendahulunya adalah: 1) Umar
turut aktif menyiarkan agama Islam. Ia melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan
daerah Islam sampai ke Palestina, Syiria, Irak dan Persia di sebelah utara
serta ke Mesir di barat daya; 2) menetapkan tahun Islam yang terkenal dengan
tahun Hijriah berdasarkan peredaran bulan (Qomariyah), dibandingkan dengan
tahun masehi (miladiyah) yang didasarkan pada peredaran matahari. Perbedaan di
antara tahun ini setiap tahun adalah 11 hari. Penetapan tahun hijriah ini
dilakukan Umar pada 638 masehi; 3) sikap tolerannya terhadap pemeluk agama
lain. Hal ini tebukti ketika beliau hendak mendirikan masjid di Jerussalem
(Palestina). Beliau minta izin kepada pemuka agama lain di sana, padahal beliau
adalah pemimipin dunia waktu itu.
Ketika Islam semakin tersebar, masalah hukum semakin bertambah, dan
semakin meluas pula peranan para gubernur. Oleh karena itu Umar bin Khattab
memisahkan peradilan atau (yudikatif) dari pemerintahan (eksekutif), dan
memnagkat beberapa orang sebagai hakim selain para gubernur. Umar mengangkat
Abu Darda sebagai hakim di Madinah, Syuraih sebagai hakim di Bashrah, dan Abu
Musa Al-asyari sebagai hakim d Kufah. Umar melakukan hal yang sama dengan Abu
Bakar. Sebelum mengumpulkan sahabat untuk bermusyawarah. Ia bertanya kepada
sahabat lain: “apakah kalian mengetahui bahwa Abu Bakar telah memutuskan kasus
yang sama?” jika pernah, Ia mengikuti keputusan itu. jika tidak ada, Ia
mengumpulkan sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikannya. Sebagaimana yang
dikutip dari (Umar Sulaiman Al-asyqar, 1991:75). Salah satu wasiat Umar ra.
Kepada seorang Qodhi (hakim). Pada zamannya yaitu Syuraih. Wasiat tersebut adalah:
1.
Berpeganglah
kepada Al-Quran dalam meneyelesaikan kasus.
2.
Apabila
tidak ditemukan dalam Al-Quran, hendaklah engkau berpegang kepada sunnah.
3.
Apabila
tidak didapatkan ketentuannya dalam sunnah maka berijtihadlah.
Para
hakim pada masa Umar merujuk kepada Al-quran. Jika tidak mendapati hukum dalam
Al-Quran mereka mencarinya dalam sunnah. Tapi jika mereka tidak mendapatkan
sesuatu di dalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin, apakah di antara
mereka terdapat orang yang mengerti sesuatu dalam sunnah mengenai perkara yang
dihadapi. Jika didapatkan, mereka berpedoman dengan apa yang dikatakan orang
yang mengetahuinya tersebut setalah dilakukan upaya penguatan jika tidak
didapatkan mereka berijtihad secara koletif jika topik permasalahan terdapat
hubungan dengan prinsip-prinsip dasar jama’ah dalam berijtihad secara individu
dalam masalah-masalah sektoral yang khusus dengan Individu.
Berikut
ini adalah salah satu contoh kasus peradilan pada masa Umar bin Khattab.
Sebagaimana dikutip dalam kitab Turrats al-khulafa al-Rasyiddin. Yaitu,
masalah makar perempuan. Seorang perempuan sangat tertarik kepada seorang
pemuda, maka dia menuangakan zat putih pada bajunya dan di antara dua pahanya.
Lalu perempuan itu mengadu keada Umar bin Khattab dengan mengatakan bahwa
pemuda tersebut memperkosanya seraya mengisyaratkan bekas-bekas yang dibuatnya.
Pemuda itupun menolak dakwaannya tersebut, dan Umar mengalihkan masalah ini
kepada Imam Ali. Ali memerintahkan untuk di ambilkan air panas lalu dituangkan
pada baju, dan mengeraslah zat yang putih tersebut sehingga tampak jelas letak
kebenaran sebab kecerdasan Ali dan kecermatan pandangannya. Demikianlah bentuk
penyelesaian secara kimiawi. Akhirnya, imam Ali bertanya kepada wanita tersebut
dan dia mengakui rekayasnya sehingga tuduhannya tersebut ditolak.
B. Sarana
dan Prasarana Peradilan
Pada
dasarnya penyelesaian perkara yang dilakukan para qadhi pada masa khulafa
al-rasyiddin itu masih sederhana. Para pihak yang bersengketa biasanya datang
sendiri menghadap hakim dan menyampaikan perkara yang dihadapinya. Terkadang
penyelesaian itu dilakukan rumah hakim yang bersangkutan, tetapi adakalanya dilakukan
di masjid. Keadaan demikian berjalan hampir sepenuhnya pada masa pemerintah abu
bakar shidiq dan umar bin khattab.
Fenomena
itu memberikan gambaran,bahwa disamping jabatan qadhi, belum dikenal adanya
panitera(katib) yang bertugas mendampingi qadhi untuk mencatat berita acara
atau membukukan setiap perkara yang diselesaikan. Disamping itu, belum dikenal
pula adanya gedung yang secara khusus untuk menyelesaikan perkara para pihak
yang bersengketa. Pada masa khalifah usman bin affan, tempat mengadili perkara
itu menjadi perhatian, yaitu dengan didirikannya gedung pengadilan, yang secara
khusus menjadi pusat kegiatan qadhi dalam menyelesaikan perkara.
C. Upayaperdamaian
Perdamaianatauishlahdalammenyelesaikanperkaraharusmendapatprioritas
hakim. Apabilaupayainidapatditempuhmakaselesailahpersoalan. Umar bin
Khathabberpesan: perdamaianitubolehdilakukanantar orang-orang Islam,
asaltidakmenghalalkan yang haram ataumengharamkan yang halal.
Dalamsebuahungkapanterdapatgambaran yang tenangtingginyanilaiperdamaian yang
menyandingkanbetapaderajatperdamaianitumemilikikandungannilai yang
sangattinggi,
sehinggapenempatanprioritasnyadapatdidahulukandarinormadanperaturanlainnya yang
telahada: ashulhusayid al-ahkamdalamsurat
An-Nisaayat 128 ditegaskan,
“Dan jikaseorangwanitakhawatirakannusyuzatausikaptidakacuhdarisuaminya,
makatidakmengapabagikeduanyamengadakanperdamaian yang sebenar-benarnya,
danperdamaianitulebihbaik (bagimereka) walaupunmanusiaitumenuruttabiatnyakikir.”Kandunganhukum yang dapatdipetikdarisurat
An-Nisaayat 128 itumenegaskanbahwa “berdamaiitulebihbaik,
mengajakberdamaiberartimengajakkepadasuatukebaikan.
D. Memisahkan
Qadla (Lembaga Peradilan) Dari Tangan Gubernur Dan Yang Mula-Mula Melakukannya
Dikala Khilafah (pemerintahan) Islam
dikendalikan umar r.a barulah dirasakan perlu mengadakan pejabat tertentu untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang diadukan kepada penguasa. Pada masa khalifah
Umar, kota-kota Islam telah bertambah banyak. Pekerjaan yang harus diselesaikan
Khalifah, atau para gubernur telah bertimbun-timbun hingga sukarlah bagi
khalifah menyelesaikan sendiri segala perkara yang diajukan kepadanya.
Urusan-urusan pengadilan, di samping pemangku-pemangku wilayah umum (Gubernur).
Tidak saja di kota Madinah di pusat pemerintahan, Umar mengangkat pejabat
tinggi yang khusus mengendalikan lembaga pengadilan, bahkan di kediaman para
gubernur pun beliau mengangkat juga pejabat sebagai hakim.
Untuk hakim di Madinah, diangkat
Abud Darda. Untuk hakim di Bashrah diangkat Syuraih. Dan untuk hakim di Kufah
diangkat Abu Musa Al Asy’ary. Oleh Abu Msalah ditulis Risalatu Qadla.Kepada
Qadli Abu Musalah Amirul Mu’minin ‘Umar, mengirim instruksinya yang dikenal
dalam sejarah kehakiman Islam dan menjadi pedoman pokok bagi para hakim.
E.
Yang berwenang mengangkat Qadli
(Hakim)
Yang berhak mengangkat Qadli dan
memberhentikannya pada mulanya adalah Khalifah (Kepala Negara) sendiri.
Khalifah sendiri mengangkat seseorang untuk menjabat jabatan Qadli guna di
tempatkan di Suatu daerah, atau dengan cara mengirim surat kepada para wali
(Gubernur) supaya mengangkat Qadli. Adakala orangnya ditunjuk oleh khalifah
atau Gubernur.
Adapun, Al Khatib Al Baghdady
menerangkan dalam tarik Baghdad bahwa: wali – Kepala daerah sendiri yang menentukan
Qadli yakni tidak menanti amanat Khalifah lebih dahulu.
Dr. Hasan Ibrahim dalam tarik Al
Islam As Siyasi berkata: Apabila Kepala Daerah umum urusannya mempunyai wilayah
ammmah, yakni mengendalikan segala persoalan yang bersangkutan dengan
pemerintahan maka bolehlah ia menentukan, atau mengangkat Qadli-qadli tanpa
menanti amarah (perintah) Khalifahnya.
Penjelasan:
Qadli
daerah mula-mulanya ditunjuk oleh Khalifah sendiri, Khalifah yang mengutus dari
pusat pemerintahan ke suatu daerah, qadli yang telah diangkat menjadi qadli di
daerah itu.
Apabila Khalifah tidak menetapkan
dan mengutus orang yang telah ditetapkan untuk suatu daerah, maka Khalifah
menginstruksikan kepada amir-amir atau walinya mengangkat qadli yang ditunjuk
oleh Khalifah. Jika Khalifah tidak menunjukkan maka amir-amir sendiri
menetapkan orangnya.
Para Gubernur yang umum urusannya,
dibolehkan mengangkat qadli dengan tidak menunggu perintah Khalifah, apabila
hal itu dipandang perlu oleh Gubernur yang bertanggung jawab.
F.
Sifat-sifat Qadli yang dipentingkan
oleh Khalifah Umar
Umar pernah mengirim surat kepada
Mu’azd dan Abu ‘Ubaidah untuk mengangkat mereka menjadi Qadli negri Suriya.
1. Umar berpesan kepada amir-amirnya
supaya berlaku jujur dalam mengangkat para Qadli.Umar berkata :“Amir-amir yang
mengangkatseseorangQodlidenganmaksud agarQadli yang diangkat itu, memihak
kepadanya, akan menanggung separuh dari dosa Qadli itu”
2.
Umar Ibn Abdil ‘Aziz mengangkat Qadli dengan mengutamakan
sifat- sifat yang lima ini :
1)
sempurna ilmunya tentang masalah-masalah yang telah terjadi.
2)
Suci atau bersih jiwanya dari sifat tama’.
3)
mempunyai sifat tenang, tidak mencari kesempatan membalas
sakit hati.
4)
meniru dan meneladani pemimpin-pemimpin agama yang terkenal.
5)
suka berunding dalam menghadapi perkara-perkara yang
diputuskan, dengan ahli ilmu dan berakal.
G. Kesimpulan
Setelah wafatnya Abu Bakar RA,
kekhalifahan dipegang Saidina Umar bin al-Khattab RA. Pada saat ini, daerah
Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan
ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang
berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan
ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari
itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan
eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan
yudikatif terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Mukhlas, Sunaryo.
2011. Perkembangan Peradilan Islam. Bogor: Ghalia Indonesia
Koto,Alaiddin.
2011. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta. PT Rajagrafindo Persada
Anas. Peradilan
Islam MasaKhulafaurrasyidin. 2012.